A. PENDAHULUAN
Rokok merupakan sesuatu yang membahayakan bagi orang yang merokok, namun perilaku merokok tidak pernah surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih dapat di tolerir oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari kita baik itu di jalan, mobil, kantor, bahkan di sekolah. Hal yang sangat memprihatinkan adalah usia mulai merokok yang semakin hari semakin muda. Dan kebanyakan dimulai dari masa kanak-kanak dan remaja.
Remaja adalah suatu masa di mana ”pemiliknya” adalah orang-orang yang sangat besar keinginannya untuk trial and error. Segala sesuatu ingin dijajal sekaligus sebagai media untuk ”memperkenalkan” diri kepada lingkungan sekitar bahwa ia sudah bukan anak kecil lagi. Menurut Freud (dalam Hall dan Lindzey, 1993) prinsip trial and error merupakan hal yang di kembangkan oleh seseorang atau individu dalam proses mengidentifikasikan dirinya dengan model yang diinginkan. Telah dipahami bersama bahwa perilaku remaja seringkali tidak lepas dari peran model atau figur yang dianggap representatif untuk ditiru. Itu sebabnya juga mengapa remaja seringkali dianggap sebagai golongan yang masih labil dalam pengelolaan emosinya, karena mereka cenderung belum memiliki pegangan yang kuat untuk mengantisipasi setiap pengaruh yang ditimbulkan oleh lingkungan pergaulannya, sehingga mereka cenderung lebih sering meniru perilaku orang lain dalam menghadapi suatu situasi.
Pada awal-awal tahun 1960-an industri periklanan telah mencitrakan perilaku merokok sebagai simbol keberanian, ketampanan, maskulinitas, jiwa muda, dan intelektual (Grinder, 1978). Perilaku merokok telah merasuki sendi-sendi kehidupan remaja melalui perantara model-model orang dewasa. Remaja melihat orang tua mereka merokok. Remaja melihat guru-gurunya mempertontonkan cara mereka merokok, begitupun remaja menyaksikan tokoh-tokoh hero yang mereka idolakan dalam suatu film merokok dengan cara yang impresif, terutama pada saat sang hero sedang menghadapi kondisi-kondisi yang menegangkan. Pada kesempatan yang lain, remaja menyaksikan orang dewasa yang menjadikan perilaku merokok sebagai suatu media untuk mereduksi ketegangan yang dirasakannya. Dari situ remaja mulai mencoba mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh yang di idolakannya dalam menghadapi situasi yang menegangkan dengan mencontoh perilakunya, yaitu merokok. Remaja benar-benar tergoda untuk meniru perilaku sang model, tanpa mempedulikan ekses negatif yang ditimbulkan oleh kebiasaan merokok. Figur orang tua sebagai model bagi anak-anaknya akan membawa pengaruh besar bagi perilaku merokok remaja (Grinder, 1978). Hingga suatu bukti penelitian yang meyakinkan mengindikasikan bahwa secara definitif perokok berat sering diasosiasikan dengan kanker paru-paru (lung cancer), radang tenggorokan yang kronis (chronic bronchitis), pembengkakan pada paru-paru (emphysema), dan ganguan jantung koroner (coronary heart disease).
Perilaku merokok biasanya sudah dimulai sejak masa kanak-kanak dan masa remaja. Remaja yang merokok mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 1970-an, tapi kemudian mengalami penurunan di era tahun 1980-an. Meski demikian, jumlah remaja yang merokok hanya menurun sebanyak 1,6 persen sejak tahun 1981. Hasil penelitian lain membuktikan bahwa jumlah remaja yang mulai merokok meningkat tajam setelah usia 10 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 13 dan 14 tahun (Escobedo, 1993, dalam Santrock, 2003). Siswa yang mulai merokok pada usia 12 tahun atau lebih muda memiliki kecenderungan untuk menjadi perokok berat dan teratur, dibandingkan dengan mereka yang mulai merokok pada usia yang lebih tua.
Beberapa hasil penelitian kiranya cukup menjadi bukti bahwa perilaku merokok tidak lagi menjadi hanya kebiasaan orang dewasa, tapi sejak kanak-kanak sampai remaja kebiasaan merokok tampaknya telah menjadi hal yang biasa.
– Mengapa Remaja Merokok?
Merokok memang merupakan suatu perilaku yang unik jika dicermati lebih jauh. Mengapa? Karena manusialah satu-satunya hewan berakal di dunia–yang ironisnya–memilih untuk menghirup asap dari alang-alang yang terbakar masuk ke dalam tubuhnya untuk kemudian dihembuskan kembali keluar (Armstrong, 1995). Di samping itu karena secara konseptual Freud (dalam Osborne, 2000) mengutarakan bahwa individu (dalam salah satu fase perkembangannya, yaitu oral) mendapatkan kesenangan oral yang merupakan bagian dari kesenangan pencecap rasa, di antaranya dengan merokok dan minum.
Untuk memahami mengapa seorang remaja merokok, maka dapat ditinjau melalui beberapa aspek, yaitu; (1) merokok sebagai “penopang” dalam bermasyarakat (Armstrong, 1995), (2) merokok sebagai tanda kejantanan (dalam Bye…Bye…Smoke, 2002), (3) merokok sebagai lambang kematangan (Hurlock, 1980), (4) merokok sebagai bentuk konformitas kelompok (MÖnks, dkk, 2001), (5) memuaskan rasa ingin tahu (dalam Grinder, 1978)), dan (6) beberapa penelitian yang mengungkap penyebab remaja merokok (dalam Fuhrmann, 1990).
B. PEMBAHASAN
B.1. Tinjauan terhadap perilaku merokok pada remaja
B.1.1. Merokok Sebagai “Penopang” dalam Bermasyarakat
Menurut Armstrong (1995), perokok remaja model ini adalah remaja yang memiliki mental pemalu. Orang yang pemalu cenderung untuk melakukan tindakan-tindakan atau perilaku yang bersifat kompensatoris untuk menutupi perasaan malunya. Salah satu bentuk perilaku kompensatoris tersebut adalah perilaku merokok. Mereka menjadikan perilaku merokok sebagai kompensasi dari perasaan malunya dihadapan masyarakat. Kendatipun hal ini secara umum, bukanlah alasan utama mengapa mereka merokok.
B.1.2. Merokok Sebagai Tanda Kejantanan
Bagi sebagian remaja, rokok atau perilaku merokok sinonim dengan terminologi gentleman. Pada awal abad ke-20, sebagai konsekuensi dari berkembang pesatnya teknologi informasi maupun media, rokok ditampilkan makin sering dan luas ke masyarakat sebagai simbolisasi kejantanan (dalam Bye…Bye…Smoke, 2002). Cobalah perhatikan bagaimana derasnya produsen rokok membombardir masyarakat dengan iklan-iklan yang mengilustrasikan kenikmatan dan keuntungan psikologis apa–meski mungkin keuntungan semu–yang didapatkan jika menghisap rokok tertentu. Para produsen rokok tersebut seolah berlomba menjejali sekaligus menancapkan kuku mereka ke ranah kognitif penonton–yang pada umumnya adalah kaum remaja–agar terpengaruh untuk kemudian bersedia menjadi konsumen produk mereka yang mengusung simbol-simbol kejantanan. Salah satu contoh produsen rokok yang sangat mengedepankan tema kejantanan adalah produsen rokok Marlboro. Simbol kejantanan yang melekat pada rokok Marlboro terepresentasi oleh sosok seorang cowboy yang menunggang kuda sambil berlarian di tengah-tengah gurun menggiring ternaknya pulang ke kandang.
Secara sosial, lingkungan pergaulan remaja dianggap turut memberi andil dalam munculnya perilaku merokok remaja. Adanya sebutan “banci” bagi anak muda yang tidak merokok seringkali menjadi pemicu bagi anak muda yang tadinya tidak merokok menjadi perokok, hanya karena tidak mau disebut sebagai banci. Dalam suatu kesempatan, da’i kondang Aa. Gym pernah berkisah kalau dirinya juga pernah disebut banci oleh teman-teman sepergaulannya di masa muda dulu gara-gara tidak merokok.
B.1.3. Merokok Sebagai Lambang Kematangan/Kedewasaan
Berkembang atau hampir menjadi dewasa, bagi remaja Amerika merupakan sesuatu yang sangat bermakna. Oleh karena itu mereka berusaha untuk sedapat mungkin dapat terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang merupakan tipikal orang dewasa. Kegiatan-kegiatan tersebut diistilahkan sebagai kenikmatan-kenikmatan tabu, yaitu bentuk-bentuk rekreasi yang dianggap sebagai simbolik orang dewasa. Orang tua, maupun guru-guru sangat gencar memberikan larangan bagi mereka untuk ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut karena dianggap masih “terlalu muda” – dalam kultur Indonesia sering disebut masih “bau kencur” – untuk melakukannya.
Kenikmatan tabu yang paling umum dilakukan oleh remaja Amerika – dewasa ini bahkan telah menjadi fenomena yang umum dikalangan remaja hampir di seluruh dunia – untuk melambangkan status sebagai orang yang hampir matang secara sosial atau dewasa adalah hubungan seks pra-nikah, merokok, minum minuman keras, dan penyalahgunaan berbagai macam obat-obatan, seperti heroin, kokain, morfin, ekstasi, mariyuana, dan obat-obatan sejenisnya. Jika mereka ditanyai mengapa mereka melakukan kegiatan-kegiatan seperti itu, maka secara spontan mereka akan menjawab, “Everybody does it” (Jersild dkk., dalam Mappiare, tahun).
Perilaku merokok seringkali dimulai di sekolah menengah pertama (Hurlock, 1980), bahkan sebelumnya. Pada saat seorang anak duduk di bangku sekolah menengah atas, merokok seringkali menjadi bagian dari kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh si anak, di antara mereka tak jarang ada yang melakukannya di area-area terlarang, seperti di halaman sekolah, di kantin, di toilet, bahkan ada yang berani melakukannya di dalam kelas ketika jam istirahat. Remaja merasa harus banyak-banyak melakukan penyesuaian diri jika tidak ingin lagi dianggap sebagai anak kecil.
B.1.4. Merokok Sebagai Bentuk Konformitas Kelompok
Dalam berbagai paparan tentang perkembangan remaja, maka hampir pasti akan ditemui konsep mengenai identitas diri. Salah satu aspek yang tercakup dalam proses perkembangan remaja adalah pencarian remaja akan identitas dirinya. Pertanyaan yang kemudian sering muncul adalah “Who am I ?“. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terkadang remaja akhirnya meleburkan diri ke dalam kelompok-kelompok tertentu.
Dalam kelompok dengan kohesivitas yang kuat akan mengembangkan suatu iklim kelompok dan norma-norma kelompok. Ewert (dalam Monks dkk., 2001) menyebutnya sebagai pemberian norma tingkah laku oleh kelompok teman (peers). Pada kenyataannya terkadang kelompok memberlakukan semacam perilaku-perilaku yang bersifat “kolektif”, artinya bahwa perilaku tersebut dianut oleh semua anggota kelompok, sehingga tidak jarang jika ada anggota kelompok yang tidak mau mengikuti “ritual” tersebut maka konsekuensinya mereka harus keluar dari kelompok tersebut. Tuntutan untuk bertindak kolektif secara jelas memang memberangus hak individualitas seorang remaja dan mengesampingkan emansipasi. Pada dataran kolektivitas sedemikianlah yang akhirnya oleh sebagian kelompok remaja diklaim sebagai bentuk konformitas terhadap kelompok. Padahal sementara orang menganggap bahwa konformisme terhadap kelompok bersifat positif yang dapat membantu si remaja untuk menemukan identitas dirinya (Riesman, 1950; De Hass, 1978; Fialam Monks, 2001).
Konformitas kelompok ada hubungannya dengan kontrol eksternal yang dimiliki oleh seorang remaja. Bagi remaja yang memiliki kontrol eksternal yang intens akan lebih peka terhadap pengaruh kelompok. Jika dikaitkan dengan perilaku merokok remaja, maka dapat dipahami bahwa jika seorang remaja memiliki kontrol eksternal yang tinggi maka kecenderungannya untuk ikut-ikutan menjadi perokok seperti anggota kelompok lainnya akan semakin besar (jika kelompok yang dimasukinya memang beriklim perokok).
B.1.5. Memuaskan Rasa Ingin Tahu (Cur iosity)
Ketika seorang remaja ditanya mengapa mereka merokok, maka salah satu jawaban yang paling sering muncul adalah, saya ingin tahu. Pertanyaan yang akan muncul dari pihak remaja adalah, bagaimana sih rasanya ?. Karena melihat orang tua, kakak laki-laki, teman, atau publik figur merokok, mereka jadi tertantang ingin tahu seberapa nikmatnya merokok itu. Mereka merasa ingin berbagi kesenangan dengan figur-figur di atas melalui media rokok, untuk kemudian memutuskan apakah akan diteruskan atau tidak. Para remaja terkadang mengambil keputusan untuk merokok secara berkelanjutan dengan mengatakan bahwa mereka senang dengan aroma maupun rasa yang ditimbulkan oleh rokok itu. Bagi mereka, hal itu merupakan pengalaman yang menyenangkan, santai, bahkan mereka bisa saja merasa lebih senang merokok daripada makan.
B.1.6. Beberapa Penelitian Tentang Penyebab Remaja Merokok
Urberg (dalam Fuhrmann, 1990) mengungkapkan temuannya dalam suatu studi yang dilakukannya terhadap 155 orang remaja kelas menengah bahwa alasan remaja laki-laki yang merokok adalah sebagai bentuk koping sosial (social copyng) di saat rermaja perempuan merokok sebagai suatu bentuk pemberontakan dan otonomi mereka. Chassin (dalam Fuhrmann, 1990) dalam studinya yang melibatkan 175 orang subyek remaja juga menjumpai bahwa perilaku merokok berkaitan dengan konsep diri (self concept) si remaja. Dalam studinya tersebut subyek disuruh untuk menilai diri mereka sendiri, kencan ideal mereka, dan persepsi mereka terhadap para perokok. Hasilnya didapati bahwa remaja yang konsep dirinya dan konsep mereka tentang kencan yang ideal sesuai dengan persepsi mereka terhadap perokok akan menjadi penentu apakah ia akan mulai merokok atau tidak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut Chassin menyimpulkan bahwa perilaku merokok merupakan perilaku yang diadopsi karena ia sesuai dengan persepsi diri untuk menjadi kuat, orientasi kelompok, dan lambang ketidakpatuhan.
Menurut Castro (dalam Fuhrmann, 1990), perilaku merokok merupakan hasil dari kuatnya pengaruh kelompok (peers), konformitas sosial, sikap keluarga, stres, dan kemampuan koping yang tidak mumpuni dalam berinteraksi dengan kemungkinan meningkatnya keinginan untuk menjadi perokok. Nuryoto (2004) juga mengungkapkan bahwa peers memberi pengaruh pada seorang remaja dalam pembentukan perilakunya.
Apakah ada penyebab tertentu yang menyebabkan seorang renaja akhirnyu menjadi perokok? Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok remaja itu lebih banyak disumbang oleh faktor lingkungan dalam arti tumbuh atau berawal dari proses pembelajaran. Oleh karena penulis belum pernah menemukan (dalam referensi) yang menjelaskan apakah ada penyebab khusus atau tertentu yang secara direktif menjadi penyebab remaja merokok, maka penulis mencoba memberi respon pada pertanyaan tersebut dengan menggunakan pendekatan behaviorisme Bandura.
Bandura (dalam Boeree, 2004) memandang kepribadian sebagai hasil interaksi dari tiga hal, yaitu: lingkungan, perilaku, dan proses psikologi seseorang. Berdasarkan interaksi dari ketiga hal tersebut memungkinkan Bandura untuk merilis teori yang lebih efektif tentang dua hal yang menurut berbagai kalangan selama ini banyak mempengaruhi perilaku manusia, yaitu: pembelajaran observasional (modelling) dan regulasi diri.
Dalam konsep pembelajaran observasional (modelling) atau yang biasa dikenal juga dengan istilah teori pembelajaran sosial, Bandura menetapkan beberapa tahapan terjadinya proses modeling, yaitu:
- Atensi (perhatian). Jika seseorang ingin mempelajari sekaligus memahami suatu fenomena, maka ia harus memperhatikannya secara seksama. Pada tahapan ini, seorang remaja akan memperhatikan model yang sedang merokok secara seksama, bagaimana si model melakukan perilaku merokok, apa yang menarik dari perilaku merokok, bahkan rokok apa yang sedang dihisap oleh si model.
- Retensi (ingatan). Individu harus mampu mempertahankan–mengingat – apa yang telah diperhatikannya. Pada tahapan ini, seorang remaja yang telah memperhatikan perilaku merokok seorang model, akan berusaha untuk mengingat setiap detil dari perilaku merokok sang model. Bagaimana cara si model menghisap rokoknya, bagaimana asap itu disemburkan keluar, atau bahkan mungkin melalui apa saja asap rokok itu bisa keluar.
- Reproduksi. Pada tahapan ini, seorang remaja hanya perlu duduk sambil berkhayal. Si remaja harus menerjemahkan citra atau deskripsi tadi ke dalam perilaku aktual. Tentu saja seorang remaja harus mampu untuk mereproduksi perilaku serupa dengan model yang ditirunya. Artinya, si remaja harus bisa merokok dulu, paling tidak ia harus mencoba dulu. Karena kedua proses sebelumnya (atensi dan retensi) tidak akan berdampak apa-apa jika si remaja bahkan enggan untuk menyentuh rokok. Aspek lain yang harus diperhatikan juga dalam proses reproduksi perilaku ini adalah kemampuan si remaja untuk meniru improvisasi-improvisasi ketika suatu perilaku dipraktikkan oleh model. Misalnya bagaimana cara sang model menghisap setiap inci rokoknya, bagaimana sang model menghembuskan kembali asap rokoknya melalui celah di antara dua bibirnya, bahkan mungkin bagaimana lekukan bibir sang model ketika menghembuskan asap rokoknya. Tapi yang paling penting sebenarnya dalam tahapan ini adalah bagaimana si remaja mampu berimprovisasi sendiri sembari membayangkan bahwa dirinya adalah pelaku sebenarnya.
- Motivasi. Seorang remaja tidak akan menjadi perokok (meski telah banyak model yang dilihatnya) jika tidak ada dorongan atau motivasi dari dalam untuk menjadi perokok. Bandura (dalam Boeree, 2004) menyebutkan beberapa jenis motivasi, yaitu:
- Dorongan masa lalu, yaitu dorongan-dorongan sebagaimana yang dimaksud kaum behavioris tradisional.
- Dorongan yang dijanjikan (insentif), yang bisa dibayangkan. Keuntungan apa yang bisa didapatkan dari perilaku merokok.
- Dorongan-dorongan yang kentara, seperti melihat atau teringat akan model-model yang patut ditiru.
Dalam konsep regulasi diri (kemampuan untuk mengontrol perilaku sendiri), Bandura menawarkan tiga tahapan yang terjadi dalam proses regulasi diri, yaitu:
- Pengamatan diri. Remaja melihat diri dan perilakunya sendiri, serta terus mengawasinya.
- Penilaian. Pada tahapan ini si remaja membandingkan apa yang dilihatnya pada diri dan perilakunya dengan standar atau ukuran yang ada. Contohnya, si remaja membandingkan perilaku merokoknya dengan standar atau ukuran tentang (misalnya) berapa banyak rokok yang dihabiskan oleh perokok perhari dalam skala umum. Atau si remaja bisa saja menetapkan standar sendiri tentang perilaku merokoknya.
- Respon-diri. Ketika si remaja telah membandingkan diri dan perilakunya (dalam hal ini perilaku merokok) dengan standar tertentu, maka si remaja dapat memberi imbalan respon-diri bagi dirinya sendiri. Sebaliknya, jika si remaja menganggap bahwa perilakunya tidak sesuai dengan standar tertentu, maka si remaja akan mengganjar diriaya sendiri juga dengan respon-diri. Bentuk respon-diri ini bisa bermacam-macam, mulai dari yang sangat jelas (misalnya dengan berusaha keras agar ia mampu menjadi perokok sejati, dan bukan amatiran) sampai kepada bentuk yang lepih implisit (seperti perasaan bangga atau malu).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa perilaku merokok sesungguhnyalah lebih banyak dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang didapatkan si remaja dari lingkunpnnya (setidaknya menurut pandangan teori Bandura ini). Secara empirik juga banyak ditemukan remaja yang menjadi perokok karena di lingkungan keluarganya banyak yang merokok.
B.2. Emansipasi Dalam Perilaku Merokok
Dalam berbagai ranah kehidupan, laki-laki sering tampil sebagai pihak yang dominan. Baik dalam pekerjaan, olah raga, maupun dalam aktivitas-aktivitas sosial lainnya. Berbagai macam potensi memang dimiliki oleh kaum laki-laki untuk mengungguli kaum perempuan. Tapi diskusi ini tidak akan membedah terlalu jauh kesenjangan ataupun bias-bias yang terjadi di antara keduanya. Sesuai dengan temanya sub ini hanya akan meneropong sejauh mana keterlibatan kaum perempuan terutama remaja dalam perilaku merokok. Sebab jika merujuk pada realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, perilaku merokok bukan lagi monopoli kaum laki-laki. Perempuan ternyata telah mengambil bagian di dalamnya. Meski untuk itu berbagai konsekuensi dan implikasi pun bermunculan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah dalam perilaku merokok kaum perempuan juga menuntut atau setidak-tidaknya menginginkan adanya kesetaraan atau, emansipasi sebagaimana yang mereka dengung-dengungkan pada wilayah-wilayah publik yang lain? Mengapa dalam wilayah tertentu, perempuan yang merokok acapkali mendapat stigma negatif dari masyarakat, sementara wilayah yang lain tidak?
Hasil penelitian Urberg (dalam Fuhrrnann, 1990) menyimpulkan bahwa remaja wanita yang merokok lebih diartikan sebagai isyarat atau simbol pemberontakan dan ekspresi otonomi mereka atas diri mereka sendiri. Newman (dalam Grinder, 1978) juga menjelaskan adanya perbedaan standar kelompok antara kedua jenis kelamin ini dalam hal status dan perilaku merokok. Hasil investigasi Newman pada remaja laki-laki dan perempuan pada sebuah sekolah menengah atas di kota menunjukkan bahwa remaja perempuan yang merokok – secara terbuka ataupun sembunyi-sembunyi – adalah remaja yang tidak menonjol secara akademik di mata kelompoknya, sementara remaja laki-laki yang merokok secara terang-terangan hanya memiliki status yang tidak terlalu kuat di tengah-tengah kelompoknya dan ia seringkali dikarakterisasi sebagai anak nakal. Horn dkk (dalam Grinder, 1978) memberi alasan bahwa remaja laki-laki yang merokok merupakan hasil tiruan (imitasi) dari kebiasaan yang dilakukan oleh bapaknya, di mana remaja perempuan juga mengikuti kebiasaan ibunya untuk merokok. Pendek kata, keluarga berperan besar dalam perilaku merokok si remaja.
Secara global, laki-laki memang lebih mendominasi dibandingkan perempuan dalam hal prosentase perokok. Tetapi jangan heran jika ada daerah atau wilayah tertentu di mana prosentase perokok perempuannya lebih banyak dibandingkan laki-laki. Inggris, adalah salah satu contoh negara di mana hampir seperempat perempuannya merokok, sementara jumlah lelaki yang merokok hanya di bawah sepertiga. Sekitar 25 persen perempuan yang merokok di negara lnggris merupakan remaja berusia 15 tahun, sementara remaja pria hanya 19 persen. Meskipun secara kuantitas laki-laki masih lebih unggul daripada perempuan dalam konsumsi rokok per harinya. Laki-laki mengkonsumsi 19 batang rokok per hari, sedangkan perempuan 14 batang (dalam Bye…Bye…Smoke, 2002). Prosentase perokok sebagai perpandingan antara perokok pria dan perokok wanita di dunia yang berusia 15 tahun ke atas pada tahun 1990-an dapat diperhatikan pada bagan di bawah ini:
Negara |
Pria (%) |
Wanita (%) |
Maju |
42 |
24 |
Berkembang |
48 |
7 |
Total Dunia |
47 |
12 |
Sumber: Bye .. Bye… Smoke. 2002
Begitu banyak alasan yang menjelaskan tentang mengapa perempuan merokok. Secara filosofis perilaku merokok pada perempuan seringkali dihubungkan dengan emansipasi. Merokok bagi kaum perempuan pada gilirannya kemudian menjadi semacam pencapaian kebebasan. Hal ini terutama jika menilik tingginya prosentase perempuan perokok di Barat. Dalam konteks Indonesia, penelitian tentang prevalensi (penyebaran) rokok di kalangan kaum perempuan didasarkan pada hasil survei nasional pada tahun 1995 yang menunjukkan bahwa 2,6 persen perempuan usia 20 tahun ke atas adalah perokok. Survei yang dilakukan pada dataran lokal menunjukkan prosentase yang lebih variatif, yaitu 4 persen anak sekolah dan 2,9 persen mahasiswi merokok. Di Jakarta sebagai ibukota negara, sekitar 6,4 persen, diperkirakan merokok. Secara kultural, kebiasaan merokok yang dilakukan oleh perempuan Indonesia sering dianggap sebagai perilaku yang buruk. Namun seiring dengan pergeseran nilai dan derasnya budaya global yang mengintervensi struktur kemasyarakatan di Indonesia, maka stigma negatif tersebut pun perlahan-lahan pudar.
Alasan lain yang mendasari timbulnya perilaku merokok pada kaum perempuan, adalah stres. Bagi kaum urban, istilah stres mungkin telah lama mereka akrabi, dan berbagai macam cara telah mereka lakukan untuk sekedar meredakan stres yang mereka rasakan, termasuk dengan merokok. Alasan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kaum pria. Sebuah laporan hasil survei yang dilakukan oleh lembaga ASH (Action on Smoking and Health) dari Inggris mengungkapkan bahwa secara emosional wanita merasa lebih tergantung terhadap rokok dibandingkan dengan pria. Lebih dari 60 persen mengatakan tidak dapat hidup seharian tanpa merokok. Survei yang sama juga menyebutkan bahwa 48 persen merasa harus merokok jika menghadapi stres.
Ada satu alasan lain lagi yang nampaknya cukup signifikan yang melatarbelakangi perilaku merokok pada perempuan, yaitu untuk menurunkan berat badan. Hal ini berkaitan dengan citra diri terutama pada kaum perempuan urban. Citra diri (Self Image) bagi kalangan ini benar-benar menjadi isu sentral sekaligus menjadi faktor determinan apakah mereka dapat diterima secara layak di lingkungan mereka atau tidak. Anggapan ini lebih sering muncul di kalangan wanita-wanita high class yang memiliki akses ke ruang publik sangat luas, sehingga penampilan menarik bagi mereka adalah sebuah harga mati. Penampilan dalam hal ini secara eksplisit dikaitkan dengan stabil tidaknya berat badan. Sebuah survei telah membuktikan bahwa para wanita menjadi sulit untuk meninggalkan kebiasaan merokok karena khawatir akan mengalami peningkatan berat badan.
Kekhawatirar-kekhawatiran seperti inilah yang dijadikan peluang bagi produsen rokok bekerja sama dengan “tukang bikin” iklan untuk mengkampanyekan produk rokok mereka kepada segmen pasar wanita. Dokumen-dokumen dari pihak industri menunjukkan bahwa aksentuasi pada citra diri dan gaya hidup merupakan senjata paling ampuh untuk meraih pembeli dari kalangan ini. Reader’s Digest (dalam Bye…Bye… Smoke, 2002) membuat laporan dalam sebuah artikel berjudul “The Merchants of Death” edisi Februari 2002 bahwa jumlah perokok di antara gadis-gadis muda di wilayah Asia mengalami peningkatan dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir. Apapun dan bagaimanapun alasannya, kaum perempuan juga tidak ingin ketinggalan dari kaum laki-laki dalam hal merokok.
Lalu apakah dengan merokok, berat badan seorang wanita dapat stabil? Menurut penulis, hal ini juga lebih bersifat jugestif. Lagi-lagi karena penulis belum pernah menemukan sebuah hasil penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh positif (dalam arti menjaga stabilitas) terhadap berat badan wanita. Selama ini kebanyakan dokumentasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan rokok biasanya lebih pada bahaya yang ditimbulkan oleh rokok. Sejauh ini kiat yang umum dilakukan oleh wanita dalam kaitannya dengan menjaga stabilitas berat badan mereka adalah dengan melakukan diet atau menjaga pola mahan. Hal ini jauh lebih sehat jika dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai dengan anjuran dokter atau yang berkompeten dalam masalah tersebut.
B.3. Konsekuensi Fisik dan Psikologis dari Perilaku Merokok
Lazimnya setiap kebiasaan yang sering dilakukan akan membawa konsekuensi logis bagi setiap individu yang terlibat di dalamnya, maka demikian halnya dengan perilaku atau kebiasaan merokok. Merokok akan berdampak baik secara fisik maupun psikologis bagi siapapun yang mengkonsumsinya. Tidak pandang strata usia atau strata sosial, jenis kelamin, atau strata apapun semuanya akan menuai akibat dari penggunaannya.
Dampak buruk terhadap fisik dari kebiasaan merokok telah didokumentasikan secara baik. Satu dari tiga kematian manusia yang berusia antara 35 sampai 60 tahun merupakan kontribusi dari kebiasaan merokok. Kematian yang diakibatkan oleh kanker paru-paru setara dengan jumlah kematian yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas, jumlahnya mengalami lonjakan dari sekitar 3 kematian per 100.000 jiwa pada tahun 1930 menjadi 30 kematian per 100.000 jiwa pada tahun 1960 (Grinder, 1978). Begitupula dengan kematian yang diakibatkan oleh gangguan jantung koroner angkanya mendekati 70 persen lebih pada orang-orang yang merokok, dan sekitar 200 persen lebih pada orang-orang dengan riwayat tekanan darah tinggi dan kolesterol tinggi.
Kenyataan lain menunjukkan bahwa ada korelasi yang tinggi antara kebiasaan merokok dengan penyakit bisul/borok (gastric ulcers), radang paru-paru (pneumonia), kanker kandung kemih (bladder cancer), gangguan pada fungsi hati, dan kanker pada jaringan-jaringan yang lain seperti mulut, lidah, bibir, pangkal tenggorokan (larynx), hulu tenggorokan (pharynx), dan kerongkongan (esophagus). Dalam kaitannya dengan gangguan pernafasan, kebiasaan merokok juga telah ditunjukkan hubungannya dengan batuk (coughing), nafas pendek, kehilangan nafsu makan (loss of appetite), dan menurunnya berat badan (Grinder, 1978).
Meskipun gangguan-gangguan di atas secara tipikal lebih banyak diidap oleh orang-orang dewasa, namun Peter dan Ferris (dalam Grinder, 1978) menemukan bukti di tengah-tengah mahasiswa tingkat pertama. Penelitiannya membuktikan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara gangguan pernafasan dengan berapa lama si mahasiswa merokok dan berapa bungkus yang dihabiskan dalam sehari. Mahasiswa yang merokok lebih banyak menderita penyakit batuk, berdahak (phlegm), susah bernafas, suara serak (wheezing), dan gangguan pada bagian dada.
Pada tahun 1989, kepala jawatan kesehatan dan dewan penasihatnya (dalam Santrock, 2003) mengeluarkan laporan yang mengemukakan bahwa pada tahun 1985, merokok menjadi penyebab seperlima kematian di seluruh Amerika Serikat, atau sekitar 20 persen lebih banyak dari yang diperkirakan sebelumnya. Tiga puluh persen kematian akibat kanker disebabkan karena kebiasaan merokok, demikian pula halnya 21 persen kematian akibat penyakit jantung, dan 82 persen akibat sakit paru-paru kronis.
Beberapa konsekuensi psikologis yang ditimbulkan oleh perilaku merokok sesungguhnya tidak begitu jelas dan agak sulit untuk diidentifikasi dibandingkan dengan dampak-dampak fisik, karena ia tak kasat mata. Namun secara sederhana dan tampaknya menjadi gejala umum dikalangan perokok dapat disebutkan disini bahwa salah satu konsekuensi negatif dari kebiasaan merokok adalah terbiasa (habituation). Terbiasa yang dimaksud adalah suatu kondisi yang dihasilkan dari penggunaan obat-obatan (dalam hal ini rokok) secara berulang-ulang yang akhirnya ditunggangi oleh hasrat atau keinginan untuk secara rutin menggunakannya (dalam Grinder, 1978). Lalu mengapa tidak menggunakan istilah kecanduan?
Bernstein (dalam Grinder, 1978) memandang bahwa perilaku merokok lebih tampak sebagai kebiasaan (habituating) daripada kecanduan (addicting). Alasannya bahwa seorang perokok berat sekalipun tidak akan menggunakan zat nikotin yang terkandung di dalam rokok secara berlebihan, sementara orang yang menggunakan obat-obatan atau narkoba cenderung untuk meningkatkan jumlah pemakaiannya dari waktu ke waktu tergantung seberapa jauh dia sudah tergantung. Walau bagaimanapun, menurut Bernstein kebiasaan merokok merupakan hasil dari sistem fisiologis yang sangat kompleks, sosial, dan stimulus lingkungan yang lain, dan pada individu tertentu kombinasi dari beberapa faktor di atas mungkin saja terjadi.
Sepanjang masa penggunaannya, merokok ternyata – bagi beberapa orang – memiliki dampak positif di samping dampak negatifnya (meski mungkin lebih bersifat sugestif). Dampak positif tersebut secara umum lebih berorientasi psikologis, misalnya dengan merokok seseorang dapat membuat situasi yang sedang dihadapinya menjadi lebih santai atau menyenangkan. Merokok juga dapat membantu mengurangi perasaan negatif, seperti mengatasi rasa takut, rasa malu, atau pada saat sedang muak akan sesuatu. Tapi yang perlu diingat bahwa ketika seseorang telah terbiasa menjadi perokok, maka dia akan merokok tanpa perlu dipengaruhi oleh apapun sebelumnya. Seorang perokok “sejati” tidak memerlukan efek apapun untuk mempengaruhi kualitas dan kuantitas merokoknya.
Apakah sebatang rokok dapat membawa dampak secara psikologis bagi seorang perokok? Pada paragraf scbelumnya telah dijelaskan bahwa bagi sementara orang yang perokok ada yang beranggapan bahwa mereka merasa lebih rileks dalam menghadapi suatu situasi jika merokok, lebih nyaman, dan lebih bisa menguasai keadaan. Namun sejauh ini penulis belum pernah menjumpai bukti-bukti ilmiah yang mengungkapkan bahwa rokok dapat membawa dampak psikologis bagi perokok. Penulis juga beberapa kali pernah menjumpai remaja yang perokok, mereka mengaku bahwa mereka lebih bisa konsentrasi justru ketika mereka menghisap sebatang rokok. Mereka merasa lebih santai dan tetap bisa enjoy meski sedang berada dalam situasi yang kurang menguntungkan.
Remaja yang dalam pergaulannya terutama dalam kelompoknya, banyak melibatkan sisi emosional mereka serta sangat menjunjung tinggi kesetiakawanan (konformitas) biasanya akan sangat peka terhadap perubahan yang terjadi pada diri anggota kelompoknya. Terutama jika secara radikal seorang anggota kelompok memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam “ritual” yang selama ini menjadi kebiasaan di dalam kelompok mereka. Ada dua kemungkinan terbesar (sebagai reaksi dari kelompok) yang akan ditanggung oleh si remaja yang “membelot” tadi sebagai konsekuensi dari aksinya, yaitu tetap diterima sebagai anggota kelompok (meski mungkin dengan syarat-syarat tertentu yang ditetapkan bersama anggota yang lain) atau “dipecat” (dikucilkan) dari keanggotaannya sebagai bagian dari kelompok tersebut. Penjelasan yang diberikan oleh si remaja kepada anggota kelompok yang lain-tentang mengapa dirinya memutuskan untuk berhenti merokok – barangkali akan menentukan seperti apa keputusan kelompok yang akan diterimanya. Tapi bagi remaja yang memang telah memiliki sikap asertif serta prinsip hidup yang kuat biasanya tidak akan terpengaruh oleh keputusan apapun yang akan diberikan oleh kelompoknya sebagai sanksi moral (setidaknya menurut ukuran kelompok mereka) atas keputusan pribadi yang diambilnya. Orang yang konsisten terhadap prinsip atau nilai yang dianutnya, biasanya lebih memilih untuk hengkang dari komunitas di mana selama ini dia tergabung jika dianggapnya nilai-nilai yang dianut oleh kelompoknya telah berseberangan dengan nilai yang dipegangnya, apalagi jika tidak ada kompromi antar masing-masing anggota yang lain.
Untuk mengatasi atau bahkan menghilangkan perilaku merokok apakah mungkin dilakukan, dengan jalan menutup pabrik rokok? Nyaris tidak mungkin, kalau tidak boleh mengatakan mustahil. Sebab secara realistis, rokok merupakan salah satu dari sedikit komoditi yang memberi pemasukan yang sangat besar bagi kas negara. Pembangunan infra-struktur negara telah banyak disokong oleh cukai rokok. Salah satu kiat yang telah dan sedang dilakukain oleh pihak pemerintah saat ini dalam kaitannya dengan masalah rokok adalah melakukan kampanye baik melalui jargon-jargon yang menegaskan tentang bahaya rokok (misal dengan iklan ataupun slogan yang dilekatkan pada bungkus rokok) sampai kepada melokalisir para perokok dengan cara memberikan ruang tersendiri bagi “komunitas” mereka. Berbagai daerah di Indonesia telah mulai membangun tempat-tempat khusus bagi para perokok aktif, terutama di tempat-tempat yang banyak di akses oleh khalayak ramai. Seperti di bandara, stasiun, perkantoran, hotel, dan sebagainya. Secara psikologis hal ini diharapkan dapat memberi efek jera bagi para perokok, minimal akan munculnya perasaan terisolir dari lingkungan mereka jika mereka merokok di tempat umum.
Keberadaan rokok ini sebenarnya hampir serupa dengan keberadaan praktik prostitusi. Semakin mereka (para pe!aku di dunia prostitusi) dikejar-kejar bukannya semakin berkurang malah semakin menjadi. Rokok nyaris tidak mungkin untuk dihilangkan. Barangkali yang mungkin dapat dihilangkan adalah kebiasaan merokok itu sendiri. Bagaimana caranya? Tak ada resep yang paling jitu kecuali dengan menumbuhkan kesadaran dalam diri sendiri akan pentingnya menjaga kesehatan sekaligus menancapkan ke dalam sum-sum otak akan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh rokok.
B.4. Pendekatan-pendekatan Untuk Merubah Perilaku (Kebiasaan Merokok)
Terdapat beberapa pendekatan atau metode yang dapat dijadikan titik tolak untuk merubah perilaku merokok pada remaja maupun perokok pada umumnya, yaitu; (1) Cold Turkey Method, (2) Cognitive Behavioral Therapy, (3) Aversive Conditioning, (4) Positive Reinforcement, dan (5) Cognitive Therapy Techniques (dalam Bye… Bye … Smoke, 2002):
B.4.1. Cold Turkey Afethod
Metode ini adalah metode yang paling sederhana, paling gampang dimengerti, paling banyak dicoba, sekaligus paling banyak mengalami kegagalan. Bagaimana sebenarnya prinsip kerja metode ini? Memang sangat sederhana dan gampang untuk dipraktekkan, ya sudah berhenti saja. Titik. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa ba bi bu, pokoknya berhenti.
Memang metode ini paling banyak dipraktekkan oleh para perokok, namun juga paling tinggi tingkat kegagalannya. Hal ini disebabkan lebih karena orang yang menggunakan metode ini cenderung tidak terencana dengan matang tentang keinginannya untuk berhenti merokok, dan kiat-kiat apa yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi munculnya keinginan lagi untuk merokok.
B.4.2. Cognitive Behavioral Therapy (Terapi Perilaku Kognitif)
Pendekatan ini lebih menekankan pada kesadaran akan perilaku untuk dijadikan sebagai dasar untuk merubah perilaku ke arah yang di inginkan. Jadi, individu harus mengetahui terlebih dahulu apa yang harus diubah dari perilakunya dan kenapa perilaku itu harus diubah. Individu hanya akan merubah perilaku bila dia tahu bahwa merokok adalah kebiasaan yang buruk. Melalui pengetahuan atau kesadaran itulah individu mulai untuk merubah perilakunya.
Banyak cara atau kiat-kiat yang bisa dilakukan dalam pendekatan ini, sebagai contoh menyingkirkan setiap benda yang bisa menjadi pemicu untuk merokok lagi (asbak, korek api, poster orang merokok, dll), catat dan hilangkan situasi dan perasaan yang memperkuat “kenikmatan” yang didapat dari merokok, atau dengan merubah perilaku merokok. Jadi ketika muncul keinginan untuk merokok, jangan langsung dinyalakan, tapi menahan dulu sampai sekian lama (semakin lama semakin baik).
B.4. 3. Aversive Conditioning (Pengkondisian Berbalik)
Pendekatan ini cukup unik, yaitu memasangkan (pairing) sebuah stimulus yang negatif (bisa perilaku, bisa pikiran) dengan perilaku yang ingin diubah. Sebagai contoh, cobalah untuk merokok terus menerus (chain smoking) tanpa henti, hingga terasa ingin muntah. Cara ini diulang-ulang supaya efektif. Tujuannya adalah agar timbul kesan bahwa merokok itu bikin mual atau muntah. Contoh lain, yaitu saat sedang merokok cobalah untuk membayangkan bahaya atau akibat yang dapat ditimbulkan oleh sebatang rokok. Ini memang sulit tapi tetap saja layak untuk dicoba.
B.4.4. Positive Reinforcement (Penegasan Positif)
Pendekatan ini merupakan lawan dari pengkondisian berbalik, yaitu dengan memasangkan pikiran dan perilaku positif dengan perilaku yang diinginkan. Misalnya, fokus pada tujuan. Catatlah semua keuntungan-keuntungan yang diperoleh jika berhenti merokok, baik keuntungan fisik maupun psikis, baik keuntungan pribadi maupun keuntungan sosial. Aktif mengembangkan konsep diri serta harga diri yang positif. Bergaul dan belajar untuk bilang “tidak” pada rokok.
B.4.5. Cognitif Therapy Techniques (Teknik Terapi Kognitif)
Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada konsep tanggung jawab pribadi terhadap pikiran seseorang. Harapannya adalah agar terjadi perubahan dalam cara berpikir yang kemudian merubah keyakinan terhadap masalah-masalah yang negatif dan tidak rasional. Kognisi atau konstruksi pola pikir seseorang tentang suatu hal bisa didekonstruksi atau diubah menjadi pola pikir yang lebih mampu menganalisa keyakinan yang saat ini dianut, apakah positif atau negatif. Sebagai contoh, cobalah untuk memberi kritik terhadap beberapa premis negatif berikut: “saya pasti akan gagal, rokok sudah merasuk dalam tubuh saya” (kritik: pikiran seperti itu tidak benar, buktinya sudah banyak sekali perokok berat yang akhirnya berhasil menghentikan kebiasaannnya), “merokok tidak merokok mati juga, mendingan merokok” (kritik: pandangan seperti itu jelas salah, bukti ilmiah telah banyak membuktikan bahwa rokok menjadi salah satu kontributor terbesar bagi tingkat kematian pada manusia. Paling tidak kalaupun mati, mati dengan tenang dan lega, bukan mati karena kanker paru-paru, dan sebagainya), ”merokok hanya merugikan diri sendiri, orang lain tidak masalah” (kritik: perokok pasif jelas ikut menanggung risiko yang ditimbulkan oleh rokok. Bahkan menurut beberapa penelitian, perokok pasif bahkan menanggung akibat lebih besar dari perokok aktif).
Lalu, metode apa yang paling jitu untuk menanggulangi kebiasaan merokok seseorang? Secara khusus (setidaknya sejauh yang penulis baca dan pahami dari referensi yang ada) belum ada penelitian yang membuktikan bahwa salah satu dari lima metode yang telah dipaparkan di atas merupakan metode yang paling ampuh untuk dipergunakan oleh seseorang untuk berhenti merokak. Menurut hemat penulis, setiap perokok yang memiliki niat dan kesadaran untuk berhenti merokok tidak akan selalu sama metode yang digunakan. Mungkin ada yang cocok dengan Colg Turkey Method tapi perokok yang lain mungkin lebih cocok dengan Cognitive Behavioural Therapy, begitu seterusnya. Ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi efektivitas dari metode-metode yang telah dijelaskan di atas. Beberapa di antaranya adalah waktu (sudah berapa lama si individu merokok), intensitas (seberapa sering si inidividu merokok), kuantitas (berapa banyak jumlah rokok yang dihisap oleh si individu perharinya), kualitas (bagaimana cara atau gaya si individu merokok), lingkungan seperti apa yang mengelilingi si individu (mayoritas perokok atau tidak), dan sebagainya. Jadi, ke-lima metode di atas masing-masing layak untuk dicoba.
Beberapa pendekatan di atas hanya beberapa pendekatan ilmiah yang dapat membantu berhasil tidaknya proses untuk berhenti merokok. Setiap pendekatan memiliki keunggulan masing-masing, tinggal bagaimana mengejawantahkannya ke dalam proses perubahan perilaku. Tapi yang paling penting di atas segalanya adalah niat serta keinginan yang kuat untuk segera berhenti dan memulai kehidupan yang baru tanpa kepulan asap yang mengitari kepala dan menyengat indera pembauan.
- C. Kesimpulan
Beberapa temuan penelitian mengisyaratkan bahwa rendahnya tingkat emotional intelligence (EI) seseorang terkait dengan keterlibatannya dalam perilaku atau aksi merusak diri (self-destructive), seperti perilaku menyimpang dan perilaku merokok (Brackett & Mayer; 2003; Rubin, 1999; Trinidad & Johnson, 2001, dalam Brackett, dkk, 2004).
Perilaku merokok di pandang sebagai perilaku yang dapat merusak diri sendiri, sebab berbagai penelitian telah membuktikan bahwa rokok hanya akan memberi kontribusi buruk bagi manusia, fisik maupun mental, langsung atau tidak langsung. Rokok telah terbukti menjadi penyebab timbulnya berbagai macam penyakit seperti radang paru-paru, kanker paru-paru, bronkitis, radang pada pangkal dan hulu tenggorokan, batuk, gangguan pernafasan, gangguan kehamilan dan janin, penyumbang bagi impotensi pada laki-laki, menghabiskan biaya yang tidak sedikit, dan masih banyak lagi efek negatif yang ditimbulkannya.
Meski oleh sebagian orang, rokok dianggap dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri seseorang, namun tetap saja hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menganggap bahwa perilaku merokok adalah perilaku yang baik. Self Confidence seseorang tetap bisa ditingkatkan dengan cara-cara yang lebih sehat, seperti mencoba menggali potensi-potensi yang dimiliki, bakat, atau minat apa saja yang orientasinya positif. Hanya satu kata bagi sebatang rokok, kamu jahat deh!!!.
Daftar Pustaka
Armstrong, S., 1995. Pengaruh Rokok Terhadap Kesehatan. Jakarta. Penerbit Arcan
Boeree, C. G., 2004. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. (Terj. Inyiak Ridwan Muzir: Ed. Abdul Qodir Shaleh). Jogjakarta. Prismasophie
Brackett, M. A., Mayer, J. D., & Warner, R. M., 2004. Emotional Intelligence and Its Relation to Everyday Behaviour. Personality and Individual Differences Journal 36. University of New Hampshire, Durham, USA. p.1387-1402
, 2002. Bye.. Bye.. Smoke: Buku Panduan Ampuh Untuk Berhenti Merokok. Jakarta Barat. A Nexxmedia Book
Fuhrmann, B. S., 1990. Adolescence, Adolescenis (2nd Edition). Illinois. Glenview Grinder, R. E., 1978. Adolescence (2nd Edition). New York. John Wiley & Sons Inc.
Hall, C. S., & Lindzpy, G., 1993. Psikologi Kepribadian 1: Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta. Kanisius
Hurlock, E. B., 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi Kelima). (Terj. Istiwidayanti & Soedjarwo; Ed. Sijabat, R. M.). Jakarta. Penerbit Erlangga
Mappiare, A., 1982. Psikologi Remaja. Surabaya. Usaha Nasional
Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditono, S. R., 2001. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press
Nuryoto, S. 2004. Peer Relation. Materi Kuliah PsikoIogi Perkembangan Sosial. Yogyakarta. Program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada Osborne, R., 2000. Freud Untuk Pemula. (Terj. Widyamartaya). Yogyakarta. Kanisius
Santrock, J. W., 2003. Adolescence: Perkembungun Remaja (Edisi Keenam). Jakarta. Penerbit Erlangga