Rogers lebih senang menaruh perhatian pada perubahan dan perkembangan kepribadian dan dia tidak mementingkan konstruk-konstruk structural. Namun ada dua konstruk yang sangat penting dalam teorinya dan bahkan dapat dianggap sebagai panduan bagi seluruh teorinya. Kedua konstruk tersebut adalah organisme dan diri (self).
Organisme
Secara psikologis, organisme adalah lokus atau tempat dari seluruh pengalaman. Pengalaman meliputi segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam kesadaran organisme pada setiap saat. Keseluruhan pengalaman ini merupakan medan fenomenal. Medan fenomenal adalah”frame of reference” dari individu yang hanya dapat diketahui oleh orang itu sendiri. ”Medan fenomenal tidak dapat diketahui oleh orang lain kecuali melalui inferensi empatis dan selanjutnya tidak pernah dapat diketahui dengan sempurna”. Bagaimana individu bertingkah laku tergantung pada medan fenomenal itu (kenyataan subjektif) dan bukan pada keadaan-keadaan perangsangannya (kenyataan luar).
Harus dicatat bahwa medan fenomenal tidak identik dengan medan kesadaran. ”Kesadaran adalah perlambangan dari sebagian pengalaman kita”. Dengan demikian, medan fenomenal terdiri dari pengalaman sadar (tidak dikembangkan). Akan tetapi, organisme dapat membedakan kedua jenis pengalaman tersebut dan bereaksi terhadap pengalaman yang tidak dilambangkan. Mengikuti McCleary dan Lazarus (1949), Rogers menyebut peristiwa ini subsepsi (subception).
Pengalaman tidak bisa disimbolkan secara tepat, karena itu orang-orang biasa mengaitkan pengalaman- pengalaman dengan kenyataan yang ada dan ini yang membuat seseorang melakukan tindakan yang selaras antara apa yang dibayangkan dengan realitas, hal ini disebut sebagai uji realitas. Akan tetapi, beberapa pengalaman tertentu malah tidak diuji atau diuji secara kurang memadai, dan pengalaman yang tidak diuji ini dapat menyebabkan orang bertingkah laku secara tidak realistis, bahkan merugikan orang itu sendiri. Meskipun Rogers tidak menyingung permasalahan tentang kenyataan yang “sebenarnya”, namun jelas bahwa setiap orang harus memiliki suatu konsepsi tentang standar kenyataan luar atau impersonal, sebab kalau tidak demikian, maka mereka tidak akan dapat membedakan suatu gambar kenyataan “subjektif” dengan kenyataan “objektif”. Kemudian timbul suatu pernyataan, yakni bagaimana orang-orang dapat membedakan antara gambaran subjektif yang tidak merupakan representasi yang tepat dari kenyataan dan gambaran yang benar-benar merupakan representasi dari kenyataan yaitu gambaran objektif. Apak yang membuat orang-orang tersebut membedakan antara fakta dan fiksi dalam dunia subjektifnya? Inilah Paradoks terbesar dalam fenomenologi.
Rogers memecahkan paradoks tersebut dengan menyimpangkannya dari rangka pemikiran fenomenologi murni. Apa yang dialami atau dipikirkan orang sebenarnya bukanlah kenyataan bagi orang itu: hal itu hanya hipotesis sementara tentang kenyataan yang bias jadi benar atau salah. Orang menunda keputusannya sampai ia menguji hipotesis tersebut. Apakah yang dimaksud dengan menguji? Menguji berarti mencek ketepatan informasi yang diterima dan yang merupakan dasar dari hipotesisnya dengan sumber-sumber informasi lain. Misalnya, seseorang yang akan menggarami makanannya, berhadapan dengan dua tempat bumbu. Satu diantaranya berisi garam dan yang lain berisi merica. Orang tersebut mengira bahwa tempat yang berlubang besar berisi garam, tetapi karena tidak yakin maka ia menuangkan sedikit isinya pada telapak tangannya. Apabila partikel-partikel yang keluar adalah putih dan bukan hitam, maka orang tersebut merasakan yakin bahwa itu garam. Orang yang sangat teliti mungkin merasa perlu mencicipinya sedikit sebab bisa jadi itu merica berwarna putih, bukan garam. Apa yang dikemukan dengan contoh ini adalah suatu pengujian ide-ide seseorang dengan berbagai data indera. Pengujian tersebut berupa mencek informasi yang kurang pasti dengan pengetahuan yang lebih langsung. Dalam kasus garam, ujian terakhir adalah rasanya; suatu cita rasa tertentu menentukan bahwa itu garam.
Tentu saja, contoh yang dikemukakan tadi menggambarkan suatu kondisi ideal. Dalam banyak kasus, orang menerima begitu saja pengalamannya sebagai representasi yang tepat tentang kenyataan dan tidak memperlakukannya sebagai hipotesis tentang kenyataan. Akibatnya, orang terap kali mengajarkan banyak konsepsi salah tentang dirinya dan tentang dunia luar. “Pribadi yang utuh”, baru-baru ini Rogers menulis, “orang yang benar-benar orang sepenuhnya adalah berdasar pada data yang dialami dalam dirinya dan data yang dialaminya dari dunia luar “.
Diri (Self)
Lama kelamaan, sebagian dari medan fenomenal ini menjadi terpisah. Inilah yang disebut sebagai diri atau konsep-diri. Dijelaskan sebagai berikut :
Konsep Gestalt berisikan tentang organisasi dan konsistensi yang terdiri dari persepsi-persepsi tentang sifat-sifat dari ‘diri subjek’ atau ‘diri objek’ dan persepsi-persepsi tentang hubungan-hubungan antara ‘diri subjek’ atau ‘diri objek’ dengan orang-orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini. Gestalt lah yang ada dalam kesadaran meskipun tidak harus disadari. Gestalt tersebut bersifat lentur dan berubah-ubah, merupakan suatu proses, tetapi pada setiap saat merupakan suatu entitas spesifik.
Diri merupakan salah satu konstruk sentral dalam teori Rogers, dan ia telah memberikan suatu kejelasan yang menarik bagaimana ini terjadi:
Berbicara secara pribadi, saya memulai karir saya dengan keyakinan yang mantap bahwa “diri” adalah suatu istilah yang kabur, ambigu atau bermakna ganda, istilah yang tidak berarti secara ilmiah, dan telah hilang dari kamus para psikolog bersama menghilangnya para introspeksionis. Dari sebab itu, saya lambat menyadari bahwa apabila klien-klien diberi kesempatan untuk mengungkapkan masalah-masalah mereka dan sikap-mereka dalam istilah-istilah mereka sendiri, tanpa suatu bimbingan atau interpretasi, ternyata mereka cenderung berbicara tentang diri… Tampaknya jelas,…bahwa diri merupakan suatu unsur penting dalam pengalaman klien, dan aneh karena tujuannya adalah menjadi ‘diri-sejati’-nya.
Di samping “diri” sebagai bagian dari struktur diri, terdapat suatu diri ideal, yakni apa yang diinginkan orang tentang dirinya.
Organisme dan Aku: Keselarasan dan ketidakselarasan
Pentingnya konsep-konsep struktural, yakni organisme dan “diri”, dalam teori Rogers menjadi jelas dalam pembicaraannya tentang Keselarasan dan ketidakselarasan antara diri sebagaimana dibahas dalam pengalaman aktual organisme. Apabila pengalaman-pengalaman yang dilambangkan yang membentuk diri benar-benar mencerminkan pengalaman-pengalaman organisme, maka orang yang bersangkutan disebut berpenyesuaian baik, matang, berfungsi sepenuhnya. Orang semacam itu menerima seluruh pengalaman organismik tanpa merasakan ancaman atau kecemasan. Ia mampu berfikir secara realistis. Ketidak selarasan antara diri dan organisme menyebabkan individu-individu merasa terancam dan cemas. Mereka bertingkah laku serba defensif dan cara berfikir mereka menjadi sempit dan kaku.
Dalam teori Rogers secara implisit dijelaskan dua manifestasi lain dari keselarasan dan ketidak selarasan. Pertama adalah keselarasan dan ketidak selarasan antara kenyataan subjektif (medan fenomenal) dan kenyataan luar (dunia sebagaimana adanya). Kedua adalah tingkat kesesuaian antara diri dan diri ideal. Apabila perbedaan antara diri dan diri ideal adalah besar, maka orang menjadi tidak puas dan tidak dapat menyesuaikan diri.
Bagaimana ketidak selarasan itu terjadi dan bagaimana diri dan organisme dapat dibuat lebih selaras, menjadi pembahasan utama Rogers. Untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang sangat penting inilah maka ia telah menghabiskan begitu banyak kehidupan profesionalnya. Bagaimana ia menjawab pertanyaan-pertanyaan ini akan dibicarakan pada bagian tentang perkembangan kepribadian.
Dinamika Kepribadian
“Organisme mempunyai satu kecenderungan dan keinginan mendasar-yakni mengaktualisasikan, mempertahankan,dan mengembangkan pengalaman organisme”. Kecenderungan untuk mengaktualisasi ini bersifat selektif, menaruh perhatian hanya pada aspek-aspek lingkungan yang memungkinkan orang bergerak secara konstruktif ke arah pemenuhan keinginan. Di satu pihak terdapat satu kekuatan yang memotivasikan, yakni dorongan untuk mengaktualisasikan diri; di lain pihak hanya ada satu tujuan hidup, yakni menjadi pribadi yang teraktualisasikan – dirinya atau pribadi yang utuh.
Organisme mengaktualisasikan dirinya menurut garis-garis yang diletakkan oleh hereditas. Ketika organisme itu matang, maka ia makin berdiferensiasi, makin luas, makin otonom, dan makin tersosialisasikan. Kecenderungan mendasar pada pertumbuhan ini adalah mengaktualisasikan dan mengekspansikan diri sendiri-tampak paling jelas sekali bila individu diamati dalam suatu jangka waktu yang lama. Ada suatu gerak maju pada kehidupan setiap orang; tendensi yang tak henti-hentinya inilah yang merupakan satu-satunya kekuatan yang benar-benar dapat diandalkan oleh ahli terapi untuk mengadakan perbaikan dalam diri klien.ini disebut sebagai metode terapi Client-Centered (berbasis klien).
Rogers menambahkan suatu ciri baru pada konsep pertumbuhan ketika ia mengamati bahwa tendensi gerak maju hanya dapat beroperasi bila pilihan-pilihan dipersepsikan dengan jelas dan dilambangkan dengan baik. Seseorang tidak dapat mengaktualisasikan dirinya kalau ia tidak dapat membedakan antara cara-cara tingkah laku progresif dan regresif. Tidak ada suara hati dari dalam yang akan memberitahu seseorang manakah jalan menuju aktualisasi itu, tidak ada suatu rasa keharusan organisme yang akan mendorongnya maju. Orang harus mengetahui sebelum mereka dapat memilih, tetapi bila mereka benar-benar mengetahui maka mereka selalu memilih untuk maju dan bukan untuk mundur.
“Pada dasarnya tingkah laku adalah usaha organisme yang berarah pada tujuan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan sebagaimana yang dialaminya dalam medan fenomenal(sebagaimana medan itu dipersepsikan)”. Pernyataan yang jelas-jelas menyinggung tentang adanya banyak “kebutuhan” ini tidak berlawanan dengan pengertian tentang motif(dorongan) tunggal. Meskipun ada banyak kebutuhan, namun semuanya mengarah kepada tendensi dasar organisme untuk mempertahankan dan mengembangkan diri.
Rogers tetap setia pada pendirian fenomenologisnya dengan selalu menggunakan frase “sebagaimana dialami” dan “sebagaimana dipersepsikan”. Akan tetapi dalam membicarakan proposisi ini, rogers mengakui bahwa kebutuhan-kebutuhan dapat menimbulkan tingkah laku yang tepat meskipun kebutuhan-kebutuhan itu tidak dialami secara sadar (dilambangkan dengan memadai). Sesungguhnya, Rogers (1977) telah mengurangi peranan kesadaran atau kesadaran diri bagi berfungsinya individu secara sehat. Ia menulis, “dalam pribadi yang berfungsi dengan baik, kesadaran tentu menjadi cenderung menjadi sesuatu yang refleksif, bukan suatu lampu sorot tajam dari perhatian yang terpusat. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan bahwa dalam pribadi demikian, kesadaran hanyalah merupakan refleksi tentang suatu dari aliran organisme pada saat itu. Hanya ketika fungsi terganggulah maka timbul kesadaran diri dengan jelas”.
Pada tahun 1959, Rogers mengemukakan perbedaan antara tendensi mengaktualisasikan pada organisme dan tendensi mengaktualisasikan diri.
Menyusul perkembangan struktur diri tendensi umum kearah aktualisasi ini juga muncul dalam aktualisasi sebagai bagian pengalaman organisme yang dilambangkan dalam diri. Apabila diri dan seluruh pengalaman organisme relatif sesuai, maka tendensi aktualisasi relative akan tetap padu. Apabila diri dan pengalaman tidak selaras maka yang terjadi adalah tendensi umum untuk mengaktualisasikan organisme akan berlangsung dengan tujuan yang berlawanan dengan subsistem motif tersebut, yakni tendensi untuk mengaktualisasikan diri .
Meskipun teori Rogers tentang motivasi bersifat monistik, ia telah memberi perhatian khusus pada dua kebutuhan, yakni kebutuhan akan penghargaan yang positif (the need for positive regard) dan kebutuhan akan harga diri. Keduanya adalah kebutuhan yang dapat dipelajari. Kebutuhan yang pertama terjadi pada masa bayi sebagai akibat karena bayi dicintai dan diperhatikan, dan kebutuhan yang kedua terbentuk karena bayi menerima kebutuhan ini, sebagaimana akan kita lihat pada bahsan nanti, bisa juga berselisih tujuan dengan tendensi aktualisasi dengan mendistorsikan pengalaman-pengalaman organisme.
Perkembangan Kepribadian
Meskipun organisme dan diri mempunyai tendensi inheren untuk mengaktualisasikan diri, namun sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan dan khususnya oleh lingkungan social. Tidak seperti para teoritikus klinis yang lain, (seperti Freud, Sullivan, dan Erikson, Rogers) mereka tidak memberikan jadwal waktu tahap-tahap penting yang dilalui orang dari masa bayi hingga masa dewasa. Sebaliknya ia memusatkan perhatian pada cara-cara bagaimana penilaian orang-orang terhadap individu, khususnya selama masa kanak-kanak, cenderung memisahkan pengalaman-pengalaman organisme dan pengalaman-pengalaman diri.
Apabila penilaian-penilaian ini semata-mata bernada positif, yang oleh Rogers disebut unconditional positive regard atau penghargaan positif tanpa syarat, maka tidak akan terjadi pemisahan atau ketidaksesuaian antara organisme dan diri. Rogers berkata: “Apabila individu hanya mengalami penghargaan positif tanpa syarat, maka tidak akan ada syarat-syarat penghargaan, harga diri akan menjadi tanpa syarat, kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan positif dan harga diri tidak akan berbeda dengan penilaian organismik dan individu serta akan terus berpenyesuaian baik secara psikologis dan akan berfungsi sepenuhnya”.
Tetapi karena penilaian-penilaian tingkah laku anak oleh orang tuanya dan orang-orang lain kadang-kadang positif dan kadang-kadang negatif, maka anak belajar membedakan antara perbuatan-perbuatan dan perasaan-perasaan yang berharga (disetujui) dan yang tidak berharga (tidak disetujui). Pengalaman-pengalaman tidak berharga cenderung dikeluarkan dari konsep diri, meskipun perasaan-perasaan itu secara organisme valid. Keadaan ini menghasilkan konsep-diri yang tidak selaras dengan pengalaman organismik. Anak berusaha menjadi apa yang diinginkan oleh orang-orang lain dan tidak berusaha untuk menjadi apa yang sebenarnya yang diinginkannya. Rogers berkata: “Ia menilai pengalaman secara positif atau secara negative semata-mata karena syarat-syarat penghargaan ini diambilnya dari orang-orang lain, bukan karena pengalaman itu telah mengembangkan atau gagal mengembangkan organismenya”.
Keadaan di atas terjadi dalam kasus berikut:
Seorang anak laki-laki memiliki gambaran diri sebagai anak laki-laki yang baik dan dicintai oleh orangtuanya, tetapi ia juga senang menyiksa adik perempuannya sehingga dia dihukum. Sebagai akibat dari hukuman itu ia harus meninjau kembali gambaran diri (self-image) dan nilai-nilainya dengan salah satu cara berikut:(a)”saya seorang anak yang jahat”,(b)”orang tua saya tidak menyukai saya “,(c)”saya tidak suka mengganggu adik saya”.masing-masing sikap diri (self –attitudes)ini mengandung distorsi kebenaran.Kita andaikan ia memilih bersikap “saya tidak suka mengganggu adik saya”,dengan demikian ia menyangkal perasaan-perasaannya yang sebenarnya.Dengan disangkal tidak berarti perasaan-perasaan menjadi lenyap;perasaam-perasaan akan tetap mempengaruhi tingkah lakunya dalam berbagai cara meskipun perasaan-perasaan itu tidak disadarinya .konflik akan terjadi antara nilai-nilai sadar yang diinteroyeksikan dan palsu ,dengan nilai –nilai tak sadar yang sebenarnya.Apabila makin banyak nilai-nilai yang “sebenarnya”dari seseorang digantikan dengan nilai-nilai yang diambil ataupun dipinjam dari orang-orang lain,kendati begitu dipersepsikan sebagai miliknya sendiri ,makanya diri akan menjadi sebuah rumah yang terbagi melawan dirinya sendiri.pribadi semacam itu akan merasa tegang ,merasa tidak enak dan sebagainya.ia akan merasa seolah-olah ia benar-benar tidak mengetahui siapa ia dan apa yang diinginkannya.
Selanjutnya, sedikit demi sedikit sepanjang masa kanak-kanak, konsep diri menjadi semakin menyimpang justru disebabkan penilaian orang lain. Akibatnya ,suatu pengalaman organismik yang tidak selaras dengan konsep – diri yang tak wajar ini akan dirasakan sebagai suatu ancaman dan akan menimbulkan kecemasan. Kemudian untuk melindungi kebutuhan konsep – diri ,maka pengalaman-pengalaman yang mengancam ini tidak akan dilambangkan atau diberi suatu perlambangan yang menyimpang .
Menyangkal suatu pengalaman tidak sama dengan mengabaikannya. Menyangkal berarti memalsukan realitas baik dengan mengatakannya tidak ada atau dengan mempersepsikannya secara menyimpang.orang dapat menyangkal perasaan agresifnya, sebab perasaan itu tidak konsisten dengan gambaran diri yang ia miliki sebagai cinta damai dan bersahabat. Dalam kasus demikian, perasaan-perasaan yang disangkal, mungkin diungkapkan dengan perlambangan yang menyimpang, misalnya dengan memproyeksikan perasaan-perasaan tersebut kepada orang-orang lain. Rogers menunjukkan bahwa orang-orang kerap kali mempertahankan dan mengembangkan dengan gigih gambaran diri yang sama sekali berbeda dengan kenyataan. Orang yang merasa bahwa dirinya tidak berharga akan keluar dari kesadaran evidensi yang bertentangan dengan gambaran atau akan menginterpretasilkan kembali evidensi tersebut untuk membuatnya selaras dengan perasaan tidak berharganya. Misalnya, apabila mereka dipromosikan dalam pekerjaan maka mereka akan berkata “pimpinan merasa kasihan kepada saya“ atau “saya tidak pantas menerima promosi tersebut”. Orang – orang tersebut tentu mungkin benar – benar menunjukkan prestasi buruk dalam jabatan yang baru itu untuk membuktikan kepada diri mereka dan kepada dunia bahwa mereka tidak baik.
Bagaimana orang dapat menyangkal ancaman terhadap gambaran diri tanpa terlebih dahulu menyadari ancaman itu? Rogers berkata bahwa ada tingkat-tingkat pengenalan dibawah tingkat pengetahuan sadar, dan bahwa objek yang mengancam mungkin dipersepsikan secara tak sadar atau “disubsepsikan” sebelum sungguh-sungguh dipersepsikan. Objek atau situasi yang mengancam itu, misalnya, bisa menimbulkan reaksi-reaksi viskral, seperti degupan jantung, yang dialami secara sadar sebagai perasaan –perasaan cemas,tapi penyebab rasa cemas itu tetap tidak diketahui. Perasaan-perasan cemas mengaktifkan mekanisme penyangkalan untuk mencegah pengalaman yang mengancam itu agar tidak menjadi sadar.
Keretakan antara diri dan organisme tidak hanya menimbulkan sikap defensif dan distorsi, tetapi juga mempengaruhi hubungan-hubungan seseorang dengan orang-orang lain. Orang-orang yang defensif cenderung merasa bermusuhan terhadap orang-orang lain karena menurut pandangan mereka tingkah laku orang-orang lain tersebut mencerminkan perasaan-perasaan mereka yang disangkal.
Bagaimana keretakan antara diri dan organisme, serta antara aku dan orang-orang lain dapat disembuhkan? Rogers mengemukakan tiga dalil berikut.
“Dalam kondisi-kondisi tertentu, terutama pada saat ancaman terhadap struktur diri sama sekali tidak ada,pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur diri itu mungkin diamati, dan diperiksa, dan struktur diri-nya disesuaikan untuk mengasimilasikan dan masukan pengalaman-pengalman tersebut”.
Dalam “Clien-centered therapy” orang mengemukakan dirinya berada dalam situasi yang tidak mengancam karena konselor sepenuhnya menerima apa yang di katakan klien. Sikap menerima yang hangat pada pihak konselor ini mendorong klien untuk meneliti perasaan-perasaan tak sadarnya dan membuat perasaan-perasaan itu menjadi sadar. Para klien dengan pelan-pelan meneliti perasaan-perasaan yang tidak dilambangkan yang mengancam keamanan mereka. Dalam hubungan-hubungan terapeutik yang aman, perasaan-perasaan yang selama ini mengancam, kini dapat diasimilasikan kedalam struktur diri. Asimilasi ini mungkin membutuhkan reorganisasi yang agak drastis dalam konsep-diri klien supaya sejalan dengan realitas pengalaman organismik. “Ia akan menjadi lebih bersatu dengan dirinya sendiri sebagai organisme, dan ini merupakan hakikat dari terapi”. Rogers mengakui bahwa orang-orang tertentu mungkin dapat mencapai proses ini tanpa menjalani terapi.
Keuntungan social dari menerima dan mengasimilasikan pengalaman-pengalaman yang tidak dilambangkan adalah bahwa orang makin memahami dan menerima orang-orang lain. Ide ini dikemukakan dalam dalil berikut:
“Apabila individu mempersepsikan dan menerima segala pengalaman sensorik dan viskerlanya kedalam satu sistem yang konsisten dan terintegrasi, maka ia pasti lebih memahami orang-orang lain yang lebih menerima orang-orang lain sebagai individu –individu yang berbeda”. Apabila seseorang merasa terancam oleh impuls-impuls seksual, maka ia cenderung mengritik orang-orang lain yang pada penglihatannya bertingkah laku dalam cara-cara seksual. Sebaliknya, hubungan-hubungan social akan menjadi baik dan kemungkinan timbulnya konflik sosial akan berkurang. Rogers yakin bahwa implikasi-implikasi social dari dalil ini adalah “sedemikian rupa sehingga melonggarkan imajinasi”. Hal ini malah merupakan kunci untuk menghapuskan perselisihan interpersonal.
Dalam dalilnya yang terakhir, Rogers menunjukan bagaimana pentingnya orang harus selalu meneliti nilai-nilai yang dimilikinya untuk menjaga penyesuaian diri yang sehat.
“Apabila individu mempersepsikan dan menerima lebih banyak lagi pengalaman-pengalaman organiknya ke dalam struktur dirinya, maka ia akan menemukan bahwa dirinya tengah mengganti sistem nilainya sekarang- yang sebagian besar didasarkan introyeksi-introyeksi yang dilambangkan secara menyimpang-lewat proses penilaian yang berlangsung secara terus-menerus” .
Tekanannya terletak pada dua kata yakni sistem dan proses.Sistem menunjukkan sesuatu yang tetap dan statis, sedangkan proses menujukan bahwa sesuatu tengah berlangsung. Demi penyesuaian diri yang sehat dan terintegrasi, orang selalu memeriksa pengalaman-pengalamannya untuk mengetahui apakah pengalaman-pengalaman tersebut membutuhkan perubahan dalam struktur nilai. Setiap kumpulan nilai yang tetap akan cenderung mencegah orang yang bereaksi secara efektif terhadap pengalamn-pengalaman baru. Orang harus fleksibel untuk menyesuaikan diri secara tepat terhadap kondisi-kondisi kehidupan yang baru.
Sehubungan dengan ini Rogers mengemukakan pertanyaan, apakah proses penilaian yang terus menerus terhadap pengalaman-pengalaman seseorang menurut patokan-patokan yang sama sekali pribadi sifatnya, tidak akan menimbulkan anarki sosial? Menurut keyakinan Rogers tidak. “Semua orang pada dasarnya memiliki kebutuhan-kebutuhan yang sama, termasuk kebutuhan supaya diterima oleh orang-orang lain. Maka dari itu, nilai-nilai mereka akan memiliki ‘banyak kesamaan’ “.
Mengakhiri uraian tentang ciri-ciri pokok teori Rogers ini, pembaca mungkin heran mengapa teori tersebut dinamakan “person centered” atau “berpusat pada pribadi”, jawabannya sangat sederhana. Dalam individu yang berfungsi sebagai sang pribadi adalah juga sang organisme. Dengan kata lain, sama sekali tidak ada perbedaan antara kedua istilah tersebut. Istilah pribadi lebih disukai karena istilah itu lebih bermakna psikologis. Pribadi adalah organisme yang mengalami. Pribadi dan diri adalah juga sama apabila diri benar-benar kongruen dengan organisme. Semuanya ini dapat disimpulkan: organisme sebagai suatu sistem yang hidup, bertumbuh dan bersifat holistic merupakan realitas psikologis dasar. Setiap bentuk penyimpangan dari realitas dasar ini akan mengancam integritas pribadi yang bersangkutan.
thnks
thank,s