Alfred Adler

Alfred Adler

Alfred Adler

Alfred Adler

Adler semula anggota bahkan ketua masyarakat psikoanalisis Wina yang menjadi organisasi pengembang teori Freud, namun kemudian memisahkan diri karena mengembangkan ide-idenya sendiri. Dia kemudian membentuk kelompoknya sendiri, yakni Individual psychology. Perbedaan prinsip Adler dengan Freud adalah sebagai berikut:

  1. Freud memandang komponen kehidupan yang sehat adalah kemampuan “mencintai dan berkarya”. Bagi Adler masalah hidup selalu bersifat sosial. Fungsi hidup sehat bukan hanya mencintai dan berkarya, tetapi juga merasakan kebersamaan dengan orang lain dan memperdulikan kesejahteraan mereka. Manusia dimotivasi oleh dorongan sosial, bukan dorongan seksual. Cara orang memuaskan kebutuhan seksual ditentukan oleh gaya hidupnya, bukan sebaliknya dorongan seks yang mengatur tingkah laku. Dorongan seksual merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir.
  2. Freud memandang kepribadian sebagai proses biologik mekanistik, sedang Adler termasuk pelopor ego kreatif (ego creative). Ego adalah sistem subjektif yang sangat dipersonifikasikan, yang menginterprestasi dan membuat pengalaman organisme menjadi lebih makna. Ego juga mencari dan menciptakan pengalaman baru untuk membantu pemenuhan gaya hidup pribadi yang unik.
  3. Adler menekankan adanya keunikan pribadi
  4. Adler memandang kesadaran sebagai pusat kepribadian, bukan ketidaksadaran.
  5. Adler keras berpendapat bahwa semua kehidupan selalu bergerak.

Psikologi individual memandang individu sebagai makluk yang saling tergantung secara sosial. Perasaan selalu berati dengan orang lain (interest sosial) ada sejak mausia dilahirkan dan menjadi syarat utama kesehatan jiwa. Rincian teori Adler mencakup enam hal berikut:

  1. Satu-satunya kekuatan dinamik yang melatarbelakangi aktivitas manusia adalah perjuangan untuk sukses atau menjadi superior (Sriving for superiority)
  2. Persepsi subyektif (subjective perception) individu membentuk perilaku dan kepribadian.
  3. Semua fenomena psikologis disatukan (unity of personality) di dalam diri individu dalam bentuk self.
  4. Manfaat dari aktivitas manusia harus dilihat dari sudut pandang interest sosial (social interest)
  5. Semua potensi manusia dikembangkan sesuai gaya hidup (life of style) dari self.
  6. Gaya hidup dikembangkan melalui kekuatan kreatif (creative power) individu.

PERJUANGAN MENJADI SUKSES ATAU SUPERIORITA

Menurut Adler Individu memulai hidup dengan kelemahan fisik yang mengaktifkan perasaan inferior, perasaan yang menggerakkan orang untuk berjuang menjadi superioritas atau untuk menjadi sukses. Perjuangan bisa jadi mempunyai motivasi oleh minat sosial yang suda berkembang. Perjuangan bisa mempunyai motivasi yang berbeda, tetapi semuanya di arahkan menuju tujuan final (final goal).

Menurut Adler untuk membimbing tingkah laku, setiap orang menciptakan tujuan final yang semu (fictional final goal), memakai bahan yang diperoleh dari keturunan dan lingkungan. Tujuan ini semu karena tidak harus didasarkan  pada kenyataan, tetapi tujuan itu lebih menggambarkan fikiran orang itu tentang bagaimana kenyataan itu didasarkan ada interprestasi subjektifnya mengenai dunia. Tujuan final adalah hasil dari kekuatan kreatif individu: kemampuan untuk membentuk tingkah laku diri dan menciptakan kepribadian diri.

MENGATASI INFERIORITAS DAN MENJADI SUPERIORITA:

DORONGAN MAJU

Bagi Adler kehidupan manusia dimotivasi oleh satu dorongan utama –dorongan untuk mengatasi perasaan inferior dan menjadi superior. Jadi tingkah laku ditentukan utamanya oleh pandangan mengenai masa depan, tujuan dan harapan kita. Didorong oleh perasaan inferior, dan ditarik keinginan menjadi superior, maka orang mencoba hidup sempurna mungkin, dan berusaha untuk semakin dekat dengan tujuan final.

Adapun perasaan inferiorita yang melahirkan perjuangan superiorita, dan bersama-sama keduanya menjadi dorongan maju yang sangat besar yang mendorong orang terus bergerak dari minus ke plus, dari bawah ke atas. Dorongan ini menurut Adler di bawah sejak lahir.

Kondisi khusus seperti kelemahan organik/cacat, pemanjaan dan pengabaian mungkin dapat membuat orang mengembangkan kompleks inferiorita (inferiority complex) atau kompleks superioritas (superiority complex). Dua kompleks ini selalu berhubungan erat. Kompleks superior selalu menyembunyikan atau kompensasi dari perasaan inperior, sebaliknya kompleks inperior sering menyembunyikan perasaan superior.

PENGAMATAN SUBYEKTIF( SUBJECTIVEPERSEPTIONS)

Tujuan final yang fiktif bersifat subyektif, artinya orang menetapkan tujuan–tujuan untuk diperjuangkan berdasarkan interpretasinya tentang fakta, bukan berdasarkan fakta itu sendiri. Kepribadian manusia dibangun bukan oleh realita,  tetapi oleh keyakinan subyektif orang itu mengenai masa depannya. Pandangan subyektif yang terpenting adalah tujuan menjadi superioritas atau tujuan menjadi sukses, tujuan yang diciptakan pada awal kehidupan, yang hanya terpahami secara kabur. Tujuan final fiktif itu membimbing gaya hidup (style of life) manusia, membentuk kepribadian menjadi kesatuan, dan kalau tujuan itu dapat dipahami akan memberi tujuan kepada semua tingkah laku.

KESATUAN  (UNITY)   KEPRIBADIAN

Adler berkeyakinan bahwa setiap orang itu unik dan tidak dapat dipecah– pecah. Psikologi Individu menekankan pentingnya unitas kepribadian. Pikiran perasaan dan kegiatan semuanya diarahkan ke satu tujuan tunggal dan mengejar satu tujuan.

LOGAT ORGAN ( ORGAN DIALECT)

 Unity kepribadian bukan hanya kesatuan aspek-aspek kejiwaan seperti motivasi, perasaan dan pikiran tetapi unity juga meliputi organ tubuh. Gejala-gejala fisik, misalnya kelemahan organ-organ tertentu bukan suatu peristiwa yang terpisah, tetapi kelemahan itu berbicara tentang tujuan individu, yang oleh Adler dinamakan logat organ (Organ dialect ) atau bahasa organ.

KESADARAN DAN TAK SADAR

Unitas kepribadian juga terjadi antara kesadaran dan tak sadar. Menurut Adler tingkah laku tak sadar adalah bagian dari tujuan final yang belum di formulasi dan belum dipahami secara jelas. Apakah tujuan itu disadari atau tidak disadari adalah satu tujuannya untuk menjadi superior atau menjadi sukses. Adler memakai ilustrasi, mahkota pohon dan akar keduanya berkembang ke arah yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama.

MINAT SOSIAL

         Minat sosial/perasaan sosial mengandung makna suatu perasaan menyatu dengan kemanusiaan, menjadi anggota dari komunitas umat manusia. Jadi minat sosial/perasaan sosial adalah sikap keterikatan diri dengan kemanusiaan secara umum, secara empati kepada setiap anggota orang per-orang.

Menurut Adler interest sosial adalah bagian dari hakekat manusia dan dalam besaran yang berbeda muncul pada tingkah laku setiap orang – kriminal, psikotik, atau orang yang sehat. Minat sosial/perasaan sosial membuat orang mampu berjuang mengejar superioritas dengan cara yang sehat dan tidak tersesat ke salah sesuaian. Semua kegagalan neurotic, psikotik, kriminal, pemabuk, anak bermasalah, bunuh diri, menyeleweng, prostitusi adalah kegagalan karena mereka kurang memiliki minat sosial. Mereka menyelesaikan masalah pekerjaan, persahabatan, dan seks tanpa keyakinan bahwa itu dapat dipecahkan dengan kerjasama.

PERKEMBANGAN MINAT SOSIAL

Menurut Adler ketika seorang anak lahir dia memiliki minat sosial yang lemah/kecil untuk dapat berkembang sendiri. Untuk itu perkembangan minat sosial ini dikembangkan melalui hubungan ibu – anak, setiap anak akan memiliki pengalaman sosial atau minat sosial dalam kadar tertentu. Minat sosial anak dapat berkembang dengan baik atau sehat pertama tergantung bagaimana hubungan cinta kasih ibu dengan anak dan hubungan cinta kasih ibu dengan orang lain. Yang kedua hubungan cinta kasih ayah dengan anak, dan hubungan cinta kasih ayah dengan orang lain.

PERLUNYA MINAT SOSIAL

Menurut Adler minat sosial itu penting karena merupakan sesuatu yang alami bagi manusia dan merupakan perekat kehidupan sosial.

KRITERIA NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

Minat sosial atau perasaan sosial menjadi satu-satunya kriteria untuk mengukur kesehatan jiwa. Tingkat seberapa tinggi minat sosial orang, menunjukkan kematangan psikologinya. Orang yang kurang matang minat sosialnya atau perasaan sosialnya mementingkan diri sendiri, berjuang menjadi suprioritas pribadi melampaui orang lain. Orang yang sehat peduli kepada orang lain, dan mempunyai tujuan menjadi sukses yang mencakup kebahagiaan semua umat manusia. Jadi minat sosial atau perasaan sosial merupakan satu-satunya sarana penilai atau standar untuk menentukan kemanfaatan hidup seseorang. Dan sering Adler menyebutnya merupakan barometer normalitas.

 GAYA HIDUP

Gaya hidup adalah cara yang unik dari setiap orang dalam berjuang mencapai tujuan khusus yang ditentukan orang itu dalam kehidupan tertentu dimana dia berada. Masing-masing orang mempunyai gaya hidup yang berbeda-beda. Gaya hidup telah terbentuk pada usia 4-5 tahun. Gaya hidup tidak hanya di tentukan oleh kemampuan intrinsic (heriditas) dan lingkungan objektif, tetapi di bentuk oleh anak melalui pengamatannya dan interprestasinya terhadap keduanya.

Gaya hidup ini tidak muda berubah. Ekspresi nyata dari gaya hidup mungkin berubah tetapi dasar gayanya tetap sama, kecuali orang menyadari kesadarannya dan secara sengaja mengubah arah yang ditujunya.

KEKUATAN KREATIF SELF( KREATIVE POWER THE SELF)

Self kreatif adalah kekuatan ketiga yang paling menentukan tingkah laku, penggerak utama, sendi dan obat mujarap kehidupan, yang membawahi dua kekuatan dan konsep lainnya. (kekuatan pertama heridity dan kedua lingkungan)

Menurut Adler keturunan memberi “kemampuan tertentu” dan lingkungan memberi ‘impresi / kesan tertentu’ dan itu merupakan bahan dasar, diri kreatif memakai bahan dasar itu untuk membangun sikap terhadap kehidupan dan hubungan-hubungan dengan dunia-dunia luar. Jadi diri kreatif adalah sarana yang mengolah fakta-fakta dunia dan mengtransformasikan fakta-fakta itu menjadi kepribadian yang bersifat subjektif dinamik, menyatu personal, dan unik.

Menurut Adler manusia adalah aktor dan insiator tingkah laku. Karena kepribadian itu dinamis dan bukan statis.

jogjatranslate.com jasatranslate.com copycdjogja.com duplikatcd.com alatinterpreter.us alat-interpreter.com sewaalatinterpreterjogja.com rentalalatinterpreterjogja.com persewaanalatinterpreter.com jasainterpreter.us sewaalatinterpretersurabaya.com sewaalatinterpretersemarang.com interpreterjogja.com

ERIK ERIKSON

ERIK ERIKSON

ERIK ERIKSON

Teori Erik Erikson dipilih dan disajikan dalam buku ini yang berjudul “Personality Theory Researche” oleh Pervin dan Jhon sebab dianggap sebagai teori yang mendukung perkembangan dalam ilmu psikologi. Dengan kata lain teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan. Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern seperti ini.

SKETSA BIOGRAFI ERIK ERIKSON

Erik Homburger Erikson dilahirkan di Frankurt, Jerman pada tanggal 15 juni 1902. Sangat sedikit yang bias diketahui tentang asal usulnya. Ayahnya adalah seorang laki-laki berkebangsaan Denmark yang tidak dikenal namanya dan tidak mau mengaku Erikson sebagai anaknya sewaktu masih dalam kandungan dan langsung meninggalkan ibunya. Ibunya bernama Karla Abrahamsen yang berkebangsaan Yahudi. Saat Erikson berusia tiga tahun ibunya menikah lagi dengan seorang dokter bernama Theodore Homburger, kemudian mereka pindah kedaerah Karlsruhe di Jerman Selatan. Nama Erik Erikson dipakai pada tahun 1939 sebagai ganti Erik Homburger. Erikson menyebut dirinya sebagai ayah bagi dirinya sendiri, nama Homburger direduksi sebagai nama tengah bukan nama akhir.

Sebelum melihat lebih jauh mengenai teori dari Erik Erikson, maka kita tidak bisa melewati sketsa biografi Erik Erikson yang juga berperan/mendukung terbentuknya teori psikoanalisis. Pencarian identitas tampaknya merupakan fokus perhatian terbesar Erikson dalam kehidupan dan teorinya.

Pertama kalinya Erikson belajar sebagai “child analyst” melalui sebuah tawaran/ajakan dari Anna Freud (putri dari Sigmund Freud) di Vienna Psycholoanalytic Institute selama kurun waktu kurang lebih tahun 1927-1933. Bisa dikatakan Erikson menjadi seorang psikoanalisis karena Anna Freud. Kemudian pada tanggal 1 April 1930 Erison menikah dengan Joan Serson, seorang sosiologi Amerika yang sedang penelitian di Eropa. Pada tahun 1933 Erikson pindah ke Denmark dan di sana ia mendirikan pusat pelatihan psikoanalisa (psychoanalytic training center). Pada tahun1939 Erikson pindah ke Amerika Serikat dan menjadi warga Negara tersebut, selain itu secara resmi pun dia telah mengganti namanya menjadi Erik Erikson. Tidak ada yang tahu apa alasannya memilih nama tersebut.

TEORI

Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.

Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu :

(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas. (2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.

Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence” atau kemunculan. Gambaran dari perkembangan cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul , dan akan selalu terjadi pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu sendiri.   Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan bagian yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap tahap.

Erikson percaya “epigenetic principle” akan mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas dapat melihat krisis psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap manusia yang sudah dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar (Figure 3-1). Di mana gambar tersebut memaparkan tentang delapan tahap perkembangan yang pada umumnya dilalui dan dijalani oleh setiap manusia secara hirarkri seperti anak tangga. Di dalam kotak yang bergaris diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai adanya hal-hal yang bermuatan positif dan negatif untuk setiap tahap secara berturut-turut. Periode untuk tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai kondisi yang relatif berkaitan dengan kesehatan psikososial dan cocok dengan sakit yang terjadi dalam kesehatan manusia itu sendiri.

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori yang dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa.

Meminjam kata-kata Erikson melalui seorang penulis buku bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi. Oleh karena itu, melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson ingin mengemukakan bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif (adaptasi keliru) dan malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung kalau satu tahap tidak berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif dan juga malignansi, selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu berinteraksi dengan pola-pola tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi serta ritualisme yang berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan. Menurut Erikson delapan tahap perkembangan yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun secara hirarkri, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnya dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya.

Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :

  1. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)

Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.

Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.

Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.

Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap saat.

Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.

Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang lain.

  1. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu

Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman  baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan  yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.

Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.

Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.

Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya teredapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hokum dan kewajiban”.

Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas kasih.

  1. Inisiatif vs Kesalahan

Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.

Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.

Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.

  1. Kerajinan vs Inferioritas

Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.

Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka.              Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.

Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.

  1. Identitas vs Kekacauan Identitas

Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas.

Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.

Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya.

Ritualisasi yang nampak dalam tahap adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.

  1. Keintiman vs Isolasi

Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.

Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.

Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.

  1. Generativitas vs Stagnasi

Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.

Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baik.

Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.

  1. Integritas vs Keputusasaan

Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif  yang biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri.

Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.

PENUTUP

Pada dasarnya pusat dari perumusan konsep Erikson meliputi beberapa bagian yang dianggap memiliki aspek penting seiring berjalannya roda dalam kehidupan manusia yaitu :

ü  Identitas ego yang menurut Erikson berarti bahwa perkembangan setiap individu adalah di dalam kerangka lingkungan dan budaya di mana setiap individu dapat menemukan dirinya yang sebenarnya.

ü  Langkah-langkah guna mengembangkan psikososial yang epigenetik. Pada awalnya teori Erikson bermula dari teori Freud mengenai psikoseksual namun kemudian dikembangkan oleh Erikson ke luar dari pendapat tersebut dengan mempertimbangkan perkembangan ego dalam konteks psikososial.

ü  Perkembangan hidup manusia pada dasarnya berawal atau beredar dari masa bayi sampai masa usia senja/tua sesuai dengan delapan tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson.

ü  Kekuatan ego, yang menandai masing-masing delapan langkah-langkah perkembangan manusia adalah kebaikan seperti harapan, akan tujuan dan kebijaksanaan (Christopher F.Monte, Beneath The Mask an Introduction of Theories of Personality).

Hal lain yang menurut Erikson penting bahwa apabila kecenderungan dari segi positif yang diinginkan tidak dapat dicapai dalam tahap sebelumnya, maka pada tahap-tahap sesudahnya semua itu dapat terulang kembali untuk dapatdiraih dan dikembangkan.

Setelah mempelajari teori perkembangan kepribadian Erikson ada hal positif dan negatif yang muncul dalam pemikiran saya sebagai pembuat makalah mengenai Teori Psikososial dari Erik Erikson yaitu bahwa pencetus ide dalam teori ini, dalam hal ini Erikson setidak-tidaknya berhasil memberi arah perkembangan kepribadian yaitu guna pencapaian identitas ego berikut pematangannya. Dan hal ini diterangkan maupun dipaparkan oleh Erikson secara baik dan lengkap melalui delapan tahap yang ada. Sedangkan dari sisi negatifnya bahwa Erikson menetapkan hubungan antar tahap agak mengikat, seolah-olah tahap sebelumnya begitu menentukan secara langsung kwalitas dan kwantitas pada tahap berikutnya.

REFERENSI

BUKU

Alwilsol. Psikologi Kepribadian. UMM, Malang, 2004, 111-139.

Boeree, C. George, Personality Theories. Primasophie, Yogyakarta, 2005, 76-110.

Hall, C.S dan Lindzey, G. Theories of Personality. Terjemahan, editor Supratiknya. Kanisius, Yogyakarta, 1978, 137-169.

Monks, F.J . Psikologi Perkembangan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, 14-16.

Pervin, L.A dan Jhon, O.P. Personality Theory and Research. New York. 2001, 59-91.

Sumartiningsih, Dien. Diktat atau catatan kuliah Psikologi Perkembangan. 2002.

ARTIKEL

http//www.theory of psychosocial.com

http//www.theory of psychosocial development.com

Emil Kraepelin (1856 – 1926)

Emil Kraepelin

Emil Kraepelin

Emil Kraepelin dilahirkan pada tanggal 15 Pebruari 1856 di Neustrelitz dan wafat pada tanggal 7 Oktober 1926 di Munich. Ia menajdi dokter di Wurzburg tahun 1878, lalu menjadi dokter di rumah sakit jiwa Munich. Pada tahun 1882 ia pindah ke Leipzig untuk bekerja dengan Wundt yang pernah menjadi kawannya semasa mahasiswa. Dari tahun 1903 sampai meninggalnya, ia menjadi profesor psikiatri di klinik psikiatri di Munich dan sekaligus menjadi direktur klinik tersebut. Emil Kraepelin adalah psikiatris yang mempelajari gambaran dan klasifikasi penyakit-penyakit kejiwaan, yang akhirnya menjadi dasar penggolongan penyakit-penyakit kejiwaan yang disebut sebagai Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA). Emil Kraepelin percaya bahwa jika klasifikasi gejala-gejala penyakit kejiwaan dapat diidentifikasi maka asal usul dan penyebab penyakit kejiwaan tersebut akan lebih mudah diteliti. Kraepelin menjadi terkenal terutama karena penggolongannya mengenai penyakit kejiwaan yang disebut psikosis. Ia membagi psikosis dalam dua golongan utama yaitu dimentia praecox dan psikosis manic-depresif. Dimentia praecox merupakan gejala awal dari penyakit kejiwaan yang disebut schizophrenia. Kraepelin juga dikenal sebagai tokoh yang pertama kali menggunakan metode psikologi pada pemeriksaan psikiatri, antara lain menggunakan test psikologi untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan kejiwaan. Salah satu test yang diciptakannya di kenal dengan nama test Kraepelin. Test tersebut banyak digunakan oleh para sarjana psikologi di Indonesia pada era tahun 1980an.

Struktur Kepribadian Menurut CARL ROGERS

Carl Rogers

Carl Rogers

Rogers lebih senang menaruh perhatian pada perubahan dan perkembangan kepribadian dan dia tidak mementingkan konstruk-konstruk structural. Namun ada dua konstruk yang sangat penting dalam teorinya dan bahkan dapat dianggap sebagai panduan bagi seluruh teorinya. Kedua konstruk tersebut adalah organisme dan diri (self).

Organisme

Secara psikologis, organisme adalah lokus atau tempat dari seluruh pengalaman. Pengalaman meliputi segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam kesadaran organisme pada setiap saat. Keseluruhan pengalaman ini merupakan medan fenomenal. Medan fenomenal adalah”frame of reference” dari individu yang hanya dapat diketahui oleh orang itu sendiri. ”Medan fenomenal tidak dapat diketahui oleh orang lain kecuali melalui inferensi empatis dan selanjutnya tidak pernah dapat diketahui dengan sempurna”. Bagaimana individu bertingkah laku tergantung pada medan fenomenal itu (kenyataan subjektif) dan bukan pada keadaan-keadaan perangsangannya (kenyataan luar).

Harus dicatat bahwa medan fenomenal tidak identik dengan medan kesadaran. ”Kesadaran adalah perlambangan dari sebagian pengalaman kita”. Dengan demikian, medan fenomenal terdiri dari pengalaman sadar (tidak dikembangkan). Akan tetapi, organisme dapat membedakan kedua jenis pengalaman tersebut dan bereaksi terhadap pengalaman yang tidak dilambangkan. Mengikuti McCleary dan Lazarus (1949), Rogers menyebut peristiwa ini subsepsi (subception).

Pengalaman tidak bisa disimbolkan secara tepat, karena itu orang-orang biasa mengaitkan pengalaman- pengalaman dengan kenyataan yang ada dan ini yang membuat seseorang melakukan tindakan yang selaras antara apa yang dibayangkan dengan realitas, hal ini disebut sebagai uji realitas. Akan tetapi, beberapa pengalaman tertentu malah tidak diuji atau diuji secara kurang memadai, dan pengalaman yang tidak diuji ini dapat menyebabkan orang bertingkah laku secara tidak realistis, bahkan merugikan orang itu sendiri. Meskipun Rogers tidak menyingung permasalahan tentang kenyataan yang “sebenarnya”, namun jelas bahwa setiap orang harus memiliki suatu konsepsi tentang standar kenyataan luar atau impersonal, sebab kalau tidak demikian, maka mereka tidak akan dapat membedakan suatu gambar kenyataan “subjektif” dengan kenyataan “objektif”. Kemudian timbul suatu pernyataan, yakni bagaimana orang-orang dapat membedakan antara gambaran subjektif yang tidak merupakan representasi yang tepat dari kenyataan dan gambaran yang benar-benar merupakan representasi dari kenyataan yaitu gambaran objektif. Apak yang membuat orang-orang tersebut membedakan antara fakta dan fiksi dalam dunia subjektifnya? Inilah Paradoks terbesar dalam fenomenologi.

Rogers memecahkan paradoks tersebut dengan menyimpangkannya dari rangka pemikiran fenomenologi murni. Apa yang dialami atau dipikirkan orang sebenarnya bukanlah kenyataan bagi orang itu: hal itu hanya hipotesis sementara tentang kenyataan yang bias jadi benar atau salah. Orang menunda keputusannya sampai ia menguji hipotesis tersebut. Apakah yang dimaksud dengan menguji? Menguji berarti mencek ketepatan informasi yang diterima dan yang merupakan dasar dari hipotesisnya dengan sumber-sumber informasi lain. Misalnya, seseorang yang akan menggarami makanannya, berhadapan dengan dua tempat bumbu. Satu diantaranya berisi garam dan yang lain berisi merica. Orang tersebut mengira bahwa tempat yang berlubang besar berisi garam, tetapi karena tidak yakin maka ia menuangkan sedikit isinya pada telapak tangannya. Apabila partikel-partikel yang keluar adalah putih dan bukan hitam, maka orang tersebut merasakan yakin bahwa itu garam. Orang yang sangat teliti mungkin merasa perlu mencicipinya sedikit sebab bisa jadi itu merica berwarna putih, bukan garam. Apa yang dikemukan dengan contoh ini adalah suatu pengujian ide-ide seseorang dengan berbagai data indera. Pengujian tersebut berupa mencek informasi yang kurang pasti dengan pengetahuan yang lebih langsung. Dalam kasus garam, ujian terakhir adalah rasanya; suatu cita rasa tertentu menentukan bahwa itu garam.

Tentu saja, contoh yang dikemukakan tadi menggambarkan suatu kondisi ideal. Dalam banyak kasus, orang menerima begitu saja pengalamannya sebagai representasi yang tepat tentang kenyataan dan tidak memperlakukannya sebagai hipotesis tentang kenyataan. Akibatnya, orang terap kali mengajarkan banyak konsepsi salah tentang dirinya dan tentang dunia luar. “Pribadi yang utuh”, baru-baru ini Rogers menulis, “orang yang benar-benar orang sepenuhnya adalah berdasar pada data yang dialami dalam dirinya dan data yang dialaminya dari dunia luar “.

Diri (Self)

Lama kelamaan, sebagian dari medan fenomenal ini menjadi terpisah. Inilah yang disebut sebagai diri atau konsep-diri. Dijelaskan sebagai berikut :

Konsep Gestalt berisikan tentang organisasi dan konsistensi yang terdiri dari persepsi-persepsi tentang sifat-sifat dari ‘diri subjek’ atau ‘diri objek’ dan persepsi-persepsi tentang hubungan-hubungan antara ‘diri subjek’ atau ‘diri objek’ dengan orang-orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini. Gestalt lah yang ada dalam kesadaran meskipun tidak harus disadari. Gestalt tersebut bersifat lentur dan berubah-ubah, merupakan suatu proses, tetapi pada setiap saat merupakan suatu entitas spesifik.

Diri merupakan salah satu konstruk sentral dalam teori Rogers, dan ia telah memberikan suatu kejelasan yang menarik bagaimana ini terjadi:

Berbicara secara pribadi, saya memulai karir saya dengan keyakinan yang mantap bahwa “diri” adalah suatu istilah yang kabur, ambigu atau bermakna ganda, istilah yang tidak berarti secara ilmiah, dan telah hilang dari kamus para psikolog bersama menghilangnya para introspeksionis. Dari sebab itu, saya lambat menyadari bahwa apabila klien-klien diberi kesempatan untuk mengungkapkan masalah-masalah mereka dan sikap-mereka dalam istilah-istilah mereka sendiri, tanpa suatu bimbingan atau interpretasi, ternyata mereka cenderung berbicara tentang diri… Tampaknya jelas,…bahwa diri merupakan suatu unsur penting dalam pengalaman klien, dan aneh karena tujuannya adalah menjadi ‘diri-sejati’-nya.

Di samping “diri” sebagai bagian dari struktur diri, terdapat suatu diri ideal, yakni apa yang diinginkan orang tentang dirinya.

Organisme dan Aku: Keselarasan dan ketidakselarasan

Pentingnya konsep-konsep struktural, yakni organisme dan “diri”, dalam teori Rogers menjadi jelas dalam pembicaraannya tentang Keselarasan dan ketidakselarasan antara diri sebagaimana dibahas dalam pengalaman aktual organisme. Apabila pengalaman-pengalaman yang dilambangkan yang membentuk diri benar-benar mencerminkan pengalaman-pengalaman organisme, maka orang yang bersangkutan disebut berpenyesuaian baik, matang, berfungsi sepenuhnya. Orang semacam itu menerima seluruh pengalaman organismik tanpa merasakan ancaman atau kecemasan. Ia mampu berfikir secara realistis. Ketidak selarasan antara diri dan organisme menyebabkan individu-individu merasa terancam dan cemas. Mereka bertingkah laku serba defensif dan cara berfikir mereka menjadi sempit dan kaku.

Dalam teori Rogers secara implisit dijelaskan dua manifestasi lain dari keselarasan dan ketidak selarasan. Pertama adalah keselarasan dan ketidak selarasan antara kenyataan subjektif (medan fenomenal) dan kenyataan luar (dunia sebagaimana adanya). Kedua adalah tingkat kesesuaian antara diri dan diri ideal. Apabila perbedaan antara diri dan diri ideal adalah besar, maka orang menjadi tidak puas dan tidak dapat menyesuaikan diri.

Bagaimana ketidak selarasan itu terjadi dan bagaimana diri dan organisme dapat dibuat lebih selaras, menjadi pembahasan utama Rogers. Untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang sangat penting inilah maka ia telah menghabiskan begitu banyak kehidupan profesionalnya. Bagaimana ia menjawab pertanyaan-pertanyaan ini akan dibicarakan pada bagian tentang perkembangan kepribadian.

Dinamika Kepribadian

“Organisme mempunyai satu kecenderungan dan keinginan mendasar-yakni mengaktualisasikan, mempertahankan,dan mengembangkan pengalaman organisme”. Kecenderungan untuk mengaktualisasi ini bersifat selektif, menaruh perhatian hanya pada aspek-aspek lingkungan yang memungkinkan orang bergerak secara konstruktif ke arah pemenuhan keinginan. Di satu pihak terdapat satu kekuatan yang memotivasikan, yakni dorongan untuk mengaktualisasikan diri; di lain pihak hanya ada satu tujuan hidup, yakni menjadi pribadi yang teraktualisasikan – dirinya atau pribadi yang utuh.

Organisme mengaktualisasikan dirinya menurut garis-garis yang diletakkan oleh hereditas. Ketika organisme itu matang, maka ia makin berdiferensiasi, makin luas, makin otonom, dan makin tersosialisasikan. Kecenderungan mendasar pada pertumbuhan ini adalah mengaktualisasikan dan mengekspansikan diri sendiri-tampak paling jelas sekali bila individu diamati dalam suatu jangka waktu yang lama. Ada suatu gerak maju pada kehidupan setiap orang; tendensi yang tak henti-hentinya inilah yang merupakan satu-satunya kekuatan yang benar-benar dapat diandalkan oleh ahli terapi untuk mengadakan perbaikan dalam diri klien.ini disebut sebagai metode terapi Client-Centered (berbasis klien).

Rogers menambahkan suatu ciri baru pada konsep pertumbuhan ketika ia mengamati bahwa tendensi gerak maju hanya dapat beroperasi bila pilihan-pilihan dipersepsikan dengan jelas dan dilambangkan dengan baik. Seseorang tidak dapat mengaktualisasikan dirinya kalau ia tidak dapat membedakan antara cara-cara tingkah laku progresif dan regresif. Tidak ada suara hati dari dalam yang akan memberitahu seseorang manakah jalan menuju aktualisasi itu, tidak ada suatu rasa keharusan organisme yang akan mendorongnya maju. Orang harus mengetahui sebelum mereka dapat memilih, tetapi bila mereka benar-benar mengetahui maka mereka selalu memilih untuk maju dan bukan untuk mundur.

“Pada dasarnya tingkah laku adalah usaha organisme yang berarah pada tujuan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan sebagaimana yang dialaminya dalam medan fenomenal(sebagaimana medan itu dipersepsikan)”. Pernyataan yang jelas-jelas menyinggung tentang adanya banyak “kebutuhan” ini tidak berlawanan dengan pengertian tentang motif(dorongan) tunggal. Meskipun ada banyak kebutuhan, namun semuanya mengarah kepada tendensi dasar organisme untuk mempertahankan dan mengembangkan diri.

Rogers tetap setia pada pendirian fenomenologisnya dengan selalu menggunakan frase “sebagaimana dialami” dan “sebagaimana dipersepsikan”. Akan tetapi dalam membicarakan proposisi ini, rogers mengakui bahwa kebutuhan-kebutuhan dapat menimbulkan tingkah laku yang tepat meskipun kebutuhan-kebutuhan itu tidak dialami secara sadar (dilambangkan dengan memadai). Sesungguhnya, Rogers (1977) telah mengurangi peranan kesadaran atau kesadaran diri bagi berfungsinya individu secara sehat. Ia menulis, “dalam pribadi yang berfungsi dengan baik, kesadaran tentu menjadi cenderung menjadi sesuatu yang refleksif, bukan suatu lampu sorot tajam dari perhatian yang terpusat. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan bahwa dalam pribadi demikian, kesadaran hanyalah merupakan refleksi tentang suatu dari aliran organisme pada saat itu. Hanya ketika fungsi terganggulah maka timbul kesadaran diri dengan jelas”.

Pada tahun 1959, Rogers mengemukakan perbedaan antara tendensi mengaktualisasikan pada organisme dan tendensi mengaktualisasikan diri.

Menyusul perkembangan struktur diri tendensi umum kearah aktualisasi ini juga muncul dalam aktualisasi sebagai bagian pengalaman organisme yang dilambangkan dalam diri. Apabila diri dan seluruh pengalaman organisme relatif sesuai, maka tendensi aktualisasi relative akan tetap padu. Apabila diri dan pengalaman tidak selaras maka yang terjadi adalah tendensi umum untuk mengaktualisasikan organisme akan berlangsung dengan tujuan yang berlawanan dengan subsistem motif tersebut, yakni tendensi untuk mengaktualisasikan diri .

Meskipun teori Rogers tentang motivasi bersifat monistik, ia telah memberi perhatian khusus pada dua kebutuhan, yakni kebutuhan akan penghargaan yang positif (the need for positive regard) dan kebutuhan akan harga diri. Keduanya adalah kebutuhan yang dapat dipelajari. Kebutuhan yang pertama terjadi pada masa bayi sebagai akibat karena bayi dicintai dan diperhatikan, dan kebutuhan yang kedua terbentuk karena bayi menerima kebutuhan ini, sebagaimana akan kita lihat pada bahsan nanti, bisa juga berselisih tujuan dengan tendensi aktualisasi dengan mendistorsikan pengalaman-pengalaman organisme.

Perkembangan Kepribadian

Meskipun organisme dan diri mempunyai tendensi inheren untuk mengaktualisasikan diri, namun sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan dan khususnya oleh lingkungan social. Tidak seperti para teoritikus klinis yang lain, (seperti Freud, Sullivan, dan Erikson, Rogers) mereka tidak memberikan jadwal waktu tahap-tahap penting yang dilalui orang dari masa bayi hingga masa dewasa. Sebaliknya ia memusatkan perhatian pada cara-cara bagaimana penilaian orang-orang terhadap individu, khususnya selama masa kanak-kanak, cenderung memisahkan pengalaman-pengalaman organisme dan pengalaman-pengalaman diri.

Apabila penilaian-penilaian ini semata-mata bernada positif, yang oleh Rogers disebut unconditional positive regard atau penghargaan positif tanpa syarat, maka tidak akan terjadi pemisahan atau ketidaksesuaian antara organisme dan diri. Rogers berkata: “Apabila individu hanya mengalami penghargaan positif tanpa syarat, maka tidak akan ada syarat-syarat penghargaan, harga diri akan menjadi tanpa syarat, kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan positif dan harga diri tidak akan berbeda dengan penilaian organismik dan individu serta akan terus berpenyesuaian baik secara psikologis dan akan berfungsi sepenuhnya”.

Tetapi karena penilaian-penilaian tingkah laku anak oleh orang tuanya dan orang-orang lain kadang-kadang positif dan kadang-kadang negatif, maka anak belajar membedakan antara perbuatan-perbuatan dan perasaan-perasaan yang berharga (disetujui) dan yang tidak berharga (tidak disetujui). Pengalaman-pengalaman tidak berharga cenderung dikeluarkan dari konsep diri, meskipun perasaan-perasaan itu secara organisme valid. Keadaan ini menghasilkan konsep-diri yang tidak selaras dengan pengalaman organismik. Anak berusaha menjadi apa yang diinginkan oleh orang-orang lain dan tidak berusaha untuk menjadi apa yang sebenarnya yang diinginkannya. Rogers berkata: “Ia menilai pengalaman secara positif atau secara negative semata-mata karena syarat-syarat penghargaan ini diambilnya dari orang-orang lain, bukan karena pengalaman itu telah mengembangkan atau gagal mengembangkan organismenya”.

Keadaan di atas terjadi dalam kasus berikut:

Seorang anak laki-laki memiliki gambaran diri sebagai anak laki-laki yang baik dan dicintai oleh orangtuanya, tetapi ia juga senang menyiksa adik perempuannya sehingga dia dihukum. Sebagai akibat dari hukuman itu ia harus meninjau kembali gambaran diri (self-image) dan nilai-nilainya dengan salah satu cara berikut:(a)”saya seorang anak yang jahat”,(b)”orang tua saya tidak menyukai saya “,(c)”saya tidak suka mengganggu adik saya”.masing-masing sikap diri (self –attitudes)ini mengandung distorsi kebenaran.Kita andaikan ia memilih bersikap “saya tidak suka mengganggu adik saya”,dengan demikian ia menyangkal perasaan-perasaannya yang sebenarnya.Dengan disangkal tidak berarti perasaan-perasaan menjadi lenyap;perasaam-perasaan akan tetap mempengaruhi tingkah lakunya dalam berbagai cara meskipun perasaan-perasaan itu tidak disadarinya .konflik akan terjadi antara nilai-nilai sadar yang diinteroyeksikan dan palsu ,dengan nilai –nilai tak sadar yang sebenarnya.Apabila makin banyak nilai-nilai yang “sebenarnya”dari seseorang digantikan dengan nilai-nilai yang diambil ataupun dipinjam dari orang-orang lain,kendati begitu dipersepsikan sebagai miliknya sendiri ,makanya diri akan menjadi sebuah rumah yang terbagi melawan dirinya sendiri.pribadi semacam itu akan merasa tegang ,merasa tidak enak dan sebagainya.ia akan merasa seolah-olah ia benar-benar tidak mengetahui siapa ia dan apa yang diinginkannya.

Selanjutnya, sedikit demi sedikit sepanjang masa kanak-kanak, konsep diri menjadi semakin menyimpang justru disebabkan penilaian orang lain. Akibatnya ,suatu pengalaman organismik yang tidak selaras dengan konsep – diri yang tak wajar ini akan dirasakan sebagai suatu ancaman dan akan menimbulkan kecemasan. Kemudian untuk melindungi kebutuhan konsep – diri ,maka pengalaman-pengalaman yang mengancam ini tidak akan dilambangkan atau diberi suatu perlambangan yang menyimpang .

Menyangkal suatu pengalaman tidak sama dengan mengabaikannya. Menyangkal berarti memalsukan realitas baik dengan mengatakannya tidak ada atau dengan mempersepsikannya secara menyimpang.orang dapat menyangkal perasaan agresifnya, sebab perasaan itu tidak konsisten dengan gambaran diri yang ia miliki sebagai cinta damai dan bersahabat. Dalam kasus demikian, perasaan-perasaan yang disangkal, mungkin diungkapkan dengan perlambangan yang menyimpang, misalnya dengan memproyeksikan perasaan-perasaan tersebut kepada orang-orang lain. Rogers menunjukkan bahwa orang-orang kerap kali mempertahankan dan mengembangkan dengan gigih gambaran diri yang sama sekali berbeda dengan kenyataan. Orang yang merasa bahwa dirinya tidak berharga akan keluar dari kesadaran evidensi yang bertentangan dengan gambaran atau akan menginterpretasilkan kembali evidensi tersebut untuk membuatnya selaras dengan perasaan tidak berharganya. Misalnya, apabila mereka dipromosikan dalam pekerjaan maka mereka akan berkata “pimpinan merasa kasihan kepada saya“ atau “saya tidak pantas menerima promosi tersebut”. Orang – orang tersebut tentu mungkin benar – benar menunjukkan prestasi buruk dalam jabatan yang baru itu untuk membuktikan kepada diri mereka dan kepada dunia bahwa mereka tidak baik.

Bagaimana orang dapat menyangkal ancaman terhadap gambaran diri tanpa terlebih dahulu menyadari ancaman itu? Rogers berkata bahwa ada tingkat-tingkat pengenalan dibawah tingkat pengetahuan sadar, dan bahwa objek yang mengancam mungkin dipersepsikan secara tak sadar atau “disubsepsikan” sebelum sungguh-sungguh dipersepsikan. Objek atau situasi yang mengancam itu, misalnya, bisa menimbulkan reaksi-reaksi viskral, seperti degupan jantung, yang dialami secara sadar sebagai perasaan –perasaan cemas,tapi penyebab rasa cemas itu tetap tidak diketahui. Perasaan-perasan cemas mengaktifkan mekanisme penyangkalan untuk mencegah pengalaman yang mengancam itu agar tidak menjadi sadar.

Keretakan antara diri dan organisme tidak hanya menimbulkan sikap defensif dan distorsi, tetapi juga mempengaruhi hubungan-hubungan seseorang dengan orang-orang lain. Orang-orang yang defensif cenderung merasa bermusuhan terhadap orang-orang lain karena menurut pandangan mereka tingkah laku orang-orang lain tersebut mencerminkan perasaan-perasaan mereka yang disangkal.

Bagaimana keretakan antara diri dan organisme, serta antara aku dan orang-orang lain dapat disembuhkan? Rogers mengemukakan tiga dalil berikut.

“Dalam kondisi-kondisi tertentu, terutama pada saat ancaman terhadap struktur diri sama sekali tidak ada,pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur diri itu mungkin diamati, dan diperiksa, dan struktur diri-nya disesuaikan untuk mengasimilasikan dan masukan pengalaman-pengalman tersebut”.

Dalam “Clien-centered therapy” orang mengemukakan dirinya berada dalam situasi yang tidak mengancam karena konselor sepenuhnya menerima apa yang di katakan klien. Sikap menerima yang hangat pada pihak konselor ini mendorong klien untuk meneliti perasaan-perasaan tak sadarnya dan membuat perasaan-perasaan itu menjadi sadar. Para klien dengan pelan-pelan meneliti perasaan-perasaan yang tidak dilambangkan yang mengancam keamanan mereka. Dalam hubungan-hubungan terapeutik yang aman, perasaan-perasaan yang selama ini mengancam, kini dapat diasimilasikan kedalam struktur diri. Asimilasi ini mungkin membutuhkan reorganisasi yang agak drastis dalam konsep-diri klien supaya sejalan dengan realitas pengalaman organismik. “Ia akan menjadi lebih bersatu dengan dirinya sendiri sebagai organisme, dan ini merupakan hakikat dari terapi”. Rogers mengakui bahwa orang-orang tertentu mungkin dapat mencapai proses ini tanpa menjalani terapi.

Keuntungan social dari menerima dan mengasimilasikan pengalaman-pengalaman yang tidak dilambangkan adalah bahwa orang makin memahami dan menerima orang-orang lain. Ide ini dikemukakan dalam dalil berikut:

“Apabila individu mempersepsikan dan menerima segala pengalaman sensorik dan viskerlanya kedalam satu sistem yang konsisten dan terintegrasi, maka ia pasti lebih memahami orang-orang lain yang lebih menerima orang-orang lain sebagai individu –individu yang berbeda”. Apabila seseorang merasa terancam oleh impuls-impuls seksual, maka ia cenderung mengritik orang-orang lain yang pada penglihatannya bertingkah laku dalam cara-cara seksual. Sebaliknya, hubungan-hubungan social akan menjadi baik dan kemungkinan timbulnya konflik sosial akan berkurang. Rogers yakin bahwa implikasi-implikasi social dari dalil ini adalah “sedemikian rupa sehingga melonggarkan imajinasi”. Hal ini malah merupakan kunci untuk menghapuskan perselisihan interpersonal.

Dalam dalilnya yang terakhir, Rogers menunjukan bagaimana pentingnya orang harus selalu meneliti nilai-nilai yang dimilikinya untuk menjaga penyesuaian diri yang sehat.

“Apabila individu mempersepsikan dan menerima lebih banyak lagi pengalaman-pengalaman organiknya ke dalam struktur dirinya, maka ia akan menemukan bahwa dirinya tengah mengganti sistem nilainya sekarang- yang sebagian besar didasarkan introyeksi-introyeksi yang dilambangkan secara menyimpang-lewat proses penilaian yang berlangsung secara terus-menerus” .

Tekanannya terletak pada dua kata yakni sistem dan proses.Sistem menunjukkan sesuatu yang tetap dan statis, sedangkan proses menujukan bahwa sesuatu tengah berlangsung. Demi penyesuaian diri yang sehat dan terintegrasi, orang selalu memeriksa pengalaman-pengalamannya untuk mengetahui apakah pengalaman-pengalaman tersebut membutuhkan perubahan dalam struktur nilai. Setiap kumpulan nilai yang tetap akan cenderung mencegah orang yang bereaksi secara efektif terhadap pengalamn-pengalaman baru. Orang harus fleksibel untuk menyesuaikan diri secara tepat terhadap kondisi-kondisi kehidupan yang baru.

Sehubungan dengan ini Rogers mengemukakan pertanyaan, apakah proses penilaian yang terus menerus terhadap pengalaman-pengalaman seseorang menurut patokan-patokan yang sama sekali pribadi sifatnya, tidak akan menimbulkan anarki sosial? Menurut keyakinan Rogers tidak. “Semua orang pada dasarnya memiliki kebutuhan-kebutuhan yang sama, termasuk kebutuhan supaya diterima oleh orang-orang lain. Maka dari itu, nilai-nilai mereka akan memiliki ‘banyak kesamaan’ “.

Mengakhiri uraian tentang ciri-ciri pokok teori Rogers ini, pembaca mungkin heran mengapa teori tersebut dinamakan “person centered” atau “berpusat pada pribadi”, jawabannya sangat sederhana. Dalam individu yang berfungsi sebagai sang pribadi adalah juga sang organisme. Dengan kata lain, sama sekali tidak ada perbedaan antara kedua istilah tersebut. Istilah pribadi lebih disukai karena istilah itu lebih bermakna psikologis. Pribadi adalah organisme yang mengalami. Pribadi dan diri adalah juga sama apabila diri benar-benar kongruen dengan organisme. Semuanya ini dapat disimpulkan: organisme sebagai suatu sistem yang hidup, bertumbuh dan bersifat holistic merupakan realitas psikologis dasar. Setiap bentuk penyimpangan dari realitas dasar ini akan mengancam integritas pribadi yang bersangkutan.

Wilhelm Wundt (1832 – 1920)

Wilhelm Wundt

Wilhelm Wundt

Wilhelm Wundt dilahirkan di Neckarau pada tanggal 18 Agustus 1832 dan wafat di Leipzig pada tanggal 31 Agustus 1920. Wilhelm Wundt seringkali dianggap sebagai bapak psikologi modern berkat jasanya mendirikan laboratorium psikologi pertama kali di Leipzig. Ia mula-mula dikenal sebagai seorang sosiolog, dokter, filsuf dan ahli hukum. Gelar kesarjanaan yang dimilikinya adalah dari bidang hukum dan kedokteran.  Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang banyak melakukan penelitian, termasuk penelitian tentang proses sensory  (suatu proses yang dikelola oleh panca indera).

Pada tahun 1875 ia pindah ke Leipzig, Jerman, dan pada tahun 1879 ia dan murid-muridnya mendirikan laboratorium psikologi untuk pertama kalinya di kota tersebut. Berdirinya laboratorium psikologi inilah yang  dianggap sebagai titik tolak berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang terpisah dari ilmu-ilmu induknya (Ilmu Filsafat  & Ilmu Faal). Sebelum tahun 1879 memang orang sudah mengenal psikologi, tetapi belum ada orang yang menyebut dirinya sarjana psikologi. Sarjana-sarjana yang mempelajari psikologi umumnya adalah para filsuf, ahli ilmu faal atau dokter. Wundt sendiri asalnya adalah seorang dokter, tetapi dengan berdirinya laboratorium psikologinya, ia tidak lagi disebut sebagai dokter atau ahli ilmu faal, karena ia mengadakan eksperimen-eksperimen dalam bidang psikologi di laboratoriumnya.

Wundt mengabdikan diri selama 46 tahun sisa hidupnya untuk melatih para psikolog dan menulis lebih dari 54.000 halaman laporan penelitian dan teori.  Buku-buku yang pernah ditulisnya antara lain: “Beitrage Zur Theorie Der Sines Wahrnemung” (Persepsi yang dipengaruhi kesadaran, 1862),  “Grund zuge der Physiologischen Psychologie” (Dasar fisiologis dari gejala-gejala psikologi, 1873) dan “Physiologische Psychologie”.

Albert Bandura

Albert Bandura

Albert Bandura

SEJARAH SINGKAT

Bandura lahir 4 Desember 1925 di Mundare, sebuah kota kecil di Alberta, Canada. Dia mendapatkan gelar B.A dari University of British Columbia dan M.A tahun 1951 dan Ph.D 1952, keduanya dari University of Lowa.

EARLIER EXPLANATIONS OF OBSERVATIONAL LEARNING

Keyakinan bahwa makhluk hidup belajar dengan mengobservasi makhluk hidup lain telah ada sejak awal jaman Yunani misalnya Plato dan Aristoteles. Menurut penjelasan nativistic, kecenderungan observational learning adalah bawaan sejak lahir.

Thorndike adalah orang pertama yang mempelajari observational learning  secara eksperimental. Pada tahun 1898, dia meletakkan seekor kucing pada puzzle box dan kucing lain di box disampingnya. Kucig dalam puzzle belajar bagaimana melarikan diri, sehingga kucing kedua hanya mengobservai kucing pertama mempelajari respon melarikan diri. Ketika kucing kedua diletakkan di puzzle box dia tidak menunjukkan respon melarikan diri. Kucing kedua tetap melakukan trial and error seperti yang dilakukan kucing pertama sebelum berhasil melarikan diri. Thorndike melakukan eksperimen yang sama dengan ayan dan anjing dan hasil yang didapatkan sama. Tidak masalah berapa lama hewan “naïf” melihat hewan “ahli”, hewan “naïf” terlihat tidak mempelajari apapun. Tahun1901 dia melakukan eksperimen dengan monyet tetapi hasilnya sama. Kemudian dia menyimpulkan, bahwa tidak satupun dari eksperimennya dengan hewan membuktikan hipotesis bahwa mereka mempunyai general ability untuk belajar melakukan sesuatu dari melihat yang lainnya melakukannya.

1908, Watson mengulangi penelitian Thorndike dengan monyet , dan ia juga tidak menemukan bukti observational learning. Thorndike dan Watson menyimpulkan bahwa belajar hanya dihasilkan dari direct experience bukan dari indirect or vicarious experience. Dengan kata lain, mereka merasa bahwa belajar muncul sebagai hasil dari interaksi personal dengan lingkungan dan bukan hasil dari mengobservasi interaksi individu lain.

 

Miller and Dollard’s Explanation of Observational Learning

Tidak seperti Thorndike dan Watson, Miller dan Dollard tidak menolak fakta bahwa organisme dapat belajar dengan mengobservasi interaksi organisme lain. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku imitasi yang direinforce, akan menjadi kuat seperti tingkah laku lain. Dollard dan Miller membagi tingkah laku imitasi menjadi tiga kategori

  1. Tingkah laku yang sama muncul ketika dua atau lebih respon individu berada pada situasi dan cara yang sama. Sebagai contohnya kebanyakan orang yang berhenti di lampu merah akan bertepuk tangan jika sebuah konser telah selesai dan tertawa ketika yang lainnya tertawa.
  2.   Copying behavior meliputi panduan tingkah laku seseorang oleh orang lain, seperti ketika instruktur memberi arahan kepada murid-murid yang berusaha menggambar. Dengan copying behavior, respon akhirnya akan dikuatkan dan direnforced.
  3. Mached-dependent behavior, observer akan direinforce dengan melakukan pengulangan tingkah laku model. Sebagai contohnya tingkah laku seorang kakak berjalan mendekati pintu ketika dia mendengar suara langkah kaki sang ayah yang menuju pintu dan ayah mereinforce kakak dengan permen. Dan adiknya menemukan bahwa ketika dia berjalan di dekat kakaknya dia juga menerima permen dari ayahnya. Bagi kakak, suara langkah kaki ayah akan memicu respon berjalan, yang dikuatkan dengan permen. Bagi sang adik, tanda darikakaknya yang berjalan menuju pintu memicunya untuk berjalan, dan dia juga dikuatkn dengan permen.

Tingkah laku ini juga terlihat pada remaja yang berada di situasi yang tidak familier. Ketika kita berada di Negara asing kita akan mengobservasi bagaimana respon alami diberbagai situasi dan kemudian kita akan merespon seperti yang mereka lakukan.

Mereka juga menekankan bahwa imitasi dapat menjadi sebuah kebiasaan. Seperti kasus adik dan kakak tadi, probabilitas tingkah laku sang adik meniru kakaknya akan meningkat diberbagai macam situasi. Mengacu pada hal diatas, kecenderungan untuk mengimitasi tingkah laku satu individu atau lebih sebagai generalized imitation.

Mereka melihat tidak ada yang special dari belajar imitasi. Bagi mereka, peran model adalah memandu respon observer sampai tepat atau mendemonstrasikan pada observer.mana respon yang akan direinforce pada situasi tertentu. Bagi mereka belajar imitasi adalah hasil dari observasi, overt responding, dan reinforcement. Mereka setuju dengan kesimpulan Thorndike dan Watson. Mereka menemukan bahwa organism belajar bukan hanya dari observasi semata. Menurut mereka, kesalahan dari eksperimen Thorndike dan Watson adalah bahwa keduanya tidak meletakkan hewan yang “naïf” dan yang ahli dalam satu kotak.penempatan itu akan membuat hewan “naïf” mengobservasi, merespon dan direinforced, dan mungkin belajar imitasi akan muncul.

 

BANDURA’S ACCOUNT OF OBSERVATIONAL LEARNING

Menurut Bandura, Observational Learning bisa meliputi imitasi ataupun tidak. Sebagai contohnya saat kita melintasi sebuah jalan kemudian disamping kita ada mobil yang masuk jurang, dan berdasarkan proses belajar observasi itu kita akan membelokka mobil untuk menghindari jurang. Dalam kasus ini, kita belajar dari proses observasi kita, tetapi kita tidak mengimitasi apa yang kita oservasi. Yang kita pelajari meurut Bandura adalah informasi, dimana terjadi proses kognitif dan kita akan melakukan sesuatu yang berguna. Observasional learning lebih kompleks dari pada simple imitasi.

Teori belajar yang dekat dengan konsep Bandura adalah Tolman theory. Mereka percaya bahwa proses belajar merupakan proses yang konstan yang tidak membutuhkan reinforcement.

Teory belajar Bandura didemonstrasikan dalam eksperimennya. Anak ditunjukkan sebuah film dimana modelnya yang ditunjukkan memukul, menendang boneka. Dalam teory Bandura model dapat berupa apa saja yang membawa informasi, seperti orang, film, televise, gambar, instruksi. Pada kelompok pertama anak melihat model diberi reinforce atas keagresifitasan mereka. Pada kelompok kedua anak melihat model di hokum atas keagresifitasan mereka. Pada kelompok ketiga konsekuensi dari keagresifitasan model di netralkan, tidak direinforce maupun dihukum. Yang diharapkan, adalah bahwa anak pada kelompok pertama akan menunjukkan agresifitas tertinggi, kelompok kedua akan menunjukkan keagresivitasan terendah dan kelompok ketiga berada diantaranya. Yang menarik adalah bahwa tingkah laku anak dipengaruhi oleh indirect experience atau vicarious experience. Dengan kata lain apa yang diobservasi anak dari orang lain akan mempengaruhi tingkah lakunya. Ini kontra dengan Miller dan Dollard yang menyatakan bahwa belajar observasi hanya akan muncul jika tingkah laku overt organism diikuti reinforcement.

Anak ditawari intensive untuk mereproducing tingkah laku model, dan semua anak melakukannya. Dengan kata lain semua anak belajar respon agresif model tetapi mereka menunjukkannya dengan berbeda, tergantung apa yang mereka observasi apakah model direinforced, di beri hukuman, atau konsekuensi yang netral.

Kemudian Bandura dengan tegas tidak setuju dengan pendapat Miller dan Dollard tentang observational learning. Bagi Bandura, observational learning muncul disemua waktu. Setelah perkembangan kapasitas belajar observasi berkembang penuh, individu tidak dapat membatasi orang untuk belajar dari apa yang mereka lihat. Belajar observasi juga tidak membutuhkan respon yang tampak ataupun reinforcement.

The Skinnerian Analysis of Observational Learning

Penjelasan Skinner tentang Observasional Learning sama dengan apa yang dikatakan Miller dn Dollard. Pertama tingkah laku model diobservasi, kemudian observer mencocokkan tingkah laku model, dan terakhir respon yang cocok direinforce. Bandura menemukan beberapa hal yang tidak benar. Pertama mereka tidak dapat menjelaskan bagaimana tingkah laku dapat muncul ketika baik observer maupun model tidak diberi penguat. Kereka tidak menjelaskan adanya delayed modeling. Ketiga tentang reinforcement yang secara otomatis akan memperkuat tingkah laku, menurut Bandura, observer harus menyadari reinforcement sebelum reinforcement itu mempunyai efek. Karena belajar dengan konsekuensi membutuhkan proses kognitif, konsekuensi secara umum mengubah sedikit tingkah laku yang komplek ketika tidak ada kesadaran apa arti reinforcemen. Secara singkat, Bandura mengatakan bahwa penjelasan analisis operan tentang beajar observasi salah. Tidak ada discriminative stimulus, tidak ada overt responding, dan tidak ada reinforcement.

NONHUMANS CAN LEARN BY OBSERVING

Dibeberapa penelitian ditemukan data yang mengejutkan bahwa non humans dapat belajar secara cukup kompleks dengan mengobservasi anggota lain dalam species nya. Studi yang dipelopori oleh Nicole dan Pope (1993) mengobservasi ayam yang dipasangkan dengan ayam “demonstrator” .

 

VARIABLES AFFECTING OBSERVATIONAL LEARNING

Attentional Processes

Sebelum sesuatu dipelajari dari sebuah model, model harus diperhatikan. Dalam pemikiran Bandura, belajar merupakan proses yang tanpa henti, tetapi poinnya adalah bahwa hanya apa yang kita observasi yang dapat kita pelajari. Pertanyaan yang muncul adalah, apa yang ditekankan?

  1. Kapasitas sensori seseorang akan dipengaruhi proses perhatian. Stimulus modeling yang digunakan untuk mengajari orang yang buta, tuli akan berbeda dengan yang digunakan kepada orang dengan pendengaran dan pengelihatan normal.
  2. Perhatian selektif observer dapat dipengaruhi oleh past reinforcement. Dengan kata lain, prior reinforcement dapat membentuk persepsi observer yang akan mempengaruhi observasi yang akan datang.
  3. Variasi karakteristik model juga akan mempengaruhi apa yang akan mereka perhatikan. Menurut Bandura, orang akan memperhatikan model yang dianggap berguna dan mengabaikan orang yang diasumsikan tidak berguna. Orang lebih suka memilih model yang pandai menghasilkan good outcome dari pada yang berulang kali mendapat hukuman.

Retentional Processes

Informasi panduan yang digunakan dalam observasi harus disimpan. Penyimpanan informasi secara simbolis dengan dua cara, imaginally dan verbally. Imaginally store symbol adalah penyimpanan gambaran actual dari pengalaman model dan dapat diretrieved dan dilakukan beberapa lama setelah proses belajar berlangsung.ini juga merupakan poin kesepakatan antara Bandura dan Tolman. Menurut Bandura tingkah laku menekankan gambaran mental dari pengalaman masa lalu; Tolman mengatakan bahwa tingkah laku dipengaruhi oleh cognitive map. Tidak mungkin memisahkan antara symbol imaginal dan verbal, keduanya tidak terpisahkan ketika kejadian terreprensentasikan di memori. Ketika stimulus verbal dan visual memiliki arti yang sama, individu akan mengintegrasikannya menjadi representasi konsep umum.

Informasi yang tersimpan secara cognitive, dapat diretrieved secara covert, rehearsed, dan dikuatkan jauh setelah proses belajar terjadi. Penyimpanan symbol ini yang memungkinkan delayed modeling.

Behavioral Production Processes

Proses ini menekankan tingkat dimana apa yang dipelajari dapat iartikan dalam tingah laku (performansi). Sebagai contohnya mengobservasi monyet yang bergelantuangan dari satu pohon ke pohon lain, tetapi makluk lain tidak dapat mereplikasinya jika dia tidak memiliki ekor seperti monyet. Dengan kata lain, individu mungkin dapat belajar sesuatu yang besar dalam cognisinya tetapi tidak mampu untuk mengartikan informasi itu ke dalam tingkah laku yang mungkin dikarenkan terebatasan, sakit, level perkembangan.

 

Motivational Processes

Dalam teori Bandura, reinforcemen mempunyai dua fungsi utama. Pertama reinforcement akan membentuk sebuah harapan bagi observer jika dia melakukan sesuatu dengan cara dan situasi tertentu, mereka akan direinforced. Kedua proses motivasi, yang akan member motiv untuk menggunakan apa yang dipelajari (mengartikan belajar ke dalam performasi).

Kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa belajar observasi meliputi perhatian, retensi, kemampuan tingkah laku dan intensif. Jika belajar observasi gagal muncul, ini dapat dikarenakan observer tidak mengobservasi tingkah laku yang relevan dari model, tidak menyimpannya, adanya ketidakmampuan secara fisik untuk menampilkannya, tidak memiliki intensive yang pantas untuk melakukannya.

 

RECIPROCAL DETERMINISM

Pertanyaan dasar dalam psikologi adalah “mengapa orang bertingkah laku seperti yang mereka lakukan?”. Bandura menjawab pertanyaan ini bahwa individu, lingkungan dan tingkah laku itu sendiri berinteraksi untuk menghasilkan tingkah laku individu. Dengan kata lain, ketiga komponen itu tidak ada yang diisolasi dari yang lain dalam menerangkan tingkah lak individu. Ketiga interaksi itu adalah sebagai berikut :

B

P                                              E

Pola ini dinamakan reciprocal determinism. Kesimpulannya tepat untuk mengatakan bahwa tingkah laku dipengaruhi individu dan lingkungan seperti lingkungan atau individu mempengaruhi tingkah laku.

Sebagai contoh tingkah laku yang dipengaruhi lingkungannya, Bandura mendiskribsikannya pada eksperimen dimana shock terjadwal yang diterima tikus setiap menit kecuali bila dia menekan balok, dimana pemberian shock akan ditunda 30 detik. Tikus belajar menekan balok dengan frekuensi tertentu untuk menghindari shock, tikus yang gagal mempelajari respon itu harus mengalami periodic shock. Apakah lingkungan mengontrol tingkah laku ataukah tingkah laku mengontrol lingkungan? Yang kita miliki adalah 2 sistem pengaturan dimana organism baik sebagai objek maupunagen dari control, tergantung proses reciprocal yang dipilih.

Aspek-aspek di lingkungan akan ditekankan oleh bagaimana kita bertingkah laku di dalam lingkungan. Lebih jauh Bandura menyatakan bahwa tingkah laku dapat membentuk lingkungan.

Menurut bandura orang dapat mempengaruhi lingkungan dengan brtindak dalam cara tertentu dan akan mengubah lingkungan, pada gilirannya akan mengubah tingkah laku berikutnya. Meskipun disana ada interaksi diantara orang, lingkungan, dan tingkah laku, beberapa komponen itu akan lebih berpengaruh dari pada komponen lain di waktu tertentu. Sebagai contoh, suara keras di lingkungan dapat lebih bereffek terhadap tingkah laku orang pada yang lain. Di waktu lain mungkin kepercayaan menjadi factor yang paling berpengaruh dalam tindakan. Dalam faktanya banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tingkah laku mahkluk hidup lebih diperintah oleh apa yang mereka yakini dari pada apa yang benar-benar terjadi.sebagai contohnya pada penelitian diterapkan pemberian reinforce sekali tiap menitnya (variable-interval schedule) untuk memberi respon manual. Walaupun semua subyek diberi jadwal yang sama namun beberapa terjadi kesalahan dalam pemahaman mereka. Suatu kelompok menyatakan variable-interval schedule (rata-rata diantara dua kelompok), kelompok lain menyatakan fix-interval schedule (respon  lambat), dan variable-ratio schedule respon cepat).

Dalam eksperimen partisipan diberi informasi yang salah, mereka mempercayainya dan melakukannya. Beberapa factor dalam kehidupan sehari-hari yang dapat membentuk kepercayaan yang nonadaptive dalam individu, yang dapat memicu tindakan yang tidak efektif dan bizarre.

Sebagai kesimpulannya, konsep Bandura tentang reciprocal determinism adalah bahwa tingkah laku, individu a9dengan kepercayaannya), lingkungan semua berinteraksi dan ketiga cara intraksi harus dipahami sebelum memahami bagaimana tingkah laku dan fungsi psikologis dapat muncul.

 

SELF-REGULATION OF BEHAVIOR

Menurut Bandura, jika tindakan menekankan semata-mata pada external reward dan punishment, orang akan bertingkah laku seperti contoh, pergantian yang konstan dalam arahan yang berbeda untuk menyesuaikan diri

Bagaimana jika eksternal reinforce dan punishment tidak  mengontrol tingkah laku? Bandura menyawab, bahwa tingkah laku menusia secara luas akan dilakukan secara self-regulated. Pengalaman manusia baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi standar evaluasi. Satu dari standar itu akan menjadi dasar self-evaluasi. Jika tingkah laku orang di situasi tertentu sesuai dengan standar, akan dievaluasi secara positif, jika jauh dari standar akan dievaluasi negative.

Standar seseorang dapat berasal dari pengalaman langsung dengan reinforcement dari dari tingkah lakunya, misalnya rasa bangga dari orang tua. Standar personal dapat di dapat secara tidak langsung melalui observasi tingkah laku orang lain yang direinforce.

Bandura percaya bahwa intrinsic reinforcement yang berasal dari self-evaluation lebih berpengaruh dari pada ekstinsik reinforcement yang dibagikan oleh individu lain.tingkah laku self-rewarded cenderung dipertahankan secara lebih efektif dari pada yang di beri external reinforced.

Ketidakberuntungan terjadi jika standar dari performasi terlalu tinggi, hal itu akan menjadi dasar dari personal distress. Bandura menyatakan standar evaluasi yang terlalu ekstrem akan menjadikan reaksi yang defensive, perasaan tidak berharga, tidak memiliki tujuan. Bekerja dengan tujuan yang terlalu jauh dan terlalu sulit akan mengecewakan. Sub tujuan dengan kesulitan yang moderat akan menjadi motivasi dan memuaskan.

Seperti internalisasi standar performasi, persepsi self-efficacy, sangat berperan dalam self-regulated behavior. Persepsi self efficacy merujuk pada kepercayaan yang berfokus pada apa yang seseorang mampu lakukan, dan inimuncul dari berbagai sumber termasuk keberhasilan dan kegagalan personal, melihat orang lain yang setara dan persuasi verbal.

Orang dengan persepsi self-eficacy yang tinggi cenderung berusaha lebih, berprestasi lebih, dan tetap melakukan tugas yang panjang dari pada yang memiliki self-eficacy yang rendah. Karena orang dengan self-efficacy yang tinggi cenderung untuk mengontrol kejadian-kejadian di lingkungan dan melakukan sesuatu dengan keberanian.

Persepsi seseorang tentang self-efficacynya kadang tidak sesuai dengan real-self efficacy. Situasi yang terbaik adalah jika persepsi mereka sesuai dengan kemampuan mereka.  Dengan kata lain, jika seseorang melakukan sesuatu diluar kemampuan mereka, mereka akan frustasi, mudah menyerah. Dan jika orang dengan self-efficacy yang tinggi tidak memberi tantangan pada diri mereka secara tepat maka pertumbuhan akan terhalang.

Moral conduct

Moral code berkembang melalui interaksi dengan model. Dalam kasus moral, orang tua menjadi model pengaturan dan peran moral yang diinternalisasi oleh anak.

Bandura menekankan bahwa tingkah laku itu tidak konsisten, lebih dipengaruhi oleh ingkungan. Dengan kata lain tingkah laku lebih ditentukan oleh situasi dimana dia berada an persepsinya terhadap tingkah laku itu dari pada oleh tahap-tahap perkembangan, oleh sifat atau tipe seseorang.

  1. Moral Justification

Suatu tindakan yang salah menjadi bernilai lebih tinggi dan dapat dibenarkan.

  1. Euphemistic Labeling

Menunjukkan sesuatu yang patut dicela dengan sesuatu yang lain, dimana seseorang dapat bertingkah laku tanpa rasa rendah (self-contempt). Sebagai contohnya, orang yang tidak agresif dapat menjadi agresif kepada orang lain melalui game. Contoh yang lain adalah “soldier ‘waste’ people dari pada ‘kill them’.

  1. Advantangeous Comparison

Membandingkan tindakan yang menyebabkan self-deplored (penyesalan) dengan tindakan yang lebih mengerikan atau lebih keji, ini membuat tindakan yang reprehensible (patut dicela) terlihat remeh.

  1. Displacement of Responsibility

Melalui pemindahan tanggung jawab, seseorang dapat siap untuk meninggalkan prinsip moral jika mereka mereka merasa tingkah laku mereka akan menimbulkan sangsi atau persetujuan dengan kekuasaan. Sebagai contohnya tingkah laku staff Nazi yang inhumanity hanya tidak dirasakan sebagai tanggung jawab pribadi, karena mereka hanya menjalankan perintah.

  1. Diffusion of Responsibility

Keputusan untuk melakukan tindakan yang patut dicela yang dilakukan oleh kelompok itu lebih mudah dari pada keputusan individual. Dimana tanggung jawab individu dengan adanya pengaburan tanggung jawab maka tidak ada single tanggung jawab.

  1. Disregard or Distortion of Consequences

Orang mengabaikan dampak bahaya dari tindakan mereka sehingga mereka tidak merasakan penyesalan. Lebih jauh lagi, orang memindahkan dirinya dari dampak yang menyakitkan dari tindakan immoral mereka, menuju ke tekanan yang lebih rendah.

  1. Dehumanization

Jika seseorang terlihat sebagai subhuman, mereka dapat berberilaku inhumanly tanpa rasa bersalah.

  1. Attribution of Blame

 

Determinism versus Freedom

Apakah fakta yang menunjukkan bahwa tingkah laku adalah self-regulated berarti individu bebas melakukan apa yang mereka pilih? Bandura mendifinisikan kebebasan dalam artian sejumlah pilihan tersedia yang mungkin untuk orang dan kesempatan mereka untuk melakukannya. Ketidakleluasaan kebebasan individu meliputi incompetence, ketakutan yang tidak beralasan, excessive self-censure (celaan pada diri sendiri yang berlebihan), dan penghalang social seperti diskriminasi dan prasangka.

Kemudian di lingkungan yang sama beberapa individu lebih merasa bebas dari pada yang lain. Ketidakleluasaan lain dalam kebebasan individu dapat berasal dari kegagalan proses kognitif, dimana dapat mencegah orang berinteraksi secara efektif dengan lingkungan mereka.

 

FAULTY COGNITIVE PROCESSES

Bandura menyatakan betapa pentingnya proses kognitif dalam menentukan tingkah laku mahkluk hidup. Bagaimana individu menginternalisasi standar moral, mempercepsi self efficacy dan moral code sangat berperan dalam tingkah laku self-regulasi.  Bukti lain adalah fakta bahwa kita membayangkan diri kita di di kondisi emosi tertentu yang kita harapkan. Dan tingkah laku sangat dipengaruhi oleh imajinasi kita.

Jika proses kognitif tidak akurat dengan kenyataan maka akan menghasilkan tingkah laku yang maladaptive.  Bandura member beberapa jawaban atas perkembangan proses kognitif yang salah. Pertama mereka membangun keyakinan yang salah dari kecenderungan untuk mengevaluasi sesuatu berdasarkan penampilannya. Contohnya gelas kimia yang tinggi dan sempit memuat air lebih banyak dari pada yang kecil, pendek, karena bagi mereka lebih panjang berarti lebih besar. Kedua kesalahan pemikiran dapat berasal dari informasi yang mempunyai bukti yang tidak cukup bukti. Ketiga, pemikiran dapat berasal dari kesalahan pemrosesan informasi. Selain itu dari informasi yang benar juga ada kemungkinan dihasilkan kesimpulan yang salah. Sebagai contohnya, orang kulit hitam lebih banyak yang menganggur dari pada orang kulit putih kemudian kita menyimpulkan kesimpulan yang salah bahwa orang kulit hitam lebih tidak termotivasi dibandingkan orang kulit putih.

 

PRACTICAL APPLICATIONS OF OBSERVATIONAL LEARNING

What Modeling Can Accomplish

Modeling telah ditemukan sebagai dampak bagi observer. Respon yang baru dapat dihasilkan dari melihat model direinforced untuk tingkah laku tertentu. Kemudian acquisition tingkah laku muncul dari vicarious reinforcement. Respon akan terhalangi jika model di punished. Kemudian respon inhibition dihasilkan dari vicarious punishment. Melihat model dapat melepaskan diri dari ketakutan tanpa mengalami efek sakit dapat mengurangi inhibitions pada observer. Pengurangan rasa takut sebagai hasil dari pengobservasian model yang tidak dihukum dalam faered activity dinamakan disinhibition. Dengan menampilakan respon, model meningkatkan kemungkinan observer menghasilkan respon yang sama, ini dinamakan facilitation. Modeling juga dapat menstimulasi creativity, yang dapat dimahirkan dengan observer mengekspos bervariasi model yang membuat observer dapat mengadopsi combinasi dari berbagai karekteristik atau gaya.

Principle or rule yang mengarahkan tingkah laku berasal dari sesuatu seperti abstract modeling dimana orang akan mengobservasi model yang menunjukkan respon yang bervariasi yang mempunyai prinsip dan aturan yang umum. Abstract modeling mempunyai tiga komponen (1) mengobservasi situasi luas yang bervariasi yang mempunyai aturan atau prinsip yang umum (2) menyimpulkan role atau prinsip dari pengalaman (3) menggunakan aturan dan prinsip dalam situasi baru.

Menurut Bandura, segala sesuatu yang dapat dipelajari dengan pengaaman langsung dapat juga dipelajari melalui pengalaman tidak langsung. Akan lebih efektif jika belajar melalui modeling dengan mengeliminasi belajar secara langsung melalui trial dan error. Observational learning sangat penting untuk perkembangan dan pertahanan hidup. Karena kesalahan itu menghasilkan cost, atau konsekuensi fatal, prospek untuk bertahan akan menyempit jika kita belajar hanya dengan konsekuensi yang cukup dari trial dan error.

Modeling in the Clinical Setting

Menurut Bandura, psychopathology merupakan hasil dari dysfungcional learning, yang disebabkan ketidaktepatan antisipasi terhadap dunia. Tugas terapis adalah memberi pengalaman yang akan

Pshychopatologist mencarikan insight atau motivasi tak sadar bagi klien mereka

Banduara dan koleganya mempelajari keefektifan modeling dalam mengatasi psikopatologi. Sebagai contohnya penelitian eksperimen dengan subyek anak-anak yang takut anjing. Kelompok eksperimen di beri modeling teman sebayanya yang berinteraksi dengan anjing yang familiar, sedangkan kelompok control tidak. Hasilnya kelompok eksperimen beberapa waktu kemudian dapat berinteraksi dengan anjing dan digeneralisasikan dengan anjing yang tidak familiar.

Bandura menyimpulkan dari direct modeling (melihat model) dan symbolic modeling (melihat model dalam film) keduanya efektif untuk mengurangi ketakutan, tetapi direct modeling lebih efektif. Kekurang efektifan symbolic modeling dapat diatasi dengan menunjukkan variasi model dari pada hanya satu model.

Penelitiannya yang terakhir membandingkan keefektifan symbolic modeling, modeling dengan partisipasi dan desentisisasi sebagai teknik mengatasi phobia. Hasilnya ketiganya efektif untuk mengatasi phobia tetapi modelin-participation paling efektif.

 

THE INFLUENCE OF THE NEWS AND ENTERTAINMENT MEDIA

Televisi, koran, gambar bergerak adalah model dimana kita bisa belajar. Tidak semua yang kita pelajari dari berita dan infotainment itu negative, walaupun kadang-kadang terjadi. Karena dengan melihat televisi menyebabkan terjadinya kesalahan proses kognitif yang pada gilirannya dapat menyebabkan tindakan kriminal. Menurut Bandura, gambaran fiksi dan non fiksi dapat mendorong pada kekerasan. Walaupun tidak semua orang yang mengekspos kek.erasa di koran dan televise menjadi  melakukan kekerasan. Begitu juga dengan sexuality. Dalam faktanya materi erotic dapat mentreat orang yang mengalami problem sexual.

SOCIAL COGNITIVE THEORY

Tolman theory menjelaskan proses belajar sedangkan Bandura lebih komprehensif. Teori Bandura disebut teori observational learning menekankan pada fakta bahwa informasi terbesar datang dari interaksi kita dengan orang lain. Teori bandura menjelaskan keunikan manusia. Teori ini mendiskribsikan dinamika proses informasi, pemecahan masalah, dan organisasi social. Proses belajar kita baik dari direct learning maupun indirect learning selalu meliputi orang lain di setting social. Dan itu menjadi dasar observasi kita dan interaksi dimana kognisi kita berkembang.