Biro Konsultasi Psikologi

biro yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa psikologi.
Fokus dari biro ini adalah pengembangan sumber daya manusia, baik dalam dunia pendidikan, sosial kemasyarakatan, maupun untuk lingkungan organisasi atau perusahaan.

VISI
Smart Insight Psychology merupakan lembaga konsultasi psikologi yang berusaha untuk menciptakan individu yang berkualitas dalam segala hal sehingga mampu mengembangkan diri secara optimal di masyarakat.

MISI
1. Smart Insight Psychology berusaha membantu meningkatkan
kualitas manusia melalui pelatihan yang bermutu.
2. Smart Insight Psychology membantu para siswa menentukan
jurusan pendidikan yang tepat dengan penelusuran tes minat dan
bakat.
3. Smart Insight Psychology berusaha ikut serta menggali dan
mengembangkan potensi setiap anak agar anak dapat tumbuh
secara sehat, baik fisik maupun psikisnya.
4. Smart Insght Psychology berusaha membantu perusahaan
atau organisasi dalam memilih pegawai yang cakap dan trampil
melalui system seleksi, asessmen serta system promosi yang sesuai,
sehingga memperoleh tenaga yang tepat sesuai dengan bidangnya
(the right man and the right place).
5. Smart Insght Psychology senantiasa membantu serta
menyediakan dukungan psikologis dan sosial bagi masyarakat
untuk mengatasi masalah yang dihadapi baik masalah pribadi,
keluarga maupun pekerjaan agar dapat kembali bekerja secara
maksimal.
6. Smart Insight Psychology selalu mengutamakan kualitas
dalam segala hal, sehingga tercipta professionalisme dalam
bekerja dan menjalin hubungan dengan semua pihak.

Smart Insight Psychology bekerja dengan mengadakan mengadakan pelatihan maupun workshop yang berkaitan dengan ilmu psikologi. Di samping itu, kami juga menerima layanan konsultasi bagi anak, remaja, dan dewasa mulai dari masalah dalam kegiatan belajar di sekolah hingga masalah-masalah pribadi.

Biro konsultasi Psikologi, Smart Insight Psychology hingga saat ini memiliki fokus layanan antara lain :
1. Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui Training,
Pelatihan, Workshop maupun seminar bagi Perusahaan
maupun Organisasi
2. Jasa Psikologi / Konsultasi bagi Anak dan Remaja
3. Jasa Psikologi / Konsultasi bagi Dewasa

Secara umum 3 hal di atas merupakan layanan yang kami sediakan bagi konsumsi masyarakat luas, dunia pendidikan, maupun organisasi / perusahaan.

jogjatranslate.com jasatranslate.com copycdjogja.com duplikatcd.com alatinterpreter.us alat-interpreter.com sewaalatinterpreterjogja.com rentalalatinterpreterjogja.com persewaanalatinterpreter.com jasainterpreter.us sewaalatinterpretersurabaya.com sewaalatinterpretersemarang.com interpreterjogja.com

Metode Belajar : Kumon

Metode Kumon

Metode Kumon

KUMON adalah sistem belajar yang memberikan program belajar secara perseorangan sesuai dengan kemampuan masing-masing, yang memungkinkan anak menggali potensi dirinya dan mengembangkan kemampuannya secara maksimal. Melalui pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris, KUMON tidak hanya membentuk kemampuan akademik saja, akan tetapi juga membentuk karakter yang positif dan “life-skills” (ketrampilan hidup) yang akan berguna bagi masa depan anak.

KUMON dapat diikuti oleh anak prasekolah, siswa SD, siswa SMP dan siswa SMA, dengan segala tingkat kemampuan. Sistem belajar KUMON didukung oleh materi bahan pelajaran yang tersusun secara sistematis dan ‘step by step’ sehingga tanpa terasa pelajaran anak dapat maju ke bagian yang lebih tinggi.

Kumon dikembangkan pertama kali di tahun 1954 oleh seorang guru Matematika SMA Jepang, Toru Kumon, yang awalnya ingin membantu pelajaran Matematika anaknya. Kini Kumon telah menyebar di 45 negara di dunia dengan jumlah siswa lebih dari 4.13 juta anak.

KEISTIMEWAAN KUMON

Di KUMON, anak belajar dengan cara: membaca petunjuk dan contoh soal pada lembar kerja, berpikir sendiri, lalu mengerjakan soal dengan kemampuannya sendiri. Sistem belajar, bahan pelajaran, dan pembibingan KUMON dibuat sedemikian rupa agar anak dapat belajar secara mandiri.

Sesuai Kemampuan Masing-masing Anak

Di KUMON pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak, bukan berdasarkan tingkatan kelas atau usia anak. Agar anak dapat mengerjakan pelajarannya dengan lancar secara mandiri, mereka perlu diberikan pelajaran yang “tepat”. Dengan sistem belajar ini, kemapuan setiap anak dapat berkembang secara maksimal.

Bahan Pelajaran Small Steps

Rangkaian soal-soal pada lembar kerja KUMON tersusun secara “small steps” sehingga dapat leluasa disesuaikan dengan kemampuan belajar dan kemajuan anak. Disusun sedemikian rupa agar dapat membentuk kemampuan dasar yang mantap dan memungkinkan anak mengerjakan level yang lebih tinggi dari tingkatan kelasnya dengan kemampuannya sendiri.

Dukungan Pembimbing untuk Setiap Individu Anak

Pembimbingan di KUMON bertujuan agar anak maju ke pelajaran yang lebih tinggi dengan kemampuannya sendiri. Karena itu, pembimbing selalu memperhatikan dan mengamati satu per satu anak dengan baik, lalu memberikan lembar kerja dan pendekatan yang sesuai dengan kemampuan dan keadaan setiap individu anak.

Metode belajar Kumon yang terkenal dan mendunia saat ini merupakan hasil cinta seorang ayah terhadap anaknya setengah abad yang lalu. Semuanya dimulai dari pengalaman biasa. Suatu hari, seorang anak laki-laki yang duduk di kelas 2 SD pulang dari sekolahnya dengan membawa hasil tes matematika di sakunya. Kemudian Ibunya menemukan hasil tes tersebut dan melihat nilai yang jelek.

Ayah anak tesebut, Toru Kumon, adalah seorang guru matematika yang mengajarkan matematika dengan cara yang tidak umum dilakukan di masyarakat. Pendekatan yang digunakan oleh Toru Kumon adalah fokus pada anak, dan ternyata hal inilah yang akhirnya menjadikan metode belajar Kumon revolusioner 50 tahun kemudian.

Setiap malam Toru Kumon membuat soal-soal matematika yang harus dikerjakan selama 30 menit oleh anaknya di siang hari. Toru Kumon berusaha untuk menyesuaikan soal-soal yang dibuatnya dengan kemampuan berfikir anaknya sehingga anaknya dapat dengan mudah mempelajari konsep.

Toru Kumon menyaksikan anaknya dapat mempelajari sendiri konsep demi konsep secara efektif. Dengan cepat nilai anaknya meningkat hingga dapat melampaui kurikulum di sekolahnya. Hal ini membuktikan kepada Toru Kumon bahwa jika pendidikan benar-benar sinergis dengan kemampuan setiap anak, maka mereka akan mampu belajar dengan sangat baik melebihi harapan dan kurikulum sekolah. Selanjutnya, hal ini akan membuat mereka merasa nyaman dengan sekolah, membuka masa depan dan menguatkan karakter mereka.

Karena dorongan dan permintaan dari banyak orangtua, akhirnya Toru Kumon memutuskan membuka kelas Kumon Matematika untuk anak-anak yang tinggal di sekitar rumahnya. Dia menyaksikan sendiri bahwa anak-anak merespon lembar kerjanya dan metode belajar Kumon dengan antusias. Hal ini mendorongnya untuk menolong sebanyak mungkin anak untuk menggali potensi mereka.

Saat ini, banyak siswa yang belajar matematika dan bahasa dengan lembar kerja metode Kumon di 45 negara di dunia. Setiap jam dalam sehari, anak-anak dimana saja sedang mengerjakan lembar kerja Kumon untuk menggali potensi dalam diri mereka melalui belajar sendiri (self learning).

Kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh keluarga yang telah belajar dengan metode Kumon 50 tahun yang lalu. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada jutaan anak, orangtua mereka, dan semua pembimbing yang telah membuka kelas Kumon di masyarakat.

Kami semua mendedikasikan pembelajaran dan perkembangan kepada siswa-siswa kami. Kami berharap setiap anak dapat mencapai tujuan dan mimpi besar mereka di masa yang akan datang. Kami akan tetap malanjutkan komitmen kami untuk melayani masyarakat melalui pengembangan setiap anak.

Keluarga besar Kumon akan terus belajar, berfikir dan berkembang sebagai pendidik, selalu menekankan rasa tanggungjawab kepada setiap anak dan masa depan mereka. Kami akan terus berusaha menaggali potensi setiap anak di dunia untuk 50 tahun ke depan.

sumber: id.kumonglobal.com

 

jogjatranslate.com jasatranslate.com copycdjogja.com duplikatcd.com alatinterpreter.us alat-interpreter.com sewaalatinterpreterjogja.com rentalalatinterpreterjogja.com persewaanalatinterpreter.com jasainterpreter.us sewaalatinterpretersurabaya.com sewaalatinterpretersemarang.com interpreterjogja.com

SIFAT ESENSIAL DAN TUJUAN PROSES REHABILITASI

rehabilitasi

TB

Menurut Peterson (1958)  rehabilitasi adalah restorasi (perbaikan) orang yang menderita disabilitas untuk dapat berguna sesuai dengan kemampuannya. Restorasi dapat mencakup fisik, mental sosial, vokasional dan ekonomi. Tujuannya adalah  membantu individu untuk dapat mandiri, (membantu individu membuat dirinya mandiri). Dalam usaha restorasi ini, dapat dilakukan dengan cara  membantu individu untuk menentukan jalan hidup yang paling baik  bagi dirinya. Hal ini sesuai dengan tujuan konseling non direktif. Akan tetapi sering cara ini tidak digunakan dalam rehabilitasi. Banyak pekerja rehabilitasi mengambil sikap bahwa klien harus direhabilitasi secepat mungkin, sebelum mendengarkan keputusan dari klien.

Jika para klien suda mengembangkan sikap mandiri, mereka dapat menangani perubahan-perubahan yang datang, dengan lebih baik, dan dapat  menangani problem di dalam kehidupannya. Apabila mereka berpartisipasi aktif dan penuh dalam pemecahan masalahnya, mereka akan merasa bahwa tujuan itu menarik.dan sesuai. Kemandirian sebagai tujuan rehabilitasi  dapat dicapai dengan cara mempraktekan mengambil tanggungjawab bagi diri sendiri. Ada 4 aspek yang memungkinkan pengembangan tanggungjawab dan kemandirian pada klien.

Yang pertama, sikap pekerja rehabilitasi, yaitu mengakui klien sebagai manusia, atau person yang mempunyai kapasitas untuk membantu diri sendiri jika diberi kesempatan. Mungkin ia kurang percaya diri, kehilangan  respek terhadap dirinya sendiri. Tetapi permulaan dari restorasi respek diri adalah apabila dia mengalami respek dari orang lain. Untuk mengembangkan respek diri ini dapat dengan cara memperlakukan klien sebagai individu yang berharga untuk di hargai, orang yang perlu di perhitungkan, yang ide-idenya, perasaannya dan keinginannya adalah penting

Aspek kedua, Klien yang cacat harus di perlakukan sebagai individu yang unik, jangan menganggap kecacatannya sebagai suatu kasus. Pekerja rehabilitasi harus lebih  memfokus pada kekuatan-kekuatanya dan kemampuannya untuk mandiri bukan pada kekurangan dan ketidakmampuannya atau ketergantungannya.

Aspek ketiga, pekerja rehabilitasi berusaha untuk sunggu-sunggu mengerti klien, memberi kepercayaan  terhadap klien untuk mengambil tanggungjawab bagi dirinya sendiri, dalam memecahkan problem-problemnya sesuai kapasitasnya, dan mengembangkan sendiri solusinya. Pekerja rehabilitasi   konsentrasi pada sikap, perasaan, dan persepsi klien.

Aspek keempat, Pekerja rehabilitasi harus mengakui adanya  perbedaan individu pada klien. Setiap klien berbeda, walaupun dengan disebilitas yang sama belum tentu mempunyai kesamaan dalam penyesuaiannya. Agar dapat sukses dalam rehabilitasi, pekerja rehabilitasi mengembangkan dalam diri klien pengertian diri sendiri, sehingga pilihannya sesuai bagi dirinya.

Rehabilitasi menuju kemandirian membutuhkan  waktu dan kesabaran.  Karena klien harus diberi kesempatan untuk mengerjakannya sendiri, agar ia belajar. Karena rehabilitasi adalah proses belajar.

jogjatranslate.com jasatranslate.com copycdjogja.com duplikatcd.com alatinterpreter.us alat-interpreter.com sewaalatinterpreterjogja.com rentalalatinterpreterjogja.com persewaanalatinterpreter.com jasainterpreter.us sewaalatinterpretersurabaya.com sewaalatinterpretersemarang.com interpreterjogja.com

Pendidikan Anak Usia Dini PAUD

PAUD pendidikan usia dini

PAUD

Salah satu fase penting dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia adalah masa kanak-kanak.  Masa anak-anak, khususnya 5 tahun pertama dan masa sekolah merupakan suatu masa dimana terjadi banyak perubahan baik secara fisik, kognisi maupun sosialnya. Biasanya oleh para ahli, masa ini disebut sebagai masa GOLDEN AGE atau masa keemasan. Masa ini menjadi penting karena seluruh proses pemasakan terjadi pada masa ini.  Secara fisik, perkembangan baik motorik halus dan kasarnya mulai berkembang dan mengalami pemasakan. Secara kognisi, pada tahun-tahun ini otak anak sedang “dirajut” menjadi sebuah struktur otak yang lengkap. Seperti kita ketahui bahwa otak ini memiliki domain atau bagian untuk setiap kecerdasan. Andaikata ketika otak sedang merajut otak dengan fungsi kognitif tertentu (berbahasa), mengalami kerusakan karena salah asuh, akan mempengaruhi perkembangan anak dalam hal kemampuannya berkomunikasi secara verbal.  Secara sosial, anak sedang mengembangkan pola sosialisasinya. Berhubungan dengan dunia luar, anak belajar berbagi, anak mulai belajar ada orang lain disekitarnya, ketika pada tahap seperti ini anak mengalami salah pengasuhan, akan mengganggu proses sosialisasinya nanti. Bisa-bisa anak menjadi apatis (tidak peka terhadap perasaan orang lain), mau menang sendiri, tidak bisa bekerja sama, tidak bisa mengelola emosinya dengan baik dan keadaan ini biasanya memberi dampak pada perkembangan jangka panjang, yaitu pada masa remaja atau dewasa nanti.

Studi mengenai pentingnya masa ini sudah banyak dilakukan. Di Indonesia sendiri ditandai dengan tumbuhnya banyak lembaga yang menangani PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD). Kepentingan ini berkaitan dengan pentingnya masa kanak-kanak dan pengaruhnya terhadap masa selanjutnya.  Beberapa penelitian telah dihasilkan berkaitan dengan apa yang terjadi pada tahun pertama dari kehidupan mempunyai signifikansi yang berlangsung lama pada masa pertumbuhan anak-anak dan kehidupan orang dewasa (Daniel Fung, 2002).

Take home test ini merupakan salah satu bentuk evaluasi ilmiah yang diberikan dalam rangka memahami masa kanak-kanak ini, khususnya PAUD.  Berikut adalah jawaban atas pertanyaan kritis yang diberikan dalam rangka memahami dan mendalami PAUD :

  1. Pembahasan mengenai perkembangan manusia tidak terlepas dari kontroversi-kontroversi tentang bagaimana proses perkembangan itu terjadi, al :
    1. Nature vs nurture (bakat vs pengasuhan) :

Teori nature menyebutkan bahwa sifat-sifat bahkan perilaku seseorang bersifat genetis, dalam artian apa yang ada dalam diri manusia merupakan bawaan. Jika berkaitan dengan gen, selalu berkaitan dengan sesuatu yang tidak bisa diubah atau akan menetap.  Misalnya seorang ayah yang memiliki emosi yang meledak-ledak, akan  menurun kepada anaknya. Gen pemarah ayah menurun pada anak.

Teori ini kemudian dipatahkan oleh teori lain yang mengatakan bahwa manusia berkembang dibawah pengaruh pengasuhan (nurture). Pengasuhan ini berkaitan dengan lingkungan. Sehingga ini berarti apa yang terjadi dan ditunjukkan seseorang (anak) merupakan pembentukan lingkungan. Misalnya, ayah yang pemarah tadi belum tentu akan mempunyai anak yang pemarah. Tetapi ia akan jadi pemarah karena melihat dan belajar karena didik dalam lingkungan yang pemarah. Jadi tidak bersifat menurun secara genetis tetapi penekananya pada proses belajar anak.

  1. Kontinuitas vs diskontinuitas :

Kontinuitas menunjuk pada pandangan bahwa perkembangan meliputi perubahan yang berangsur-angsur, sedikit demi sedikit, dari pembuahan sampai kematian. Ada tahap-tahap tetap yang harus dilalui seperti konsepsi –- zigot — janin — bayi — anak — remaja — dewasa.  Apa yang terjadi pada anak saat ini merupakan akumulasi dari apa yang ia pelajari pada taap sebelumnya. Jadi tahap saat ini bukan tahap yang terjadi begitu saja. Misalnya kata pertama seorang anak, tidak terjadi tiba-tiba, tetapi merupakan hasil dari pembelajaran anak berbulan-bulan.

Diskontinuitas merupakan pandangan perkembangan yang meliputi adanya tahap-tahap yang khas atau berbeda dalam masa hidup.  Teori diskontinuitas ini menunjukkan suatu urutan tahapan yang bersifat kualitatif daripada bersifat kuantitatif. Misalnya seorang anak yang beralih dari kemampuan berpikir pra operasional ke berpikir abstrak.  Ada perubahan secara kualitatif, seolah-olah terputus dari perkembangan, tidak secara kuantitatif.

  1. Organismik vs mekanistik :
  1. Memahami perkembangan tidak terlepas dari metode penelitian yang dipakai. Dalam ilmu perkembangan ada beberapa bentuk penelitian yang dipakai seperti penelitian longitudinal, penelitian cross sectional, eksperimen, laboratorium, studi kasus. Metode-metode ini dipakai untuk mengukur perilaku anak secara ilmiah. Ada beberapa yang hal mempengaruhi reliabilitas pengukuran pada penelitian perkembangan.

Reliabilitas biasanya dipahami sebagai keajegan. Keajegan ini berkaitan dengan kondisi yang stabil. Dalam arti ketika pengukuran yang sudah ditetapkan untuk mengukur suatu perilaku anak di pakai untuk mengukur perilaku yang sama ditempat lain, hasilnya selalu stabil atau hampir sama. Bahkan bisa dikatakan hasilnya bisa di generalisasikan

Hal-hal yang bisa melemahkan realibilitas pengukuran adalah :

  • Kondisi anak yang tidak bisa diramalkan seperti cepat bosan, tidak betah dengan satu kondisi, tidak nyaman dengan kehadiran orang asing. Sehingga bisa saja hari ini anak hadir, pengukuran kedua pada esok hari atau jam lain, anak tidak mau hadir.
  • Kondisi anak dalam hal kesehatan. Anak yang tidak sehat tidak bisa mengikuti prosedur pengukuran dengan baik.
  • Kehadiran orangtua atau pengasuh menemani anak ketika pengukuran berlangsung. Keaslian sikap danperilaku anak akan mengalami bias.
  • Kondisi lingkungan (tampat pengukuran berlangsung) yang tidak mendukung. Misalnya ingin mengukur peningkatan kognisi dengan bermain konstruksi. Alat ukur kognisi yang diberikan pada anak dikota bisa berbeda hasilnya dengan anak didesa karena ketika pemberian permainan, kondisi tempat bermain didesa ribut dengan suara binatang dan diluar ruangan. Perhatian anak terganggu.
  1. Kesalahan type I dan Type II.  2 type kesalahan ini berkaitan dengan bagaimana menarik kesimpulan validitas secra statistik.  Ada 2 jenis pengambilan keputusan, yaitu apakah hipotesis bisa diterima atau ditolak.

Kesalahan type I terjadi apabila hipotesis I ditolak (dengan angka probabilitas sama dengan a–dimana a dipakai sebagai kritik untuk menolak hipotesis null)

Kesalahan tipe II terjadi apabila hipotesis ke 2, yang tidak diharapkan diterima (angka probabilitas sama dengan b, dimana  [1- b] = power).

  1. Darwin juga menulis buku yang berkaitan dengan perkembangan emosi. Salah satu buku yang ditulisnya mempermasalahkan apakah emosi itu merupakan bawaan ataukah dipelajari. Bagi Darwin, emosi merupakan sesuatu yang bersifat herediter, dibawa sejak lahir oleh seorang anak. Menurutnya kemampuan seseorang mengkomunikasikan emosinya lewat ekspresi wajah merupakan bawaan/ innate.

Bagi penulis sendiri, pendapat Darwin ini tidak sepenuhnya. Ini berkaitan dengan ada beberapa emosi yang memang bersifat bawaan, misalnya tempramen. Dan sesuatu yang berkaitan dengan bawaan biasanya tidak bisa dirubah tetapi bisa diatur atau dikendalikan frekuensi nya. Tetapi jika ini berkaitan dengan pengungkapan emosi dengan ekspresi wajah, hal ini lebih cenderung pada proses pembelajaran.  Sejak lahir, bayi hanya mengenal emosi dasar seperti sakit (merasa tidak nyaman), diekspresikan dengan menangis; merasa nyaman diekspresikan dengan tidur tenang, tersnyum, tidak rewel. Perkembangan selebihnya lebih terpengaruh pada pola pembelajaran orangtuanya atau lingkungan (kebudayaan).  Misalnya, anak belajar mengekspresikan perasaan marahnya dengan perilaku agresif, biasanya dipelajari dari lingkungannya.

Ketika anak melakukan kesalahan kecil, orangtua memarahi dengan suara keras, melotot bahkan memukul dengan maksud anak tidak mengulang, tetapi justru anak belajar, ketika dia marah, saya harus mengekspresikan emosi marah saya dengan memukul, bersuara kasar seperti mama/ papa/ pengasuh.

Atau ketika anak merengek sesuatu kemudian dengan tidak sengaja melempar sesuatu ditangannya, tetapi orangtuanya tidak marah, anak belajar bahwa ketika ia membutuhkan sesuatu, merengek, membanting-banting barang dan ia tidak dimarahi malah diberi apa yang ia mau.

Penulis sendiri menyimpulkan bahwa ada pengaruh bawaan emosi yang bersifat temprament akan tetapi pengaruh lingkungan (dalam hal ini lingkungan keluarga) memiliki peran beras juga salam pembentukan atau proses regulasi emosi anak.

  1. Menurut Piaget, pelajaran perkalian dan pembagian diberikan guru bila anak paling tidak sudah berumur 7 tahun.

Piaget adalah tokoh perkembangan kognitif. Ada beberapa tahap kognisi yang digolongkan Piaget :

  • Tahap sensori motoris (1-2 tahun)
  • Tahap pra operasional (2-7 tahun)
  • Tahap konkret operasional
  • Tahap formal operasional

Sebelum anak berumur 7 tahun, anak masih sampai pada tahap berpikir pra operasional. Pada tahap ini anak masih dalam tahap mengembangkan kemampuan, al :

  • Anak suka bermain dengan simbol. Anak baru sampai pada tahap pemikiran simbolik. Anak mampu menggunakan simbol-simbol untuk mengintrepretasi benda yang ia ketahu atau kejadian yang ia alami. Ini bisa kita lihat dari kegiatan anak bermaian. Umumnya mereka melakukan permainan yang bersifat fantasi, bermain drama dengan meniru perilaku orang dewasa, menggambar dan penggunaan bahasa anak ketika bermain.
  • Anak usia 6 tahun kebawah masih mengalami kesukaran dalam klafisikasi, pengambilan keputusan, menggunakan konsep angka, usia dan konversi.
  • Usia 5-6 tahun, anak masih mengembangkan cara berpikir yang tranduktif, yaitu mengambil kesimpulan dari hal khusus.
  • Anak usia pra sekolah sudah bisa memahami konsep benda-benda yang kongkret, tetapi belum bisa untuk memahami hal-hal yang bersifat abstrak seperti umur dan angka. Pemahaman angka mereka masih terbatas pada penjumlahan dan pengurangan dengan bantuan benda-benda konkret seperi batu, kuhttp://sewaalatinterpretersemarang.comrsi, buah, permen.
  • Anak juga belum memahami ada tidaknya perubahan dalam ukuran jika terjadi perubahan bentuk

Dengan beberapa alasan diatas, bisa disimpulkan mengapa Piaget mengusulkan mengenai kapan sebaiknya anak diberi pengajaran perkalian dan pembagian.

jogjatranslate.com jasatranslate.com copycdjogja.com duplikatcd.com alatinterpreter.us alat-interpreter.com sewaalatinterpreterjogja.com rentalalatinterpreterjogja.com persewaanalatinterpreter.com jasainterpreter.us sewaalatinterpretersurabaya.com sewaalatinterpretersemarang.com interpreterjogja.com

MODEL PEMBELAJARAN KOGNITIF

Model Pembelajaran Kognitif

Model Pembelajaran Kognitif

MODEL PEMBELAJARAN KOGNITIF

Dikutip dari R.E. Slavin

Oleh Asmadi Alsa

            Discovery Learning (Jerome Bruner)

Satu model pembelajaran kognitif yang sangat berpengaruh adalah Discovery Learning yang dikemukakan oleh Jerome Bruner. Menurutnya peran guru  adalah menciptakan situasi belajar sedemikian rupa agar siswa dapat belajar berdasar apa yang mereka miliki, bukan memberikan paket informasi.

Bruner mengatakan bahwa mengajar bukan untuk menghasilkan perpustakaan hidup, tapi memberikan kesempatan pada siswa untuk berfikir, yang akan berguna bagi pengembangan diri. Untuk mendapatkan pengetahuan siswa harus dapat berperan sebagai sejarawan, yaitu mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan, karena menurut Bruner pengetahuan adalah suatu proses dan bukan suatu produk.

Bruner mengusulkan seharusnya siswa belajar dengan terlibat secara aktif dengan konsep-konsep atau prinsip-prinsip, dimana mereka harus didorong untuk memiliki pengalaman-pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan sendiri konsep dan prinsip-prinsip tersebut.

Discovery learning terjadi apabila siswa dihadapkan pada situasi-situasi problem yang menuntut mereka untuk menemukan konsep-konsep esensial dari suatu pelajaran. Bruner menyarankan belajar melalui discovery karena discovery mendukung active learning.  Menggunakan pendekatan active learning dalam mengajar berarti memberikan contoh atau problem dan kemudian meminta siswa untuk berfikir dan meneliti contoh-contoh atau problem-problem tersebut secara induktif dengan tujuan siswa dapat merumuskan satu prinsip umum.

Discovery learning banyak bisa diterapkan untuk kelompok sains. Misal: Siswa diminta mendorong masing-masing dari beberapa silinder yang berbeda besar dan beratnya, beberapa utuh dan beberapa berlubang pada jalan menurun. Melalui eksperimen semacam ini para siswa dapat menemukan prinsip-prinsip yang menentukan kecepatan lari silinder-silinder tersebut. Karena pendekatan ini dimulai dari hal yang spesifik menuju ke yang umum, maka ia memfasilitasi terjadinya penalaran secara induktif (berfikir sintesis).

Kondisi-kondisi apa saja yang dapat meningkatkan efektivitas discovery learning? (1) Siswa harus sudah memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk bisa menemukan suatu prinsip yang diajarkan. (2) Menyediakan model-model untuk  menuntun discovery, (3) Penggunaan kontras untuk merangsang konflik kognitif.

Beberapa keuntungan pemakaian Discovery Learning:

  1. Memunculkan rasa ingin tahu siswa
  2. Memotivasi mereka terus bekerja sampai mereka memperoleh jawaban
  3. Dapat mengajar keterampilan memecahkan masalah secara independen
  4. Dapat “memaksa” siswa untuk menganalisa dan “memanipulasi” informasi dan bukan sekedar menyerap informasi tersebut.

Kerja Bruner berpengaruh terhadap gerakan sekolah terbuka dan

Pendekatan humanistik dalam pendidikan.

  1. Events of Learning and Instruction (Robert Gagne)

Robert Gagne mengemukakan kondisi-kondisi yang harus dipenuhi

ketika belajar berlangsung, dan mengkaitkan kondisi-kondisi tersebut dengan peristiwa pengajaran, yaitu langkah-langkah dalam mentransmisi informasi. Formulasi Gagne menguraikan hubungan antara peristiwa belajar dan peristiwa pembelajaran.

1. Peristiwa-Peristiwa Belajar (Events of Learning).

Gagne menyebutkan bahwa kegiatan belajar melibatkan internal events, yang terjadi dalam fikiran siswa, dan external events, yang dapat dipengaruhi oleh guru, siswa, maupun karakteristik bahan pelajarannya. Kesemuanya meliputi delapan rangkaian peristiwa.

a. Motivation Phase

Siswa harus dimotivasi untuk belajar dengan menunjukkan harapan

bahwa belajar akan mendapat keuntungan atau mendapat rewards seperti memenuhi rasa ingin tahu, memiliki makna bagi siswa, atau membantu untuk mendapatkan nilai baik.

  1. b.    Apprehending Phase

Siswa harus memahami ciri-ciri esensial materi pelajaran ketika belajar

berlangsung. Ini berarti siswa harus memberikan atensi terhadap aspek-aspek yang relevan mengenai apa yang dikatakan guru atau tentang ide-ide utama dalam buku teks.

c. Acquisition Phase

Informasi yang diterima siswa tidak disimpan secara langsung dalam

memory, tapi terlebih dulu harus ditransformasikan kedalam bentuk yang berarti, yang berhubungan dengan informasi yang sudah ada dalam memory siswa. Siswa dapat membentuk mental image tentang informasi tersebut atau membentuk hubungan antara informasi tersebut dengan informasi lama yang sudah dimiliki siswa. Guru dapat mendorong proses ini dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk melihat atau memanipulasi obyek atau dengan menunjukkan hubungan antara informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya (Ausubel: advance organizer).

d. Retention Phase

Informasi yang baru diperoleh siswa harus ditransfer dari short term

memory ke long term memory. Transfer ini dapat terjadi melalui cara rehearsal, latihan, elaborasi, atau cara lain.

  1. Recall Phase

Kemungkinan yang dapat terjadi setelah belajar adalah bahwa kita

dapat kehilangan akses menuju informasi yang tersimpan dalam long term memory. Oleh karena itu merupakan bagian penting dalam belajar adalah usaha untuk mencapai akses ke bahan yang sudah kita pelajari agar kita dapat merecall informasi tersebut. Akses untuk mencapai informasi tersebut dibantu melalui pengorganisasian: pengelompokan berdasar kategori, atau konsep lebih mudah direcall daripada bahan yang disajikan secara acak.

  1. Generalization Phase

Biasanya suatu informasi hanya memiliki nilai kecil kecuali kalau

informasi itu dapat diaplikasikan di luar kelas. Jadi generalisasi atau transfer informasi ke situasi-situasi baru merupakan fase kritis dalam belajar. Transfer dapat dibantu dengan mengharuskan siswa untuk menggunakan informasi ke dalam setting atau peristiwa-peristiwa baru, seperti menugaskan siswa menggunakan kemampuannya dalam pelajaran berhitung untuk memecahkan problem-problem yang nyata.

g.  Performance Phase

Dalam performansinya siswa harus menunjukkan bahwa ia “memilki

kemampuan”. Misal para siswa yang baru saja mempelajari perkalian 7 dapat menunjukkan kemampuannya bahwa kalau ada tiga orang yang masing-masing memiliki 7 kelereng, maka keseluruhan kelereng akan berjumlah 21.

  1. h.    Feedback Phase

Siswa harus diberi feedback atas performansinya agar ia tahu apakah

ia telah faham atau belum atas informasi yang diberikan. Umpan balik ini dapat berperan sebagai reinforcer bagi performansi yang berhasil.

Contoh: Seorang siswa belajar memperbaiki mesin mobil dengan ditunjukkan oleh instrukturnya bagaimana memasang karburator. Setelah itu siswa diminta memasang sendiri karburator tersebut di mesin (fase performansi) dan kemudian mengecek apakah mesin mobil dapat dihidupkan (fase feedback). Jika mesin dapat dihidupkan ia akan terreinforced untuk perilaku belajarnya tersebut, sedangkan kalau mesin tidak dapat dihidupkan ia mendapatkan informasi yang bernilai untuk mengubah perilaku belajarnya, memasang kembali karburator, dan mencoba lagi.

2. Peristiwa Pengajaran (Events of Instruction)

Berdasar atas analisanya terhadap peristiwa-peristiwa belajar, Gagne

mengusulkan adanya peristiwa-peristiwa yang kritis dalam pembelajaran selaras dengan peristiwa belajar siswa.

a. Memotivasi siswa dengan menginformasikan tujuan

Langkah I dalam mengajar adalah memunculkan motivasi siswa untuk belajar. Caranya adalah dengan memunculkan minat siswa terhadap materi pelajaran dengan menginformasikan manfaat pelajaran tersebut di kemudian hari. Siswa butuh mengetahui mengapa ia harus mempelajari, apa dan seperti apa yang akan mereka pelajari.

  1. b.    Mengarahkan atensi

Guru harus mengarahkan atensi siswa pada informasi yang relevan guna memfokuskan energi mental siswa terhadap hal-hal yang penting. Hal ini dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan diagram atau menandai konsep-konsep penting.

c. Menstimulasi recall

Agar siswa dapat berhasil mengasimilasi informasi,  mereka perlu merecall informasi terkait yang ada dalam memory mereka. Guru harus menstimulir recall melalui ingatan siswa terhadap informasi terdahulu dan hubungannya dengan materi yang baru. Misal guru mereviu konsep sentimeter sebelum mengajar sentimeter kubik.

d. Menyediakan bimbingan belajar

Bentuk bimbingan belajar yang diberikan kepada siswa tergantung pada tujuan belajar, apakah belajar konsep, prinsip, atau yang lain. Dalam discovery learning, bimbingan belajar dapat mengambil bentuk penyediaan materi dan petunjuk pelaksanaan atau ilustrasi yang tepat.

e. Meningkatkan retensi

Retensi terhadap informasi yang baru diperoleh dapat ditingkatkan melalui beberapa cara. Salah satunya adalah dengan menyuruh siswa  mempraktekkan kemampuan matematika yang baru diperoleh. Cara lain adalah dengan memberikan banyak contoh. Reviu berjarak beberapa hari juga dapat meningkatkan retensi.

f. Mempromosikan transfer belajar (untuk generalisasi)

Segera setelah informasi baru masuk dalam memory siswa, tugas selanjutnya adalah memastikan bahwa siswa dapat melakukan transfer atau generalisasi prinsip-prinsip atau konsep-konsep pada peristiwa-peristiwa baru, seperti aplikasi pemecahan problem atau aplikasi ke bidang-bidang lain seperti hubungan antara sentimeter kubik ke dalam liter.

  1. g.    Memperoleh performansi, menyediakan umpan balik

Pada akhir siklus pengajaran siswa harus menunjukkan apa yang sudah mereka ketahui sehingga guru dapat mengatakan apakah mereka berada pada track yang benar atau salah.

  1. 3.    Reception Learning (David Ausubel)

David Ausubel menyangkal pernyataan yang menyebutkan bahwa para siswa

tidak mengetahui apa yang penting dan apa yang relevan dalam mempelajari sesuatu. Ausubel juga menyebutkan bahwa banyak siswa membutuhkan motivasi eksternal untuk melakukan kerja kognitif yang dituntut pelajaran sekolah. Para pendukung Reception Learning berpendapat bahwa pekerjaan guru adalah menstruktur situasi belajar, menyeleksi materi yang sesuai bagi siswa, dan selanjutnya menyajikannya dalam bahan yang terorganisir secara baik yang bergerak dari idea-idea umum ke detil yang lebih spesifik. Inti pendekatan Ausubel adalah apa yang ia sebut sebagai Expository Teaching, yaitu pengajaran yang terencana, sistematik atas informasi yang penuh arti. Meskipun peran guru berbeda antara Discovery Learning dan Reception Learning, namun kedua pendekatan tersebut memiliki persamaan-persamaan, yaitu:

  1. Keduanyan menuntut para siswa terlibat secara aktif dalam proses belajar
  2. Keduanya menekankan pelibatan pengetahuan siswa sebelumnya untuk menunjang perolehan pengetahuan baru
  3. Keduanya berasumsi bahwa pengetahuan berubah dalam fkiran siswa

Catatan tambahan:

Istilah active learning mempunyai konotasi constructivism, yaitu belajar secara aktif dan dikonstruksi dalam konteks sosial. Ide dasarnya adalah bahwa siswa mendapat pengertian dalam belajar melalui interaksinya dengan lingkungannya, dan bahwa siswa dilibatkan dalam mengkonstruksi pengetahuan mereka. Kelompok konstruktivis menekankan belajar berorientasi pada pemecahan problem karena dengan demikian siswa aktif melakukan sesuatu sehingga dapat mentransformasi informasi menjadi pengetahuan. Partisipasi aktif siswa dengan berinteraksi dan memanipulasi lingkungan merupakan syarat dalam aktivitas belajar. Kelompok ini menambahkan bahwa pengetahuan tidak akan diperoleh siswa dari sumber eksternal, misalnya hanya dengan model ceramah dimana guru memberikan informasi satu arah kepada siswa. Pengetahuan dihasilkan melalui aktivitas siswa. Belajar atau usaha memperoleh pengetahuan merupakan proses perbandingan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, yang berfungsi  memperkuat apa yang sudah diketahui sebelumnya, yang dalam istilah Piaget terjadai proses adaptasi terhadap pengetahuan tersebut (http://home.okstate.edu/homepages.nsf/toc /EPSY5463C142).

Pengetahuan sebelumnya atau pengalaman masa lalu akan membantu siswa dalam belajar, karena ia merupakan representasi semua domain belajar, kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh karena itu pengalaman atau belajar masa lalu tidak sekedar menentukan apa yang mampu siswa pelajari, tetapi juga apa yang ingin ia pelajari. Jadi untuk menumbuhkan minat belajar siswa, guru harus memperhatikan pengalaman belajar siswa sebelumnya; dan perlu dicatat bahwa komponen afektif ini seringkali lebih menentukan keberhasilan belajar siswa daripada kemampuannya. Belajar yang bermakna berhubungan dengan apa yang sudah diketahui siswa dan hal itu akan menjadikan andalan dan mengubah apa yang diketahui. Semua pengetahuan adalah produk dari aktivitas konstruktivistik individu. Kita tidak mendapatkan kebenaran tanpa kita mengembangkan konstruksi secara terus-menerus untuk menerangkan realita seperti yang kita lihat. Tidak ada pengetahuan yang dapat langsung dan tanpa dimediasi.

Sumbangan psikologi kognitif dalam proses belajar-mengajar berbasis kompetensi misalnya membangkitkan curiosity (surprise, mengherankan, kontradiksi, novelty), memfasilitasi agar siswa menguasai konsep dasar dan prinsip dasar (gunakan peta, grafik, film, dsb),  memfasilitasi agar siswa mampu melakukan generalisasi konsep dan prinsip (aktivitas luar kelas), membuat siswa mampu mendapatkan kesamaan informasi pengetahuan dengan pengalaman nyata dalam kehidupan (contoh-contoh aplikasi, diskusi kelas).

Kerja Bruner berpengaruh terhadap pendekatan humanistik dalam pendidikan. Gerakan pendidikan humanistik, penerus gerakan pendidikan progresif yang dipelopori John Dewey, merupakan gerakan reaksi terhadap penggunaan drill & rote learning yang berlebihan dari sekolah tradisional. Hal penting pada pendidikan humanistik adalah siswa harus mempunyai substantial hand dalam mengarahkan diri mereka. Gagasan tersebut dimaksudkan agar siswa memiliki self directed, self-motivated, dan bukan sebagai penerima pasif informasi. Pendidikan humanistik tidak saja menyentuh ranah kognitif, tapi juga ranah afektif yang memfokuskan pada belajar bagaimana belajar (learning how to learn) serta meningkatkan kreativitas dan potensi manusia.

jogjatranslate.com jasatranslate.com copycdjogja.com duplikatcd.com alatinterpreter.us alat-interpreter.com sewaalatinterpreterjogja.com rentalalatinterpreterjogja.com persewaanalatinterpreter.com jasainterpreter.us sewaalatinterpretersurabaya.com sewaalatinterpretersemarang.com interpreterjogja.com

MENGOLAH KELOMPOK UTAMA

kelompokMENGOLAH KELOMPOK UTAMA

Pada prinsipnya, terdapat beberapa cara utama (mendasar) pada semua kelompok kerja sosial (kemasyarakatan) untuk mempertahankan kelompoknya secara bersama, mengatur perilaku kelompok, mengkoordinasi kegiatan kelompok dan merangsang aksi (kegiatan) kelompok dengan kekuatan anggota-anggota kelompok. Berikut ini dipaparkan empat proses yang menjadi pertimbangan yaitu:

  1. Penyesuaian / kecocokan

Penyesuaian atau kecocokan merupakan proses mengikuti (taat pada) nilai-nilai kelompok. Karena norma-norma yang dimiliki (ini) penting bagi identitas kelompok dan kegiatannya, kelompok sedapat mungkin menggunakan tekanan pada anggota untuk mengikutinya. Karena tekanan untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai kelompok begitu kuat, kita perlu mempertimbangkan keadaan sekitar dimana setiap individu (perorangan) kemungkinan memilih melanggar satu nilai/norma. Lebih lanjut penulis menjelaskan bahwa biasanya seseorang tidak akan mengikuti/menyesuaikan dengan nilai kelompok karena tujuan yang dimilikinya berbeda dengan tujuan kelompok.

contoh dengan melihat bagaimana suatu kelompok pabrik memiliki nilai atau aturan yang ketat tetapi produksi/hasilnya kurang optimal.

Dengan demikian, penyesuaian dalam suatu kelompok atau organisasi tepat menjadi hal yang penting, tetapi hendaknya memperhatikan keselarasan antara tujuan kelompok/organisasi dengan tujuan dari setiap anggota. Dengan begitu diharapkan penyesuaian nilai secara perorangan dalam satu kelompok tidak menimbulkan masalah yang dapat merugikan kelompok atau organisasi tersebut.

  1. Kepaduan kelompok

Kepaduan merupakan perekat sosial, agar menjadi kekuatan bersama setiap orang dalam kelompok.

Kepaduan menunjuk pada tingkat daya tarik yang sungguh-sungguh diantara anggota-anggota kelompok. Ini adalah kepaduan yang menjelaskan kekuatan (semangat) tim yang dikelola banyak kelompok kerja.

Diasumsikan secara umum bahwa kelompok-kelompok yang bersatu lebih memuaskan (meyakinkan) dan lebih produktif daripada bukan kepaduan kelompok, karena anggota-anggota mereka cenderung bergaul lebih, berpartisipasi secara penuh pada kegiatan-kegiatan kelompok, dan menerima serta bekerja bersama memenuhi tujuan kelompok.

Pada prinsipnya saya setuju dengan penulis yang menyebutkan bahwa kelompok-kelompok yang bersatu lebih memuaskan dari kelompok-kelompok yang tidak bersatu.

Bagaimana hubungan antara kepaduan, kepuasan dan produtivitas? Dapat saja terjadi bahwa semakin baik kepaduan, semakin tinggi kepuasan dan tentu berpengaruh pada produktivitas.

Sebuah riset menunjukkan bahwa yang penting dalam kepaduan kelompok adalah ukuran dari kelompok, persamaan, status dari anggota, stabilitas anggota, kesamaan pada anggota, dan suatu eksistensi (keberadaan) yang menunjuk pada suatu masalah atau ancaman.

Dalam hubungan dengan hal diatas saya setuju dengan pemikiran Forsyth sebagaimana dikutip oleh penulis bahwa: stabilitas keanggotaan kelompok berpengaruh positif terhadap kepaduan (Forsyth, 1983). Faktor lain yang mempengaruhi kepaduan kelompok adalah persamaan dari anggota kelompok. Dalam hal ini semakin mirip karakteristik dari anggota kelompok, kemungkinan besar kelompok menjadi lebih kompak/bersatu. Dapat disimpulkan bahwa kepaduan kelompok akan semakin baik apabila terdapat faktor-faktor antara lain: kesamaan anggota kelompok. Dalam hal ini kesamaan karakteristik seperti latar belakang sosial, pendidikan, sikap dan orientasi akan sangat membantu dalam memperkuat kepaduan kelompok. Selain it, sesuatu yang menjadi masalah bersama juga dapat memperkuat kepaduan kelompok.

  1. Kerjasama dan kompetisi dalam kelompok kerja

Tujuan utama dari kelompok-kelompok kerja adalah memudahkan pencapaian tujuan dari perorangan dan yang berhubungan dengan kerja organisasi. Namun demikian patut disadari bahwa terdapat kompetisi diantara sesama kelompok kerja untuk memperoleh bonus, kenaikan dan promosi. Kompetisi dapat juga dianjurkan untuk meningkatkan motivasi, setelah memperhatikan kinerja karyawan. Patut diketahui bahwa kerjasama & kompetisi dapat dijumpai pada satu kelompok kerja (Deutsch, 1973, Tjosvold, Morishima & Belsheim, 1999).

3.1  Kerjasama

Kerjasama dapat dipahami sebagai kritik terhadap berlakunya fungsi dari kelompok kerja dan organisasi. Sebagai contoh, penulis memperlihatkan bagaimana 3 orang karyawan toko buku. Pada saat yang bersamaan ada 2 karyawan pada meja depan melayani pelanggan, dilain waktu, ketiganya membuka kotak buku, menetapkan harganya dan meletakkannya pada rak-rak yang sesuai. Ini merupakan salah satu contoh, para pekerja mengkoordinasi usaha mereka dalam rangka memenuhi tujuan organisasi, menjual buku & menyediakan layanan yang baik kepada pelanggan.

Salah satu unsur yang membantu meningkatkan kerjasama diantara anggota kelompok kerja adalah tingkat saling ketergantungan tugas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saling ketergantungan tugas itu cukup membantu perkembangan perasaan positif antar teman kerja dan meningkatkan perilaku kerjasama dalam kelompok kerja (Van der Vegt, Emanas & Van de Vliert, 1998, 2000).

3.2  Kompetisi

Seperti kerjasama, kompetisi juga merupakan suatu perilaku yang alami yang biasanya muncul dalam dinamika kelompok (Tjosvold, 1998).

Dapat dibedakan antara kerjasama & kompetisi bahwa pada saat kerjasama melibatkan anggota kelompok bekerja bersama guna membagi tugas bersama mencapai tujuan secara umum, kompetisi dalam kelompok melibatkan anggota berlawanan atau berhadap-hadapan satu dengan yang lain untuk mencapai target atau tujuan individu, tidak jarang dengan mengorbankan anggota yang lain.

Kompetisi yang sehat adalah yang memotivasi anggota untuk meningkatkan prestasi kerja. Tentu saja hal ini agak sulit dijumpai karena kecenderungan untuk orang berkompetisi adalah untuk memperoleh sukses secara individu atau kelompoknya.

  1. Konflik dalam kelompok kerja dan organisasi

Konflik adalah perilaku seseorang atau kelompok yang dengan sengaja dirancang untuk menghalangi pencapaian dari target/tujuan oleh kelompok atau orang lain (Gray & Starke, 1984). Unsur kunci dalam definisi dari konflik adalah bahwa partai/kelompok yang berlawanan mempunyai tujuan yang bertentangan (Tjosvold, 1998b). Konflik adalah suatu proses alami yang terjadi dalam semua kelompok kerja dan organisasi. Ini  dapat mejadi hal negatif, akibat yang bersifat merusak, tetapi ini dapat juga menjadi hal yang berguna dan menuju hasil positif untuk kelompok kerja dan organisasi (Rahim, 1985, 1986; Wall & Callister, 1995).

4.1           Tingkat konflik

Konflik dapat terjadi pada empat tingkatan dalam suatu organisasi kerja:

  1. Konflik antar individu,

Konflik antar individu, terjadi ketika seseorang berhadapan dengan dua tujuan yang bertentangan. Hal inilah yang terjadi ketika seseorang berada dalam konflik: tujuan yang berhubungan dengan salah satu peranan individu bertentangan dengan tujuan dari yang lain.

  1. Konflik inter individu,

Konflik antara dua orang, atau konflik inter-individu, sering terjadi dalam  kelompok kerja dan organisasi.

  1. Konflik antar kelompok,

Konflik intragroup, terjadi antara satu orang atau golongan dalam kelompok dan anggota kelompok yang lain. Individu yang melanggar norma kelompok cenderung menimbulkan konflik intragroup

  1. Konflik dalam kelompok.

Ketika dua kelompok berada dalam konflik satu sama lain, konflik antar kelompok pasti akan ada.

4.2            Sumber konflik

Konflik dalam kelompok kerja dan organisasi muncul dari berbagai sumber. Kadang disebabkan oleh struktur organisasi. Sebagai contoh, perbedaan status merupakan sumber umum munculnya konflik. Kurangnya sumber penghasilan utama, bahan-bahan, peralatan, dan persediaan mungkin sumber konflik yang paling umum dalam organisasi (Greenberg & Baron, 1997). Ketergantungan antar individu maupun kelompok adalah sumber konflik yang penting (Victor & Blackburn, 1987). Biasanya, semakin besar ketergantungan aktivitas pekerjaan, semakin besar potensi konflik (Walton & Dutton, 1969).

Salah satu sumber konflik yang paling umum is diakibatkan oleh individu tertentu yang tidak dapat berhubungan akrab satu sama lain (Labianca, Brass & Gray, 1998). Sumber konflik yang penting muncul dari sumber hubungan antar pribadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan konflik terjadi pada beberapa orang atau lebih daripada banyak orang. Perbedaan kepribadian dan watak menunjukkan bahwa orang-orang tertentu mungkin terlibat dalam konflik. Beberapa orang mencoba untuk mencampuradukkan konflik antar individu karena keinginan mereka untuk memperoleh keuntungan orang lain (McClintock, Messick, Kuhlman, & Campos, 1973; lihat juga Knight & Dubro, 1984). Karakteristik terakhir yang bisa menjadi sumber kekuatan konflik adalah usia.

4.3            Dampak konflik

Telah dinyatakan bahwa konflik dalam pengaturan kerja dapat berdampak positif maupun negatif bagi organisasi. Dampak positif dari konflik antara lain adalah dapat merangsang kreativitas dan inovasi (James, Chen,& Goldberg, 1992). Dampak positif konflik yang berhubungan dengan kinerja yang lain muncul ketika konflik meningkatkan kualitas keputusan (Cosier & Dalton, 1990).

Dampak negatif dari konflik, dampak yang paling nyata adalah berkurangnya kekompakan dalam kelompok. Konflik dapat juga menghambat kinerja kelompok yang efektif ketika konflik tersebut  memperlambat hubungan komunikasi.

4.4            Mengelola konflik

Untuk mengelola konflik–dan menempatkannya pada tingkatan yang optimal—satu dari dua hal harus dilakukan. Jika konflik menjadi terlalu besar, dan mengarah pada akibat yang negatif, hal itu harus dipecahkan. Sebaliknya, jika tingkat konflik terlalu rendah, diperlukan rangsangan konflik.

Thomas (1976, 1992) telah mengenalkan lima strategi pemecahan konflik secara individu:

1. Kompetisi (Pemaksaan)—Bertahan dalam konflik sampai tercapai salah satu tujuan pihak tertentu atas pengorbanan mereka dari yang lain. Ini dapat diberi label sebagai strategi menang—kalah: Satu pihak menang, pihak lain kalah.

2. Penyesuaian diri—Menyerah atau bertingkah sebagai orang yang berkorban diri untuk memecahkan konflik. Hal ini merupakan strategi menang—kalah.  Umumnya, strategi peredaan ini dilakukan untuk memperkecil kekalahan atau sebagai usaha untuk menyelamatkan hubungan antara pihak-pihak yang bertikai.

3. Berkompromi—Masing-masing  pihak harus menyerahkan sesuatu. Ini adalah strategi kalah—kalah. Kompromi merupakan tipe situasi tawar-menawar. Sebagai contoh, dalam negosiasi manajemen-perserikatan, manajemen menawarkan kenaikan sebesar 50 dolar per jam, sedangkan perserikatan menginginkan kenaikan sebesar 1.50 dolar. Setelah berkompromi, mereka memutuskan besar kenaikan adalah sebesar 1.00 dolar, tetapi tidak ada kelompok yang telah mencapai target penuh.  Masing-masing dari mereka  kehilangan sesuatu dari keadaan semula mereka hasilnya kalah—kalah. Berkompromi bukanlah suatu strategi yang tepat jika kedua belah pihak tidak bisa berusaha untuk menghasilkan sebagian dari sasaran mereka ( Harris, 1993).

4. Kerja sama—Berbagai pihak mencoba untuk bekerja sama dan mencapa suatu pemecahan yang dapat menguntungkan satu sama lain. Kondisi seperti ini merupakan suatu kondisi yang sama-sama untung. Sayangnya, ini tidak mungkin selalu terjadi, terutama ketika konflik merupakan berakhirnya akal dan tidak cukup untuk memuaskan kedua belah pihak. Seperti yang telah disarankan bahwa jika kedua belah pihak melakukan hal tersebut, banyak konflik dapat dipecahkan secara kolaboratif (Ury, Brett,& Goldberg, 1988).

5. Penghindaran—Penekanan pada konflik, jangan membiarkan konflik itu menjadi terbuka, atau menggambaran dari situasi. Sementara strategi ini menghindari konflik terbuka, perbedaan antara kedua belah pihak masih akan tetaap ada dan mungkin akan terus mempengaruhi kesanggupan mereka untuk kerjasama satu sama lain. Penghindaran sesuai jika pemilihan waktu untuk konflik tertulis tidaklah benar, atau jika pihak yang sedang bertikai memerlukan waktu untuk menenangkan diri.

Satu strategi pemecahan konflik yang managerial, yang diuraikan di sebagian studi oleh Sherif dan rekan-rekan kerjanya (Sherif, Harvey, Whte, Hood & Sherif, 1961).

PENERAPAN PSIKOLOGI I/O

Mengurangi Konflik Manajemen—Perserikatan

Konflik internal kelompok yang umum dalam organisasi besar muncul diantara manajemen dan perserikatan. Seorang ilmuwan mengenai tingkah laku, Blake, Mouton, dan Sloma (1964) menguraikan secara singkat sebuah kasus dikurangi melalui workshop dua-hari yang tersedia untuk memusatkan usaha dua kelompok atas target yang berkaitan dengan pekerjaan secara umum. Perusahaan adalah pabrik elektronik besar dengan lebih dari 4,000 karyawan. Ada sejarah tentang perselisihanan antara manajemen dan serikat buruh, salah satu dari tugas yang paling sulit untuk ilmuwan tingkah laku adalah untuk dapat mengetahui kedua pihak untuk setuju “melakukan eksperimen.” Akhirnya, bagaimanapun, mereka setuju bahwa ketika permusuhan antara kedua kelompok menjadi sangat tinggi maka diperlukan penyelesaian.

RANGKUMAN Psikologi Inteligensi Lanjut

Intelligence

Intelligence

RANGKUMAN Psikologi Inteligensi Lanjut

  1. A.   Inteligensi dan Kreativitas (Overlapping)

 

Apakah Inteligensi?

q   Intelligence is defined as general cognitive problem solving skills (Robert Kemp, 2005).

q   Inteligensi merupakan kemampuan kognitif seseorang untuk menyelesaikan masalah secara umum.

Apakah Kreativitas?

q   Creativity is the ability to think about something in novel and unusual ways and to come up with unconventional solution problems (Santrock, 2005).

q   Kreativitas adalah menggunakan pikiran (kecerdasan) untuk mengatasi masalah dengan cara-cara baru dan berbeda dari yang sudah ada.

Hubungan Antara Inteligensi dan Kreativitas

Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu.

Pada umumnya skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas

Sejauh Manakah Hubungan Inteligensi dan Kreativitas?

q   Manusia dibekali kemampuan berpikir sebagai modalitas.

q   Kreativitas memerlukan latihan yang terstruktur ataupun tidak.

q   Kreativitas akan muncul kalau lingkungan memfasilitasi (diberikan toleransi, kebebasan berpikir, tantangan, dsb)

q   Memunculkan fenomena:

a.Cerdas – kreatif

b.Cerdas – kurang kreatif

c.Cerdas rata-rata – kreatif

d.Cerdas rata-rata – kurang kreatif

Journal of Personality and Social Psychology (Jessica, 2003)

q   Dalam diri individu ada yang disebut ”latent inhibition”, yakni rintangan yang tersembunyi (yang secara instink terjadi pada binatang), yang tidak disadari oleh manusia. Orang pada umumnya, berkecenderungan mengabaikan atau melupakan begitu saja objek stimulus yang diterima, meskipun objek itu sebenarnya menarik perhatiannya.

q   Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang kreatif, kadar latent inhibition begitu rendah (low level latent inhibition), mudah ditembus, sehingga memudahkan kontak secara intens antara  memori dengan  objek, dan memungkinkan munculnya ide-ide baru (new possibilities).

q   Kuat atau lemahnya (tinggi atau rendahnya) level latent inhibition inilah yang  berpengaruh pada mudah dan tidaknya memunculkan ide kreatif. Apakah untuk membongkar blocking “latent inhibition” ini perlu pembiasaan? Dengan kata lain: Apakah untuk menjadi individu yang kreatif perlu latihan?

q   Tingginya tingkat inteligensi apabila disertai dengan besarnya tingkat keingintahuan maka akan menstimulasi bagian otak kiri untuk berpikir konvergen dan otak kanan untuk berpikir divergen. Sehingga kedua otak akan berjalan secara seimbang. Taraf inteligensi pada dasarnya mempunyai hubungan yang sangat erat karena keduanya merupakan aspek kognitif, tetapi berbeda pada fungsi dan peranannya (Guilford, 1971).

Inteligensi dan Kreativitas

q   Apakah kecerdasan mempengaruhi kreativitas? Ya, karena inteligensi tinggi berpotensi memiliki kemampuan kreativitas yang tinggi pula.

q   Apakah kreativitas mempengaruhi kecerdasan? Belum tentu, karena kreativitas tidak mutlak membutuhkan kecerdasan, tetapi lebih kepada faktor lingkungan, kebutuhan untuk survive, dan kemampuan meminimalkan latent inhibition.

Beberapa hasil penelitian lain

q   Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.

q   Koestler (Rawlenton, 1971) ditemukan hasil bahwa belahan otak bagian kanan dan bagian kiri mempunyai fungsi berbeda dalam proses kerjanya walaupun ini tidak secara mutlak.

q   Guilford (1971) yang menyatakan bahwa struktur intelegensi menggunakan proses berpikir secara konvergen. Sedangkan proses kreativitas merupakan proses berpikir secara divergen.

q   Teori Ambang Inteligensi untuk kreativitas dari Anderson menyatakan bahwa sampai tingkat inteligensi tertentu yang diperkirakan seputar IQ 120 ada hubungan yang erat antara inteligensi dan kreativitas

q   Munandar diperoleh koefisien positif sebesar 0,325 secara signifikan antara inteligensi dan kreativitas, yang menyatakan bahwa hasil studi korelasi dan analisis faktor membuktikan bahwa tes kreativitas sebagai dimensi fungsi kognitif yang relatif bersatu dapat dibedakan dari tes inteligensi, tetapi berpikir divergen (kreativitas) juga menunjukkan hubungan yang bermakna dengan berpikir konvergen (inteligensi).

q   Torrance (1959), Getzels dan Jackson (1962), dan Yamamoto (1964) berdasarkan studinya masing-masing sampai pada kesimpulan yang sama, yaitu bahwa kelompok siswa yang  kreativitasnya tinggi tidak berbeda dalam prestasi sekolah dari kelompok siswa yang inteligensinya relatif lebih tinggi.

q   Milgram (1990) menekankan bahwa inteligensi semata-mata tidak dapat meramalkan kreativitas dalam kehidupan nyata. Demikian pula tes kreativitas sendiri.

 

Simpulan

q   Antara inteligensi dan kreatifititas memiliki persamaan dan perbedaan. Tetapi persamaan lebih dominan.

q   Setiap orang berpotensi untuk menjadi kreatif tergantung bagaimana orang tersebut meminimalkan latent inhibition dan bagaimana lingkungan memfasilitasinya.

  1. B.   Inteligensi dalam Kreativitas

 

Konsep Dasar

Inteligensi merupakan salah satu komponen kreativitas, tetapi peningkatan inteligensi tak selalu diikuti oleh meningkatnya kreativitas (Semiawan,1984 & Munandar 1985). Anggapan bahwa inteligensi telah mencerminkan kreativitas tidak sepenuhnya benar.

Faktor kreativitas menurut (Munandar, 1986): (1) intelegensi, (2) kepribadian, dan (3) lingkungan.

Hubungan antara inteligensi dan kreativitas hanya didapatkan pada kelompok inteligensi rendah, sedangkan pada kelompok lebih tinggi korelasi itu tidak begitu kuat (Kuwato, 1992)

Teori Ambang Inteligensi untuk Kreativitas

Sampai tingkat inteligensi tertentu  (IQ 120), ada hubungan yang erat antara inteligensi dan kreativitas. Produk kreativitas yang tinggi memerlukan tingkat inteligensi yang cukup tinggi pula, tetapi di atas ambang inteligensi itu tidak ada korelasi yang tinggi lagi antara inteligensi dan kreativitas (Anderson).

Bukti Teori

Evans (1991) à kemampuan menemukan hubungan baru, melihat pokok persoalan dalam perspektif baru, dan membentuk konsep baru dari dua konsep atau lebih yang telah ada dalam pikiran.

Kuhn à kemampuan untuk menemukan konsep baru, metode baru, hubungan baru dan gagasan operasional baru.

Stenberg & Lubart (1996) à menuntun pada penemuan-penemuan tingkat ilmiah, gerakan baru pada bidang seni, penciptaan baru, dan program-program baru.

Temuan Hasil Penelitian

q   Tidak ada hubungan antara kreativitas dan inteligensi dengan prestasi belajar.

q   Tidak ada hubungan yang signifikan antara kreativitas dengan prestasi belajar pada siswa kelas akselerasi (Uyun, 2005).

  1. C.   Kreativitas dalam Inteligensi

 

Teori Guilford (Structure of Intellect)

q   Guilford mengilustrasikan intelektual dalam bentuk sebuah kubus tiga dimensi yang masing-masing mewakili satu klasifikasi faktor-faktor intelektual yaitu dimensi isi,operasi, dan produk.

q   Dalam dimensi operasi salah satu prosesnya disebut divergent production yang mencerminkan kemampuan berfikir kreatif.

q   Dengan demikian maka, kreativitas merupakan salah satu bagian dari inteligensi.

Teori Kirk dan Gallegher (1985)

Menegaskan bahwa intelektual superior tetap merupakan penentu perilaku   kreatif.

Mash (1981)

Menambahkan bahwa IQ masih menjadi kriteria tunggal bagi munculnya  kreativitas.

Sternberg (1988)

Inteligensi terdiri dari tiga subteori yaitu; componential intelligent behavior, experiential intelligent behavior, contextual intelligent behavior.

Fakta dan penelitian yang mendukung

q   Leonardo Da Vinci mampu menciptakan sketsa helikopter pertama tanpa didasari pengetahuan mengenai operasional helikopter tersebut. Helikopter baru dapat diwujudkan sekitar 500 tahun kemudian. Kreativitas Da Vinci tersebut didasari oleh tingginya intelegensi yang dia miliki.

q   Daruma (1997) Tesis: Ada hubungan yang positif antara taraf inteligensi dan kreativitas dengan r = 0.370 dan p = 0.000, siswa dengan taraf inteligensi tinggi cenderung lebih kreatif dan siswa dengan taraf inteligensi rendah cenderung kurang kreatif.

q   Abdullah (1993) Laporan Penelitian: Ada hubungan yg positif antara inteligensi dengan kreativitas, anak yang taraf inteligensi tinggi maka  kreativitasnya juga tinggi dan sebaliknya.

q   Hasil penelitian terdahulu yang mendukung: Dewing (1970), Torrance (1974), Hurlock (1978), Munandar (1977) menyimpulkan bahwa semakin tinggi taraf inteligensi anak, semakin tinggi pula kreativitasnya.

Tahap-tahap perkembangan

  • MENURUT SIGMUND FREUD

    Fase Oral

    Tahap Perkembangan Anak

  1. Tahap mulut (oral stage)

Ialah tahap pertama kepribadian Freud yang berlangsung selama 18 bulan pertama kehidupan dimana kenikmatan bayi berpusat disekitar mulut. Mengunyah, mengisap, dan menggigit adalah sumber utama kenikmatan. Tindakan-tindakan ini mengurangi ketegangan/ tekanan pada bayi.

  1. Tahap lubang anus (anal stage)

Ialah tahap kedua kepribadian Freud, yang berusia antara usia 1 dan 3 tahun, dimana kenikmatan terbesar anak meliputi lubang anus atau fungsi pengeluaran aau pembersihan yang diasosiasikan dengannya. Latihan otot-otot lubang dubur mengurangi ketegangan.

  1. Tahap alat kelamin laki-laki (Phallic stage)

Ialah tahap ketiga kepribadian Freud, yang berlangsung antara usia 3 dan 6 tahun. Kenikmatan berfokus pada alat kelamin, ketika anak menemukan bahwa manipulasi diri (self manipulation) dapat memberikan kenikmatan.

  1. Tahap laten/ tersembunyi (latency stage)

Ialah tahap keempat kepribadian Freud, yang berlangsung antara kira-kira usia  6 tahun dan masa pubertas. Anak menekan semua minat terhadap seks dan mengembangkan ketrampilan social dan intelektual. Kegiatan ini menyalurkan banyak energi anak kedalam bidang-bidang yang aman secara emosional dan menolong anak untuk melupakan konflik pada tahap phallic yang sangat menekan.

  1. Tahap kemaluan (genital stage)

Ialah tahap kelima dan terakhir kepribadian Freud, yang berawal dari masa pubertas dan seterusnya. Tahap genital adalah suatu masa kebangkitan seksual; sumber kenikmatan seksual sekarang menjadi seseorang yang berada diluar keluarga.

 

  • MENURUT ERIKSON
TAHAP ERKSON PERIODE PERKEMBANGAN KARAKTERISTIK
Kepercayaan dan ketidakpercayaan (trust VS mistrust) Masa bayi (tahun pertama) Rasa kepercayaan menuntut perasaan nyaman secara fisik dan jumlah ketakutan minimal akan masa depan. Kebutuhan-kebutuhan dasar bayi dipenuhi oleh pengasuh yang tanggap dan peka.
Otonomi serta rasa malu dan ragu-ragu (autonomy VS shame and doubt) Masa bayi (tahun kedua) Setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuh, bayi mulai menemukan bahwa mereka memiliki kemauan yang berasal dari diri mereka sendiri. Mereka menegaskan rasa otonomi atau kemandirian mereka. Mereka menyadari kemauan mereka. Jika bayi terlalu dibatasi atau dihukum terlalu keras, mereka cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu.
Prakasa dan rasa bersalah (initiative VS guilt) Masa awal anak-anak (tahun-tahun pra-sekolah, usia 3-5 tahun) Ketika anak-anak prasekolah menghadapi dunia social yang lebih luas, mereka lebih tertantang dan perlu mengembangkan perilaku yang lebih bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. Anak-anak diharapkan menerima tanggung jawab yang lebih besar. Namun, perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul jika anak-anak tidak bertanggung jawab dan dibuat terlalu merasa cemas.
Tekun dan rasa rendah diri (industry VS inferiority) Masa pertengahan dan akhir anak-anak (tahun-tahun sekolah, 6 tahun – pubertas) Tidak ada masalah lain yang lebih antusias daripada akhir periode masa awal anak-anak yang penuh imajinasi. Ketika anak-anak memasuki tahun-tahun sekolah dasar, mereka mengarahkan energy mereka pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Yang berbahaya pada tahap ini adalah perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.
Identitas dan kebingungan identitas (Iidentity VS identity confusion) Masa remaja (10-20 tahun) Individu dihadapkan pada temuan siapa mereka, bagaimana mereka kira-kira nantinya, dan kemana mereka menuju dalan kehidupannya. Satu dimensi yang penting ialah penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap peran. Penjajakan karir merupakan hal yang penting.
Keakraban dan keterkucilan

(intimacy VS isolation)

masa awal dewasa (20-an, 30-an tahun) Individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan relasi yang akrab dengan orang lain. Erikson menggambarkan keakraban sebagai penemuan diri sendiri, tetapi kehilangan diri sendiri pada diri orang lain.
Bangkit dan mandeg (generativity VS stagnation) Masa pertengahan dewasa (40-an, 50-an) Persoalan utama adalah membantu generasi muda dalam mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang berguna.
Keutuhan dan keputusasaan

(integrity VS despair)

Masa akhir dewasa (60-an tahun – meninggal) Individu menoleh ke masa lalu dan mengevaluasi apa yang telah mereka lakukan dengan kehidupan mereka. Menoleh kembali ke masa lalu dapat bersifat positif (keutuhan) atau negatif (putus asa).

 

  • MENURUT PIAGET
  1. a.      Tahap  sensorimotor (sensorimotor stage)

Kelahiran hingga usia 2 tahun. Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman- pengalaman sensor (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan- tindakan motorik fisik – oleh karena itulah istilahnya sensorimotor.

  1. b.      Tahap praoperasional (preoperasional stage)

Usia 2 hingga 7 tahun. Anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar. Belum mampu untuk melaksanakan apa yang piaget sebut “operation” – tindakan mental yang diinternalisasikan yang memungkinkan anak-anak melakukan secara mental apa yang sebelumnya dilakukan secara fisik.

  1. c.       Tahap operasional konkret (concrete operational stage)

Usia 7 hingga 11 tahun. Anak-anak dapat melaksanakan operation, dan penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan kedalam contoh-contoh yang spesifik atau konkret.

  1. d.      Tahap operasional formal (formal operational stage)

Usia 11 hingga 15 tahun. Pada tahap ini individu melampaui dunia nyata, pengalaman-pengalaman konkret, berfikir secara abstrak dan lebih logis. Anak-anak remaja mengembangkan gambaran keadaan yang ideal. Membandingkan orang tua mereka dengan standar ideal. Mereka mulai mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan bagi masa depan dan terkagum-kagum terhadap apa yang dapat mereka lakukan.

 

TAHAP PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET

TAHAP

GAMBARAN

RENTANG USIA

Sensosimotor Bayi beranjak dari tindakan reflex naluriah seak kelahiran hingga permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensor dengan tindakan fisik. Lahir-2 tahun
Praoperasional Anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar, kata-kata dan gambar-gambar ini mencerminkan meningkatnya pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi sensor dan tindakan fisik. 2-7 tahun
Operasional konkret Anak saat ini dapat berfikir logis tentang peristiwa-peristiwa konkret dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda. 7-11 tahun
Operasional formal Anak remaja berpikir dengan cara yang lebih abstrak dan logis. Pemikiran lebih idealistis. 11-15 tahun

 

Otak Manusia

Otak manusia

Otak manusia

OTAK

  • Berat : 2 % berat badan atau 1400 gram
    • Terdiri atas 100 milyar sel saraf dan 1 trilyun sel penyokong
    • Otak merupakan bagian superior system nervosum centrale (SNC)
    • Fungsi sistem saraf :
  1. reseptif : menerima informasi
  2. storage : menyimpan informasi dan mengolahnya
  3. transfer : mengirim informasi
  • Sistem saraf dikenal adanya :
  1. sensor (reseptor)

b. saluran komunikasi aferen

  1. pusat komputasi dan pembuat keputusan (kontak-kontak sinaptik antar neuron)

d. saluran komunikasi eferen

  1. efektor  berupa sel otot polos, skelet dan jantung, sel-sel kelenjar
  • Otak terletak fungsi-fungsi luhur (ingatan, belajar, bahasa, asosiasi, penalaran, kecerdasan, inisiatif, kesadaran)
  • Terbungkus oleh tiga lapisan yang disebut selaput otak (mening) dan terlindung oleh tengkorak
  • Mening :
    • o Piamater
    • o Arakhnoid
    • o Duramater
    • Otak mengapung dalam cairan : cairan serebrospinal (CSS), sehingga beratnya menjadi 50-100g dalam CSS.
    • Tiap belahan otak terdapat lobus-lobus :
  1. Lobus frontalis :
    1. gyrus frontalis superior dan medius di rostral gyrus precentralis mengendalikan gerakan tubuh dan mata

b. Gyrus frontalis inferior (area Broca) berkait dengan produksi bicara

  1. Gyrus orbitalis merupakan bagian lintasan ekspresi emosi
  2. lobus parietalis
    1. gyrus postcentralis (cortex sensori) menerima input sensoris berhubungan dengan apresiasi sentuhan, sensasi posisi (kinestesi), keseimbangan, taktil halus kasar
    2. lobus occipitalis, terdapat fissura calcarina yanga mengandung neuron peneriam informasi visual
    3. lobus temporalis
      1. gyrus temporalis tranfersus menerima informasi auditoris

b. gyrus temporalis inferior memproses informasi visual

  1. lobus centralis
    1. lobus limbicum, penting dalam ekspresi emosi

Pertumbuhan bagian-bagian otak:

 

Bagian Sub-bagian Bangunan utama
Forebrain

(prosencephalon)

–         telencephalon

 

 

 

 

 

–       cerebral cortex

–       basal ganglia

–       limbic sistem

 

–         diencephalon –         thalamus

–         hypothalamus

Midbrain mesencephalon –       tectum

–       tecmentum

Hindbrain

(rhombecephalon)

metencephalon –       cerebellum

–       pons

  myelencephalon Medulla oblongata

MENINGES

  • Adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus otak dan medulla spinalis, merupakan shock absorber berisi liquor cerebrospinalis.

Lapisan meninges :

  1. dura mater
  • lapisan paling luar
    • selaput padat dan keras dan tak terentangkan
    • terdiri 2 lapis mengelilingi otak, dan 1 lapis mengelilingi medulla
  1. arachnoidea
  • membran halus terletak sebelah dalam duramater
  • mengelilingi otak dengan agak longgar
  • cenderung mengikuti dura mater
  1. pia mater
  • lapisan paling dalam
  • melekat pada permukaan otak dan medulla spinalis
  • member makan jaringan araf dibawahnya
  • berperan sebagai barrier terhadap masuknya senyawa-senyawa dan organisme yang membahayakan
  • meningitis : penyakit infeksi sistem saraf yang melibatkan meninges

Cairan Serebrospinal

  • merupakan larutan yang jernih tak berwarna
  • terdapat di dalam sitem ventriculare dan spatium subarachnoidale
  • volume CSS pada orang dewasa 125 ml
  • setiap hari diproduksi sebanyak 600-700 ml CSS
  • CSS mengandung air, sedikit protein, gas terlarut ()2 dan CO2), ion-ion Na, X, C1, glukose, limfosit
  • jika CSS dikeluarkan akan menimbulkan sakit kepala yang sangat bla kepala digerakkan
  • tekanan CSS adalah isotonik dengan plasma darah
  • Fungsi CSS :
    • o sebagai shock absorber sehingga otak dapat menahan tekanan yang terjadi sebagai akibat goncangan atau gerakan kepala yang cepat.
    • o CSS berperan juga sebagai nutritif dan membuang produk limbah metabolik sarafi

SUBSTANSI TRANSMITTER

Memiliki dua efek pada membran psotsinaptik :

  1. depolarisasi          – excitatory
  2. hyperpolarisasi     – inhibisi

Macam:

  1. acetylcholine (ACh)
  • dibebaskan oleh otot skeletal
  • juga terdapat pada ganglion sistem saraf dan organ target sistem saraf otonom parasimpatik dan otak
  • sinapsisnya disebut acetylcholinergic
  • berperan pada mengingat dan belajar dan mengontrol fase tidur
  • setelah dibebaskan oleh termonal bouton Ach dinonaktifkan oleh enzzym AchE yang ada di membran postsinaptik®cholin + acetat
  • Cholin dikembalikan (re-uptake) ke terminal bouton
  1. monoamine
  • macamnya : epineprine, norepineprin, dopamin, serotonin
  • diproduksi oleh sistem saraf otak
  • dopamin memproduksi potensial postsinaptik menjadi excitatory atau inhibisi tergantung apad resptornya
    • § berfungsi pada gerakan, perhatian, dan belajar
    • § degenerasi neuron dopamin mneyebabkan penyakit Parkinson (tremor, kejang, keseimbangan terganggu)
    • § pemberian L-DOPA suatu obat yang mnestimulasi dopamine menyebabkan gejala Parkinson berkurang
    • § efek kelebihan dopamin terlibat pada Schizophrenia (halusinasi, delusi, kekacauan berpikir)®diatasi dengan obat yang mengeblok neuron dopamin
    • norepineprin banyak terdapat pada sistem saraf
    • epineprin dihasilkan oleh adrenal medulla
    • serotonin menyebabkan hambatan potensial postsinaptik
      • § serotonin mengatur mood, kontro makan, tidur bangun, meregulasi sakit.
      • § LSD (fungsi = serotonin) meningkatkan halusinasi walaupun pengguna sedang jaga
  1. asam amino
  • Asam glutamik
    • § Ditemuka di seluruh otak
    • § Berperan sebagai excitatory
    • GABA
      • § Banyak di otak dan sumsum tulang belakang
      • § Merupakan transmitetr penghambat
      • § Abnormalitas sekresi GABA menyebabkan epilepsi
      • § Reseptor GABA berisi tempat pengikat 3 substansi transmitter yaitu 1) GABA; 2)obat transquilizing (benzodiazepam) yang berfungsi meredakan kecemasan,  tidur, menurunkan agresi, otot rileks; 3) barbiturat atau alkohol
      • § Glycine
        • § Banyak ditemukan pada neurotransmitter penghambat di spinal cord dan bagian otak bawah
        • § Tetanus ®zat kimia yang mengeblok aktivitas synapsis glycine sehingga menghilangkan hambatan sinapsis dan menyebabkan otot berkontraksi terus menenrus

 

GANGGUAN SEKSUAL

fetis

Fetihisme – ilustrasi alakadarnya 🙂

GANGGUAN SEKSUAL

PARAFILIA

Parafilia berasal dari kata ”para” yaitu penyimoangan pada apa yang membuat orang tertarik (”philia). Mengacu pada sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap obyek yan tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Fantasi, dorongan atau perilaku harus berlangsung setidknya selama 6 bulan dan menyebabkan distress atau hendaya signifikan. Seseorang dapat memiliki perilaku, fantasi,  dan dorongan seperti yang dimiliki oleh parafilia namun tidak didiagnosis menderita parafilia jika fantasi atau perilaku tersebut tidak berulang atau bila ia tidak mengalami distress karenanya. Seorang mungkin menampilkan satu atau lebih parafilia, dan pola ini mungkin merupakan aspek dari gangguan mental lain seperti Skizifrenia, depresi atau salah satu gangguan kepribadian. Jenisnya antara lain :

  1. Fetihisme

Yaitu ketergantungan seseorang pada obyek yang tidak hidup untuk memperoleh rangsangan seksual. Pederitanya kebanyakan adalah laki-laki dan memiliki dorongan seksual yang berulang dan mendalam terhadap obyek yang tidak hidup, yang disebut fetishes (misalnya sepatu perempuan) dan munculnya fetish sangat disukai atau bahkan dibutuhkan untuk terjadinya rangsangan seksual.

Perilaku yang ditampakkan pelaku memiliki kualitas kompulsi, merupakan suatu perilaku yang tidak dibuat dan tidak bisa ditahan. Gangguan biasanya muncul pada masa remaja, meskipun mungkin fetish sudah dianggap signifikan pada masa yang lebih awal. Kebanyakan fetish menampilkan pula parafilia lainnya seperti paedofilia, sadisme, masokisme.

  1. fetihisme transfestik

adalah gangguan dimana seorang laki-laki terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya, meskipun ia masih menyadari dirnya sendiri sebagai laki-laki. Praktek transvestisme bervariasi mulai dari memakai pakaian dalam perempuan di balik pakaian konvensional hingga memakai pakaian perempuan lengkap. Fetihisme transvestik biasanya diawali dengan separuh memakai pakaian lawan jenis di masa kanak-kanak atau remaja. Para transvestik adalah heteroseksual, selalu laki-laki dan secara umum hanya memakai pakaian lawan jenis secara episodik bukan secara rutin. Di luar itu mereka cenderung berpenampilan, berperilaku dan memiliki minat seksual maskulin.

  1. pedofilia

pedofilia berasal dari kata ”pedos” (anak – yunani) adalah orang dewasa yang mempunyai kepuasan seksual melalui kontak fisik dan seksual dengan anak prapubertas yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Hasil penelitian oleh Marshall (1997) menunjukkan bahwa anak yang menjadi korban bahkan lebih muda daripada batas usia yang diperbolehkan di Amerika Serikat untuk melakukan hubungan seksual. Pedofil lebih banyak diidap oleh laki-laki daripada perempuan. Meskipun sebagian besar pedofilia tidak menyakiti korbannya secara fisik, beberapa di antranya sengaja menakut-nakuti si anak dengan misalnya membunuh hewan peliharaan si anak dan mengancam akan lebih menyakitnya jika si anak melapor pada orang tua. Kadang pedofil senang membelai rambut si anak, namun ia juga dapat memain-mainkan alat kelamin si anak. Percabulan tersebut dapat terus berlangsung selama beberapa minggu, bulan atau tahun jika tidak diketahui oleh orang dewasa lain dan jika si anak tidak memprotesnya.

  1. inces

mengacu pada hubungan seksual antara keluarga dekat, dimana pernikahan tidak diperbolehkan antra mereka. Biasanya adalah pada kakak dan adik kandung, dan bentuk lain yang umum dan dianggap lebih patologis adalah ayah dengan anak perempuan. Bukti menunjukkan struktur keluarga dimana inces terjadi adalah patriakhal yang tidak biasa dan tradisioanl, terutama dengan memandang posisi perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki. Orang tua dalam keluarga semacam ini akan cenderung menolak dan berjarak secara emosional dengan anak mereka. Lebih jauh lagi diyakini bahwa incest lebih banyak terjadi jika ibu tidak ada atau cacat, karena ibu biasanya melindungi anak-anak perempuannya dari penganiayaan seksual yang dilakukan anggota keluarga.konsumsi alkohol dan stress meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mencabuli anak. Data juga menunjukkan bahwa pedofil memiliki kematangan sosial, harga diri, pengendalian, impuls, dan ketrampilan sosial yang rendah (Kalichman, 1991; Overholser & Beck, 1986).

  1. Voyeurisme

Adalah preferensi yang nyata untuk memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orng lain dalam keadaan tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual. Pada beberapa orang, hal ini merupakan satu-satunya aktivitas seksual dimana mereka terlibat. Sementara bagi yang lain, kegiatan ini disukai tetapi tidak sepenuhnyapenting untuk meraih rangsangan seksual (Kaplan & Kreuger, 1997).

Orang yang mengalami gnanguan ini akan mengalami kepuasan seksual dengan melakukan masturbasi, baik saat melihat kejadian ataupun sesudahnya. Terkadang mereka berfantasi melakukan kontak seksual dengan orang yang dilihat, namun hal ini tetap menjadi fantasi. Jarang sekali pelaku yang melakukan kontak seksual dengan orang yang diobservasinya. Biasanya gangguan ini muncul pada masa remaja.

  1. eksibisionisme

adalah preferensi yang jelas dan berulang untuk memperoleh kepuasan seksual dengan mempertunjukkan alat kelaminnya pada orang lain yang tidak menghendakinya, terkadang pada anak-anak. Biasanya mulai pada masa remaja (Murphy, 1997). Rangsangan seksual diperoleh pada saat pelaku membayangkan dirinya memamerkan alat kelamin atau benar-benar melakukannya dan ia melakukan masturbasi pada saat membayangkan atau saat sendang memamerkan alat kelaminnya. Pada banyak kasus terdapat keinginan untuk mengagetkan atau mepermalukan orang yang melihatnya.

  1. Frotteurisme

Yaitu orientasi seksual dengan menyentuh orang yang tidak disangka-sangka. Pelaku mungkin menggosokkan alat kelaminnya pada paha atau pantat seorang perempuan, atau memegang payudara atau alat kelamin seorang perempuan. Serangan ini biasanya dilakukan di tempat-tempat yang memungkinkan pelaku melarikan diri, misalnya di bis yang ramai atau jalanan. Gangguan biasanya sudah muncul pada masa remaja dan berkembang sejalan dengan parafilia yang lain.

  1. sadisme dan masokisme seksual\

sadisme adalah kegemaran untuk memperoleh atau meningkatkan kepuasan seksual dengan menimbulkan kesakitan atau penderitaan psikologis (misalnya mempermalukan) pada orang lain. Sedangkan masokisme adalah kegemaran seseorang untuk memperoleh atau meningkatkan kepuasan seksual dengan menjadikan dirinya sebagai subyek untuk disakiti dan dipermalukan.

Kedua gangguan ini dapat ditemukan pada hubungan heteroseksual maupun homoseksual. Banyak orang sadis yang menjalin hubungan dengan orang masokis dengan memperoleh kepuasan seksual. Sekitar 5-10% populasi di Amerika Serikat terlibat dlam hubungan seperti ini.

ETIOLOGI

Sudut pandang psikodinamik

Parafilia dipandang sebagai reaki defensif, melindungi ego dari ketakutan dan ingatan yang direpres, dan merepresentasikan fiksasi pada tahapan pragenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang yang mengidap parafilia dipandang sebagai seorang yang takut pada hubungan heteroseksual yang konvensional, bahkan untuk hubungan yang tidak berkaitan dengan seks. Perkembangan sosial dan seksualnya tidak matang dan tidak adekuat untuk menjalinhubungan sosial maupun seksual dalam dunia orang dewasa.

Sudut pandang cognitive-behavioral

Beberapa ahli berpandangan bahwa parafilia berasal dari kondisioning klasik yang kebetulan berhubungan dengan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus yang secara budaya dianggap tidak sesuai untuk menimbulkan rangsangan seksual (Kinsey, Pomeroy & Martin, 1948).

Namun pandangan cognitive-behavioral tentang parafilia saat ini multidimensional, dan menyatakan bahwa parafilia adalah hasil dari berbagai faktor yang berpengaruh pada individu. Sejarah masa kanak-kanak dari orang yang mengidap parafilia menunjukkan seringkali mereka merupakan korban penyiksaan fisik dan seksual dan tumbuh dalam keluarga dimana hubungan orang tua terganggu. Pengalaman ini dapat berkontribusi terhadap rendahnya tingkat ketrampilan sosial, rendahnya kepercayaan diri, kesepian dan tidak adanya hubungan yang intim.

Distorsi kognitif juga dianggap berperan dalam pembentukan parafilia. Sedangkan dari perspektif kondisioning klasik, parafilia merupakan hasil dari pembelajaran ketrampilan sosial yang tidak adekuat atau penguatan yang tidak konvensional dari orang tua.

Penanganan/terapi

Pendekatan psikoanalitik

Sedikit sekali terapi psikoanalisa yang efektif untuk menangani parafilia.

Pendekatan behavioral

Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui reorientasi orgasmik, yaitu pasien belajar untuk lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional, dengan berhadapan dengan stimulus tersebut.

Pendekatan kognitif

Terapi ini digunakan untuk mengcounter kesalahan berpikir dari individu dengan parafilia. Teknik lain adalah dengan mengajarkan empati terhadap orang lain, bahwa perilaku mereka mempengaruhi orang lain.

Pendekatan biologis

Beberapa intervensi biologis dilakukan sejak masa lalu, antara lain adalah kastrasi atau pengangkatan testis. Sedangkan saat ini, penanganan biologis untuk parafilia adalah dengan menggunakan obat. Yaitu dengan menggunakan jenis MPA yang menurunkan tingkat testosteron pada pria, sehingga diharapkan pria akan dapat menurunkan rangsangan seksual dan perilaku yang tidak dikehendaki juga tidak akan dilakukan lagi.

  1. GANGGUAN DISFUNGSI SEKSUAL

Bagian ini akan membahas tentang disfungsi seksual, yaitu masalah-masalah seksual yang dianggap menghambat siklus respon seksual yan normal (Davinson & Neale, 2001). Secara umum gangguan disfungsi seksual dibagi menjadi 4 kategori, yaitu gangguan hasrat seksual (sexual desire disorder), gangguan perangsangan seksual (Sexual arousal disorder), gangguan orgasme (orgasmic disorder) dan gangguan rasa sakit seksual (sexual pain disorder) (Kaplan, Sadock & Grebb, 1994). Namun sebelum membahas masing-masing gangguan akan dibahas dulu siklus seksualitas yang normal pada manusia.

Siklus respomn seksual pada manusia secara tipikal identik pada laki-laki dan perempuan, meliputi 4 fase (Davinson & Neale, 2001):

  1. keinginana (appettive)

yaitu minat atau keinginan seksual yang seringkali dikaitkan dengan fantasi-fantasi yang merangsang secara seksual.

  1. kegairahan (excitment)

fase pertama menurut Master & Johnson, yaitu pengalaman subyektif dari kegairahan seksual, yang diasosiasikan dengan perubahan fisiologis yang terjadi melalui peningkatan aliran darah ke genital dan pada wanita juga ke payudara. Pada pria hal ini muncul sebagai ereksi pada penis dan pada wanita pembesaran payudara dan perubahan pada vagina (seperti meningkatnya lubrikasi).

  1. orgasme

pada masa ini kenikmatan seksual mencapai puncaknya. Ditamdai dengan ejakulasi pada laki-laki (meskipun juga terjadi orgasme tanpa ejakulasi dan sebaliknya), dan pada perempuan ditandai dengan kontraksi pada dinding vagina.

  1. resolusi

tahap ini disebut sebagai relaksasi oleh Master & Johnson, dan perasaan senang biasanya menyertainya.

Prevalensi gangguan seksual pada populasi di Amerika Serikat diperkirakan cukup tinggi. Prevalensi keseluruhannya sektitar 43 % untuk perempuan dan 31 % untuk laki-laki.

  1. gangguan gairah seksual

terdiri dari gangguan gairah seksual hiporaktif dengan karakter defisiensi atau tidak adanya fantasi seksual dan keinginan untuk melakukan aktivitas seksual, serta sexual aversion disorder yaitu rasa sakit terhadap dan penghindaran melakukan kontak seksual dengan genital dengan pasangan. Ganguan hipoaktif lebih banyak pravelensinya sekitar 20% dari populasi di Amerika Serikat dibandingkan dengan gangguan sexual aversion. Ke dua gangguan ini sering disebut sebagai rendahnya hasrat seksual (Kaplan, Sadoc & Grebb, 1994).

Etiologinya agak sulit untuk diketahui. Diperkirakan hal ini berkaitan dengan masalah dalam hubungan dengan patner. Selain itu kemungkinan lain adalah masalah trauma seksual pada masa kanak-kanak, seperti pelecehan seksual atau perkosaaan, dan ketakutan akan mendapat penyakit menular seksual (Davinson & Neale, 2001).

  1. Gangguan perangsangan seksual (sexual arousal disorder)

Gangguan Identitas Gender dan Seksual

Ilustrasi : Olga Syahputri

Olga Syaputri (hanya Ilustrasi)

GANGUAN IDENTITAS GENDER DAN GANGGUAN SEKSUAL

Pendahuluan

Seksualitas merupakan sebuah ranah yang sangat pribadi dalam kehidupan individu. Setiap orang adalah makhluk seksual dengan minat dan fantasi yang dapat mengejutkan atau bahkan dapat mengagetkan kita dari waktu ke waktu. Hal ini merupakan fungsi seksual yang normal. Namun ketikan hasrat dan fantasi tersebut mulai membahayakan diri kita dan orang lain maka dapat digolongkan abnormal.

Perilaku seksual itu bermacam-macam dan ditentukan oleh interaksi faktor-faktor yan kompleks. Perilaku seksual juga dipengaruhi oleh hubungan seseorang dengan orang lain, lingkungan dan kultur dimana ia tinggal.

ISI

  1. GANGGUAN IDENTITAS GENDER

Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Identitas jenis kelamin didasarkan pada sikap, pola perilaku dan atribut lain yang ditentukan secara kultural yang biasanya berhubungan dengan maskulinitas atau feminitas. Orang dengan identitas jenis kelamin yang sehat akan mampu berkata ” saya adalah laki-laki” atau ”Saya adalah perempuan”.

John Money mengambarkan perilaku peran jenis kelamin sebagai semua hal yang dikatakan atau dilakukan seseorang  untuk mengungkapkan dirinya sendiri sebagai individu yang memiliki status laki-laki atau perempuan. Suatu peran jenis kelamin tidak didapatkan ketika lahir teapi dibangun secara komulatif melalui pengalaman yang ditemukan dan dilakukan melalui pengajaran yang kebetulan dan tidak direncanakan, melalui instruksi dan penanaman yang tegas.

Hal yang perlu dperhatikan adalah kesesuaian identitas jenis kelamin dan peranan jenis kelamin. Walaupun atribut biologis itu penting tetapi faktor utama dalam mendapatkan peranan yang sesuai dengan jenis kelamin seseorang adalah melalui proses belajar.

Sedangkan orientasi seksual digambarkan sebagai obyek impuls seksual seseorang/kecenderungan reposn erotik seseorang. Contohnya heteroseksual : jenis kelamin berlawanan, homoseksual : jenis kelamin sama dan biseksual : kedua jenis kelamin.

Gangguan identitas gender biasanya dikenal juga dengan istilah transeksualisme, memiliki karakteristik perasaan yang menetap dalam diri sesorang tentang ketidaknyamanan memiliki jenis kelamin (biologis) mereka, dan peran gender yang sesuai dengan  jenis kelamin tersebut. Pada istilah sehari-hari  mereka inilah yang sering disebut sebagai waria.wadam.banci.bencis.bencong ataupun istilah –istilah semacam itu. Gangguan ini biasanya muncul sejak awal masa kanak-kanak, munclunya ganguan ini antara lain saat usia 2-4 tahun, mereka merasa bahwa mereka adalah orang yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya saat itu. Mereka tidak menyukai pakaian dan aktivitas yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Bukti-bukti anatomi mereka atau kelamin normal dan karakteristik jenis kelamin sekunder yang umum, seperti tumbuhnya cambang pada laki-laki dan membesarnya payudara pada perempuan, tidak membuat mereka merasa bahwa mereka adalah orang dengan gender yang dilihat orang lain pada mereka.

Data menunjukkan bahwa gangguan indentitas gender 6 kali lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Ketika gannguan identitas gender bermula di masa kanak-kanak hal itu dihubungkan dengan banyaknya perilaku lintas gender, sperti cara berpakaian yang menyerupai lawan jenisnya, lebih suka bermain dengan teman-teman lawan jenisnya. Meskipun demikian, sebagian besar anak yang mengalami gangguan identitas gender tidak tumbuh dewasa sebagai orang yang terganggu, meskipun banyak yang menunjukkan orientasi homoseksual.

PENYEBAB GANGGUAN IDENTITAS GENDER

FAKTOR BIOLOGIS

Penjelasan biologis munculnya gangguan identitas gender sangat berkaitan dengan hormon dalam tubuh. Tubuh manusia menghasilkan hormon testosteron yang mempengaruhi neuron otak, dan berkontribusi terhadap maskulinitas otak yang terjadi pada area seperti hipotalamus. Dan sebaliknya dengan homon feminin. Namun hingga saat ini, pengaruh hormon terhadap munclnya gangguan masih menjadi kontroversi.

FAKTOR SOSIAL DAN PSIKOLOGIS

Seorang anak akan mengembangkan identitas gendernya selaras dengan apa yang diajarkan pada mereka selama masa pengasuhan. Menurut pendekatan psikososial, terbentuknya gangguan identitas gender dipengaruhi oleh interaksi temperamen anak, kualitas dan sikap orang tua. Secara budaya masih terdapat larangan bagi anak laki-laki untuk menunjukkan perilaku feminin dan anak perempuan menjadi tomboy, termasuk dengan perbedan terhadap pakaian dan mainan untuk anak laki-laki dan perempuan. Hipotesis lain adalah bahwa perilaku feminin yang stereotip pad aanak laki-laki didorong oleh ibu yang sejak sebelum kelahiran anak menginginkan anak perempuan. Namun hipotesis ini masih mendapat tantangan hingga kini.

TERAPI GANGGUAN IDENTITAS GENDER

PERUBAHAN TUBUH

Proses perubahan tubuh seharusnya didahului dengan psikoterapi selama 6-12 bulan dan hidup sesuai gender yang diinginkan, dengan fokus terapi pada kecemasan dan depresi yang dialami, dan berbagai kemungkinan yang tersedia bagi orang yang ingin mengubah tubuhnya. Perubahan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya beberapa orang yang mengalami gangguan identitas gender dapat memilih untuk menjalani operasi kosmetik, seoramg transeksual laki-lak ike perempuan dapat menjalani elektrolisis untuk menghilangkan bulu-bulu di wajah dan operasi untuk mengecilkan pipi dan jakun. Banyak transesksual juga mengkonsumsi hormon agar tubuh mereka secara fisik mendekati keyakinan mereka tentang gender mereka.

OPERASI PERGANTIAN JENIS KELAMIN

Cara ini adalah suatu proses dimana alat genital diubah untuk dibuat menyerupai alat kelamin lawan jenis. Karena apabila sudah dilakukan operasi jenis kelamin tidak dapat diubah lagi, maka ada proses yang harus dialalui. Antara lain dengan mengikuti percobaan hidup dengan jenis kelamin yang diharapkan selama setidaknya 3 bulan dan juga pasien harus menjalani terapi hormon.

MENGUBAH IDENTITAS GENDER

Identitas yang dimiliki mungkin dapat diubah, sehingga sesuai dnegan jenis kelamin biologisnya. Beberapa orang di Amerika Serikat mencoba cara ini dan berhasil. Namun hal ini cukup sulit dan sering gagal, sehingga kebanyakan penanganan yang dilakukan adalah dengan mengubah jenis kelamin (biologis).

Gangguan Pengendalian Diri: Trichotillomania

Trichotillomania

Trichotillomania

Trichotillomania

Desakan untuk mencabut rambut seseorang, yang menjadi suatu keharusan pada orang-orang dengan penyimpangan langka disebut trichotillomania, nampak aneh dan jauh dihilangkan kenyataan perilaku manusia sehari-hari. Dalam budaya kita, banyak wanita-wanita yang telah sadar mengenai facial rambut dan mengalami kesulitan untuk menghilangkannya. Bagaimanapun, untuk sebagian orang adalah tindakan mencabut rambut mengemangkan dorongan kualitas, membuat mereka memiliki keasyikan dengan mencabut rambut mereka dimana mereka terlupa pada fakta bahwa mereka sedang merusak penampilan mereka.

Karakteristik

Seperti orang-orang dengan penyimpangan pegendalian keinginan yang lain, penderita trichotillomania mengalami suatu peningkatan tekanan perasaan yang dapat dibebaskan untuk sementara dengan mencabut rambut. Masalah ini paling sering terjadi pada anak perempuan dan wanita, yang umumnya dimulai pada masa kanak-kanak atau masa remaja (Muller, 1987). Orang-Orang dengan  penyimpangan ini merasa tidak mampu untuk melawan keinginan untuk menarik rambut, dengan mengabaikan fakta bahwa perilaku mereka mengakibatkan kebotakan-kebotakan sebagian dan hilangnya alis, bulu mata, rambut ketiak, dan bulu kemaluan. Pada kasus ekstrim, beberapa individu mentelan rambutnya setelah mereka mencabutnya, beresiko bahaya mengeras dalam pertu atau usus.

Disamping bukti fisik yang mengenai kesengajaan pencabutan rambut, orang dengan  penyimpangan ini cenderung menyangkal bahwa mereka sedang mengalami perilaku tersebut. Tetapi tetap saja, mereka tidak bisa melawan keinginan untuk mencabut rambut mereka. Sebagai hasilnya, yang menemukan penyimpangan itu biasanya adalah ahli dermatologi bukannya para ahli kesehatan mental. Yang biasanya terjadi adalah orangtua membawa anaknya ke ahli dermatologi sebab anak kehilangan rambut secara misterius. Ketika diperiksa, ahli dermatologi mungkin melihat banyak rambut pendek dan rusak pada kulit di sekitar daerah kebotakan, menandakan rambut telah dicabuti. Pada kasus lain bukan keprihatinan dermatologis menyebabkan perhatian klinis, tetapi beberapa  masalah psikologis lain, penderita trichotillomania juga cenderung untuk mempunyai suasana hati, ketertarikan, penyalahgunaan obat, dan penyimpangan pola makan (Christenson dan kawan-kawan, 1991), dan mungkin menjadi perhatian ahli pengobatan karena permasalahan tersebut.

Walaupun secara relatif sedikit kasus trichotillomania telah dicatat secara resmi, penyimpangan ini kelihatannya yang lebih umum dari yang disadari ahli klinik bahkan ketika tahun 1970. Pada waktu itu, kira-kira 8 juta Orang Amerika diperkirakan memiliki penyimpangan tersebut  (Azrin & Nunn, 1978). Sepanjang akhir tahun 1980, diskusi mengenai topik ini muncul dalam artikel-artikel surat kabar dan pada acara perbincangan, akibatnya banyak lagi orang-orang yang mengakui bahwa mereka menderita masalah ini. Yang menarik, di dalam suatu percobaan yang membandingkan metoda perawatan yang berbeda, subyek diperoleh ketika mereka menghubungi Institut Kesehatan Mental Nasional setelah melihat penyimpangan yang diuraikan pada program acara televisi ABC 20/20  (Swedo dan kawan-kawan, 1989).

Teori dan perawatan

Trichotillomania adalah suatu penyimpangan yang membangkitkan minat yang tidak dipahami dengan baik, walaupun pendukung model utama telah mengusahakan beberapa hipotesis mengenai apa penyebab timbulnya perilaku ini dan bersifat sangat sulit untuk dirubah. Pendukung pendapat biologis berpendapat bahwa trichotillomania adalah suatu varian dari kelainan penyimpangan keinginan. Dugaan ini didukung oleh fakta kedua perilaku penyimpangan ini disebabkan oleh ketegangan atau kegelisahan, dan penderita kedua penyimpangan tersebut bereaksi terhadap berbagai pengobatan, termasuk litium (Christenson dan kawan-kawan, 1991) dan antidepressants (Pollard dan kawan-kawan, 1991), terutama sekali clomipramine, suatu antidepressant yang mengurangi gejala obsesional (Swedo dan kawan-kawan, 1989). Ketika pengobatan menjadi efektif dalam mengurangi perilaku mencabuti rambut, efektivitas jangka panjangnya belum terlihat, lagipula, dapat dimengerti bahwa orang-orang merasa segan untuk memilih pengobatan bertahun-tahun bila tersedia intervensi psikologis efektif.

Dari sudut pandang psikologis, trichotillomania dilihat sebagai awal gangguan dalam hubungan orangtua-anak, kekecewaan seorang anak yang merasakan dilalaikan, ditinggalkan, atau terbebani secara emosional bisa berakhir pada perilaku ini dalam usahanya untuk memperoleh perhatian atau untuk memperoleh suatu gangguan pada bentuk kepuasan (Krishnan dan kawan-kawan 1985). Walaupun ini adalah suatu hipotesis yang dapat dipertahankan, tidak menjelaskan mengapa perilaku ini dapat terbentuk sedemikian kuat dan bertahan. Dari sudut pandang perilaku, pola teladan ini berkembang sebab individu menganggap perilaku mencabut rambut dapat menghilangkan ketegangan.

Perlakuan perilaku untuk penderita trichotillomania dibedakan menjadi lima kategori: kesadaran yang yang ditingkatkan mengenai perilaku, penguatan, mencegah kebiasaan, relaksasi atau teknik hipnotis, dan penggantian dengan perilaku lain (Ratner, 1989). Melalui prosedur yang disesuaikan dengan peningkatan kesadaran, individu didukung untuk secara penuh kesadaran menahan perilaku mencabuti rambut, hal ini dapat terpenuhi dengan membuat catatan pada setiap peristiwa, dengan bicara dengan suara keras mengenai perilaku ketika mencabut rambut, atau dengan meminta anggota keluarga untuk menunjukkan ketika individu sedang melakukan perilaku tersebut. Dengan peningkatan kesadaran mengenai kebiasaan, diharapkan bahwa individu akan mengembangkan kemampuan untuk menghentikan perilaku sebelum terjadi pencabutan rambut.

Penggunaan teknik penguatan mengikuti saat seseorang sedang berusaha menghilangkan perilaku tersebut, sebagai contoh dengan memuji individu atas keberhasilannya menahan perilaku tersebut atau untuk penampilan yang membaik dalam karena berhenti mencabutio rambut dapat memperkuat tekad individu untuk merubah perilaku ini. Teknik melarang bisa melalui perintah pada individu untuk memberi beberapa stimulus yang buruk pada tingkat kesadaran mengenai perilaku tersebut, barangkali jepretan karet gelang sebagai hukuman ketika mencabut rambut (Stevens, 1984)

Walaupun teknik relaksasi umum belum menjadi sangat efektif dalam membantu menghentikan perilaku mencabuti rambut, teknik yang lebih spesifik menggunakan hipnotis kini menjanjikan. Metoda hipnotis efektif diarahkan pada peningkatan kesadaran terhadap kebiasaan tersebut, kepekaan terhadap sisi keburukan dari perilaku perilaku ini, dan semangat individu untuk pengendalian diri (Ratner, 1989)

Teknik tingkah laku lain adalah dengan penggantian suatu perilaku yang lebih bisa diterima seperti menggenggam tangan yang digunakan untuk mencabuti rambut (Tarnowski dan kawan-kawan, 1987). Pendekatan ini didasarkan pada gagasan di mana jika individu sedang melakukan sesuatu yang secara fisik tidak bertentangan dengan mencabuti rambut setiap kali keinginan itu muncul, perilaku yang lebih bisa diterima akan mendukung pada pengurangan perilaku keinginan mencabuti rambut. Bergerak diluar teknik perilaku langsung pada penggunaan prinsip pengertian perilaku, beberapa ahli menghimbau individu untuk memulai suatu dialog dalam rangka memberikan suatu memperingatkan situasi di mana perilaku dapat dimungkinkan untuk terjadi (Ratner, 1989).

Gangguan Pengendalian Diri: Penyimpangan Cara Makan

banyak makan

ilustrasi

Penyimpangan Cara Makan

Arti psikologis dari makanan berkembang jauh diluar kekuatan nitrisinya. Secara umum manusia menjediakan berjam-jam dan banyak usaha untuk memilih, menyiapkan, dan menyajikan hidangan makanan. Sebagai tambahan terhadap ketergantungan fisik terhadap makanan, manusia mempunyai asosiasi emosional kuat terhadap makanan. Orang yang lapar akan merasa tidak nyaman dan mudah menimbulkan amarah, sebaliknya suatu yang makanan enak dapat menyebabkan orang merasa senang dan puas.

Pada sebagian orang, makanan memiliki arti yang sangat besar, dan mereka temukan diri mereka menjadi diperbudak pada suaturitual aneh yang tak sehat saat proses santapan. Orang dengan penyimpangan cara makan berjuang untuk mengendalikan perilaku dan nya yang menyimpang mengenai makanan, dan gangguan terhadap mereka yang berada dekat dengan mereka, banyak yang menempatkan mereka pada dalam bahaya. Kita akan memperhatikan dua penyimpangan yang berhubungan dengan makanan, yaitu: anorexia nervosa dan bulimia nervosa. Walaupun mereka adalah penyimpangan yang beda, ada persamaan penting pada caranya untuk dapat dipahami. Sebagai konsekwensi, kita pembahasan ini akan berkombinasi menyangkut perawatan dan teori tentang penyimpangan-penyimpangan ini.

Karakteristik Anorexia Nervosa

Walaupun banyak orang-orang di Barat yang melakukan diet untuk menurunkan berat badan, pada beberapa titik dalam hidup mereka (Polivy& Herman, 1987), penderita penyimpangan cara makan anorexia nervosa membawa harapan yang tipis hingga sesuatu yang ekstrim, berkebangnya suatu ketakutan yang kuat untuk menjadi gemuk yang menyebabkannya melakukan diet dengan tujuan untuk menjadi kurus. Ketakutan menjadi gemuk merupakan suatu teknik penilaian yang terpenting untuk mendiagnosa anorexia nervosa. Beberapa penderita anorexia nervosa (tipe menolak makan) melakukan berbagai perilaku yang sesuai dengan tujuan pengurangan berat badan seperti menyalah-gunakan obat pencuci perut atau pil diet yang dan memaksakan diri dalam melakukan kegiatan olahraga. Orang yang lain (tipe suka banyak makan) makan terlalu banyak kemudian memaksa diri mereka untuk membersihkannya, atau membersihkan diri mereka apapun juga yang mereka makan. Kelaparan yang berhubungan dengan anorexia nervosa menyebabkan sejumlah kelainan fisik seperti gangguan haid, kulit kering dan pecah-pecah, denyut jantung melambat, mengurangi aktivitas gastrointestinal, dan kelemahan berotot  (Kaplan & Woodside)

Daftar Pustaka
Martaniah, M, Sri, 2004. Pengantar Psikologi Abnormal. Psikologi UGM. Yogyakarta

Impulsivitas Seksual

impulsivitas seksual

impulsivitas seksual

Impulsivitas Seksual

Penderita inpulsivitas seksual tidak mampu mengendalikan perilaku seksual mereka, terkait dalam aktivitas seksual yang sering dan sembarangan. Kelainan ini telah memperoleh perhatian yang luas sejak awal 1980-an, sebagain besar memulai penerbitan buku berjudul : Out of Shadow : Understanding Sexual Addiction karangan Carnes (1983)

Karakeristik

Impulsivitas seksual kadang mengacu pada desakan seksual atau kecanduan seksual, namun istilah ini tidak sesuai (Barth & Kinder, 1987), karena gambaran umum kelainan tersebut tidak mencakup desakan atau kecanduan yang sebenarnya, namun cenderung kurangnya pengendakian dorongan hasrat seksual. Penderita kelainan ini dikuasi sek, merasa tidak terkendali didorong  untuk mencari hubungan seksual yang akan disesali kemudian.  Dorongan ini mirip dengan yang dilaporkan dalam kelainan pengendalian diri lainnya, melibatkan keadaan yang didalamnya seseorang ditekan oleh kebutuhan berhubungan seks. Seringkali, impulsivitas seksual terjadi di banyak hubungan seksual dala suatu jangka waktu yang jelas, bahka reiko penyakit dan penanganannya.

Benar adanya bagi penderita kelainan kontrol implus, penderita perilaku inpulsivitas seksual tidak terkendali disertai dengan kemampuan untuk melakukan peran sosial dan pekerjaan yang wajar.  Mereka mereas sangat tertekan dengan perilaku mereka, dan melakukan hubungan seksual yang mereka cenderung merasa sedih, putus asa, dan malu. Meskipun beberapa penderita impulsivitas seksual dimakan oleh kebutuhan tetap melakukan masturbasi, kebanyakan mencari pasangan, biasanya dengan orang yang tidak mereka kena, dan tida terlibat lebih jauh ketimbang hubungan seksual dengan orang yang tak dikenal.

Kebanyakan penyelidikan rinci impulsivitas seksual dilakukan dengan sample pria homoseksual dan iseksual (Quadland, 1985). Pada kelompok ini, impulsivitas seksual terjadi dengan  lebih dari 29 pasangan perbulan dan lebih dari 2000 hubungan seksual yang berbeda selama hidup mereka. Mereka secara berkala berhubungan sek di lingkungan umum dan memakai alkohol atau obat-obatan saat berhubungan sek, dan biasanya mereka memiliki sedikit sejarah hubungan jangka panjang.

Teori dan perlakuan

Merupakan penjelasan-penjelasan yang paling mengena pada unsur-unsur pembentuk kebebasan seksual yang berhubungan dengan sistem keluarga dan teori mengenai tingkah laku. Kebasan seksual dapat disebabkan baik oleh sikap yang terlalu membatasi terhadap seks atau sebagai suatu akibat dari pengabaian dan penyimpangan di dalam suatu keluarga (Coleman, 1987). Keluarga-keluarga dengan pandangan yang bersifat terlalu membatasi atas pengetahuan seks dianggap turut bersalah jika dipandang dari adanya perilaku pencarian-kenikmatan. Anak akan menjadi tertutup dan gelisah menghadapi perkembangan seksualnya. Satu reaksi lingkungan emosional tersebut akan berkembang menjadi suatu kelainan fungsi seksual tubuh, seperti kelainan keengganan seksual. Contoh ekstrim yang lain, anak mungkin berperilaku menyimpang secara seksual. Semakin orang tua berusaha untuk mengekang seksualitas anak, semakin anak berkeinginan untuk melakukan secara diam-diam dalam pengejaran seksual. Pada saat anak-anak seperti itu sudah memasuki masa remaja, pengejaran seksual akan menjadi suatu bagian yang tidak dapat dikendalikan dari hidup mereka.

Dalam kasus masa kanak-kanak yang diabaikan dan disakiti, anak yang disakiti merasakan kesepian dan kesedihan, dan mencari seks sebagai pelarian sementara dari rasa sakit hatinya. Anak yang merasa tidak bahagia cenderung untuk mencari pelampiasan seksual dengan jalan lari dari anggota keluarga yang menyakiti atau mengabaikan. Sebab kepuasan seksual dapat menjadi suatu penyembuh yang kuat, sangat sulit untuk memisahkan pengertian antara lari dari kesedihan dan penyimpangan seksual. Lama-kelamaan anak berfikir untuk bergantung pada seksualitas dan aktivitas pelarian lain seperti makan terlalu banyak atau penyalahgunaan obat. Setelah dewasa, individu seperti itu dapat menjadi pecandu alkohol atau obat maupun seks (Schwartz& Brasted, 1985).

Mungkin dalam beberapa kasus kelainan seksual disebabkan oleh hormon testosterone yang sangat tinggi yang menyebabkan individu menjadi hypersexual (Berlin& Meinecke, 1981; Gagne, 1981). Jelas disebutkan dalam ilmu fisiologi pada respon seksual, faktor biologi penting bagi pertimbangan dalam kasus pemahaman kelainan seksual.

Perlakuan pada kelainan seksual melibatkan suatu kombinasi dari komponen-komponen yang muncul dari kesadaran diri, perilaku, dan sistem pendekatan keluarga. Terapi kesadaran diri tertuju pada pengangkatan konflik dasar permasalahan individu yang memotivasi perilaku tersebut. Konflik ini meliputi memecahkan permasalahan nonseksual melalui cara seksual, kebutuhan penenteraman hati, dan perasaan tidak aman dari segi seksual (Weissberg& Levay, 1986). Teknik perilaku meliputi pengaruh penolakan secara terselubung, dimana individu dilatih untuk berpandangan buruk mengenai perilaku seksual menyimpang (McConaghy dan kawan-kawan, 1985). Teknik lain meliputi perilaku pengurangan, pemberian bentuk aktivitas alternatif, dan metoda membangkitkan rasa percaya diri individu yang rendah (Schwartz& Brasted, 1985). Keikutsertaan terapi keluarga atau pasangan penting bagi klien-klien dengan perilaku seksual berlebihan dalam konteks hubungan erat jangka panjang. Pendekatan ini tertuju pada peningkatan komunikasi antara klien dengan pasangan klien dan mebangun hubungan mereka untuk memperbaiki tidak berfungsinya pola interaksi yang berpengaruh pada masalah seksual  (Sprenkle, 1987).

Jika melibatkan kejahatan seksual oleh orang lain, pengobatan antiandrogenik terkadang digunakan untuk mengurangi tingkat hotmon testosteronnya. Metoda ini melibatkan sebagian dari keprihatinan serupa yang terdapat pada perawatan terhadap pelaku kejahatan seksual.

Seperti halnya dengan penyimpangan lain dengan dorongan pengendalian diri, terapi berkelompok nampak bermanfaat dalam perawatan pada kelainan seksual (Quadland, 1985). Unsur-unsur keberhasilan pendekatan berkelompok meliputi dukungan kawan senasib, konfrontasi, dan ketersediaan alternatif hubungan sosial.

STANDAR PROGRAM PAUD: ISI, PROSES, DAN PENILAIAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Untuk mencapai tingkat perkembangan yang optimal diperlukan program pengasuhan dan pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini. Isi, proses, dan penilaian merupakan tiga standar nasional pendidikan yang terintegrasi, menyeluruh, dan terpadu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pelaksanaan ketiga standar tersebut sangat menentukan tingkat pe

playgroup paud

PAUD

ncapaian perkembangan anak. Keterpaduan antara isi, proses, dan penilaian tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai moral, religi, dan budaya keluarga serta masyarakat setempat sebagai bentuk tanggung jawab bersama.

Standar isi pendidikan anak usia dini mencakup kerangka dasar, struktur kurikulum, lingkup materi, beban belajar, kalender pendidikan/akademik, dan tingkat pencapaian perkembangan anak. Kurikulum pendidikan anak usia dini tidak terpusat pada orang dewasa tetapi terpusat dan berorientasi pada anak dalam rentang usia 0 – 6 tahun, berdasar atas keragaman latar belakang budaya, kondisi geografis, serta status demografis keluarga. Standar isi memuat bidang pengembangan, bentuk dan intensitas stimulasi dalam pengasuhan dan pendidikan. Standar proses adalah semua pendekatan yang digunakan dalam praktek pengasuhan dan pendidikan yang diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, variatif, menyenangkan, menyehatkan, dan memotivasi anak untuk berpartisipasi aktif secara fisik maupun mental. Standar proses meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi praktek pengasuhan dan pendidikan. Standar penilaian adalah asesmen dan evaluasi terhadap perkembangan selama anak dalam pengasuhan dan pendidikan.

Standar program terdiri dari komponen isi, proses dan penilaian.

  1. Komponen isi

Komponen isi mencakup kegiatan dan waktu stimulasi yang dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 kali seminggu selama minimal 2 jam, maksimal 10 jam. Kalender pendidikan meliputi minggu efektif, waktu pengasuhan dan pendidikan efektif, hari libur bersifat fleksibel tergantung pada masing-masing satuan pendidikan. Persyaratan untuk memenuhi standar isi pendidikan anak usia dini:

  1. Terfokus pada anak, dilakukan dengan konsisten sesuai dengan tingkat kemampuan perkembangan, minat dan kebutuhan masing-masing anak
  2. Memperhatikan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan
  3. Berdasarkan prinsip pembelajaran melalui bermain yang menyenangkan, menantang, dan bermakna bagi anak
  4. Berdasarkan budaya lokal dan pengenalan terhadap budaya lain
  5. Mengandung pengalaman-pengalaman bermain yang melibatkan seluruh modalitas/multisensoris (visual, pendengaran, pengecapan, perabaan, penciuman)
  6. Mendorong keaktifan dan kreativitas fisik maupun mental
  7. Mengoptimalkan potensi di semua bidang (fisik motorik, kognitif bahasa, sosial emosi, dan moral agama)
  8. Mengintegrasikan selain pendidikan juga layanan kesehatan, dan nutrisi serta gizi seimbang
  9. Memberikan beragam kegiatan bermain berupa pengalaman sehari-hari secara fleksibel sesuai dengan kondisi, minat, dan kebutuhan anak

10. Mengenalkan jenis dan alat permainan yang bersumber dari budaya lokal

  1. Komponen proses.

Perencanaan dan pengasuhan anak usia dini perlu memperhatikan penyedian ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan karakteristik setiap tahap perkembangan dan kondisi lingkungan setempat. Perencanaan proses pengasuhan dan pendidikan meliputi rencana kegiatan mingguan (RKM) dan rencana kegiatan harian (RKH) yang memuat tujuan, materi stimulasi, metode, sumber belajar, dan evaluasi. Proses pengasuhan dan pendidikan anak usia dini perlu memperhatikan jumlah maksimal anak per kelompok, beban setiap pamong dalam mengasuh dan mendidik (minimal 18 jam, maksimal 30 jam aktivitas pendampingan per minggu), rasio jumlah anak untuk setiap pamong PAUD disesuaikan dengan usia anak (untuk kelompok usia 0-2 tahun rasio 1:5; usia 2-4 tahun rasio 1:8; usia 4-6 tahun rasio 1:10). Perlu dipersiapkan lingkungan pembelajaran yang memberikan pembiasaan-pembiasaan secara konsisten dalam pembentukan kepribadian anak, misalnya membiasakan anak bersalaman dan meletakkan peralatan yang dibawa di tempat yang telah tersedia. Jadwal kegiatan berupa pendahuluan, inti dan penutup yang pelaksanaan disesuaikan dengan kelompok usia anak. Kegiatan lain yang termasuk dalam proses adalah makan bersama, mencuci tangan untuk membiasakan menjaga kebersihan, menggosok gigi, dan kesempatan untuk istirahat. Tahapan kegiatan meliputi:

  1. Inti, yang berisi pilihan-pilihan kegiatan secara kelompok maupun individual. Anak diberi kesempatan untuk memilih, mengambil, menentukan alat dan kegiatan bermain. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup stimulasi seluruh aspek perkembangan yang bersifat elaboratif, eksploratif dan konfirmatif yang dilakukan dengan berbagai macam metode. Pamong PAUD memfasilitasi anak untuk memperoleh pengalaman bermakna melalui kegiatan sosialisasi, membicarakan gambar, mendengarkan cerita, menyanyi, bersajak pendek, menari, menghitung sederhana serta beragam kegiatan multisensoris.
  2. Pembukaan, berisi kegiatan pengenalan diri dan lingkungan, diskusi, membicarakan hal-hal sesuai minat anak diselingi dengan gerak dan lagu, syair jenaka, sajak pendek.
  3. Penutup, berisi membacakan cerita sederhana yang bermakna bagi anak selain kegiatan konfirmasi dan refleksi diri terhadap kegiatan yang telah dilakukan. Pamong memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk pujian, dan melakukan perencanaan tidak lanjut bagi anak-anak yang membutuhkan.

 

  1. Komponen penilaian.

Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan cara membuat kesimpulan dari hasil pencatatan harian, riwayat kesehatan, berbagai tingkat pencapaian perkembangan anak yang dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Penilaian dilakukan setiap bulan, setiap tiga bulan, sesuai dengan tahap perkembangan anak, semakin awal usia anak semakin pendek jarak penilaian. Deteksi dini dilakukan terhadap anak yang memiliki masalah perkembangan sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Tindak lanjut berupa konsultasi atau rujukan dilakukan apabila dipandang perlu.

STANDAR INFRASTRUKTUR PENDUKUNG, SARANA, PRASARANA, PENGELOLAAN, DAN PEMBIAYAAN

            Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidik pasal 42, 49, 59, 62; setiap satuan pendidikan usia dini wajib memiliki sarana, prasarana, pengelolaan dan pembiayaan. Merupakan tantangan saat ini adalah adanya keragaman pelaksanaan kegiatan dan penataan lingkungan pendidikan anak usia dini di berbagai wilayah di Indonesia. Di kota besar telah tersedia pelayanan pendidikan anak usia dini oleh lembaga swasta dengan dukungan fasilitas lengkap bahkan terkesan mewah.  Sebaliknya, sebagian pelayanan pendidikan anak usia dini di desa terpencil masih sangat sederhana dan seadanya.

Standar ini dimaksudkan untuk menjamin infrastruktur pendukung untuk terselenggaranya pelayanan yang secara minimal dapat dicapai tetapi tetap menjamin tersedianya hal-hal yang esensial bagi keamanan, kenyamanan, kesehatan, untuk menunjang proses tumbuh kembang anak secara optimal.

Standar Infrastruktur Pendukung terdiri dari komponen sarana, prasarana, pengelolan dan pembiayaan. Sarana, adalah segala fasilitas yang dibutuhkan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Komponen sarana meliputi: perabotan, peralatan pendidikan, kesehatan, ketertiban, berbagai jenis media pendidikan, dan bahan-bahan habis pakai. Prasarana, merupakan tempat kegiatan di dalam ruangan maupun di luar ruangan yang menjamin anak melakukan aktivitas secara aman, nyaman, sehat, dan menyenangkan. Pengelolaan, adalah segala hal yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pengasuhan maupun pembelajaran. Pembiayaan, untuk menjamin keberlanjutan dan konsistensi penyelenggaraan diperlukan pengaturan biaya yang meliputi biaya investasi, personal, dan operasi.

Standar Infrastruktur Pendukung terdiri dari:

  1. Standar Komponen Sarana yaitu:
    1. Perabotan
      1. Meja – kursi anak atau tikar sebagai alas lantai
      2. Tempat menyimpan alat permainan
      3. Tempat menyimpan dokumen (perlengkapan administrasi)
      4. Alat pengukur tinggi badan
      5. Alat penimbang berat badan
      6. Alat – alat kebersihan
  1. Peralatan pendidikan
    1. Alat bermain untuk di dalam ruang
    2. Alat/perlengkapan bermain di luar ruang
    3. Perlengkapan musik dan seni
    4. Perlengkapan olah raga
  1. Media pendidikan
    1. Poster
    2. Buku dan alat tulis
    3. Majalah
    4. Elektronik (apabila memungkinkan): radio, tape recorder, dsb.
  1. Prasarana
    1. Ruang aktivitas
    2. Ruang makan
    3. Ruang ibadah (dapat menggunakan ruang aktivitas)
    4. Dapur
    5. Kamar mandi/jamban (tersedia cukup air bersih)
    6. Perlengkapan kesehatan (PPPK)
  1. Pengelolaan
    1. Yaitu penerapan manajemen berbasis masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya: kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas
    2. Setiap lembaga PAUD harus memiliki status yang jelas pengelolaannya apakah oleh perorangan, masyarakat, swasta, LSM, maupun pemerintah
    3. Lembaga PAUD dapat menjalin kemitraan dalam berbagai bentuk kerjasama dengan pihak lain
    4. Lembaga PAUD bersifat terbuka dan akuntabel, memiliki struktur organisasi, personil yang bertanggung jawab, pembagian tugas yang jelas, rencana kerja, melakukan laporan kegiatan dan monitoring evaluasi
    5. Lembaga PAUD harus memiliki pedoman yang mengatur kurikulum, kalender pendidikan, tata tertib serta mekanisme pengawasan
  1. Pembiayaan
    1. Biaya investasi untuk menyediakan sarana dan prasarana, pengembangan SDM
    2. Biaya personal meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan yang melekat pada gaji

Biaya operasi untuk pembelian peralatan dan bahan habis pakai

 

STANDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pendidik anak usia dini harus memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial. Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan mendidik anak usia dini yang dilaksanakan melalui belajar dan bermain. Kompetensi profesional yaitu kemampuan penguasaan materi esensial yang diajarkan pada anak usia dini secara integratif (terpadu) dan holistik (menyeluruh). Kompetensi kepribadian yaitu suatu penampilan yang mencerminkan pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa serta dapat diteladani. Kompetensi sosial yaitu kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan bergaul, baik dengan anak, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua anak dan masyarakat sekitar.

Penyusunan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini dimaksudkan untuk para pendidik anak usia 0 – 6 tahun, namun karena standar pendidik untuk usia Taman Kanak-kanak 4 – 6 tahun sudah ada (dalam proses di BSNP), maka standar Pendidik AUD ini secara khusus akan memusatkan perhatian pada anak usia 0 – 4 tahun.

Mengingat usia 0 – 4 tahun merupakan rentang usia yang berawal sejak anak lahir dan mencakup proses tumbuh kembang seluruh aspek perkembangan secara holistik, maka partisipasi, kerjasama dan keterlibatan bidang, instansi dan lembaga yang terkait dengan masalah tumbuh kembang anak seperti BKKBN, Departemen Kesehatan, Dinas Sosial, lembaga-lembaga masyarakat, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran mengenai pentingnya standar pendidikan anak usia dini.

Selain ketentuan mengenai kompetensi pendidik, sebutan bagi pendidik anak usia dini dapat menggunakan sebutan sesuai dengan apa yang berkembang dan dapat diterima masyarakat. Namun apapun sebutan yang digunakan, harus mengandung makna dan fungsi sebagai pendidik, tutor atau pamong sesuai dengan ketentuan dalam PP No. 19 tahun 2005. Berdasarkan hasil pengamatan, perkembangan pendidikan anak usia dini saat ini, sebutan guru masih merupakan sebutan yang dapat diterima dan diminati masyarakat.

Sesuai dengan fungsi pendidik anak usia dini dalam rentang usia 0 – 4 tahun sebagai sosok pengganti peran ibu maka kompetensi pendidik anak usia dini lebih ditekankan dalam aspek pengasuhan.

Pendidik dan tenaga pendidikan anak usia dini diharapkan memilii kompetensi sebagai berikut:

Kompetensi Pendidik

A

Kompetensi Pedagogik

1

Memiliki wawasan tentang tumbuh-kembang anak usia dini

2

Mampu menciptakan lingkungan yang nyaman, aman, menarik, bersih dan sehat bagi anak

3

Memahami konsep dasar tentang ilmu pendidikan anak usia dini

4

Memiliki kemampuan dalam merancang program bermain pada pendidikan anak usia dini

5

Mampu melaksanakan kegiatan bermain yang integratif, holistik, kreatif dan inovatif untuk tumbuh kembang anak sesuai dengan usia anak

6

Memiliki kemampuan dalam mengembangkan program pendidikan anak usia dini

7

Mampu menyusun satuan kegiatan belajar dan bermain berdasarkan kelompok usia anak dalam satuan harian dan mingguan

8

Mampu melatih rutinitas (makan, minum, istirahat dan toilet training)

9

Menguasai pengetahuan mengenai gizi dan kesehatan anak

10

Memiliki kemampuan melakukan evaluasi tentang perkembangan anak usia dini dalam aspek fisik motorik, kognitif bahasa, sosial emosional dan moral agama

11

Memiliki wawasan tentang pengelolaan dan administrasi lembaga pendidikan anak usia dini

 

B

Kompetensi Profesional

1

Mampu mengembangkan substansi bidang pengembangan PAUD yang bersifat tematik

2

Menguasai kemampuan mengenalkan konsep dasar mengenai matematika, sains, bahasa, pengetahuan sosial, agama, seni, pendidikan jasmani, kesehatan dan gizi sebagai sarana pengembangan anak usia dini

3

Mampu menggunakan berbagai alat permainan sebagai sarana pengembangan potensi anak

4

Menguasai berbagai lagu, tari, dan seni keterampilan anak usia dini

5

Mampu memanfaatkan ruang, waktu dan sarana bermain secara efisien dan efektif

6

Mampu melakukan inovasi dalam bidang yang sesuai dengan perkembangan kegiatan pendidikan anak usia dini

7

Mampu mengaplikasikan pengetahuan tentang pertumbuhan, perkembangan dan cara belajar anak dalam praktek pengasuhan dan pendidikan

8

Mampu mengikuti kegiatan ilmiah dalam upaya meningkatkan kompetensi profesinya

9

Memahami pentingnya peran keluarga dalam perkembangan dan pembelajaran anak usia dini

10

Memahami mengkomunikasikan kepada orang tua mengenai pentingnya aspek gizi dan kesehatan dalam proses tumbuh kembang untuk menunjang aspek pembelajaran anak

11

Memahami dan tanggap terhadap kebutuhan anak sesuai dengan kelompok usia

12

Memahami mengkomunikasikan kepada orang tua mengenai pentingnya pemenuhan kebutuhan psikologis anak (kasih sayang, perhatian, kepedulian, perlindungan)

 

C

Kompetensi Kepribadian

1

Menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif dan berwibawa

2

Menampilkan sikap dan perilaku ikhlas pada anak usia dini

3

Memiliki kesabaran dan kasih sayang dalam mengasuh anak

4

Mencintai anak dengan segala keunikan dan keterbatasannya

5

Menampilkan perilaku bertanggungjawab terhadap setiap perbuatan

6

Memiliki kepribadian luhur yang ditunjukkan dengan menghargai hak-hak anak

7

Berperilaku santun yang mencerminkan ketakwaan

8

Menampilkan diri sebagai pribadi yang menjadi tauladan dan berakhlak mulia

 

D

Kompetensi Sosial

1

Mampu membangun hubungan yang saling menghargai dengan teman sejawat dan tenaga kependidikan lainnya

2

Mampu bekerjasama dan berkomunikasi dengan keluarga anak, instansi mitra, dan masyarakat sekitar

3

Melaksanakan kegiatan belajar dan bermain dengan mengikutsertakan peran  orang tua anak usia dini

4

Membangun kerjasama dan membina jaringan kerjasama antar teman seprofesi dalam rangka menciptakan lingkungan kerja yang kondusif

5

Mampu meningkatkan kepedulian masyarakat dalam mengembangkan kualitas pendidikan anak usia dini

6

Memiliki kepekaan sosial mengenai tingkat pemahaman masyarakat berkaitan dengan pengasuhan pendidikan anak usia dini

7

Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat sekitar kegiatan PAUD

STANDAR TINGKAT PENCAPAIAN PERKEMBANGAN

ANAK USIA DINI

Dalam Bab I pasal 1 butir 14 UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003, tercantum: pendidikan anak usia dini adalah upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan psikologis agar anak memiliki persiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Sesuai dengan kaidah bahwa anak tumbuh dan kembang melalui tahapan-tahapan perkembangan yang berlangsung secara berurutan dan berkesinambungan, maka tingkat perkembangan yang dicapai anak usia dini akan menjadi dasar pencapaian perkembangan pada tahap berikutnya. Dalam setiap tahap perkembangan, anak memiliki ciri perkembangan dan kebutuhan yang spesifik.

Untuk mencapai perkembangan yang optimal, diperlukan cara pengasuhan dan pendidikan holistik dengan memberikan rangsangan perkembangan fisik-motorik; kognitif-bahasa; sosial-emosi; moral-agama. Seluruh aspek tersebut berkembang secara integratif, saling berkaitan dan tidak terpisahkan. Tingkat perkembangan yang dicapai bukan merupakan tingkat pencapaian kecakapan akademik seperti pada pendidikan formal, tetapi merupakan aktualisasi potensi semua aspek perkembangan yang diharapkan dapat dicapai anak pada setiap tahap perkembangan.

Tingkat pencapaian perkembangan secara integratif tersusun dalam urutan tahap usia. Setiap aspek perkembangan akan meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif pada tahap berikutnya.

Tingkat Pencapaian Perkembangan Yang Diharapkan

  1. Pada saat anak berusia 1 tahun diharapakan mampu mencapai perkembangan:
    1. Motorik kasar
      1. Merangkak
      2. Berdiri dengan berpegangan
      3. Berjalan dengan bantuan
      4. Berjalan sendiri beberapa langkah

 

  1. Motorik halus
    1. Meraih benda yang dapat dijangkau
    2. Menunjukkan gerakan membuka, menutup, dan memukul-mukul 2 benda
    3. Mencoba menumpuk atau menyusun kotak atau balok dengan mengikuti contoh
    4. Mencoret-coret dengan alat tulis

 

  1. Kognitif
    1. Menunjukkan respon terhadap suara maupun gerakan
    2. Menunjukkan perhatian terhadap benda di sekelilingnya dan mencoba memegang
    3. Memahami perintah sederhana
  1. Bahasa
    1. Mengoceh
    2. Mengucapkan kata yang belum sempurna mengenai sesuatu yang dimaksud (maem-mama)
    3. Menirukan kata-kata sederhana
  1. Sosial-emosional
    1. Mengekspresikan emosi dengan tersenyum, tertawa, menangis, reaksi takut
    2. Mampu merespon interaksi (bermain ci-luk-ba)
    3. Menunjukkan reaksi menolak terhadap orang yang belum dikenal
  1. Pada saat anak berusia 2 tahun diharapkan mampu mencapai perkembangan:
    1. Motorik kasar
      1. Mampu melakukan gerakan melompat
      2. Mampu naik turun tangga dengan berpegangan
      3. Menarik benda yang tidak terlalu berat (kursi kecil)
  1. Motorik halus
    1. Melipat kertas walaupun belum rapi/sempurna
    2. Membuka/membalik halaman buku, tetapi belum sempurna
    3. Menyusun beberapa balok
    4. Meniru gambar geometris (lingkaran-garis-segi empat)
    5. Kognitif
      1. Menunjukkan berminat terhadap angka dan hitungan sederhana
      2. Mengenal beberapa warna primer (merah, biru, kuning)
      3. Dapat menyebutkan nama benda dan bertanya nama benda yang belum dikenal
      4. Mampu menyebut nama sendiri dan beberapa orang yang dikenal

 

  1. Bahasa
    1. Menggunakan kata-kata sederhana untuk menyatakan keingintahuan
    2. Menyanyikan lagu sederhana
    3. Mulai tertarik pada gambar dalam buku
    4. Menjawab pertanyaan sederhana

 

  1. Sosial-emosional
    1. Menunjukkan reaksi emosi senang, kecewa, marah, takut
    2. Menunjukkan reaksi menerima atau menolak kehadiran orang lain
    3. Tertarik bermain bersama teman tetapi sibuk dengan permainannya sendiri (solitary play)

 

  1. Pada saat anak berusia 3 tahun diharapkan mampu mencapai perkembangan:
    1. Motorik kasar
      1. Berjalan sambil berjinjit
      2. Melakukan gerakan menendang
      3. Menari mengikuti irama
      4. Melakukan gerakan melempar
      5. Menggunting kertas
      6. Melompat dengan satu maupun dua kaki
  1. Motorik halus
    1. Melepas dan memasang potongan-potongan mainan
    2. Merangkai manik-manik yang ukurannya tidak terlalu kecil
    3. Koordinasi jari-jari tangan cukup baik untuk memegang benda pipih (pensil, sikat gigi, sendok)
  1. Kognitif
    1. Menyebut bagian-bagian dari suatu pola (gambar mobil, wajah orang, dsb)
    2. Memasang potongan-potongan puzzle sederhana
    3. Memahami prinsip ukuran (besar-kecil)
    4. Bermain peran (pura-pura)
    5. Mengenal nama bagian-bagian tubuh
  1. Bahasa
    1. Hafal beberapa lagu sederhana
    2. Mampu menggunakan kata tanya (apa, siapa, bagaimana, mengapa)
    3. Memahami cerita (dongeng) dengan bahasa sederhana
    4. Memahami perintah sederhana (letakkan pensil di atas meja)
  1. Sosial-emosional
    1. Mulai memahami mengenai hak orang lain
    2. Mulai menunjukkan sikap berbagi, membantu teman
    3. Menyatakan perasaannya terhadap anak/orang lain (tidak suka pada teman karena nakal)
    4. Meniru perilaku atau sikap (menari – mengendarai mobil – memasak)
    5. Memahami bagaimana dan kapan mengucapkan salam
  1. Pemahaman moral dan agama
    1. Meniru gerakan berdoa
    2. Mengikuti gerakan sembahyang
    3. Mengucapkan terima kasih, maaf
  1. Pada saat anak berusia 4 tahun diharapkan mampu mencapai perkembangan:
    1. Motorik kasar
      1. Berlari sambil membawa sesuatu yang ringan (bola)
      2. Naik atau turun tangga dengan kaki bergantian
      3. Berjalan mundur dengan berjinjit
      4. Melakukan gerakan menuang air atau pasir

 

  1. Motorik halus
    1. Meronce manik-manik
    2. Melipat kertas dengan lipatan mendatar, tegak lurus, atau menyilang
    3. Menggunting mengikuti pola garis lurus
    4. Memasukkan benda kecil ke dalam botol, misalnya potongan lidi, kerikil, biji-bijian
  1. Kognitif
    1. Mampu menempatkan benda dalam urutan ukuran (paling kecil – paling besar)
    2. Mampu menemukan/mengenali bagian yang hilang dari suatu pola gambar (wajah – mobil dsb.)
    3. Meningkatnya fungsi sensori penciuman, pencecap dan peraba melalui pengenalan bau – rasa – dan perabaan
  1. Bahasa
    1. Mampu menceritakan pengalaman sederhana yang dialami
    2. Memahami cerita/dongeng
    3. “Membaca” cerita bergambar dalam buku dengan kata-kata sendiri
    4. Menyatakan keinginan dengan susunan kata yang lebih jelas
  1. Sosial-emosional
    1. Menunggu giliran dalam bermain
    2. Bereaksi terhadap hal-hal yang dianggap tidak benar (marah apabila mainannya direbut atau diperlakukan berbeda)
    3. Menunjukkan reaksi menyesal ketika melakukan kesalahan
    4. Memahami peran dalam permainan khayalan
  1. Pemahaman moral dan agama
    1. Mulai mengerti mengenai hal yang baik – buruk, benar – salah, sopan – tidak sopan meskipun belum selalu dilakukan
    2. Mulai memahami arti “kasihan”, “sayang”
  1. Pada saat anak berusia 5 tahun diharapkan mampu mencapai perkembangan:
    1. Motorik kasar
      1. Menari menirukan gerakan-gerakan binatang, pohon tertiup angin, pesawat terbang dsb.
      2. Melakukan gerakan menggantung (bergelayut)
  1. Motorik halus
    1. Jari-jari tangan berkoordinasi lebih baik dalam melakukan gerakan yang lebih rumit
    2. Memasang dan melepas kancing baju
    3. Mewarnai pada gambar sesuai pola
    4. Membuat suatu bentuk dengan lilin (wax, clay)
  1. Kognitif
    1. Memahami prinsip klasifikasi (mengelompokkan benda berdasarkan bentuk, warna atau ukuran)
    2. Mengenal beberapa angka, huruf, dan logo
    3. Memiliki konsep dalam bermain konstruksi (membuat jembatan – menara – kereta api dsb.)
    4. Menggunakan benda-benda sebagai permainan simbolik
  1. Bahasa
    1. Mampu menjelaskan sesuatu hal kepada temannya
    2. Menyatakan alasan terhadap sesuatu yang diinginkan atau ketidaksetujuan
    3. Mulai mengenal perbendaharaan kata mengenai kata sifat (nakal – pelit – baik hati – berani – baik – jelak dsb.)
  1. Sosial-emosional
    1. Menunjukkan sikap berbagi, menolong, membantu teman
    2. Mampu bersaing dalam perlombaan
    3. Mampu menahan perasaan dan mengendalikan reaksi (sakit tetapi tidak menangis; marah tetapi tidak memukul)
  1. Pemahaman moral dan agama
    1. Ingat untuk berdoa sebelum atau sesudah melakukan sesuatu
    2. Mampu menangkap tema cerita mengenai perilaku utama dan tercela
    3. Pada saat anak berusia 6 tahun diharapkan mampu mencapai perkembangan:
      1. Motorik kasar
        1. Melakukan koordinasi gerakan kaki – tangan – kepala
        2. Meniti balok titian
        3. Terampil menggunakan tangan kanan dan kiri
        4. Mampu menyimpulkan tali sepatu
        5. Menyikat gigi tanpa bantuan
  1. Motorik halus
    1. Menggambar – menulis dengan rapi
    2. Menggunting sesuai pola yang rumit
    3. Menempel gambar dengan rapi
  1. Kognitif
    1. Mampu melakukan klasifikasi benda berdasarkan fungsi (pisau untuk memotong, pensil untuk menulis)
    2. Mengenal prinsip sebab – akibat secara sederhana
    3. Mampu mencari alternatif dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam bermain
    4. Menyusun perencanaan mengenai kegiatan yang akan dilakukan bersama teman-teman
    5. Menunjukkan inisiatif dan kreativitas dalam memilih tema permainan
  1. Bahasa
    1. Mampu menyusun kalimat sederhana dalam struktur lengkap (pokok kalimat – predikat – keterangan)
    2. Ikut terlibat dalam pengambilan keputusan dengan menjelaskan pada kelompok teman sebaya
    3. Perbendaharaan kata lebih kaya dan lengkap untuk melakukan komunikasi verbal

 

Gangguan Pengendalian Diri: Penyimpangan Letupan Sesekali

letupan marah sesaat

ilustrasi

Penyimpangan Letupan Sesekali

Sebagaimana halnya pada penyimpangan pengendalian rangsangan diri, penyimpangan letupan sesekali merupakan suatu ketidakmampuan untuk menahan suatu keinginan dimana orang lainpun mengalaminya tetapi tidak memiliki masalah serius dalam mengendalikannya. Keinginan, dalam hal ini, adalah meluapkan perasaan marah yang kuat dan berhubungan dengan perilaku kejam.

Karakteristik

Perilaku yang dijumpai pada penderita penyimpangan letupan sesekali adalah serangan penyakit yang datang sesekali dari amukan ekstrim dimana individu menjadi kasar atau bersifat merusak tanpa provokasi yang serius. Selama peristiwa ini, penderita dapat menyebabkan kerusakan fisik serius pada diri mereka sendiri, orang lain, dan benda-benda disekitarnya. Ketika peristiwa terjadi, mereka merasakan seolah-olah mereka berada dibawah pengaruh mantera, dan beberapa bahkan menggunakan istilah bahwa ia sedang dalam keadaan serangan. Tepat sebelum terjadi letupan, mereka dapat merasakan bahwa sesuatu akan segera terjadi, suatu pengalaman yang telah dibandingkan dengan aura, atau keadaan antisipasi, dimana penderita epilepsi mengalaminya sebelum mengalai serangan. Diantara peristiwa terjadi, penderita tidak menunjukkan tanda-tanda kebiasaan tertentu atau temperamental. Penyimpangan yang langka ini umumnya terjadi laki-laki, sebagian dari mereka dipenjara karena perilaku perusakan atau penyerangan. Wanita yang menderita penyimpangan ini biasanya dikirim ke fasilitas perawatan kesehatan mental untuk menjalani perawatan.

Teori dan perlakuan

Banyak corak mengenai penyimpangan letupan sesekali yang menyatakan bahwa faktor biologi memiliki suatu peran penting yang menentukan, dapat dimungkinkan terdapat kombinasi dengan faktor lingkungan (Hamstra, 1986). Sebagai contoh, seperti pada catatan sebelumnya, penderita penyimpangan ini memperlihatkan suatu pengalaman aura tepat sebelum letupan terjadi serupa dengan penderita epilepsi. Akan tetapi epilepsi tidak termasuk pada penyimpangan ini (Leicester, 1982), sehingga harus ada penjelasan lain. Pada suatu penelitian, orang-orang yang didiagnos menderita kelainan ini cenderung memiliki pengeluaran hormon insulin yang abnormal (Virkkunen, 1986). Tingkat scrotonin dan norepinephrine yang renda juga telah diberitakan (Linnoila dan kawan-kawan, 1983; Virkkunen dan kawan-kawan, 1989). Corak lain yang mendukung penjelasan biologis adalah letupan tidak tetap dan terlihat bahwa keadaan lingkungan tidak mempercepat peristiwa.

Oleh karena telah dipercaya bahwa faktor biologis menjadi penyebab utama dalam pada penyimpangan ini, ahli klinis telah melakukan perawatan somatic (Mattes, 1985), yang biasanya ditambahkan dengan intervensi tingkah laku. Pada pengobatan yang direkomendasikan untuk jenis penyimpangan ini, ahli klinis kembali menggunakan perlakuan yang digunakan terhadap pelaku kekerasan (Lion, 1989). Sebagai contoh, benzodiazepines telah digunakan untuk mengurangi perilaku letupan pada penderita penyimpangan kepribadian tersebut. Pengobatan yang mengubah metabolisme norepinephrine, termasuk litium dan suatu pengobatan yang disebut beta blockers, dapat juga mengurangi perilaku agresif (Eichelman, 1988).

Gangguan Pengendalian Diri : Berjudi Patologi

Berjudi Patologi

Mabuk Judi

Berjudi Patologi

Orang yang dikatakan berjudi patologi adalah orang-orang yang mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk berjudi melebihi orang-orang kebanyakan dan sering pada akhirnya mereka membelanjakan seluruh hidupnya untuk mengejar kemenangan.

Karakteristik

Penjudi patologik tidak mampu melindungi diri mereka  dari keinginan untuk bertaruh. Obsesi mereka adalah mendapatkan uang yang banyak dan menggunakannya untuk kegiatan yang biasa mereka lakukan. Apabila mereka dihalangi berjudi, mereka akan tidak bisa istirahat dan gelisah. Beberapa penjudi patologik mencoba dengan putus asa untuk berhenti tetapi tidak bisa, mereka menipu diri mereka dan orang lain untuk berhernti bila meraka dapat mengganti kehilangan yang telah mereka alami tetapi itu tidak pernah menjadi kenyataan. Lingkungan keluarga dan kerja memburuk sebagai dampak dari munculnya masalah hukum dan finansial. Beberapa penjudi patologik datang dengan perasaan yang putus asa dan memikirkan atau berniat untuk bunuh diri.

Judi patologi berdampak merusak pada kehidupan mereka, perilaku ini mengikis kesejahteraan/kesehatan keluarga. Masalah yang paling banyak dilaporkan para istri dengan suami penjudi adalah gangguan emosional. Perilaku koping yang disfungsional tampil dalam bentuk alkoholik, merokok, makan berlebihan dll. Juga terjadi kekerasan baik fisik maupun verbal dan bahkan usaha bunuh diri. Anak dengan ayah penjudi juga mengalami masalah perilaku baik di sekolah maupun di rumah, seperti ketergantungan obat, tindak kejahatan atau aktivitas yang berhubungan dengan judi. Mereka mempunyai masalah keuangan yang berat sehingga harus meminjam kepada keluarga, teman atau kreditor.

Sangalah jelas, meskipun masyarakat Amerika Serikat memberikan banyak kesempatan berjudi, tidak tiap orang yang berjudi menjadi penjudi patologis. Bagaimanakah hal yang di masa lalu nampak tidak berbahaya berkembang menjadi pola yang mendorong kerusakan diri ? Menurut psikiater Robert L. Custer yang di tahun 1974 mendirikan klinik pertama perawatan judi patologis di Amerika Serikat, seseorang menjadi penjudi patologis mnelalui serangkaian tahap yang di dalamnya berjudi berkembang dari olahraga yang relatif tidak berbahaya  menjadi sebuah fokus total hudup (Custer, 1982). Di tahap pertama seseorang hanya sebagai penjudi hanya sebagai rekreasi yang menikmati berjudi sebagai sebuah aktivitas sosial.  Dalam hal ini perilaku seseorang tidak dapat dipisahkan dari pola berjudi yang ditunjukkan oleh orang awam yang berhenti saat mulai kalah, atau menerapkan batas saat mereka berjudi. Pergeseran ke tahap berikutnya, yang merupakan awal pola berjudi patologis, terjadi saat seseorang mulai memperoleh kemenangan. Saat ini penjudi mulai memperoleh indentisa sebagai pemenang, dan lebih sering keberhasilan diperoleh dalam berjudi, semakin kuat identitas ini.

Selama tahap kemenangan awal, seseorang memperoleh keahlian berjudi, yang dapat meningkat kapanpun mengamali keberuntungan dengan pengetahuan yang lebih besar atas berbegai strategi yang berperan dalam kemenangan.  Jika pada tahap ini seseorang memperoleh kemnangan besar, mendapatkan uang yang lebih besar dalam satu taruhan, penjudi menjadi terdorong ke dalam sebuah pola kecanduan yang tidak dapat dihindarkan menjadi hampir tidak mungkin untuk berhenti. Peristiwa ini sangat menguatkan secara finansial dan psikologis, bahwa seorang individu menjadi dikuasai keinginan untuk mengamaminya kembali.  Penjui sekarang yakin memiliki keberuntungan besar yang unik dan keahlian berjudi, dan mulai membuat taruhan yang lebih beresiko dan lebih mahal. Meski demikian, tidak dapat diacuhkan bahwa keberuntungan tidak bertahan lama, dan orang itu mulai kalah. Kapanpun uang yang diperoleh dari kemenangan besar menghilang sebagaimana kekalahan mulai yang diderita lebih banyak. Menjaga seseorang tetap mempercayaai kepercayaan palsunya bahwa jika kemenangan besar dapat teruloang maka semua masalah akan berakhir. Penjudi bahkan akan berjanji untuk berhenti setelah mendapatkan kemenagang besar lainnya. Pada tahap ini, seseorang mulai berusaha lebih dan lebih keras untuk menebus kekalahan sebelumnya. Sebagaimana keputusasaan mennggunung, seseorang sepenuhnya meluncur kedalam kegiatan yang lebih intensif dan yang dikonsumsi semuanya. Dan diakibatkan sepenuhnya oleh keputusasaan ini, penjudi menerita kehilangan penilaian dan bertaruh secara ceroboh.

Dalam pencarian terhukum atas kemenangan besar  lainnya, sebuah siklus menjadi mapan yang didalamnya penjudi patologis memperoleh kemenagan periodik dan yang mempertahankan optimisme yang tidak masuk akal, namun perolehan ini tidak akan pernah menghapus hutang, karena bagi tiap kenengan yang dialamia, meneruskan berjudi membawa  kerugian yang lebih besar. Pada waktunya kemampuan fisik, psikologis, dan keuangan penjudi menurun drastis dan orang tersebut melakukan tindakan drastis seperti bunuh diri, melarikan diri, atau memulai hidup dalam kejahatan.

Teori dan perawatan 

Kita baru saja melihat tahap yang dikatakan bermula dari berjudi yang sifatnya rekreasi sampai patologis. Tahap ini nampaknya melibatkan beberapa faktor yang sama yang berperan dalam kecanduan alkohol dan obat-obatan, pada seseorang yang terus menerus mencari kepuasan dari suatu perilaku yang memiliki potensi imbala yang kuat meskipun membawa masalah. Usaha memperoleh kemenangan besar secar terus menerus cenderung seperti ketergantungan alkohol, seseorang mencari perasaan terangsang dan terpuaskan melalui pemakaian alkohol, meskipun ada perbedaan yang siginifikan antara keduanya. Membelanjakan uang tidak secara inheren mampu memuaskan sebagaimana menggunakan bahan psikoaktif, demikian juga, pnjudi tidak bertambah kuat dalam tiap berspekulasi saat berjudi, sedangkan alkoholik (pecandu alkohol) mendapatkan penguatan tiap mereka mabuk (Rachlin, 1990).

Selain perbedaan ini, baik ketergantungan alkohol dan penjudi patologis merupakan perilaku kecanduan, dan peneliti terus mencari tahu mengapa bangak penjudi patologis juga memiliki gejala kelainan yang merusak (McCormick dkk, 1987). Mungkin hubungan ini terpendam dalam fakta sebagaimana gejala gangguan, penjudi patologis mencari sesnsasi baru dan yang menarik (Blazcynski dkk 1986).  Penjudi dengan mudah menjadi bosan (Rosenthal, 1986) dan kecanduan rangsangan, apa yang merek asebut “sedang bekerja”. Mereka bergairah oleh resiko kehilangan sebagaimana gairah kemengangan, pengalaman yang menambah penguatan nilai berjudi.

Sebagai tambahan kemudahan menjadi kecanduan, faktor lain apa yang mendorong sejumlah orang menjadi penjudi patologis? Beberapa karakter pribadi yang menarik biasanya melekat pada penjudi patologis, misalnya, penjudi pria cenderung memaksa dan anti sosial, wanita dengan kelainan ini biasanya lebih tergantung, tunduk dan tidak agresif (Peck, 1986). Penjudi patologis juga narsis dan agresif (Dell dkk, 1981), mencari keberhasilan dengan cara yang tidak lazim (Taber dkk, 1986). Dalam survei anggota Gam-Anon (Lorenz & Shuttlesworth, 1983), gambaran istri tentang suami mereka juga memberikan beberapa pandangan yang menarik atas pnjudi patologis. Hampir semua isteri  mengatakan mereka mengatahui suami mereka pembohong yang tidak bertanggungjawab, tidak komunikatif, bermuka dua, dan menuruti kata hati.

Sebagai tambahan karakter pribadi ini, telah dinyatakan bahwa sejumlah besar penjudi patologis diderita dari kelainan emosi, bahkan, terdapat sekumpulan bukti yang mengarah pada penjudi patologis terkait dengan kelainan emosi (McElroy dkk, 1992). Peneliti menyelidiki kemungkinan pengaruh faktor biologis dalam perjudian patologis telah menemukan beberapa karakter menarik pada penderita kelainan ini. Misalnya, penjudi patologis menunjukkan aktivitas noreoinephrine (roy dkk, 1988) dan kecenderunagn besara kelainan Eeg (Goldstein dkk, 1985) ketimbang subjek pembanding.

Sangatlah menarik, penjudi patologis mempercayai bahwa mereka mengendalikan aspek acak perjudian (Dickerson & Adcock, 1987). Mislnya, saat bermain mesin slot, pnjudi patologis biasanya, mengambil waktu untuk menyelidiki sebuah mesin slot sebelum memainkkannya. Mereka dengan cermat mempelajari segi permasalhana mesin yang tidak diperhatikan orang lain, seperti posisi mesin dalam barisan mesin slot atau bagaimana rasa pegangannya. Secara keliru meyakini bahwa mereka dapat memngendalikan kemungkinan yang mempengaruhi hasil taruhan mereka, mereka mengembangkan gagasan yang megah yang mengarahkan mereka untuk menyakini kesuskesesan besar mereka.

Dalam beberap kasus, seorang penjudi patologis mungkin ditopang oleh hubungan perkawianan yang tidak harmonis. Suami penjudi meungkin memperbolehkan isterinya untuk menyalahkan konflik perkawinan  atau suami penjudinya ketimbang pada permasalahaan pribadinya. Atau seorang suami mungkin mendesak isterinya untuk bertaruh jika ia membagi optimismenya yang salah  bahwa isterinya akan memperoleh kemenangan besar secara ajaib (Gaudia, 1987). Bahkan jika pasangan yang tidak berjudi mencoba melepaskan diri dari perkawinan,  akan dipersulit oleh ancaman penjudi atau janji palsu. Dalam suvei pasangan Gam-Anon, isteri penjudi patologis menunjukkan bahwa mereka memiliki kesulitan menjalani niat mereka untuk menyimpan uang dari suami mereka,  dan menkipun tujuh lima persen dari mereka  manunjukkan keinginan untuk bercerai, banyak yang tetap bertahan dengan pasangnnya karena mereka mencintainya, dan berharap mereka akan membaik. Yang menarik, hampir seperlima istrei dalam penelitian ini berasal dari keluarga yang orang tuanya penjudi patologis (Lorenz & Shuttleworth, 1983).

Seperti seseorang yang kecanduan alkohol, penjudi patologis menyangkal menunjukkan tingkat kesulitan mereka dan kecenderungan untuk mecari pengobatan. Saat mereka melakukanya, hal ini berasal dari keputusasaan, merasa bahwa mereka tidak punya pilihan lain karena masalah keuangan, hukum dan keluarga yang serius. Bahkan kemudian mereka harus berhadapan dengan sifat terpendam masalah perjudian mereka. Penedekaatan ini digunakan dalam kelompok seperti Gamblers Anonymous yang anggotanya meruntuhkan tembok penyangkalan antara satu dengan lainnya (Franklin & Ciarrocchi, 1987).

Metode perlakuan mirip dengan teknik untuk merawat kecanduan alkohol yang banyak dipakai secara umum. Dalam emiasaan aversif, metode perlakuan yang paling sering digunakan, seseorang menerima sngatan lisrik yang tidak nyaman namun  tidak menyakitkan ke jari-jari setelah membaca serangkaian bacaan tentang berjudi (McConaghy dkk, 1983). Bagi metode penyingkapan in vivo, seseorang diajak terapis ke kasino judi namun hanya diijinkan melihat tidak berjudi. Metode lainnya, yang nampaknya memiliki efektifitas jangka panjang (McConaghy 1991) adalah dsesensitasi imaginer. Dalam bentuk perawatan ini. klien diminta untuk mambayangkan gambaran yang didalamnya mereka merasa tergoda untuk berjudi dan bersantai saat mereka membayangkan tiap rangkaian perilaku yang terjadi dalam gambaran khususn. Dsesnrisasi dalam prosedur ini dibandingkan dengan yang digunakan untuk merawat orang yang memiliki fobia., dalam hal itu seseorang belajar mengantikan tanggapan yang diberikan pada situasi tersebit dengan tanggapn yang baru yang menggantikan perilaku yang bermasalah.  Dengan penggantian relaksasi bagi penampakan dalam situasi ini, mereka belajra untuk menghindari menjadi tertekan saat tidak diijinkan berjudi, dan melajar mengenali bahwa mereka memiliki kemapuan mengendalikan kecanduan mereka.

Hubungan Kecemasan Dengan Agresivitas

agresi dan kecemasan

agresivitas

Hubungan Kecemasan Dengan Agresivitas

Perilaku agresif yang sering kita hadapi di tengah masyarakat menunjukkan gejala yang cukup memprihatinkan, secara kualitas sangat meningkat. Tindakan agresif yang dilakukan bukan saja terjadi secara musiman, melainkan sudah menjadi kebiasaan bahkan terencana dan sangat beragam misalnya ketika kita menonton TV pada acara Sergap, kita melihat bentuk tindakan agresif mulai dari perkelahian, pengrusakan, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan dan tindakan kriminal lainnya. Berkowitz (1995) menyatakan agresif adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun psikis. Bus dan  Perry (1992) membagi agresi menjadi : agresi fisik(phicikal aggrsion), agresi Verbal ( verbal Agresion), Kemarahan( Anger), permusuhan ( hostility).

Dasar Munculnya Agresif

Untuk menjelaskan faktor dasar dari munculnya perilaku agresif dapat ditinjau dari beberapa pendekatan. Menurut Baron dan Byrne (1997) mengelompokkan agresif menjadi 3 pendekatan yaitu pendekatan biologis, Pendekatan Eksternal dan Pendekatan Belajar.

  1. 1.       Pendekatan biologis

Adalah pendekatan yang mengatakan bahwa tingkah laku organisme termasuk di dalamnya tingkah laku agresif bersumber atau ditentukan oleh faktor bawaan yang sifatnya biologis.

  1. 2.       Pendekatan eksternal

Penyebab timbulnya perilaku agresif adalah faktor ekternal, faktor tersebut merupakan faktor penting dalam pembentukan perilaku agresif. Ada beberapa faktor penting yang mendasari munculnya agresif tersebut antara lain frustasi, kekecewaan karena hambatan yang dihadapi individu dalam mencapai suatu tujuan.

 

  1. 3.       Pendekatan belajar.

Pendekatan belajar mengatakan bahwa perilaku agresif terbentuk karena adanya faktor pembelajaran dari lingkungan sekitarnya melalui pengamatan langsung atau mengamati perilaku orang lain dan agresif merupakan perilaku yang terbentuk karena faktor tersebut.

 

Bertolak dari uraian di atas maka dapat dikatakan sumber munculnya tingkah laku agresif dapat juga dari faktor bawaan yang bersifat biologis, faktor eksternal dalam hal ini situasi-situasi lingkungan yang mengakibatkan seseorang stres, kecewa akibat adanya hambatan dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu di dalam kehidupannya dan agresif itu juga bisa terjadi akibat adanya proses imitasi yang dilakukan terhadap apa yang ditangkap lewat indera.

Pendekatan kognitif. Menurut Beck (1967) bahwa pikiran negative merupakan penyimpangan berpikir ( distorsi koknitif), satu di antaranya adalah berpikir ekstrim. Agresi di akibatkan karena adanya kegagalan, kekurangan atau ketidak mampuan anak dalam memproses informasi sosil.

Pendekatan emosional, peristiwa emosional adalah berbagai peristiwa atau pengalaman yang telah lalu, yang mempengaruhi kondisi dan perasaan sseorang, yang berefek pada perilakunya. Peristiwa emosional dalam kehidupan cenderung diingat dengan jelas meskipun kadang mengalami penyimpangan dari keadaan yang sebenarnya, peristiwa-peristiwa tersebut dapat berpengaruh terhadap reaksi emosi dan prilakunya dalam menghadapi stimulasi.  Seseorang yang   kurang mendapatkan afeksi dan penolakan orangtua merupakan penyebab utama perilaku menyimpang terutama anti social. Dan orang yang mengalami perilaku anti social menunjukan perilaku tidak bertanggungjawab dan anti social dengan bekerja tidak konsisiten, melanggar hokum, mudah tersinggung, mudah tersinggung dan agresif secara fisik, tidakmau membayar utang, dan semberono cerobo (Langbehn& Gadort, 2001).

Emosi

            Pada umumnya perbuatan kita sesehari disertai oleh perasaan – perasaan tertentu, yaitu perasaan senang, tidak senang mewarnai kehidupan kita sehari- hari disebut warna efektif. Jika warna efektif ini kuat maka perasaan lebih mendalam, lebih luas dan terarah perasaan seperti ini disebut emosi.

Menurut Albin (1993) emosi adalah perasaan yang kita alami , misalnya rasa senang, sedih, marah, cemas, cinta dan sebagainya. Sedangkan Goleman( 1997) menganggap emosi adalah suatu keadaan mental yang melibatkan aspek biologis, psikologis maupun kecenderungan untuk bertindak. Pengertian hampir sama juga dikemukakan oleh Samon & Knrick (1994) yaitu bahwa emosi memiliki tiga komponen yang saling terkait: aspek fisiologis, ( yang mencakup sisetm saraf), aspek perilaku ( khususnya gerakan atau ekspresi wajah), dan aspek pengalaman fenomenologis ( yang melibatkan aspek koknitif dan perasaan). Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa emosi terjadi karena reaksi fisik, kognitif, psikologis dan  fenomena. Emosi dapat dibagi atas dua bagian yaitu: emosi positif dan emosi negatif. emosi positif misalnya: heppiness/joy, pride, love/affection dan relief (berakhirnya rasa yang menyakitkan).            Emosi negative adalah emosi utama yang dihasilkan dari pencapaian tujuan yang tidak selaras. Emosi negative misalnya: marah, ketakutan-kecemasan, rasa bersalah, malu, kesedihan, iri-cemburu dan jijik. Sedangkan emosi positif misalnya: heppiness/joy, pride, love/affection dan relief (berakhirnya rasa yang menyakitkan) salah satu emosi negative adalah kecemasan yang merupakan inti pembahasan pada penulisan ini.

 

Kecemasan

Kecemasan merupakan salah satu emosi negatif yang dihasilkan dari pencapaian tujuan yang tidak selaras. Menurut Averill (1988), kebanyakan orang yang diserang kepanikan tidak dapat menjelaskan apa yang Ia cemaskan dan apa yang harus Ia lakukan.

Menurut Freud kecemasan muncul ketika kita berada dalam bahaya, karena adanya stimulus yang berlebihan dan konflik pada masa oral, amal dan phalic dapat menjadi sumber dari kekecewaan dari kecemasan. Beker berpendapat bahwa jika kecemasan bersifat permanen / menetap maka akan merusak tubuh, bahkan seseorang dapat sekarat dan kehilangan identitas dirinya. Tema ketakutan dan kecemasan difokuskan pada ancaman yang tiba-tiba dan merusak.

Appraisais Pattern

Kecemasan merupakan emosi yang dinilai berdasarkan pada komponen:

  1. Jika ada tujuan yang relevan, maka dapat menimbulkan emosi, termasuk kecemasan.
  2. Jika ada tujuan yang tidak selaras (goal incongruence), kemudian kemungkinannya akan menimbulkan kecemasan
  3. Jika tile of ego – involvement ada untuk melindungi ego – identity – nya ketika keberadaan diri merasa terancam, sehingga menimbulkan kecemasan.

 

Kecenderungan tindakan kecemasan, cenderung dengan menghindar, mencari jalan keluar jika ada sesuatu yang menyakitkan muncul secara tiba-tiba, secara nyata akan menimbulkan kecemasan dan keadaan ketidakpastian akan menimbulkan kecemasan dan secara nyata ketika cemas cenderung tindakan yang dilakukan melarikan diri atau menghindar. Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa jika kecemasan bisa digunakan secara tepat, kecemasan dapat menyadarkan individu akan adanya bahaya yang datang dari luar maupun dalam. Kecemasan ringan sering dipandang konstruktif karena dapat merangsang individu untuk memfokuskan perhatian dan meningkatkan efisiensi dalam feformnya. Resiko yang ringan dirasakan sebagai stimulus dan tantangan untuk memicu individu untuk megembangkan diri.

Menurut Mira (Witt dan Wat, 1981) mengatakan bahwa kecemasan dapat bersifat adaptif bila keadaan tidak menyenangkan yang timbul dapat memotivasi individu untuk mempelajari cara-cara baru dalam menghadapi tantangan kehidupan.

Kecemasan yang abnormal merupakan kecemasan yang kronis. Adanya kecemasan tersebut menimbulkan perasaan dan tingkah laku yang tidak efisien. Menurut Buras (1988) ekcemasan dapat timbul karena adanya distorsi kognitif (penyimpangan) pola berpikir yang terjadi pada individu.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan antara kecemasan dan agresivitas.  Hal ini disebabkan karena individu yang mengalami kecemasan akan berdampak pada gangguan fungsi pikiran, fisiologis, psikologis serta organ tubuh lainnya. Dalam teori dikemukakan bahwa efek dari ganguan kognisi, fisik serta emosi sangat dimungkinkan memunculkan agresivitas. Distorsi kognitif mengganggu fungsi pemikiran sehingga berpengaruh terhadap preposisi proses berpikir dan terkait dengan hasil pemikiran tersesat, kondisi fisik yang terganggu mengakibatkan ketidak tenangan sehingga berakibat pada munculnya perilaku agresif diantaranya agresivitas. Demikian juga dengan kondisi emosional memiliki keterkaitan erat dengan perilaku agresif tersebut.

Berdasarkan uraian di atas maka orang tua dan guru di sekolah juga perlu memperhatikan kondisi perilaku anak , dan menciptakan lingkungan yang kondusif tenang, dan harmonis baik di rumah maupun sekolah agar tidak memicu munculnya ketegangan yang berevekkan kecemasan, dan memiliki dampak munculnya agresivitas di kalangan sekolah maupun masyarakat

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Albin, R.S 1993. Emosi: Bagaiman Mengenal Menerima dan Mengerahkannya

( M Birgit, penerj). Yogyakarta: Kanisius

Baron Roberts A. dan Byrne, Donn. 1997. Social Psichology Understending Human Interaction. Needham: Allyn dan Bacon

Berkowitz, L.M. 1995. Agresi Sebab dan Akibatnya. (Hartati Woro Susianti Penerj). Jakarta. PT. Pustaka Binaan

Burns, D.D. 1988. Terapi Kognitif, Pendekatan Baru Bagi Penanganan Depresi (Alih bahasa: Santosa). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Richard S. Lazarus. 1999. Emotion & Adaptation, Oxford University Press, New York

Goleman,D. 1997.Kecerdasan emosional: mengapa EI lebih penting dari IQ?

(T Hermaya, penrj). Jakarta Gramedia Utama.

Devison& Neale. 2006. Psikologi Abnormal ( Noermalasari Fajar penerj) Jakarta, Raja Grafindo Prasada

Gangguan Pengendalian Diri: Pyromania

Pyromania

Pyromania (ilustrasi)

Pyromania

Pemandangan kebakaran mempesona banyak orang. Jika sebuah bangunan terbakar, kebayakan orang yang lewat berhenti dan melihat saat api dipadamkan. Lilin dan perapian biasanga digunakan sebagai latar belakang suatu malam romatis atau intim. Bagi sebagian kecil orang yang memiliki kelainan syaraf yang disebut pyromania terpesona oleh api melebihi tingkat normal ketertarikan dan menjadi desakan yang memkasa dan berhaya untuk sengaja menyalakan api.

Karakteristik

Benar adanya dengan semua kelainan kendali syaraf, seseorang dengan pyromania tidak dapat menahan diri mereka untuk bertindak dalam desakan yang kuat dan memaksa, dalam hal ini desakan yang melibatkan maksud keinginan untuk meyiapkan, membuat, dan menonton api. Sebelum pembakaran, orang-orang ini menjadi tegang dan menimbulkan dan atas gambaran api yang mereka mengalami perasaan kenikmatan, kepuasan, atau kelegaan yang memuncak.  Perilaku mereka tidak didorong oleh motif krimial atau keuangan sebagaimana dalam kasus pembakar rumah yang memperoleh keuntungan keuangan melalui penipuan asuransi.

Pyromania merupakan kelainan langka, bahkan di antara pelaku pembakaran, hanya 2-3 persen yang dianggap sebagai penderita pyromania (Crossley & Guzman, 1985). Seperti halnya, penjudi patologis, pyromania lebih umum bagi pria, dengan tanda pertama yang paling sering ditunjukkan adalah ketertarikan patologis pada api saat kanak-kanak (Jacobson, 1985). Di berbagai kasus, kecenderungan seksual dilaporkan berperan dalam desakan perilaku membuat api (yaitu Bourget & Bradford, 1987, Quinsey dkk 1989), mengarah pada kemungkinan bahwa dalam beberapa kasus pyromania mungkin secara nyata sesuai dianggap sebagai perilaku paraphilic fetsishtic. Meski demikana hanya sedikit penelitian sistematis yang telah dilakukan untuk memastikan pernyataan tersebut.

Teori dan perawatan

Sebagian besar penderita pyromonia disebabkan oleh satu atau lebih persoalan atau kelainan, dan dalam kebanyakan kasus kelainan besumber dari permasalahan anak-nakan dan perilaku pembakaran. Sebagai upaya untuk memahami bagaimana pola pmbakaran tidak terkontrol dimulai, dan dalam sebuah upaya untuk mengembangkan program penanggulangan dini, peneliti telah melakukan penyelidikan luas menganai pembakaran pad anak anak, yang  melakukan dua sampai lima pembakaran (Wooden 1985). Anak pembakar tidak perlu tumbuh menjadi penderita pyromania, perilaku pembakaran pada anak-naka dan remaja muncul dari berbagai permasalahan. Wooden (1985) mengambarkan empat macam anak pembakar : anak-anak yang ingin tahu yang secara tidak sengaja membuat kebakaran saat bermain dengan koerk api, anak-nak yang bermasalah dengan orang tua yang mencari perhatian dan pertolongan, anak nakal yang menggunakan api untuk bertindak melawan yang berwenang, dan kelompok dengan beberapa gangguan psikologis yang berkembang menjadi pembakar kronis saat dewasa. Di antara kesus-kasus ekstrem tersebut, Wooden menggambarkan dua macam kepribadian : gangguan syaraf impulsif dan setengah gila. Penderita gangguan syaraf impulsif tidak sabaran, hampir hiperaktif, dan cenderung untuk merusak dan mencuri. Penderita setengah gila mengalami ketidakstabilan emosi, cenderung pemarah, berbagai fobia, dan kecenderungan melakukan kekerasan. sakah satu kasus yang paling terkenal seseorang yang memiliki bentuk ektrim perilaku pembakaran adalah David Berkowitz, pembunih berantai yang mengaku sebagai “Putra Sam” yang dilaporkan merancang 2000 kebakaran di kota New York selama periode 3 thun di pertengahan 1970-an.

Penelitian lainnya pada anak-anak yang nerkuta dengan perilaku pembakaran terbaru memberi ketean lebih mengenai bagaimana perbedaan anak-anak ini dari teman sebayanya. (Kolko & Kazdin, 1988, 1989a, 1989b). Anak-anak pembakar memiliki segudang ketertarikan dan rasa keingintahuan akan api, yang biasanya berkembang sebagai hasil pengamatan dan peniruan mereka atas perilaku pembakaran orang dewasa. Mereka mengetahuai lebih banyak mengenai apa yang diperlukan untuk menyalakan api, dan mereka biasanya memiliki pengetahuan yang mengagumkan mengenai bahan yang mudah terbakar. Sebagai tambahan, masalah keluarga, khususnya yang menyangkut disiplin, merupakan faktor yang berpengaruh.  Orang tua anak pembakar cenderung menerapkan gaya menngatur yang tidak dapat diperkirakan berkutat dari disiplin keras sampai hukuma ringan yang tidak efektif (Kolko & Kazdin 1989a). Hubungan orangtua anak biasanya dicirrikan dengan penyiksaan dan gangguan emosional yang tidak stabil yang menghailkan perkembangan perilaku kelainan tindakan termasuk pembakaran. (Lowenstein, 1989).

Kemungkinan sumbangan biologis bagi pyromania yang dikemukakan dalam penelitian menunjukkan serotonin dan norepinephrine tingkat rendah pada penderita kelainan ini (Roy dkk, 1988 ; Virkkunen dkk, 1987).

Kebanyakan penderita pyromonia menghindari perawatan, sehingga petugas medis hanya menemui mereka yang tertangkap dan diserhkan untuk mendapat bantuan profesional. Orang yang ditahan karena pembakaran seius mereka dikirim baik ke penjara atau ke rumah sakit jiwa, tergantung keadaan penahanan mereka dan proses tuntutan hukum. Idealnya, beberapa bentuk perawatan akan disediakan tanpa peduli penempatan pembakar.

Hanya ada sedikit informasi perawatan biologis, kebanyakan penangggulangan psikologis bagi pyromania yang umumnya diterapkan bergantung pada perisip behavioris. Prinsip yang paling tekemuka adalah teknik grafis, awalnya dikembangkan bagi perawatan anak yang terkait dengan pembakaran. (Bumpass, 1989).  Meneruskan metode ini, petugas medis dan klien membuat sebuah grafik yang terkait dengan sejarah perilaku seseorang, perasaan, dan pengalaman yang terkait dengan pembakaran.  Kiranya, presentasi vilsual kronologi sejarah perilaku ini memungkinkan klien menyadari hubungan sebab-akibat, dan untuk disesuaikaan dengan sunyal yang medesak untuk membakar muncul. Sebagai tanggapan sinyal tersebut, seseorang dapat digantikan dengan cara yang lebih tepat untuk mengurangi tegangan.  Teknik ini telah secara efektif membantu banyak orang menghentikan pembekaran mereka, namun ini hanyalah bagian awal terapi yang harus dipusatkan dalam pengembangan pandangan yang lebih dalam pada perilaku yang berbahaya ini.

Perkembangan Psikologi Anak Dalam Kehidupan Sosial

Perkembangan Psikologi Anak Dalam Kehidupan Sosial

Perbedaan fase perkembangan status sosial di dunia anak-anak dalam persahabatan dan mendapatkan kawan bermain di lingkungan sekolah dan di luar lingkungan sekolah, berbeda dengan pengertian persahabatan yang terjadi pada orang dewasa, untuk orang dewasa persahabatan adalah suatu ikatan relasi dengan orang lain, di mana kepercayaan, pengertian, pengorbanan dan saling membantu satu sama lainnya akan terjalin dalam periode yang lama, sedangkan di dunia anak-anak tidak seperti halnya yang terjadi pada orang dewasa, di dunia anak-anak persahabatan terjalin tidak untuk waktu yang lama, terkadang bila terjadi masalah yang kecil saja, jalinan persahabatan tersebut akan terputus.

Ada dua metode penelitian untuk mengetahui arti persahabatan dan kawan bermain di dalam dunia anak-anak :

1. Dengan cara kita mengajukan beberapa pertanyaan, seperti ;

Siapa teman dekatmu ? kenapa dia ? apa yang kamu senangi dari dia ?

2. Dengan cara kita bercerita tentang persahabatan, kemudian kedua orang sahabat tersebut bertengkar karena mereka tidak dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik.

Dari kedua metode tersebut, metode yang nomor dua kita akan banyak mendapatkan informasi, kemudian kita ajukan pertanyaan kepada anak ; Harus bagaimanakah situasi itu diselesaikan ?

Dari banyak informasi yang diberikan anak tersebut, kita akan mendapatkan kesimpulan yang kita bagi dalam beberapa fase, seperti ;

Fase Pertama ;

– Teman untuk bermain

Teman bermain untuk usia anak antara 5 sampai 7 tahun.

Bagi mereka, teman adalah seseorang yang mempunyai mainan yang menarik yang tempat tinggalnya dekat di sekitar mereka, dan mereka mempunyai ketertarikkan yang sama.

Kepribadian dari teman tersebut tidak menjadi masalah, yang terpenting bagi mereka adalah kegiatan dan mainan apa yang mereka miliki, persahabatan mereka akan terputus apabila salah seorang dari anak tersebut tidak mau bermain lagi dengan anak lainnya karena kejenuhan dan kebosanan, persahabatan mereka akan secepat mungkin terputus dan terbina kembali begitu saja.

Contoh percakapan yang sering kita temui pada anak-anak usia 5 sampai 7 tahun, antara lain mengenai berbagi makanan, misalnya ;

“Kalau kamu memberi saya coklat, kamu temanku lagi”

Dalam usia ini mereka dengan gampangnya mengatakan tentang berteman, biasanya percakapan mereka dimulai dengan perkataan “namamu siapa ? dan namaku……” dan mereka bisa begitu saja berteman setelah saling mengetahui nama masing-masing.

Fase Kedua

– Teman untuk bersama

Teman bermain dan membangun kepercayaan, untuk usia anak antara 8 sampai 10 tahun.

Dalam usia mereka ini, pengertian teman sedikit lebih luas dari pada fase pertama, karena arti teman bagi mereka sudah melangkah ke perasaan saling percaya, saling membutuhkan dan saling mengunjungi.

Dalam fase ini seorang anak untuk mendapatkan teman tidak segampang anak pada fase pertama, karena mereka harus ada kemauan berteman dari kedua belah pihak.

Mereka tidak akan mau berteman lagi setelah di antara mereka timbul masalah, seperti ;

– Salah seorang di antara mereka ada yang melanggar janji ;

– Salah seorang di antara mereka ada yang terkena gosip ;

– Salah seorang di antara mereka tidak mau membantu, disaat temannya tersebut

membutuhkan pertolongan.

Percakapan yang sering kita temui pada fase kedua ini, misalnya ;

“Kenapa kamu pilih dia sebagai temanmu ?”

Dalam fase ini, seorang anak tidak mudah menjalin persahabatan, biasanya persahabatan tersebut terjadi setelah beberapa saat mereka saling mengenal baik baru mereka akan menjalinnya, kadang persahabatan mereka bisa sampai usia dewasa, kadang juga terputus tergantung factor apa yang terjadi selama persahabatan mereka.

Fase Ketiga

– Persahabatan yang penuh dengan saling pengertian

Terjadi pada anak usia 11 sampai 15 tahun, bagi mereka arti teman tidak hanya sekedar untuk bermain saja, di sini seorang teman harus juga bisa berfungsi sebagai tempat berbagi pikiran, perasaan dan pengertian.

Pada fase ini persahabatan memasuki stadium yang sangat pribadi, karena pada umumnya mereka sedang mengalami masa puber dengan permasalahan psikologis seperti ; depresi, rasa takut, problem di rumah, atau problem keuangan yang terjadi pada mereka, biasanya mereka lebih tahu permasalahan psikologis tersebut dibandingkan dengan orang tua mereka sendiri.

Persahabatan pada fase ini bisa berubah seiring dengan berjalannya usia mereka, dari sekedar teman bermain, kemudian berkembang menjadi teman berbagi kepercayaan dan teman berbagi emosi.

Persahabatan tersebut biasanya terputus karena salah seorang dari mereka pindah rumah atau

melanjutkan sekolah di kota lain.

Percakapan di antara mereka yang sering kita dengar pada fase ini, misalnya ;

“Kita butuh teman yang baik, karena kita bisa berbagi ceritera di mana orang lain tidak perlu tahu, teman yang baik akan memberi nasihat atau jalan keluar yang terbaik”

Pentingnya Persahabatan Untuk Perkembangan Sosial Anak-Anak

– Populer atau Tidak Populer dan Apa Akibatnya

Di dalam lingkungan sekolah dasar, biasanya ada anak yang populer dan tidak populer, baik anak tersebut lebih menonjol karena kepintaranya atau pun karena hal yang lainnya.

Mereka mendapat perhatian lebih, seperti selalu diundang dan hadir di pesta ulang tahun temannya sedangkan yang tidak populer tidak pernah diundang.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang hubungan sosial anak populer dan tidak populer di dalam kelas, seorang guru atau kita, dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka,

seperti ;

– Dengan siapa kamu mau pergi tamasya ?

– Dengan siapa kamu mau duduk ?

Ternyata anak populer lebih banyak disebut dan anak tidak populer jarang atau sama sekali tidak disebut.

Untuk lebih mengetahui anak populer dan tidak populer, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikembangkan lagi dengan pertanyaan-pertanyaan negatif dan pertanyaan-pertanyaan positif.

Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita bisa lebih cepat mengetahui mana anak populer dan mana anak yang tidak populer dan juga kita bisa lebih cepat mengetahui serta membantu mengatasi problem si anak pada stadium yang masih belum terlalu jauh.

Dengan cara tersebut, pada akhirnya kita bisa membedakan perkembangan anak-anak secara berurutan, seperti ;

1. Anak-anak yang menyandang bintang sosiometris

Bintang sosiometris, artinya mereka paling banyak disebut sisi positifnya dari pada sisi

negatifnya, biasanya mereka disenangi dan diakui oleh teman-temannya sedikit dari mereka yang menyandang bintang sosiometris ini merasa terasingkan.

2. Anak-anak yang biasa

Biasanya mereka tidak begitu populer dibandingkan dengan bintang sosiometris, tetapi mereka lebih banyak disebut sisi positifnya dan sedikit disebut sisi negatifnya.

3. Anak-anak yang terisolir

Biasanya mereka tidak disebut sisi positifnya dan juga tidak disebut sisi negatifnya, sepertinya anak terisolir tersebut tidak terlihat oleh teman-temannya.

4. Anak-anak yang terasingkan

Biasanya mereka oleh anak-anak yang lain diasingkan dan tidak diakui sebagai teman, mereka biasanya sedikit sekali disebut sisi positifnya dan lebih banyak disebut sisi negatifnya.

Dari urutan-urutan di atas, kita sebagai orang tua harus cepat tanggap dan tidak ragu untuk bertanya kepada guru di sekolah, bagaimana perkembangan psikologi anak di lingkungan sekolah, hal tersebut dilakukan untuk membandingkan perkembangan psikologi anak di lingkungan rumah dan di lingkungan sekolah, supaya kita dapat secepatnya menelusuri dan mengetahui apakah anak kita mempunyai masalah dalam dirinya yang tidak berani diungkapkan kepada kita sebagai orang tuanya dan kita bisa dengan cepat menangani serta membantu memecahkan masalah si anak tersebut, sebelum masalah anak tersebut terlanjur merubah sifat dan karekter si anak.

Faktor-faktor penting yang mempengaruhi dalam status sosial anak

1. Cara orang tua mendidik dan membina anak

Orang tua yang mendidik anak dengan cara bertahap dalam menjelaskan sesuatu hal, dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, biasanya anak-anak mereka memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan mereka akan mudah dalam mengembangkan hubungan sosialnya.

Lain halnya dengan anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang secara penuh dan mereka dididik oleh orang tuanya dengan cara kasar serta mendapatkan peristiwa yang membuat anak tersebut trauma, maka kita bisa dengan jelas melihat perbedaan yang mencolok, biasanya anak tersebut sulit dikendalikan dan memiliki masalah, mereka tidak akan mudah membina hubungan sosial dan sulit membina persahabatan dengan anak lainnya.

2. Urutan kelahiran

Urutan kelahiran, mempengaruhi juga dalam status sosial anak, karena biasanya anak yang paling muda lebih populer dan terbiasa dengan negoisasi dari pada saudara-saudaranya.

3. Kecakapan dan keterampilan mengambil peran

Biasanya anak-anak populer memiliki kecakapan dan keterampilan dalam mengambil apa pun posisi peran dan posisi peran tersebut dapat berkembang menjadi lebih baik.

Anak-anak populer biasanya memiliki intellegensi/kecerdasan yang baik.

Dengan memiliki ciri-ciri tersebut, anak-anak populer lebih mudah menempatkan dirinya atau beradaptasi dilingkungan yang asing.

4. Nama

Ternyata di lingkungan anak-anak, nama dapat membawa pengaruh.

Nama yang dapat diasosiasikan dengan sesuatu hal, dapat membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan sosial psikologi anak. karena anak-anak masih sangat kongkrit dalam menyatakan sesuatu hal, akibatnya anak tersebut merasa rendah diri dan tersudut apabila anak-anak yang lain mencemoohkan karena namanya dapat diasosiasikan dengan sesuatu hal.

5 Daya tarik

Anak-anak yang memiliki daya tarik tersendiri, biasanya selalu populer daripada anak yang kurang memiliki daya tarik.

Anak-anak yang berumur 3 tahun, sudah bisa membedakan mana anak-anak yang menarik dan mana anak-anak yang kurang menarik, reaksi ketertarikkannya hampir sama dengan orang dewasa.

Pada anak usia 3 tahun, anak yang menarik dan anak tidak menarik tidak begitu kelihatan mencolok, tetapi pada anak usia 5 tahun, hal tersebut dapat terlihat sangat jelas, anak usia 5 tahun yang tidak menarik biasanya lebih agresif dan sering tidak jujur dalam bermain, sedangkan pada anak usia 5 tahun yang memiliki daya tarik, biasanya mereka sering diberi masukkan-masukkan yang positif dari sekitarnya sehingga tumbuh rasa percaya diri yang lebih tinggi, sabaliknya pada anak usia 5 tahun yang tidak menarik rasa percaya dirinya berkurang karena terpengaruh masukkan-masukkan yang negatif dari lingkungannya.

6. Perilaku

Tidak semua anak yang menarik menjadi populer karena masih banyak faktor lainnya yang bisa mempengaruhi katagori populer.

Perilaku yang membuat anak populer, antara lain ; ramah tamah, mempunyai rasa simpati, tidak agresif, bisa berkerja sama, suka menolong, suka memberikan masukkan atau komentar yang positif, dan lain-lain.

Secara umum faktor-faktor di atas terdapat pada anak-anak yang populer, dan factor-faktor tersebut dapat menentukan status sosial anak, tetapi tidak selamanya anak  populer pada nantinya dapat menentukan status sosial, sebagian anak-anak yang tumbuh dari lingkungan yang selalu terjaga pendidikannya, intellegensinya, cakap dan terampil, mempunyai nama yang baik serta menarik tetapi tidak popular, sebagian lagi ada juga anak-anak yang tumbuh dari lingkungan yang bermasalah, kurang perhatian dari orang tua, mempunyai nama yang kurang bagus, dan tidak memiliki daya tarik, tetapi bisa juga menjadi populer.

Lalu bagaimana dengan anak-anak yang kurang dihargai seperti ; Anak-anak yang terisolir dan Anak-anak yang terasingkan.

Kelompok anak-anak tersebut memiliki nilai yang rendah dari anak-anak seumurnya, akan tetapi anak-anak yang terisolir lebih mudah diakui dari pada anak-anak yang terasingkan, namun lama kelamaan anak-anak yang terasingkan akan diakui juga.

Anak-anak yang terasingkan memiliki resiko adaptasi lebih besar dalam usia menjelang dewasa, mereka menjadi terasingkan karena ada penyimpangan dari salah satu factor status sosial anak.

Jika anak-anak ini lemah dalam menghadapi ejekkan-ejekkan atau godaan dari anak-anak lainnya, maka hal tersebut dapat membentuk perilaku dan proses belajarnya akan terganggu.

Beberapa problem pada anak-anak yang terasingkan, antara lain ;

–          secara terbuka mereka diasingkan

–          sering terlibat dalam hal-hal kejadian interaksi yang negatif

–          mempunyai masalah perilaku

–          sering memperlihatkan perilaku agresif

–          mempunyai status negatif yang stabil

–          sering bermasalah di sekolah

Secara umum anak-anak yang terasingkan, berreaksi dengan dua cara :

1. Menarik diri

Biasanya mereka menarik diri dari kontak dengan yang lain, mereka sebetulnya ingin main dengan anak-anak lainnya, tetapi mereka diacuhkan dan diabaikan keberadaannya, malahan mereka mengejeknya seperti dengan sebutan “professor” karena anak tersebut memakai kacamata, maka dari itu mereka selalu menhindar dari anak-anak lainnya, di rumah biasanya mereka juga pendiam dan selama mungkin tinggal di kamarnya dengan membaca komik atau mendengarkan musik, kepada orang tuanya mereka beralasan tidak suka main di luar.

2. Perilaku anti sosial

Biasanya mereka sulit untuk diatur, padahal anak-anak lainnya tidak suka dengan perilakunya, misalnya ;

Pada saat anak-anak yang lain bermain bola, kemudian datang anak yang terasingkan, tetapi tidak untuk ikut bermain dengan anak-anak lainnya, anak tersebut datang hanya sekedar untuk mengganggu saja dengan mengambil bolanya, dan apabila ikut bermain bola pun anak itu akan tampil dengan kasar sehingga membuat anak-anak lainnya berhenti bermain, anak yang terasing itu akan marah-marah hingga akhirnya anak-anak yang lain terpaksa mengalah dan bermain bola kembali dengan aturan-aturan yang dikehendaki oleh anak yang terasing tadi.

Untuk anak-anak yang terasing ini di negara-negara yang sudah maju, seperti di Belanda, para orang tua dari anak tersebut akan mendapat laporan dari pengajar atau guru, kemudian mereka diberikan penyuluhan dan konsultasi dari Psikolog Anak yang ada di bawah Departemen Urusan Anak-anak Bermasalah, kemudian akan dikirim ke Departemen Kesehatan untuk gangguan jiwa yang tidak stabil untuk diberi pengarahan dan keterampilan sosial dalam  cara menyesuaikan diri atau cara beradaptasi di lingkungan rumah maupun di lingkungan sekolah.

Untuk orang yang lebih dewasa, mereka diajarkan semacam therapy untuk beradaptasi dalam lingkungan masyarakat supaya akhirnya mereka bisa mandiri.

 

 

Memahami Psikologi Anak

Berbicara masalah psikologi anak, Pakar Psikologi Perkembangan Erikson memfokuskan pada perkembangan psikososial sejak kecil hingga dewasa dalam delapan tahap.

Perlu diketahui, setiap orang akan melewati tahapan dan setiap tahapan akan mendapatkan pengalaman positif dan negatif. Kepribadian yang sehat akan diperoleh apabila seseorang dapat melewati krisis dalam tugas perkembangan dengan baik.

Pada teori psikologi anak, bayi memerlukan pengasuhan yang penuh cinta kasih sehingga ia merasakan aman. Ketidakkonsistenan dan penolakan pada masa bayi akan menimbulkan ketidak percayaan pada pengasuhnya berlanjut pada orang lain dan lingkungan yang lebih luas.

Pada masa usia dini, banyak hal yang membuatnya tertarik sehingga ingin selalu mencoba, meski terkadang pada hal yang berbahaya. Pada tahap ini orang dewasa harus memberikan dukungannya. Erikson mengingatkan bahwa pembatasan dan kritik yang berlebihan akan menyebabkan tumbuh rasa ragu terhadap kemampuan dirinya.

Penelitian tentang psikologi anak, yang berfokus pada bab kecerdasan, lebih jauh diungkapkan Gardner dengan konsep kecerdasan Jamak atau Multiple Intelegence (MI). Gardner mengidentifikasi kecerdasan sebagai kemampuan untuk menemukan dan mencari pemecahan masalah serta membentuk suatu produk yang mempunyai nilai dipandang dari budaya seseorang.

Ketujuh kecerdasan tersebut adalah : Linguistik, logika, matematika, spasial, kinestetik, musik, intrapersonal, interpersonal serta naturalis. Setiap orang mempunyai berbagai potensi tersebut. Masing-masing dapat dikembangkan pada tahap tertentu.

Tangisan Berjam-jam

Terkait psikologi anak, mungkin Anda akan menemukan anak Anda menangis selama berjam-jam. Kunci meredakan tangisan dan teriakan anak adalah bersikap tenang dan tidak perlu tergesa-gesa. Orangtua yang nampak gelisah atau memendam kemarahan tentu akan sulit menerima kondisi si kecil yang juga sedang tidak nyaman dengan tangisannya sendiri.

Anak membutuhkan figur yang tenang dan mampu mengendalikan emosinya. Kontrol emosi Anda akan membuat suatu ruang toleransi apapun reaksi tambahan yang akan dikeluarkan anak. Tangisan anak itu suara musik alam yang indah.

Menurut Hans Grothe, seorang psikolog perkembangan dari Jerman, sebenarnya tangisan dan teriakan tantrum anak ternyata tidak berkaitan dengan usia. Tak hanya anak berusia 2 tahun yang melakukannya, usia 3 atau 5 tahun pun kadang-kadang masih melakukannya.

frekuensi yang terbanyak adalah pada usia 2 tahun. Menurutnya, ada 3 kunci untuk meredakan tangisan anak yaitu ketenangan, ketenangan dan ketenangan. Tentu saja dalam tiga tataran yang berbeda-beda.

Kemampuan ini tidak begitu saja jatuh dari langit, melainkan para orangtua harus melatih dan belajar melihat reaksi anak. Inilah perlunya orang tua memahami ilmu psikologi anak.

Perlu dipahami, menjadi orangtua sebenarnya seperti seorang peneliti di laboratorium. Mencoba sebuah formula pola asuh, memecahkan masalah sesuai dengan budayanya serta kemudian melihat reaksi yang terjadi dengan dicobakan formulanya.

Apabila tidak cocok dan reaksi buruk, maka harus dicobakan formula yang lain sampai cocok. Dan biasanya formula yang cocok untuk satu anak belum tentu cocok untuk anak yang lainnya.

Jadi berlatih dan belajar menjadi peneliti adalah tugas orang tua agar sukses mendidik anak-anaknya. Anda akan mempelajari tentang psikologi anak yang tidak ada habisnya.

Proses psikologis dasar: Emosi dan motivasi (bag 2)

MOTIVASI

Pengertian

Motivasi adalah faktor-faktor yang mengarahkan dan memberi energi pada tingkah laku.

Studi tentang motivasi mencakup identifikasi tentang mengapa orang melakukan sesuatu. Pertanyaan yang sering diajukan:

–          Mengapa orang memilih tujuan tertentu sehingga mendorong dia bertingkah laku?

–          Motif spesifik apa yang mengarahkan tingkah laku?

–          Perbedaan individual Apa saja yang ada sehingga tingkah laku bervariasi?

–          Bagaimana memotivasi orang agar mau melakukan tindakan tertentu?

Kompleksitas motivasi telah mengarahkan pada pengembangan sejumlah konsep tentang motivasi. Meskipun berbeda-beda penekanannya, semua pendekatan tersebut sama-sama berusaha mencari penjelasan tentang  energi yang membuat orang bertindak ke arah tertentu.

 

Pendekatan Instink

Menurut pendekatan ini, kita lahir dengan membawa seperangkat perilaku terprogram yang penting untuk bertahan hidup. Instink-instik ini memberi energi bagi tingkah laku sehingga menjadi terarah. Dari sini dapat diterangkan bahwa sex merupakan respon terhadap instink reproduksi, perilaku menjelajah merupakan tindakan yang didorong oleh instink teritorial.

Tokoh dalam pendekatan ini misalnya William McDougall. Dia mengatakan ada 18 macam instink pd manusia.

 

Pendekatan Pengurangan Dorongan (Drive – Reduction Approach)

Teori ini menyatakan bahwa ketika seseorang kekurangan kebutuhan biologis yang mendasar, misal kebutuhan minum, maka akan timbul dorongan (drive) untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Jika drive itu muncul maka akan menimbulkan kondisi ketidak seimbangan. Ketidak seimbangan ini akan kembali kepada keadaan seimbang (homeostasis) apabila kebutuhan yang muncul sudah terpenuhi.

Drive terdiri dari dua macam: primer dan sekunder. Dorongan primer mencakup segala kebutuhan yang sifatnya biologis. Sedang dorongan sekunder mencakup semua kebutuhan yang muncul akibat pengalaman dan belajar di masa lalu.

Pendekatan Arousal

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita menemukan bahwa orang bertindak bukan semata-mata mengurangi ketegangan, tapi bahkan mencari ketegangan. Pendekatan arousal ini berusaha menjelaskan fenomena tersebut.

Menurut pendekatan ini, kita selalu berusaha mempertahankan tingkat simulasi dan aktivitas pada level tertentu. Jika terlalu tinggi maka kita akan berusaha mengurangi, sebaliknya jika terlalu rendah kita akan berusaha meninggikan dengan cara mencari stimulasi.

 

Pendekatan Insentif

Pendekatan ini lebih menekankan faktor eksternal daripada internal seperti pendekatan sebelumnya. Menurut teori ini, seseorang terdorong bertindak sesuatu karena adanya stimulus / reward  dari luar. Reward ini dalam istilah motivasi disebut insentif.

Pendekatan Kognitif

Pendekatan kognitif menekankan pada peran pikiran, harapan dan pemahaman kita terhadap lingkungan sekitar.

Contoh pendekatan ini adalah Teori Harapan dan Nilai (expectancy – value theory). Menurut teori ini, orang melakukan sesuatu didasari oleh harapan dan nilai tertentu. Jika orang meyakini bahwa tindakannya akan membawa pada pencapaian tujuan tertentu, dan bahwa tindakan itu sangat berharga, maka motivasinya akan tinggi.

Pendekatan kognitif membedakan dua macam motivasi: intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik menyebabkan kita melakukan sesuatu semata-mata demi kepuasan diri. Sedang motivasi ekstrinsik lebih karena reward dari luar.

Berdasar hasil penelitian, motivasi intrinsik lebih berpengaruh positif daripada ekstrinsik.

 

Pendekatan Humanistik: Hirarki Kebutuhan Maslow

Menurut Maslow, pada diri kita terdapat beberapa kebutuhan yang tersusun secara hirarkis sebagai berikut:

Aktualisasi Diri

Harga Diri

Kasih Sayang dan Rasa Memiliki

Rasa Aman

Fisiologis

 

Dorongan  untuk memenuhi kebutuhan muncul jika kebutuhan pada tingkat di bawahnya sudah terpenuhi. Misal dorongan untuk memenuhi kebutuhan rasa aman muncul jika kebutuhan fisiologis sudah terpenuhi.

 

MOTIVASI DALAM KELAS

Mitos-Mitos Tentang Motivasi

  • Siswa yang tidak aktif terlibat dalam pembelajaran berarti tidak memiliki motivasi

–          siswa yang mengerjakan sesuatu belum tentu termotivasi untuk belajar, tetapi termotivasi untuk melakukan sesuatu , dan bahwa “sesuatu” ini dapat mengarah pada problem disiplin yang serius.

  • Kegagalan adalah motivator yang baik

–          pengalaman mungkin merupakan guru yang berharga, tetapi kegagalan yang kronis justru sering mengakibatkan hal yang sebaliknya. Kesuksesan meski itu kecil merupakan motivator yang lebih kuat bagi kebanyakan siswa.

  • Belajar lebih penting daripada motivasi

–          sebagian mengatakan hal yang demikian karena siswa harus belajar untuk survive, maka sekolah harus mendorong siswa untuk belajar. Meski keyakinan ini dapat menghasilkan belajar yang segera, tetapi pada akhirnya konsekuensi yang ditimbulkan negatif. Siswa mungkin tidak menggunakan hasil belajarnya karena tidak bermakna; lebih buruk lagi mereka semata-mata hanya didorong oleh pemikiran untuk menambah belajar.

  • Guru dapat memotivasi siswa

–          secara realistis, hal terbaik yang kita dapat lakukan adalah membuat kondisi belajar semenarik mungkin dan dapat memberi stimulasi. Persepsi, nilai-nilai, kepribadian dan penilaian siswa lah yang pada akhirnya menentukan motivasi mereka. Dengan menyesuaikan tugas dengan kemampuan di bawah kondisi yang menyenangkan dan bermakna (termasuk dorongan guru), kita dapat mendorong motivasi diri siswa.

  • Ancaman dapat meningkatkan motivasi

­          Dengan menggunakan ancaman akan dapat nilai rendah, dilaporkan pada orang tua, dan sebagainya, beberapa guru meyakini bahwa hal tersebut dapat memotivasi siswa. Meski ketegasan kadang perlu digunakan, membangun iklim kelas dengan ancaman akan bersifat kontra produktif.

  • Belajar akan secara otomatis meningkat sejalan dengan meningkatnya motivasi siswa

– bukti yang positif kurang  menunjukkan bahwa motivasi selalu meningkatkan belajar. Motivasi sudah pasti merupakan kondisi yang diperlukan untuk belajar, tetapi jika kondisi vital lainnya tidak ada, kita harus mempertanyakan sejauh mana hasil belajarnya. Sebagai contoh, seorang guru mungkin telah dapat memotivasi siswa, tetapi jika pelajaran tidak terencana dengan baik, guru tidak dapat mengendalikan kelas, atau guru tidak jelas dalam menerangkan pelajaran, maka siswa yang termotivasi mungkin akan belajar lebih sedikit daripada jika kondisi-kondisi lain lebih baik.

 

Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Siswa

  • Kecemasan

Sumbernya dapat dari guru, ujian, teman sebaya, hubungan sosial, standar prestasi, pemikiran anak laki-laki terhadap anak perempuan dan sebaliknya, kesukaan atau ketidaksukaan terhadap  mata pelajaran, dan jarak dari rumah ke sekolah.

  • Sikap

Terbentuknya sikap dapat bersumber dari orang tua, saudara, teman sebaya, guru, performan siswa sendiri, dll.

Strategi untuk menumbuhkam sikap yang positif

  • Ø Sikap terhadap guru

–          sharing sesuatu dengan siswa secara individu dengan cara yang sealamiah mungkin

–          penerimaan terhadap  siswa tanpa harus perlu menerima perilakunya

  • Ø Sikap terhadap mata pelajaran

–          tunjukkan antusiasme terhadap mata pelajaran

–          hati-hati terhadap apa yang secara tidak langsung diajarkan dalam mata pelajaran tersebut, misal hindari tugas ekstra sebagai hukuman

–          tunjukkan betapa penting / bermaknanya mata pelajaran tersebut

  • Ø Sikap siswa terhadap dirinya sendiri

–          beri jaminan kesuksesan bahwa apapun yang akan dilakukan siswa yang memiliki pengalaman konsep diri yang jelek akan berhasil

–          siap untuk memberi dorongan secara konstan, yaitu pada awalnya kita dekati dia untuk menghargai usaha dan kesuksesannya, lalu bantulah mereka pada permulaan mengerjakan tugas untuk meminimalkan kesalahan. Lalu tekankan untuk belajar dari kesalahan dan berilah penguat pada usahanya.

  • Rasa ingin tahu

Cara-cara untuk menumbuhkan rasa ingin tahu siswa :

–          tunjukkan antusiasme kita terhadap mata pelajaran yang diajarkan

–          beri sitmulasi berupa konflik kognitif

–          beri kebebasan siswa untuk memilih topik kapan saja jika memungkinkan, biarkan mereka mengeksplorasi sendiri

–          beritahu siswa bahwa kita tertarik ingin mengetahui dan menyelidiki sesuatu dan tunjukkan perilaku yg biasa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki rasa ingin tahu dalam memecahkan masalah.

  • Locus of control (Pusat Kendali Diri)

Pusat kendali diri adalah kesadaran akan penjelasan terhadap sebab-sebab perilaku  individu. Jika  individu meyakini sebabnya ada di dalam individu sendiri maka disebut pusat kendali dirinya internal, jika penyebabnya di luar individu maka disebut eksternal.

Karakteristik :

LOC Internal

LOC Eksternal

Siap siaga

Kompeten

Mampu menolak pengaruh

Mendominasi

Berorientasi pada prestasi

Independen

Percaya dri

TrampilKurang perhatian

Performannya tidak menentu

Dipengaruhi oleh status

Dipengaruhi oleh teman sebaya

Dikendalikan oleh orang lain

Kurang percaya diri terhadap kemampuannya

Bereaksi secara acak

 

 

Dari tabel di atas maka wajar jika LOC internal lebih dikehendaki daripada LOC eksternal

Implikasi di kelas :

–          Buatlah usaha-usaha untuk memberi siswa suatu tantangan yang realistis. Untuk itu kita harus mengenali siswa sehingga dapat menentukan apa yang dapat dicapai oleh siswa.

–          Kemudian secara hati-hati beri reward atas hasil yang dicapai atau sekurang-kurangnya atas usaha siswa. Reinforcement harus didasarkan pada pencapaian aktual siswa.

–          Gunakan keberhasilan awal dan dorong siswa untuk biasa mencoba dan mengambil tanggung jawab atas tindakannya

  • Learned Helplesness (Ketidakberdayaan yang dipelajari)

Adalah reaksi individu yang menjadi frustrasi dan berhenti berusaha setelah gagal berulang kali meski sebenarnya masih mampu mengubah keadaan. Di sini individu mempersepsikan bahwa lingkungan sekitarnya sudah tidak dapat dikontrol lagi.

Penelitian Diener dan Dweck:

–          ada dua pola perilaku reaksi  siswa terhadap kegagalan : “helpless” dan “mastery-oriented”

–          siswa yang helpless cenderung merenungi hal-hal yang menyebabkan dia gagal, cenderung meremehkan kesuksesan yang diperoleh dan melebih-lebihkan kegagalan

–          siswa yang “mastery-oriented” lebih berfokus pada usaha menemukan solusi bagi problem yang tadinya gagal dipecahkan

Strategi menghadapi siswa yang helpless:  bantulah dia untuk mengevaluasi kegagalannya secara realistis dan memfokuskan diri pada usaha untuk mencapai kesuksesan dan mengatasi perasaan tidak berdaya.

  • Self-Efficacy (Efikasi Diri)

Ini adalah konsep yang dikemukakan oleh Bandura.

Yaitu  penilaian seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk mengorganisir dan melakukan suatu pola tindakan untuk mencapai tipe performan yang diharapkan.

Bandura meyakini bahwa efikasi diri penting bagi kontrol siswa atas motivasinya. Siswa yang memiliki efikasi diri yang kuat cenderung memusatkan perhatian dan usahanya pada tuntutan tugas dan meminimalisir kesukaran-kesukaran yang potensial.

Dalam teori ini dibedakan antara efficacy expectation (efikasi harapan) dengan outcome expectation (harapan hasil). Harapan hasil mencerminkan perkiraan seseorang bahwa perilaku tertentu akan mengarahkan pada hasil tertentu. Sedangkan efikasi harapan adalah keyakinan individu bahwa dia dapat melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk menimbulkan hasil tertentu. Ini perlu dibedakan karena seorang siswa mungkin meyakini bahwa perilaku tertentu dapat memberikan hasil tertentu tapi di tidak yakin dapat melakukan perilaku tersebut.

Efikasi diri siswa berpengaruh terhadap tantangan apa yang akan dihadapi, seberapa banyak usaha yang harus dikeluarkan, berapa lama dapat bertahan, dan seberapa banyak stress yang dapat ditanggung. Siswa-siswa hanya akan menerima tujuan yang bermakna bagi mereka dan bahwa mereka  yakin mampu mencapainya.

Siswa mungkin memiliki efikasi diri yang rendah pada satu bidang tertentu (misal matematika) dan  tinggi pada bidang yang lain (misal bahasa)

  • Cooperative Learning (Belajar Kooperatif)

Yaitu seperangkat metode pengajaran  dimana siswa didorong atau dituntut untuk bekerja sama dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik. Ini melibatkan dua hal : struktur tugas untuk memastikan bahwa anggota kelompok harus bekerja sama satu sama lain dan struktur reward.

Agar efektif harus ada dua kondisi yang harus terpenuhi: masing – masing kelompok memilki tujuan bersama yang bermakna bagi individu dan kesuksesan kelompok harus muncul dari usaha semua anggota kelompok.

Semata-mata menempatkan siswa secara bersama tidak akan menghasilkan perolehan belajar. Siswa perlu bekerja untuk tujuan kelompok dan semua anggota harus memberikan kontribusinya, bukan hanya yang terpandai.

Belajar kooperatif jika dilaksanakan secara baik dapat meningkatkan motivasi, mendorong siswa dari semua golongan untuk bekerja sama dan mengenalkan toleransi dalam kelas yang majemuk.

 

Implikasi Motivasi Dalam Pendidikan

Wlodkowski mencatat bahwa  dalam suatu peristiwa belajar, strategi motivasi dapat berpengaruh penting pada awal, selama dan akhir pembelajaran.

Faktor Kunci Yang terlibat
Awal pembelajaran Sikap dan kebutuhan
Selama pembelajaran Stimulasi dan emosi
Akhir pembelajaran Kompetensi dan reinforcement

 

Proses psikologis dasar: Emosi dan motivasi (bag 1)

EMOSI

Pengertian

adalah perasaan-perasaan yang pada umumnya terdiri dari unsur kognitif dan fisiologis dan mempengaruhi perilaku.

Fungsi

  • Mempersiapkan tindakan: emosi bertindak sebagai penghubung antara peristiwa eksternal dengan  respon yang dibuat individu.
  • Membentuk perilaku di masa yad: emosi yang timbul membantu proses belajar terhadap informasi sehingga membantu kita memberikan respon yang tepat.
  • Membantu regulasi interaksi sosial: emosi yang ditunjukkan seseorang baik melalui perilaku verbal maupun nonverbal merupakan sinyal yang memungkinkan orang lain memahami apa  yang dialami seseorang tersebut. Pemahaman yang baik akan meningkatkan interaksi sosial yang dan layak efektif

 

Macam-macam emosi

Bahwa sebenarnya tidak ada kategorisasi emosi yang sifatnya universal, yang dapat mencakup seluruh pengalaman emosi yang dialami individu dari berbagai penjuru dunia.
 

Teori-teori emosi

  1. Teori James-Lange

emosi merupakan akibat dari perubahan fisiologis yang menghasilkan sensasi spesifik. Sensasi ini diinterpretasi oleh otak sebagai suatu jenis emosi tertentu à saya sedih karena menangis

  1. Teori Cannon-bard

Perubahan fisiologis merupakan akibat dari pengalaman emosi yang dialami à saya menangis karena sedih

  1. Teori Schachter-Singer

Emosi merupakan  label terhadap perubahan fisiologis yang kita alami dan ini dipengaruhi oleh konteks lingkungan. Contoh: jantung berdebar ketika ujian à cemas dan takut; sedang ketika bertemu dengan gadis cantikà jatuh cinta

  1. Perspektif Kontemporer

bahwa pola-pola reaksi biologis tertentu berhubungan dengan emosi individu.

Contoh peneliti telah menemukan bahwa emosi tertentu mengaktivasi bagian otak yang tertentu pula à emosi bahagia berhubungan dengan turunnya aktivitas cerebral korteks pada bagian tertentu, sedih berhubungan dengan peningkatan aktivitas korteks.


Ekpresi Emosi

Secara umum ditemukan bahwa ekspresi emosi dasar melalui wajah sifatnya universal.  Mengapa? Salah satu hipotesis yang berusaha menjelaskan hal ini adalah facial affect-program: kita lahir sudah terprogram untuk mengaktifkan otot-otot tertentu pada wajah ketika mengalami emosi tertentu pula. à emosi bahagia secara universal ditunjukkan dengan gerakan zigomatik mayor, otot yang menaikkan sudut mulut sehingga kita tersenyum.

Ekspresi wajah selain mencerminkan emosi yang sedang dialami, juga dapat membantu dalam membentuk emosi à “tersenyumlah maka engkau akan bahagia”. Ini disebut sebagai facial-feedback hypothesis

Proses psikologis dasar: Berpikir , bahasa, dan inteligensi (bag 3)

INTELIGENSI

Pengertian

Inteligensi memiliki makna yang berbeda-beda tergantung pada konteks budaya/lingkungan. Stenberg meneliti konsep inteligensi menurut orang awam adalah kemampuan problem solving, kemampuan verbal dan kompetensi sosial. Pengertian yang diambil oleh para psikolog: inteligensi adalah kemampuan untuk memahami dunia sekitar, berpikir rasional, dan menggunakan sumber daya secara efektif ketika menghadapi tantangan (Wechsler, 1975). Ini adalah definisi yang paling sering digunakan.

 

Pendekatan

Untuk memahami hakekat inteligensi, perlu memahami pendekatan umum:

  1. Pendekatan belajar

pendekatan ini lebih menekankan pada perilaku yang tampak. Bahwa inteligensi bukan sifat kepribadian tetapi merupakan kualitas hasil belajar. Perilaku yang inteligen adalah yang berisi proses belajar pada level fungsional tingkat tinggi

  1. Pendekatan biologi

inteligensi memiliki dasar anatomis dan biologis. Perilaku yang   dapat ditelusuri dari dasar-dasar neuro-anatomis dan proses neurofisiologisnya. Misal membandingkan otak orang biasa dengan otak orang cerdas. Hasilnya ditemukan bahwa ada “brain efficiency”, yaitu otak yang efisien memiliki banyak asosiasi antara neuron satu dengan yang lain, mengalamipemangkasan pada cabang-cabang neuron yang tidak diperlukan, aksonnya lebih besar dan myelin yang melapisinya lebih tebal

  1. Pendekatan psikometri

inteligensi merupakan suatu konstruk hipotetis. Misal inteligensi dirumuskan sebagai kemampuan umum umum terutama yang berkaitan dengan ingatan dan penalaran dalam mempelajari dan menghadapi masalah baru. Pendekatan ini melahirkan tes-tes psikologi sehingga lebih bersifat kuantitatif

  1. Pendekatan perkembangan

pendekatan perkembangan lebih menekankan perkembangan inteligensi secara kualitatif dalam kaitannya dengan tahap-tahap perkembangan biologis individu. Tokohnya antara lain Piaget yang melihat adanya perbedaan kualitatif dalam cara berpikir anak pada masing-masing kelompok usia.

Ke-empat pendekatan di atas tidak terpisah secara eksklusif akan tetapi saling tumpang tindih sampai pada taraf tertentu.

 

Teori-Teori Inteligensi

Dari beberapa pendekatan melahirkan teori-teori inteligensi, misal yang dikemukakan oleh :

  1. Binet, bahwa inteligensi merupakan faktor tunggal dan karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan
  2. Thorndike: inteligesi adalah kemampuan abstraksi, mekanik dan sosial
  3. Spearman: inteligensi terdiri dari kemampuan umum (g factor) dan kemampuan khusus (s factor)
  4. Thurstone & Thurstone: inteligensi terdiri dari enam unsur kemampuan,yaitu 1)verbal, 2) Numerik; 3)Spasial; 4)Word Fluency; 5) Memori; 6) Reasoning
  5. Guilford: mengemukakan model SOI (Structure Of Intellect) yang digambarkan dalam bentuk kubus. Inteligensi terdiri dari tiga dimensi, yaitu isi, operasi, dan produk. Isi menunjuk pada tipe informasi yang meliputi figural, simbolik, semantik dan behavioral. Operasi menunjuk pada cara pemrosesan informasi, meliputi kognisi, memori, produksi konvergen, produksi divergen dan evaluasi. Produk menunjuk pada hasil pemrosesan yang dilakukan oleh dimensi operasi terhadap isi informasi, meliputi unit, kelas, relasi, sistem, transformasi dan implikasi.
  6. Howard Gardner: mengemukakan teori inteligensi ganda (multiple intelligence); bahwa kita memiliki tujuh macam kecerdasan yang satu sama lain relatif independent, yaitu inteligensi musik, kinesthetik, logika-matematika, bahasa, spasial, interpersonal dan intrapersonal.
  7. Sternberg: mengemukakan Teori Inteligensi Triarkhis; bahwa ada tiga aspek utama dalam inteligensi, yaitu componential, experiential, dan contextual. Aspek komponen berfokus pada komponen mental yang terllibat dalam analisa informasi untuk memecahkan masalah. Sebaliknya, aspek pengalaman berfokus pada bagaimana pengalaman seseorang mempengaruhi inteligensi dan bagaimana menggunakan pengalaman masa lalunya  tersebut untuk problem solving. Aspek kontekstual menunjuk pada tingkat keberhasilan seseorang dalam menghadapi tuntutan lingkungan sehari-hari.

 

Pengukuran Inteligensi

Pengukuran inteligensi menghasilkan skor yang disebut IQ (Inteligence Quotient). Hal ini dipelopori oleh Binet yang menciptakan tes inteligensi formal yang pertama. Binet merancang tes tersebut untuk mengidentifikasi murid-murid yang bodoh di sekolah-sekolah Paris untuk diberikan bantuan remedial. Binet memulainya dengan memberikan tugas-tugas pada siswa-siswa yang seusia yang telah dilabel bodoh dan pintar oleh guru-guru mereka. Jika satu tugas hanya dapat diselesaikan dengan baik oleh murid yang pintar saja, dia menetapkan tugas tersebut layak untuk dijadikan item tes. Pada akhirnya dia berhasil menyusun alat tes yang mampu membedakan anak yang pintar dengan yang bodoh, bahkan lebih lanjut dapat membedakan kemampuan anak-anak dari kelompok usia yang berbeda.

Skor inteligensi yang diperoleh menggunakan rumus:

IQ = MA / CA x 100

MA: Mental Age, yaitu rerata usia anak didasarkan pada kemampuan mengerjakan seluruh soal tes.

CA: Chronological Age, yaitu usia anak berdasar kalender.

Perkembangan selanjutnya, untuk menentukan IQ seseorang dengan melihat seberapa besar penyimpangan dari rerata (Standard Deviation)

Persoalan dalam pengukuran inteligensi

Tes inteligensi banyak dikritik karena dianggap bias budaya; bahwa tes inteligensi yang disusun lebih berdasarkan populasi kulit putih kelas menengah ke atas. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan disusunnya tes inteligensi bebas budaya (Culture Fair Inteligence Test). Namun demikian penyusunan tes inteligensi yang bebas budaya juga sulit bahkan tidak mungkin karena individu dari kelompok budaya yang berbeda mempunyai konsep yang berbeda pula mengenai kecerdasan.

Selain persoalan bias budaya, tes inteligensi yang ada sampai saat ini belum mampu mengukur semua kemampuan yang ada pada manusia. Tes-tes yang pernah disusun hanya mengukur sebagian kemampuan saja.

 

Faktor-Faktor yang mempengaruhi IQ

Skor IQ dapat berubah karena berbagai sebab. Perubahan terjadi karena alasan teknis yang berhubungan dengan konstruksi tes. Namun demikian, pada kasus lain, perubahan IQ kemungkinan mencerminkan perubahan riel dari kemampuan yang dinilai. Skor kadang berubah karena ada perubahan-perubahan besar dalam kehidupan, seperti penyakit atau pertikaian keluarga. Karena tidak semua anak bereaksi secara sama terhadap pengalaman yang penuh stress, maka sulit menilai pengaruh peristiwa-peristiwa tersebut terhadap inteligensi.

Perubahan dalam IQ juga berhubungan dengan faktor kepribadian, dimana agresivitas, kemandirian dan kompetisi merupakan karakter yang menonjol pada anak-anak yang menunjukkan kenaikan IQ bila dibandingkan dengan anak yang menurun IQnya.

Terkait dengan gender, tidak ada perbedaan IQ pada kemampuan umum. Tetapi untuk kemampuan khusus, perempuan lebih baik dalam tugas-tugas verbal. Sementara itu,  laki-laki lebih baik dalam mengerjakan tugas-tugas numerik dan spasial. Sumber perbedaan itu kemungkinan lebih karena budaya yang mencerminkan perbedaan cara mengasuh anak dan perbedaan harapan terhadap kemampuan yang harus dicapai oleh masing-masing jenis kelamin. Sebagai pendukung dari penafsiran ini, sifat yang berhubungan dengan naiknya IQ dan dengan kesuksesan memecahkan masalah adalah sifat-sifat yang dianggap maskulin dalam budaya Barat.

Ada beberapa studi pengaruh deprivasi sosial terhadap IQ tetapi hasilnya sulit diinterpretasi. Tidak semua anak yang ada dilingkungan yang terdeprivasi  menunjukkan defisit IQ. Kesulitan juga muncul dalam menspesifikasi aspek deprivasi sosial mana yang penting, yaitu apakah kualitas sosial pengasuhan ibu, aspek sensoris dari stimulasi, timing input, dan lain-lain. Akhirnya, andaikata karakter sesungguhnya dari komponen deprrivasi diketahui, tetap tidak diketahui apakah pengaruh deprivasi itu reversibel.

Ada hubungan moderat antara status sosial ekonomi dengan IQ. Tiga hipotesis yang menjelaskan hubungan ini adalah: 1). Kemungkinan adanya bias budaya dalam tes; bahwa tes yang disusun lebih menguntungkan individu yang berasal dari kelas menengah ke atas. 2). Perbedaan lingkungan antar status sosial ekonomi. 3). Perbedaan genetik. Tampaknya ada kecenderungan bahwa ketiga faktor itu penting sampai pada tingkat tertentu. Harus ditekankan bahwa hubungan IQ dengan status sosial ekonomi hanya moderat dan bahwa individu baik yang berIQ tinggi maupun rendah dapat ditemukan pada status sosial ekonomi manapun.

Selanjutnya adalah faktor herediter. Dasar fisik bagi berfungsinya inteligensi ditemukan pada materi genetis yang mengarahkan perkembangan sistem syaraf. Studi kemiripan IQ pada kembar identik, kembar fraternal dan saudara kandung lainnya menunjukkan bahwa baik faktor keturunan dan kondisi lingkungan mempengaruhi inteligensi