Psikologi Kepribadian

Featured

menyendiri

menyendiri

  1. DISKRIPSI KASUS

Di sebuah dusun yang kecil letaknya di pulau Seram provinsi Maluku ada seorang anak namanya Udi. Dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang kurang harmonis. Ayahnya seorang pemabuk, kehidupannya sangat tergantung pada alkohol. Pekerjaannya sebagai seorang PNS. Seluruh uangnya selalu dikelola sendiri tidak pernah diberikan kepada istrinya (ibu). Kebutuhan anak pun selalu diabaikan. Uang ayah selalu digunakan untuk mabuk dan main permpuan lain.

Ibu harus bekerja membanting tulang berjualan di pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarga (makan, minum, sekolah). Udi mempunyai 6 orang saudara, Udi anak yang sulung. Dalam proses perkembangan kurang mendapati kasih sayang dari orang tua, tidak pernah diberi kesempatan untuk bergaul dengan teman-teman dan tidak diberi kesempatan untuk ngomong dengan orang tua lebih khusus ayah. Ayah orang yang kejam, sering bertindak keras dalam keluarga. Memukuli ibu tanpa alasan yang pasti. Udi pun sering dipukul tanpa salah. Udi pernah diikat di tiang rumah karena permasalahan yang dialaminya dengan wanita simpanannya yang sebenarnya adik Ibu sendiri. Hari terus berlalu, penderitaan terus berlanjut sampai memasuki masa remaja. Pada masa remaja banyak keinginan yang dipendam, direpres karena takut kepada ayah dan selalu memilih menghindari dari hukuman dengan menunjukkan sikap yang selalu patuh terhadap ayah dan ibu. Walaupun bagi Udi sendiri sangat menyakitkan, karena banyak hal dibatasi. Semakin besar semakin ditekan oleh ayah, tidak bisa belajar kelompok, tidak bisa memakai jepit-jepit rambut berwarna, tidak bisa memakai bedak, pulang sekolah tidak bisa terlambat, walau jarak antara sekolah dan rumah sangat jauh dan harus jalan, kalau terlambat dicurigai macam-macam kemudian dipukul, kadang tidak dikasih makan dan Ibu tidak bisa menentang. Kalau Ibu bersuara, Ibu yang dicambuk oleh ayah. Pokoknya sangat menyakitkan, kadang kalau terlalu sakit rasanya mau bunuh diri saja karena berpikir lebih baik mati dari pada terlalu disiksa tanpa kesalahan yang pasti, namun ketika itu juga kadang muncul kekuatan ketika teringat tokoh-tokoh agama yang kokoh dalam penderitaan dan selalu berjuang.

Hal seperti ini terus berlanjut sampai Udi tamat SMP. Sekolah tamat, Udi mengambil keputusan harus sekolah di tempat lain dengan tujuan bisa memiliki kehidupan yang lebih bahagia.

Udi kemudian melanjutkan sekolah SMA di Ambon, ibu kota provinsi Maluku. Selama studi tidak pernah pulang karena waktu-waktu liburan sering dimanfaatkan untuk kerja menjadi pembantu rumah tangga.

Ketika tamat SMA, Udi bekerja sebagai pembantu rumah tangga selama 2 tahun. Setelah itu uangnya digunakan untuk daftar kuliah. Udi kuliah sambil bekerja untuk membiayai studi pada semester IV tepat tahun 1997 ayah sempat meninggalkan ibu selama satu tahun. Itu salah satu masalah yang sangat menggoncangkan. Karena takut malu, takut diejek teman-teman. Udi selalu menghindar dari teman-teman dan memilih menyendiri. Segala sesuatu yang dialami biasanya direpres dan tidak pernah diketahui orang lain. Dan pada akhirnya membentuk kepribadian Udi menjadi orang yang ”psimis”, tertutup, tidak mampu berbicara di depan orang banyak karena takut gagal, takut salah dan sebagainya. Udi orang yang memiliki sifat introvert dominan, ekstrovet sedikit saja kalau mengalami tantangan ekstrovert direpres dan menjadi introvert lagi. Udi juga sering menggunakan topeng rendah hati untuk menghindar dari pertengkaran walaupun berada pada posisi yang benar karena takut bertengkar.

Walaupun demikian pahitnya hidup yang dijalai, namun Udi selalu mempunyai usaha untuk mencapai perubahan ke arah yang lebih baik. Itulah tujuan hidup.

  1. TEORI DAN ANALISIS

Dalam menganalisis kasus ini, penulis menggunakan teori analitik yang dikemukakan oleh Carl Jung.

  1. Teori

Menurut Carl Jung, tingkah laku Manusia ditentukan tidak hanya oleh sejarah individu dan ras (kasualitas), tetapi juga oleh tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi (teologi). Baik masa lampau sebagai aktualitas maupun masa depan sebgaai potensialitas sama-sama membimbing tingkah laku orang sekarang. Padangan Jung tentang kepribadian adalah: Prospektif dalam arti bahwa ia melihat kedepan ke arah garis perkembangan sang pribadi di masa depan dan retrofektif dalam arti bahwa ia memperhatikan masa lampau. Mengutip kata-kata Jung ”Orang hidup dibimbing oleh tujuan-tujuan maupun sebab-sebab.”

Menurut Jung dasar-dasar kepribadian bersifat arkhaik, primitif, bawaan, tak sadar, dan mungkin universal. Freud menekankan asal-usul kepribadian pada masa kanak-kanak sedangkan Jung pada ras.

  • Struktur Kepribadian

Menurut Jung struktur kepribadian Manusia terdiri dari sejumlah sistem yang berbeda namun saling berinteraksi. Sistem-sistem tersebut adalah ego, ketidaksadaran pribadi, ketidaksadaran kolektif, pesona, anima, animus dan bayang-bayang. Di samping itu terdapat sikap introversi dan esktroevrsi, serta fungsi pikiran, perasaan, pendirian dan institusi. Akhirnya terdapat diri (self) yang merupakan pusat dari seluruh kepribadian.

  • Dinamika Kepribadian

Menurut Jung kepribadian atau psyche sebagai sistem energi yang setengah tertutup, dikatakan setengah tertutup karena harus ditambahkan dengan energi dan sumber-sumber luar, misalnya makan, atau dikurangi dari sistem dengan melakukan pekerjaan yang menggunakan otot. Dinamika kepribadian rentan terhadap pengaruh-pengaruh dan modifikasi-modifikasi dari sumber luar, yaitu energi psikis.

Ini adalah contoh ketidaksadaran kolektif dan ini benar-benar ada dalam kepribadian Udi. Namun ada sebagian dari ketidaksadaran tadi diabaikan oleh ego sehingga mengganggu proses-proses rasional dasar dan membelokkannya ke dalam bentuk penyimpangan kasar, takut berbicara di depan orang banyak.

Hal ini terjadi karena ketidaksadaran tadi baik individual maupun kolektif ada yang disisihkan.

  • Persona

Dari uraian kasus di atas Udi juga sering menjadikan kerendahan hati sebagai topeng tuntutan tradisi masyarakat. Dimana anak harus menghargai orang tua, harus taat kepada orang tua untuk menciptakan kesan menjadi anak yang taat kepada orang tua dan bisa diketahui orang lain dan kadang-kadang digunakan untuk menyembunyikan pribadi yang sebenarnya.

  • Bayang-bayang

Berdasarkan uraian kasus di atas sebenarnya Udi memiliki bayang-bayang yang terdiri dari insting-insting binatang. Ada nafsu memberontak juga namun direpres dalam ketidaksadaran pribadi.

  • Anima dan animus

Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa Udi juga sebagai wanita memiliki sisi feminism dan maskulin.

  • Diri atau Self

Karena diri adalah titik pusat kepribadian dimana sistem lain terkonsetrasikan. Diri juga adalah tujuan hidup, suatu tujuan yang selalu diperjuangkan orang tetapi jarang tercapai. Seperti arketipe, orang mencari kebulatan khususnya melalui cara-cara agama. Pengalaman-pengalaman religius sejati merupakan bentuk pengalaman paling dekat ke diri (self-hood) yang mampu dicapai oleh kebanyakan manusia, sedangkan toko Kristus dan Budaha merupakan arketipe diri paling jelas yang dapat ditemukan di dunia modern.

Bertolak dari kasus yang diuraikan di depan, maka dapat dilihat bahwa dalam penderitaan yang dialami ada perjuangan yang dilakukan untuk mencapai tujuan hidup yang diinginkan yaitu kebahagiaan. Untuk mencapai hal tersebut kadang Udi mengkaitkan dengan pengalaman religius sejati karena itu yang paling dekat ke diri. Misalnya mempunyai masalah selalu berusaha untuk mencapai kepribadian yang kokoh dengan mengkaitkan dengan pengalaman-pengalaman religius. Mencontohi arketipe Kristus yang telah menderita disalib dan bisa menanggung semua penderitaan itu. Namun di dalam berusaha belum mencapai kesempurnaan. Dikatakan demikian karena kepribadian masih bergantung pada ego.

  • Sikap

Dari uraian kasus di depan Udi memiliki sikap introversi yang dominan segala permasalahan yang dialami selalu diarahkan ke dalam diri dan, suka menyendiri, tertutup.

Sikap ekstroversi kurang dominan dan tidak sadar. Dari uraian kasus dapat dilihat juga bahwa ada usaha untuk bagaimana membangun hubungan dengan dunia luar, mau membagi dan sebagainya. Tetapi kebiasaan kalau ada tantangan biasa sikap ekstroversi itu direpers kembali ke ketidaksadaran.

Contoh misalnya belajar kelompok, saya berusaha untuk bagaimana bisa membangun hubungan dengan teman-teman secara obyektif bisa mengeluarkan pendapat jika benar-benar saya tahu, dan itu bisa tetapi jika ada kesalahan dan ditertawakan, saya kembali berubah lagi menjadi introver tidak mau bergabung dan sebagainya.

  1. Dinamika Kepribadian

Berdasarkan uraian di depan dapat dilihat bahwa stimulus-stimulus lingkungan memberi perubahan pada distribusi energi dalam sistem kepribadian Udi.

Misalnya: ada dorongan energi psikis untuk bagiamana bersama teman, memenuhi keinginan bisa belajar bersama teman, bisa memiliki perasaan bahagia dan berjuang untuk menjadi yang lebih baik kadang dipengaruhi oleh stimulus dari lingkungan yakni lingkungan keluarga dan sekitar sehingga kepribadian hanya bisa stabil secara relatif.

  • Nilai-nilai Psikis

Dari uraian kasus di depan dapat dilihat bahwa Udi memiliki nilai yang tinggi pada perasan pesimis dan diam. Sehingga perasaan tersebut memainkan peranan penting dalam mencetuskan dan mengarahkan tingkah laku. Misalnya cepat putus asa, suka menyendiri dan takut. Dan itu adalah nilai relatif dari perasaan Udi.

  • Perkembangan Kepribadian

Dari kasus di depan bisa dilihat bahwa tujuan dari perkembangan kepribadian yaitu realisasi diri belum tercapai karena belum ada perpaduan yang harmonis dari seluruh aspek kepribadian Udi. Ego masih menjadi pusat pertentangan antara lingkungan dan tuntutan batin dari ketidaksadaran.

Memang sudah mulai ada proses penyatuan atau fungsi transeden tetapi belum seimbang dan terintegrasi dengan baik. Self belum berperan dengan baik walaupun sudah menggunakan. Pendekatan agama dikatakan arketipe diri Udi memang belum tampak. Kadang masih menggunakan topeng.

Masih ada perjalanan panjang yang mesti dilewati dalam membentuk kepribadian manusia itu dapat dipahami menurut kemana ia pergi bukan dimana dia berada.

Menurut Jung untuk mencari pemahaman yang sempurna tentang kepribadian kedua pandangan tentang sebab-sebab sebelumnya baik pengalaman maupun ras dan tujuan hidup/pandangan hidup ke depan.

Masa sekarang tidak hanya ditentukan oleh masa lampau (kasualitas) tetapi juga ditentukan oleh masa depan (teologi).

  1. KESIMPULAN
  1. Kepribadian Udi bukan semata-mata ditentukan oleh pengalaman masa kanak-kanak / masa lalu (kasualitas) tetapi ditentukan juga oleh masa depan, sehingga walaupun mempunyai banyak masalah yang menggoncangkan tetapi tetap ada usaha ke depan.
  2. Ada proses inetraksi antara struktur-struktur kepribadian.
  3. Dalam struktur kepribadian manusia ada ketidaksadaran individu dan ketidkasadaran kolektif.
  4. Terimakasih Tuhan walaupun masa lalu saya yang sangat menyedihkan tetapi itu bukan satu-satunya penentu/pembentuk kepribadian saya. Masih ada interaksi dan proses asimilasi dari bagian-bagian struktur kepribadian untuk membentuk Self/diri yang kokoh dengan mengambil pengalaman arketip Kristus tokoh yang kokoh dalam menghadapi setiap penderitaan.

Referensi :

Alwisol, Psikologi Kepribadian. Malang. UMM Press 2006.

Hall Calvin dan Lindzey Gardner, supratiknya A (ed). Psikologi Kepribadian 1 Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta. Kanisius 1993.

Kode Etik Psikologi Indonesia

Featured

kode etik

kode etik

PENGERTIAN
  • Ilmuwan Psikologi
    • Lulusan S1 psikologi atau lulusan S2 dan S3 dalam bidang psikologi tapi S1 diperoleh bukan dari fakultas psikologi
    • Dapat memberikan jasa psikologi tapi tak diperbolehkan memberi untuk memberikan praktik psikologi
  • Psikolog
    • Sarjana S1 dari psikologi + program pendidikan profesi/kurikulum lama yang setara dengan psikolog
    • Berhak dan berwenang memberikan praktik psikologi tapi harus memiliki izin praktik
  • Jasa Psikologi
    • Jasa yang diberikan kepada perorangan/kelompok/organisasi yang diberikan oleh ilmuwan psikologi sesuai kompetensi dan kewenangan keilmuwan psikologi di bidang pengajaran, pendidikan, pelatihan, penelitian, penyuluhan masyarakat
  • Praktik Psikologi
    • Kegiatan yang dilakukan psikolog dalam memberikan jasa dan praktik kepada masyarakat dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual/kelompok dengan menerapkan prinsip diagnostika
    • Segala terapan prinsip psikologi yang berkaitan dengan kegiatan diagnosis, prognosis, konseling dan psikoterapi
  • Pemakai Jasa Psikologi
    • Perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/institusi yang menerima dan meminta jasa/praktik psikologi
    • Pemakai jasa disebut klien
TANGGUNGJAWAB
Dalam melaksanakan kegiatannya, mengutamakan  kompetensi, obyektivitas, kejujuran, menjunjung tinggi integritas dan norma-norma keahlian serta menyadari konsekuensi tindakannya
  • Tanggungjawab Etika
    • Dalam melaksanakan tugasnya, ilmuwan psikologi dan psikolog terikat pada Kode Etik Psikologi Indonesia
    • Tanggungjawab Hub. Profesional dan Ilmiah
      • Tanggungjawab ilmuwan psikologi dan psikolog dalam memberikan jasa dan praktik psikologi hanya dalam konteks hubungan atau peran profesional maupun ilmiah
BATAS KEILMUAN
  • Menyadari Keterbatasan Keilmuan
    • Ilmuwan psikologi dan psikolog menyadari sepenuhnya atas keterbatasan keilmuan psikologi, yang dinyatakan dalam sikap dan cara kerjanya
    • Landasan kesadaran ini:

– Mencegah kegiatan yang melampaui batas keilmuan

– Mendorong kerjasama dengan profesi lain dengan tetap

menghargai dan menghormati kompetensi dan

kewenangan masing-masing pihak

– Memberikan informasi tentang keterbatasan keilmuan

psikologi, mendorong masyarakat untuk dapat

memanfaatkan jasa/praktik psikologi secara benar

 

  • Konsultasi dan Rujukan
    • Ilmuwan psikologi dan psikolog wajib mengatur konsultasi dan rujukan yang pantas atas dasar prinsip kepentingan dan persetujuan klien dengan mempertimbangkan berbagai hal, termasuk segi hukum dan kewajiban lain
    • Karena keterbatasan kemampuan, ilmuwan psikologi dan psikolog bekerjasama dengan profesi lain untuk melayani klien
    • Untuk praktik perujukan kasus kepada ahli lain, ilmuwan psikologi dan psikolog harus konsisten dengan hukum yang berlaku
PERILAKU DAN CITRA PROFESI
Dalam melaksanakan keahliannya, ilmuwan psikologi dan psikolog wajib mempertimbangkan dan mengindahkan etika dan nilai-nilai moral dalam masyarakat
  • Perilaku Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
    • Memperhatikan, mempelajari, mempertimbangkan etika dan nilai-nilai moral yang berlaku di lingkungan masyarakat tempatnya bekerja
    • Terhadap segala persamaan ataupun perbedaan yang ada, ilmuwan psikologi dan psikolog harus mampu bersikap netral, baik dalam sikap maupun cara kerjanya
    • Mengembangkan sikap terbuka terhadap perbedaan dan selalu mengikuti perkembangan masyarakat
  • Penyalahgunaan Pengaruh Keahlian Psikologi
    • Wajib mengembangkan sikap berhati-hati karena dalam melakukan penilaian, tindakan ilmiah dan profesionalnya, ilmuwan psikologi dan psikolog dapat mempengaruhi kehidupan orang lain
    • Citra Profesi Psikologi
      • Menyadari bahwa (secara langsung ataupun tidak) perilakunya dapat mempengaruhi citra ilmuwan psikologi, psikolog dan profesi psikologi secara umum

 

Belajar Psikodrama di Yogyakarta : Kenali Diri Optimalkan Potensi

Featured

pelatihan psikodrama di kota jogja

pelatihan psikodrama di kota jogja

 

Adalah Angkatan 91 Psikologi Gadjah Mada, berniat untuk berbagi, atas nama Kenangan yang Mesra. Diawali dengan adanya Rumah yang dapat digunakan untuk ngobrol, bercanda, dan tempat tujuan siapa saja Angkatan 91 Psikologi UGM, yang “pulang” ke jogya.

Agar rumah tersebut berfungsi maka perlu aktivitas yang berkelanjutan.

Maka diputuskan mengadakan pelatihan berdasar Psikodrama di rumah jl Sulawesi, Sinduadi, Sleman, Yogyakarta, milik bapak Endro Pranowo. Dengan melibatkan karyawan Gendhis Bag, mulailah belajar Psikodrama mengangkat tema “Kenali Diri Optimalkan Potensi”

 

Pelaksanaan pada tanggal 15 Agustus 2013, dengan peserta 10 orang.

Bagaimanapun ide yang baik, secepatnya diwujudkan dalam tindakan.

Tujuan sudah dicanangkan, langkah sudah diayunkan. Tujuan yang baik, semoga berjalan dengan baik dan memberikan hasil yang baik. Amien

Anda ingin mendapatkan pelatihan psikodrama atau  butuh informasi lebih lanjut mengenai pelatihan psikodrama seperti ini? silakan hubungi Mas Retmono Adi

 

Menurut kamus besar bahsa indonesia psi·ko·dra·ma n Psi metode dl penyembuhan penyakit jiwa dng meminta sekelompok pasien memainkan drama dng mereka sendiri sbg peran utamanya

Menurut Bennet (Romlah 2001:99), Psikodrama merupakan bagian dari permainan peranan (role playing). Bennet membagi permainan peranan menjadi dua macam yaitu sosiodrama dan psikodrama. Sosiodrama adalah permainan peranan yang ditujukan untuk memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia.

Psikodrama merupakan dramatisasi dari persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gangguan serius dalam kesehatan mental para partisipan, sehingga tujuannya ialah perombakan dalam struktur kepribadian seseorang. Psikodrama bersifat kegiatan terapi dan ditangani oleh seorang ahli psikoterapi (WS. Winkel, :571).

Psikodrama biasanya dipentaskan secara spontan tanpa skenario yang telah ditetapkan.(KBS World, 2009)

TEKNIK-TEKNIK DALAM PSIKODRAMA
Sebenarnya banyak teknik psikodrama, tetapi berikut ini hanya beberapa teknik utama yang dikemukakan sebagai berikut :
CREATIVE IMAGERY, teknik pemanasan untuk mengundang peserta psikodrama membayangkan babak dan objek yang menyenangkan dan netral, ide teknik ini membantu peserta menjadi lebih spontan.
THE MAGIC SHOP, teknik pemanasan yang berguna bagi protagonist yang ragu tentang nilai mereka dan tujuan.
SCULPTING, konseli kelompok menggunakan metode nonverbal untuk menyusun orang lain dalam kelompok konfigurasi seperti kelompok orang yang signifikan yang sesuai dengan orang-orang dalam keluarganya dan sebagainya. Penyusunan ini melibatkan postur tubuh dan membantu konseli melihat, mengetahui persepsi mereka tentang orang lain yang signifikan dengan cara yang lebih dinamis.
TEKNIK BERBICARA, teknik ini melibatkan protagonist memberi suatu monolog tentang situasinya.
MONODRAMA (AUTODRAMA), bentuk inti terapi gestalt. Dalam teknik ini, protagonist memainkan semua bagian tindakan yang jelas; tidak terdapat ego pembantu yang digunakan.
THE DOUBLE AND MULTIPLE DOUBLE TECHNIQUES, suatu teknik yang terdiri atas pengambilan peran aktor dari ego protagonist dan membantu protagonist mengekspresikan perasaan sesungguhnya secara lebih jelas. Jika protagonist memiliki perasaan ragu, maka teknik multiple double dapat digunakan.
THE ROLE REVERSALS, teknik dimana protagonist memindahkan peran dengan orang lain pada tahap dan memainkan bagian orang itu; konseli kelompok berbuat bertentangan dengan apa yang mereka rasakan.
TEKNIK CERMIN, protagonist memperhatikan dari luar tahap sementara seorang ego pembantu mencerminkan kata-kata, mimik, dan postur protagonist. Teknik ini dipakai pada fase tindakan untuk membantu protagonist melihat dirinya secara lebih akurat

 

Metode Penelitian Psikologi : metode ilmiah

Featured

metodologi riset

metodologi riset

Metode ilmiah adalah suatu pendekatan yang digunakan ahli psikologi untuk memahami sesuatu  yang belum diketahui. Metode ini terdiri dari tiga langkah :

  1. Mengidentifikasi permasalahan yang akan diteliti
  2. Membuat rumusan penjelasan
  3. Melalukan riset yang dirancang untuk mendukung penjelasan

Penelitian dalam psikologi dipandu oleh teori dan hipotesis.

Teori adalah penjelasan yang luas dan prediksi tentang fenomena yang akan diteliti

Hipotesis adalah derivasi / turunan teori yang merupakan prediksi yang dinyatakan sedemikian rupa  yang memungkinkan untuk diuji.

Hipotesis agar dapat diuji harus dioperasionalkan, yaitu proses menterjemahkan hipotesis ke dalam prosedur yang spesifik dan dapat diuji sehingga dapat diukur dan diamati.

 Metode – Metode Yang Dipakai :

  1. Riset Arsip : menggunakan rekaman yang ada, misal koran lama, dokumen-dokumen lain untuk menguji hipotesis
  2. Observasi naturalistik : peneliti hanya bertindak sebagai pengamat  tanpa melakukan  perubahan dalam situasi yang  terjadi secara alamiah.
  3. Riset survey : subjek  diberi serangkaian pertanyaan tentang tingkah laku, sikap dan pikiran mereka.
  4. Studi kasus : interview yang mendalam dan penelitian terhadap satu/sekelp  orang.

Metode – metode di atas bersandar pada teknik korelasi yang menggambarkan hubungan antar berbagai faktor tetapi tidak dapat menentukan hubungan sebab – akibat.

  1. Metode Eksperimen : meneliti hubungan antar faktor dengan menghasilkan suatu perubahan – yang  disebut dengan manipulasi – pada    satu faktor dan mengamati perubahan pada faktor lain.

Faktor yang berubah disebut variabel – tingkah laku, peristiwa atau orang yang dapat berubah atau bervariasi, sedemikian rupa.

Hipotesis yang akan diuji harus dioperasionalkan yaitu suatu proses menterjemahkan konsep-konsep yang abstrak ke dalam prosedur aktual yang digunakan dalam penelitian.

Dalam eksperimen , sekurang-kurangnya ada dua kelompok  yang harus dibandingkan untuk meneliti hubungan S – A :

1)      kelompok eksperimen yaitu kelompok yang  menerima treatment (prosedur khusus yang dirancang oleh eksperimenter)

2)      kelompok kontrol yaitu kelompok yang tidak menerima treatment.

Ada juga kelompok eksperimen ganda yaitu beberapa kelompok diberi treatment yang berbeda-beda lalu masing-masing kelompok dibandingkan.

Variabel yang dimanipulasi oleh eksperimenter disebut variabel independen / bebas, sedang variabel yang  akan diukur dan diharapkan berubah sebagai akibat dari manipulasi variabel independen disebut dengan variabel dependen / terikat / tergantung.

Ahli psikologi menggunakan prosedur statistik untuk menentukan hasil eksperimen signifikan ( bermakna ) atau tidak. Nmn demikian signifikansi statistik tidak menjamin hasil tersebut memiliki arti penting dalam dunia nyata.

Biro Konsultasi Psikologi

biro yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa psikologi.
Fokus dari biro ini adalah pengembangan sumber daya manusia, baik dalam dunia pendidikan, sosial kemasyarakatan, maupun untuk lingkungan organisasi atau perusahaan.

VISI
Smart Insight Psychology merupakan lembaga konsultasi psikologi yang berusaha untuk menciptakan individu yang berkualitas dalam segala hal sehingga mampu mengembangkan diri secara optimal di masyarakat.

MISI
1. Smart Insight Psychology berusaha membantu meningkatkan
kualitas manusia melalui pelatihan yang bermutu.
2. Smart Insight Psychology membantu para siswa menentukan
jurusan pendidikan yang tepat dengan penelusuran tes minat dan
bakat.
3. Smart Insight Psychology berusaha ikut serta menggali dan
mengembangkan potensi setiap anak agar anak dapat tumbuh
secara sehat, baik fisik maupun psikisnya.
4. Smart Insght Psychology berusaha membantu perusahaan
atau organisasi dalam memilih pegawai yang cakap dan trampil
melalui system seleksi, asessmen serta system promosi yang sesuai,
sehingga memperoleh tenaga yang tepat sesuai dengan bidangnya
(the right man and the right place).
5. Smart Insght Psychology senantiasa membantu serta
menyediakan dukungan psikologis dan sosial bagi masyarakat
untuk mengatasi masalah yang dihadapi baik masalah pribadi,
keluarga maupun pekerjaan agar dapat kembali bekerja secara
maksimal.
6. Smart Insight Psychology selalu mengutamakan kualitas
dalam segala hal, sehingga tercipta professionalisme dalam
bekerja dan menjalin hubungan dengan semua pihak.

Smart Insight Psychology bekerja dengan mengadakan mengadakan pelatihan maupun workshop yang berkaitan dengan ilmu psikologi. Di samping itu, kami juga menerima layanan konsultasi bagi anak, remaja, dan dewasa mulai dari masalah dalam kegiatan belajar di sekolah hingga masalah-masalah pribadi.

Biro konsultasi Psikologi, Smart Insight Psychology hingga saat ini memiliki fokus layanan antara lain :
1. Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui Training,
Pelatihan, Workshop maupun seminar bagi Perusahaan
maupun Organisasi
2. Jasa Psikologi / Konsultasi bagi Anak dan Remaja
3. Jasa Psikologi / Konsultasi bagi Dewasa

Secara umum 3 hal di atas merupakan layanan yang kami sediakan bagi konsumsi masyarakat luas, dunia pendidikan, maupun organisasi / perusahaan.

jogjatranslate.com jasatranslate.com copycdjogja.com duplikatcd.com alatinterpreter.us alat-interpreter.com sewaalatinterpreterjogja.com rentalalatinterpreterjogja.com persewaanalatinterpreter.com jasainterpreter.us sewaalatinterpretersurabaya.com sewaalatinterpretersemarang.com interpreterjogja.com

Agen penjualan tiket online

Bisnis tiket online

Bisnis tiket online

Sekarang mau beli apa apa bisa online. Salah satunya beli tiket secara online. Berikut ini contoh email iklan yang menawarkan bisnis penjualan tiket secara online.

PELUANG USAHA BISNIS TIKET PESAWAT

Keuntungan Menjadi Agen Penjualan Tiket Kami

Kami selalu terbuka untuk memberikan Informasi baik keuntungan dan komisi sebelum Anda bergabung dengan kami, hal tersebut di karenakan kami tidak mau membebani Anda yang menginginkan penghasilan dari bisnis penjualan tiket pesawat, jika Anda tertarik, silahkan melakukan langkah selanjutnya agar segera di aktifasi, marilah bersama-sama saling mambantu dan saling mengisi, kami hanya ingin mengajak Anda untuk berbisnis secara tanggung jawab dan profesional, maka dari itu kami berikan gambaran sistem keagenan kami seperti di bawah ini:

TANPA DEPOSIT MENGENDAP, TANPA MARK UP HARGA, MUDAH DAN MURAH

Berikut beberapa Keuntungannya :
1. Bisa masuk ke sistem web maskapai
2. Bisa Cek Harga Sendiri dan Mencari Tiket Promo Sendiri
3. Bisa Cek Seat Sendiri
4. Bisa Booking Sendiri
5. Sistem issued cepat dilakukan via web
6. Bisa Print Tiket Sendiri via web portal Maskapai
7. Anda Bisa mark up harga atau menjual dengan harga normal sudah untung
8. Bisa menjual Paket Wisata yang kami Punya (terutama paket wisata Tawa Tengah)
9. Bisa Menjual Voucer Hotel Seluruh Indonesia dan Internasional
10. Mendapat web sites replika agar anda bisa mencari sponsor
11. Mendapat Bonus Reseller / Bonus Sponsor 50% dari pembayaran member aktif
12. Konsultas dan Bimbingan online via YM dan Email pada jam Kerja Efektif

Perhitungan dan Komisi Penjualan Tiket
Jumlah pembayaran yang di bayarkan kepada kami adalah jumlah pembayaran NTA + Biaya Admin, jadi besarnya komisi bervariasi, tergantung tiket yang anda beli, promo atau tidak

Ketentuan NTA :
1. Lion Air dan Wings Air, NTA Muncul Setelah Booking
2. Batik Air, NTA Muncul Setelah Booking
3. Sriwijaya Air, NTSA/NTA ada Pada Saat Booking
4. Garuda Indonesia, Total Bayar Agen/NTA ada Pada Saat Booking
5. Mandala Air / Tiger Air, NTA Adalah harga Tiket
6. AirAsia, NTA = Total Tiket – ( Basic Fare x 3%), Promo NTA adalah harga total tiket
7. Merpati, NTA = Total Tiket – ( Basic Fare x 4% )
8. Citilink, NTA = Total Tiket – ( Basic Fare x 4% )
9. TransNusa, Trigana, SKY Air, XpresAir, dan IndonesiaAir, NTA = Total Tiket – ( Basic Fare x 4% )
10. Kalstar, NTA adalah harga tiket
11. Kereta Api, NTA adalah harga tiket
12. Tiket Internasional, NTA adalah harga tiket

Ketentuan Biaya Admin :
1. Lion Air, Wings Air, Batik Air, Sriwijaya Air, Mandala Air / Tiger Air, Merpati, Citilink, TransNusa, XpresAir, SKY Air, KalstarRp. 5.000,-/pax/rute
2. Garuda Indonesia dan Air Asia, Rp. 7.000,-/pax/rute
3. Trigana, dan IndonesiaAir, Rp. 10.000,-/pax/rute
4. Kereta Api, Rp. 4.500,-/ Kode BOOKING, (MASIH PROMO)
5. Hotel, NON Biaya Admin
6. Tiket Internasional, Biaya Admin Rp. 20.000,- / pax / rute

Contoh Perhitungan Komisi dan Pembayaran Tiket
Anda membeli Tiket Jakarta-Semarang, untuk 1 penumpang dengan harga Rp. 650.000, dan harga NTA adalah Rp.617.500, maka karena Anda membeli 1 tiket untuk 1 penumpang dan 1 route maka, uang yg di bayarkan ke kami adalah Rp. 617.500 + Rp.10.000 = Rp. 627.500 (NTA + Admin = Tranfer Anda ke kami) , jadi berdasar perhitungan tadi Anda mendapat profit Rp.22.500,-

Anda membeli Tiket Jakarta-Semarang, untuk 2 penumpang dengan harga Rp. 1.300.000, dan harga NTA adalah Rp.1.235.000, maka karena Anda membeli 1 tiket untuk 2 penumpang dan 1 route maka, uang yg di bayarkan ke kami adalah Rp. 1.235.000 + Rp.20.000 = Rp. 1.255.000 (NTA + Admin = Tranfer Anda ke kami) , jadi berdasar perhitungan tadi Anda mendapat profit Rp.45.000,-

Anda membeli Tiket Semarang-Medan, transit Jakarta, untuk 1 penumpang dengan harga Rp. 1.300.000, dan harga NTA adalah Rp.1.235.000, maka karena Anda membeli 1 tiket untuk 1 penumpang dan 2 route maka, uang yg di bayarkan ke kami adalah Rp. 1.235.000 + Rp.20.000 = Rp. 1.255.000 (NTA + Admin = Tranfer Anda ke kami) , jadi berdasar perhitungan tadi Anda mendapat profit Rp.45.000,-

Jika anda kurang paham tentang pembayaran dan komisi, silahkan konsultasi via email atau YM

Maskapai yang dapat Anda Jual
1. Lion Air
2. Wing Air
3. Batik Air
4. Garuda Indonesia
5. Sriwijaya Air
6. Merpati Air
7. Air Aisa
8. Mandala Air
9. Tiger Air
10. Kalstar
11. TransNusa
12. Indonesia Air
13. Trigana Air
14. Express Air
15. Citilink
16. Sky Air
dan Semua Maskapai Internasional

Laba Simulasi Usaha Tiket Pesawat :
Modal, membayar Biaya Mitra Agent = Rp. 300.000,- ( untuk selamanya )
Komisi Penjualan Tiket dengan perhitungan dalam 1 hari Anda mampu menjual 5 tiket :
Pemasukan
Komisi Rata-Rata Rp. 15.000.- x 5 tiket x 25 hari = Rp. 1.875.000/bulan
Pengeluaran
Pulsa untuk sms dll Rp. 100.000, Internet Rp. 200.000 dan Lain-Lain Rp. 100.000 Total = 400.000
Profite per Bulan Rp. 1.875.000 dikurangi Rp. 400.000 = Rp. 1.475.000

Nahh, sekarang sedikit mengerti kan berapa bulan modal Anda untuk kembali?
Simulasi di atas adalah jika Anda mampu menjual 5 tiket/hari, apakah Anda bisa? Kami tidak pernah memberikan gambaran yang terlalu muluk-muluk, untuk kemampuan Anda, Anda sendirilah yang dapat mengukur.

jogjatranslate.com jasatranslate.com copycdjogja.com duplikatcd.com alatinterpreter.us alat-interpreter.com sewaalatinterpreterjogja.com rentalalatinterpreterjogja.com persewaanalatinterpreter.com jasainterpreter.us sewaalatinterpretersurabaya.com sewaalatinterpretersemarang.com interpreterjogja.com

Metode Belajar : Kumon

Metode Kumon

Metode Kumon

KUMON adalah sistem belajar yang memberikan program belajar secara perseorangan sesuai dengan kemampuan masing-masing, yang memungkinkan anak menggali potensi dirinya dan mengembangkan kemampuannya secara maksimal. Melalui pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris, KUMON tidak hanya membentuk kemampuan akademik saja, akan tetapi juga membentuk karakter yang positif dan “life-skills” (ketrampilan hidup) yang akan berguna bagi masa depan anak.

KUMON dapat diikuti oleh anak prasekolah, siswa SD, siswa SMP dan siswa SMA, dengan segala tingkat kemampuan. Sistem belajar KUMON didukung oleh materi bahan pelajaran yang tersusun secara sistematis dan ‘step by step’ sehingga tanpa terasa pelajaran anak dapat maju ke bagian yang lebih tinggi.

Kumon dikembangkan pertama kali di tahun 1954 oleh seorang guru Matematika SMA Jepang, Toru Kumon, yang awalnya ingin membantu pelajaran Matematika anaknya. Kini Kumon telah menyebar di 45 negara di dunia dengan jumlah siswa lebih dari 4.13 juta anak.

KEISTIMEWAAN KUMON

Di KUMON, anak belajar dengan cara: membaca petunjuk dan contoh soal pada lembar kerja, berpikir sendiri, lalu mengerjakan soal dengan kemampuannya sendiri. Sistem belajar, bahan pelajaran, dan pembibingan KUMON dibuat sedemikian rupa agar anak dapat belajar secara mandiri.

Sesuai Kemampuan Masing-masing Anak

Di KUMON pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak, bukan berdasarkan tingkatan kelas atau usia anak. Agar anak dapat mengerjakan pelajarannya dengan lancar secara mandiri, mereka perlu diberikan pelajaran yang “tepat”. Dengan sistem belajar ini, kemapuan setiap anak dapat berkembang secara maksimal.

Bahan Pelajaran Small Steps

Rangkaian soal-soal pada lembar kerja KUMON tersusun secara “small steps” sehingga dapat leluasa disesuaikan dengan kemampuan belajar dan kemajuan anak. Disusun sedemikian rupa agar dapat membentuk kemampuan dasar yang mantap dan memungkinkan anak mengerjakan level yang lebih tinggi dari tingkatan kelasnya dengan kemampuannya sendiri.

Dukungan Pembimbing untuk Setiap Individu Anak

Pembimbingan di KUMON bertujuan agar anak maju ke pelajaran yang lebih tinggi dengan kemampuannya sendiri. Karena itu, pembimbing selalu memperhatikan dan mengamati satu per satu anak dengan baik, lalu memberikan lembar kerja dan pendekatan yang sesuai dengan kemampuan dan keadaan setiap individu anak.

Metode belajar Kumon yang terkenal dan mendunia saat ini merupakan hasil cinta seorang ayah terhadap anaknya setengah abad yang lalu. Semuanya dimulai dari pengalaman biasa. Suatu hari, seorang anak laki-laki yang duduk di kelas 2 SD pulang dari sekolahnya dengan membawa hasil tes matematika di sakunya. Kemudian Ibunya menemukan hasil tes tersebut dan melihat nilai yang jelek.

Ayah anak tesebut, Toru Kumon, adalah seorang guru matematika yang mengajarkan matematika dengan cara yang tidak umum dilakukan di masyarakat. Pendekatan yang digunakan oleh Toru Kumon adalah fokus pada anak, dan ternyata hal inilah yang akhirnya menjadikan metode belajar Kumon revolusioner 50 tahun kemudian.

Setiap malam Toru Kumon membuat soal-soal matematika yang harus dikerjakan selama 30 menit oleh anaknya di siang hari. Toru Kumon berusaha untuk menyesuaikan soal-soal yang dibuatnya dengan kemampuan berfikir anaknya sehingga anaknya dapat dengan mudah mempelajari konsep.

Toru Kumon menyaksikan anaknya dapat mempelajari sendiri konsep demi konsep secara efektif. Dengan cepat nilai anaknya meningkat hingga dapat melampaui kurikulum di sekolahnya. Hal ini membuktikan kepada Toru Kumon bahwa jika pendidikan benar-benar sinergis dengan kemampuan setiap anak, maka mereka akan mampu belajar dengan sangat baik melebihi harapan dan kurikulum sekolah. Selanjutnya, hal ini akan membuat mereka merasa nyaman dengan sekolah, membuka masa depan dan menguatkan karakter mereka.

Karena dorongan dan permintaan dari banyak orangtua, akhirnya Toru Kumon memutuskan membuka kelas Kumon Matematika untuk anak-anak yang tinggal di sekitar rumahnya. Dia menyaksikan sendiri bahwa anak-anak merespon lembar kerjanya dan metode belajar Kumon dengan antusias. Hal ini mendorongnya untuk menolong sebanyak mungkin anak untuk menggali potensi mereka.

Saat ini, banyak siswa yang belajar matematika dan bahasa dengan lembar kerja metode Kumon di 45 negara di dunia. Setiap jam dalam sehari, anak-anak dimana saja sedang mengerjakan lembar kerja Kumon untuk menggali potensi dalam diri mereka melalui belajar sendiri (self learning).

Kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh keluarga yang telah belajar dengan metode Kumon 50 tahun yang lalu. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada jutaan anak, orangtua mereka, dan semua pembimbing yang telah membuka kelas Kumon di masyarakat.

Kami semua mendedikasikan pembelajaran dan perkembangan kepada siswa-siswa kami. Kami berharap setiap anak dapat mencapai tujuan dan mimpi besar mereka di masa yang akan datang. Kami akan tetap malanjutkan komitmen kami untuk melayani masyarakat melalui pengembangan setiap anak.

Keluarga besar Kumon akan terus belajar, berfikir dan berkembang sebagai pendidik, selalu menekankan rasa tanggungjawab kepada setiap anak dan masa depan mereka. Kami akan terus berusaha menaggali potensi setiap anak di dunia untuk 50 tahun ke depan.

sumber: id.kumonglobal.com

 

jogjatranslate.com jasatranslate.com copycdjogja.com duplikatcd.com alatinterpreter.us alat-interpreter.com sewaalatinterpreterjogja.com rentalalatinterpreterjogja.com persewaanalatinterpreter.com jasainterpreter.us sewaalatinterpretersurabaya.com sewaalatinterpretersemarang.com interpreterjogja.com

SIFAT ESENSIAL DAN TUJUAN PROSES REHABILITASI

rehabilitasi

TB

Menurut Peterson (1958)  rehabilitasi adalah restorasi (perbaikan) orang yang menderita disabilitas untuk dapat berguna sesuai dengan kemampuannya. Restorasi dapat mencakup fisik, mental sosial, vokasional dan ekonomi. Tujuannya adalah  membantu individu untuk dapat mandiri, (membantu individu membuat dirinya mandiri). Dalam usaha restorasi ini, dapat dilakukan dengan cara  membantu individu untuk menentukan jalan hidup yang paling baik  bagi dirinya. Hal ini sesuai dengan tujuan konseling non direktif. Akan tetapi sering cara ini tidak digunakan dalam rehabilitasi. Banyak pekerja rehabilitasi mengambil sikap bahwa klien harus direhabilitasi secepat mungkin, sebelum mendengarkan keputusan dari klien.

Jika para klien suda mengembangkan sikap mandiri, mereka dapat menangani perubahan-perubahan yang datang, dengan lebih baik, dan dapat  menangani problem di dalam kehidupannya. Apabila mereka berpartisipasi aktif dan penuh dalam pemecahan masalahnya, mereka akan merasa bahwa tujuan itu menarik.dan sesuai. Kemandirian sebagai tujuan rehabilitasi  dapat dicapai dengan cara mempraktekan mengambil tanggungjawab bagi diri sendiri. Ada 4 aspek yang memungkinkan pengembangan tanggungjawab dan kemandirian pada klien.

Yang pertama, sikap pekerja rehabilitasi, yaitu mengakui klien sebagai manusia, atau person yang mempunyai kapasitas untuk membantu diri sendiri jika diberi kesempatan. Mungkin ia kurang percaya diri, kehilangan  respek terhadap dirinya sendiri. Tetapi permulaan dari restorasi respek diri adalah apabila dia mengalami respek dari orang lain. Untuk mengembangkan respek diri ini dapat dengan cara memperlakukan klien sebagai individu yang berharga untuk di hargai, orang yang perlu di perhitungkan, yang ide-idenya, perasaannya dan keinginannya adalah penting

Aspek kedua, Klien yang cacat harus di perlakukan sebagai individu yang unik, jangan menganggap kecacatannya sebagai suatu kasus. Pekerja rehabilitasi harus lebih  memfokus pada kekuatan-kekuatanya dan kemampuannya untuk mandiri bukan pada kekurangan dan ketidakmampuannya atau ketergantungannya.

Aspek ketiga, pekerja rehabilitasi berusaha untuk sunggu-sunggu mengerti klien, memberi kepercayaan  terhadap klien untuk mengambil tanggungjawab bagi dirinya sendiri, dalam memecahkan problem-problemnya sesuai kapasitasnya, dan mengembangkan sendiri solusinya. Pekerja rehabilitasi   konsentrasi pada sikap, perasaan, dan persepsi klien.

Aspek keempat, Pekerja rehabilitasi harus mengakui adanya  perbedaan individu pada klien. Setiap klien berbeda, walaupun dengan disebilitas yang sama belum tentu mempunyai kesamaan dalam penyesuaiannya. Agar dapat sukses dalam rehabilitasi, pekerja rehabilitasi mengembangkan dalam diri klien pengertian diri sendiri, sehingga pilihannya sesuai bagi dirinya.

Rehabilitasi menuju kemandirian membutuhkan  waktu dan kesabaran.  Karena klien harus diberi kesempatan untuk mengerjakannya sendiri, agar ia belajar. Karena rehabilitasi adalah proses belajar.

jogjatranslate.com jasatranslate.com copycdjogja.com duplikatcd.com alatinterpreter.us alat-interpreter.com sewaalatinterpreterjogja.com rentalalatinterpreterjogja.com persewaanalatinterpreter.com jasainterpreter.us sewaalatinterpretersurabaya.com sewaalatinterpretersemarang.com interpreterjogja.com

Pendidikan Anak Usia Dini PAUD

PAUD pendidikan usia dini

PAUD

Salah satu fase penting dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia adalah masa kanak-kanak.  Masa anak-anak, khususnya 5 tahun pertama dan masa sekolah merupakan suatu masa dimana terjadi banyak perubahan baik secara fisik, kognisi maupun sosialnya. Biasanya oleh para ahli, masa ini disebut sebagai masa GOLDEN AGE atau masa keemasan. Masa ini menjadi penting karena seluruh proses pemasakan terjadi pada masa ini.  Secara fisik, perkembangan baik motorik halus dan kasarnya mulai berkembang dan mengalami pemasakan. Secara kognisi, pada tahun-tahun ini otak anak sedang “dirajut” menjadi sebuah struktur otak yang lengkap. Seperti kita ketahui bahwa otak ini memiliki domain atau bagian untuk setiap kecerdasan. Andaikata ketika otak sedang merajut otak dengan fungsi kognitif tertentu (berbahasa), mengalami kerusakan karena salah asuh, akan mempengaruhi perkembangan anak dalam hal kemampuannya berkomunikasi secara verbal.  Secara sosial, anak sedang mengembangkan pola sosialisasinya. Berhubungan dengan dunia luar, anak belajar berbagi, anak mulai belajar ada orang lain disekitarnya, ketika pada tahap seperti ini anak mengalami salah pengasuhan, akan mengganggu proses sosialisasinya nanti. Bisa-bisa anak menjadi apatis (tidak peka terhadap perasaan orang lain), mau menang sendiri, tidak bisa bekerja sama, tidak bisa mengelola emosinya dengan baik dan keadaan ini biasanya memberi dampak pada perkembangan jangka panjang, yaitu pada masa remaja atau dewasa nanti.

Studi mengenai pentingnya masa ini sudah banyak dilakukan. Di Indonesia sendiri ditandai dengan tumbuhnya banyak lembaga yang menangani PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD). Kepentingan ini berkaitan dengan pentingnya masa kanak-kanak dan pengaruhnya terhadap masa selanjutnya.  Beberapa penelitian telah dihasilkan berkaitan dengan apa yang terjadi pada tahun pertama dari kehidupan mempunyai signifikansi yang berlangsung lama pada masa pertumbuhan anak-anak dan kehidupan orang dewasa (Daniel Fung, 2002).

Take home test ini merupakan salah satu bentuk evaluasi ilmiah yang diberikan dalam rangka memahami masa kanak-kanak ini, khususnya PAUD.  Berikut adalah jawaban atas pertanyaan kritis yang diberikan dalam rangka memahami dan mendalami PAUD :

  1. Pembahasan mengenai perkembangan manusia tidak terlepas dari kontroversi-kontroversi tentang bagaimana proses perkembangan itu terjadi, al :
    1. Nature vs nurture (bakat vs pengasuhan) :

Teori nature menyebutkan bahwa sifat-sifat bahkan perilaku seseorang bersifat genetis, dalam artian apa yang ada dalam diri manusia merupakan bawaan. Jika berkaitan dengan gen, selalu berkaitan dengan sesuatu yang tidak bisa diubah atau akan menetap.  Misalnya seorang ayah yang memiliki emosi yang meledak-ledak, akan  menurun kepada anaknya. Gen pemarah ayah menurun pada anak.

Teori ini kemudian dipatahkan oleh teori lain yang mengatakan bahwa manusia berkembang dibawah pengaruh pengasuhan (nurture). Pengasuhan ini berkaitan dengan lingkungan. Sehingga ini berarti apa yang terjadi dan ditunjukkan seseorang (anak) merupakan pembentukan lingkungan. Misalnya, ayah yang pemarah tadi belum tentu akan mempunyai anak yang pemarah. Tetapi ia akan jadi pemarah karena melihat dan belajar karena didik dalam lingkungan yang pemarah. Jadi tidak bersifat menurun secara genetis tetapi penekananya pada proses belajar anak.

  1. Kontinuitas vs diskontinuitas :

Kontinuitas menunjuk pada pandangan bahwa perkembangan meliputi perubahan yang berangsur-angsur, sedikit demi sedikit, dari pembuahan sampai kematian. Ada tahap-tahap tetap yang harus dilalui seperti konsepsi –- zigot — janin — bayi — anak — remaja — dewasa.  Apa yang terjadi pada anak saat ini merupakan akumulasi dari apa yang ia pelajari pada taap sebelumnya. Jadi tahap saat ini bukan tahap yang terjadi begitu saja. Misalnya kata pertama seorang anak, tidak terjadi tiba-tiba, tetapi merupakan hasil dari pembelajaran anak berbulan-bulan.

Diskontinuitas merupakan pandangan perkembangan yang meliputi adanya tahap-tahap yang khas atau berbeda dalam masa hidup.  Teori diskontinuitas ini menunjukkan suatu urutan tahapan yang bersifat kualitatif daripada bersifat kuantitatif. Misalnya seorang anak yang beralih dari kemampuan berpikir pra operasional ke berpikir abstrak.  Ada perubahan secara kualitatif, seolah-olah terputus dari perkembangan, tidak secara kuantitatif.

  1. Organismik vs mekanistik :
  1. Memahami perkembangan tidak terlepas dari metode penelitian yang dipakai. Dalam ilmu perkembangan ada beberapa bentuk penelitian yang dipakai seperti penelitian longitudinal, penelitian cross sectional, eksperimen, laboratorium, studi kasus. Metode-metode ini dipakai untuk mengukur perilaku anak secara ilmiah. Ada beberapa yang hal mempengaruhi reliabilitas pengukuran pada penelitian perkembangan.

Reliabilitas biasanya dipahami sebagai keajegan. Keajegan ini berkaitan dengan kondisi yang stabil. Dalam arti ketika pengukuran yang sudah ditetapkan untuk mengukur suatu perilaku anak di pakai untuk mengukur perilaku yang sama ditempat lain, hasilnya selalu stabil atau hampir sama. Bahkan bisa dikatakan hasilnya bisa di generalisasikan

Hal-hal yang bisa melemahkan realibilitas pengukuran adalah :

  • Kondisi anak yang tidak bisa diramalkan seperti cepat bosan, tidak betah dengan satu kondisi, tidak nyaman dengan kehadiran orang asing. Sehingga bisa saja hari ini anak hadir, pengukuran kedua pada esok hari atau jam lain, anak tidak mau hadir.
  • Kondisi anak dalam hal kesehatan. Anak yang tidak sehat tidak bisa mengikuti prosedur pengukuran dengan baik.
  • Kehadiran orangtua atau pengasuh menemani anak ketika pengukuran berlangsung. Keaslian sikap danperilaku anak akan mengalami bias.
  • Kondisi lingkungan (tampat pengukuran berlangsung) yang tidak mendukung. Misalnya ingin mengukur peningkatan kognisi dengan bermain konstruksi. Alat ukur kognisi yang diberikan pada anak dikota bisa berbeda hasilnya dengan anak didesa karena ketika pemberian permainan, kondisi tempat bermain didesa ribut dengan suara binatang dan diluar ruangan. Perhatian anak terganggu.
  1. Kesalahan type I dan Type II.  2 type kesalahan ini berkaitan dengan bagaimana menarik kesimpulan validitas secra statistik.  Ada 2 jenis pengambilan keputusan, yaitu apakah hipotesis bisa diterima atau ditolak.

Kesalahan type I terjadi apabila hipotesis I ditolak (dengan angka probabilitas sama dengan a–dimana a dipakai sebagai kritik untuk menolak hipotesis null)

Kesalahan tipe II terjadi apabila hipotesis ke 2, yang tidak diharapkan diterima (angka probabilitas sama dengan b, dimana  [1- b] = power).

  1. Darwin juga menulis buku yang berkaitan dengan perkembangan emosi. Salah satu buku yang ditulisnya mempermasalahkan apakah emosi itu merupakan bawaan ataukah dipelajari. Bagi Darwin, emosi merupakan sesuatu yang bersifat herediter, dibawa sejak lahir oleh seorang anak. Menurutnya kemampuan seseorang mengkomunikasikan emosinya lewat ekspresi wajah merupakan bawaan/ innate.

Bagi penulis sendiri, pendapat Darwin ini tidak sepenuhnya. Ini berkaitan dengan ada beberapa emosi yang memang bersifat bawaan, misalnya tempramen. Dan sesuatu yang berkaitan dengan bawaan biasanya tidak bisa dirubah tetapi bisa diatur atau dikendalikan frekuensi nya. Tetapi jika ini berkaitan dengan pengungkapan emosi dengan ekspresi wajah, hal ini lebih cenderung pada proses pembelajaran.  Sejak lahir, bayi hanya mengenal emosi dasar seperti sakit (merasa tidak nyaman), diekspresikan dengan menangis; merasa nyaman diekspresikan dengan tidur tenang, tersnyum, tidak rewel. Perkembangan selebihnya lebih terpengaruh pada pola pembelajaran orangtuanya atau lingkungan (kebudayaan).  Misalnya, anak belajar mengekspresikan perasaan marahnya dengan perilaku agresif, biasanya dipelajari dari lingkungannya.

Ketika anak melakukan kesalahan kecil, orangtua memarahi dengan suara keras, melotot bahkan memukul dengan maksud anak tidak mengulang, tetapi justru anak belajar, ketika dia marah, saya harus mengekspresikan emosi marah saya dengan memukul, bersuara kasar seperti mama/ papa/ pengasuh.

Atau ketika anak merengek sesuatu kemudian dengan tidak sengaja melempar sesuatu ditangannya, tetapi orangtuanya tidak marah, anak belajar bahwa ketika ia membutuhkan sesuatu, merengek, membanting-banting barang dan ia tidak dimarahi malah diberi apa yang ia mau.

Penulis sendiri menyimpulkan bahwa ada pengaruh bawaan emosi yang bersifat temprament akan tetapi pengaruh lingkungan (dalam hal ini lingkungan keluarga) memiliki peran beras juga salam pembentukan atau proses regulasi emosi anak.

  1. Menurut Piaget, pelajaran perkalian dan pembagian diberikan guru bila anak paling tidak sudah berumur 7 tahun.

Piaget adalah tokoh perkembangan kognitif. Ada beberapa tahap kognisi yang digolongkan Piaget :

  • Tahap sensori motoris (1-2 tahun)
  • Tahap pra operasional (2-7 tahun)
  • Tahap konkret operasional
  • Tahap formal operasional

Sebelum anak berumur 7 tahun, anak masih sampai pada tahap berpikir pra operasional. Pada tahap ini anak masih dalam tahap mengembangkan kemampuan, al :

  • Anak suka bermain dengan simbol. Anak baru sampai pada tahap pemikiran simbolik. Anak mampu menggunakan simbol-simbol untuk mengintrepretasi benda yang ia ketahu atau kejadian yang ia alami. Ini bisa kita lihat dari kegiatan anak bermaian. Umumnya mereka melakukan permainan yang bersifat fantasi, bermain drama dengan meniru perilaku orang dewasa, menggambar dan penggunaan bahasa anak ketika bermain.
  • Anak usia 6 tahun kebawah masih mengalami kesukaran dalam klafisikasi, pengambilan keputusan, menggunakan konsep angka, usia dan konversi.
  • Usia 5-6 tahun, anak masih mengembangkan cara berpikir yang tranduktif, yaitu mengambil kesimpulan dari hal khusus.
  • Anak usia pra sekolah sudah bisa memahami konsep benda-benda yang kongkret, tetapi belum bisa untuk memahami hal-hal yang bersifat abstrak seperti umur dan angka. Pemahaman angka mereka masih terbatas pada penjumlahan dan pengurangan dengan bantuan benda-benda konkret seperi batu, kuhttp://sewaalatinterpretersemarang.comrsi, buah, permen.
  • Anak juga belum memahami ada tidaknya perubahan dalam ukuran jika terjadi perubahan bentuk

Dengan beberapa alasan diatas, bisa disimpulkan mengapa Piaget mengusulkan mengenai kapan sebaiknya anak diberi pengajaran perkalian dan pembagian.

jogjatranslate.com jasatranslate.com copycdjogja.com duplikatcd.com alatinterpreter.us alat-interpreter.com sewaalatinterpreterjogja.com rentalalatinterpreterjogja.com persewaanalatinterpreter.com jasainterpreter.us sewaalatinterpretersurabaya.com sewaalatinterpretersemarang.com interpreterjogja.com

MODEL PEMBELAJARAN KOGNITIF

Model Pembelajaran Kognitif

Model Pembelajaran Kognitif

MODEL PEMBELAJARAN KOGNITIF

Dikutip dari R.E. Slavin

Oleh Asmadi Alsa

            Discovery Learning (Jerome Bruner)

Satu model pembelajaran kognitif yang sangat berpengaruh adalah Discovery Learning yang dikemukakan oleh Jerome Bruner. Menurutnya peran guru  adalah menciptakan situasi belajar sedemikian rupa agar siswa dapat belajar berdasar apa yang mereka miliki, bukan memberikan paket informasi.

Bruner mengatakan bahwa mengajar bukan untuk menghasilkan perpustakaan hidup, tapi memberikan kesempatan pada siswa untuk berfikir, yang akan berguna bagi pengembangan diri. Untuk mendapatkan pengetahuan siswa harus dapat berperan sebagai sejarawan, yaitu mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan, karena menurut Bruner pengetahuan adalah suatu proses dan bukan suatu produk.

Bruner mengusulkan seharusnya siswa belajar dengan terlibat secara aktif dengan konsep-konsep atau prinsip-prinsip, dimana mereka harus didorong untuk memiliki pengalaman-pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan sendiri konsep dan prinsip-prinsip tersebut.

Discovery learning terjadi apabila siswa dihadapkan pada situasi-situasi problem yang menuntut mereka untuk menemukan konsep-konsep esensial dari suatu pelajaran. Bruner menyarankan belajar melalui discovery karena discovery mendukung active learning.  Menggunakan pendekatan active learning dalam mengajar berarti memberikan contoh atau problem dan kemudian meminta siswa untuk berfikir dan meneliti contoh-contoh atau problem-problem tersebut secara induktif dengan tujuan siswa dapat merumuskan satu prinsip umum.

Discovery learning banyak bisa diterapkan untuk kelompok sains. Misal: Siswa diminta mendorong masing-masing dari beberapa silinder yang berbeda besar dan beratnya, beberapa utuh dan beberapa berlubang pada jalan menurun. Melalui eksperimen semacam ini para siswa dapat menemukan prinsip-prinsip yang menentukan kecepatan lari silinder-silinder tersebut. Karena pendekatan ini dimulai dari hal yang spesifik menuju ke yang umum, maka ia memfasilitasi terjadinya penalaran secara induktif (berfikir sintesis).

Kondisi-kondisi apa saja yang dapat meningkatkan efektivitas discovery learning? (1) Siswa harus sudah memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk bisa menemukan suatu prinsip yang diajarkan. (2) Menyediakan model-model untuk  menuntun discovery, (3) Penggunaan kontras untuk merangsang konflik kognitif.

Beberapa keuntungan pemakaian Discovery Learning:

  1. Memunculkan rasa ingin tahu siswa
  2. Memotivasi mereka terus bekerja sampai mereka memperoleh jawaban
  3. Dapat mengajar keterampilan memecahkan masalah secara independen
  4. Dapat “memaksa” siswa untuk menganalisa dan “memanipulasi” informasi dan bukan sekedar menyerap informasi tersebut.

Kerja Bruner berpengaruh terhadap gerakan sekolah terbuka dan

Pendekatan humanistik dalam pendidikan.

  1. Events of Learning and Instruction (Robert Gagne)

Robert Gagne mengemukakan kondisi-kondisi yang harus dipenuhi

ketika belajar berlangsung, dan mengkaitkan kondisi-kondisi tersebut dengan peristiwa pengajaran, yaitu langkah-langkah dalam mentransmisi informasi. Formulasi Gagne menguraikan hubungan antara peristiwa belajar dan peristiwa pembelajaran.

1. Peristiwa-Peristiwa Belajar (Events of Learning).

Gagne menyebutkan bahwa kegiatan belajar melibatkan internal events, yang terjadi dalam fikiran siswa, dan external events, yang dapat dipengaruhi oleh guru, siswa, maupun karakteristik bahan pelajarannya. Kesemuanya meliputi delapan rangkaian peristiwa.

a. Motivation Phase

Siswa harus dimotivasi untuk belajar dengan menunjukkan harapan

bahwa belajar akan mendapat keuntungan atau mendapat rewards seperti memenuhi rasa ingin tahu, memiliki makna bagi siswa, atau membantu untuk mendapatkan nilai baik.

  1. b.    Apprehending Phase

Siswa harus memahami ciri-ciri esensial materi pelajaran ketika belajar

berlangsung. Ini berarti siswa harus memberikan atensi terhadap aspek-aspek yang relevan mengenai apa yang dikatakan guru atau tentang ide-ide utama dalam buku teks.

c. Acquisition Phase

Informasi yang diterima siswa tidak disimpan secara langsung dalam

memory, tapi terlebih dulu harus ditransformasikan kedalam bentuk yang berarti, yang berhubungan dengan informasi yang sudah ada dalam memory siswa. Siswa dapat membentuk mental image tentang informasi tersebut atau membentuk hubungan antara informasi tersebut dengan informasi lama yang sudah dimiliki siswa. Guru dapat mendorong proses ini dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk melihat atau memanipulasi obyek atau dengan menunjukkan hubungan antara informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya (Ausubel: advance organizer).

d. Retention Phase

Informasi yang baru diperoleh siswa harus ditransfer dari short term

memory ke long term memory. Transfer ini dapat terjadi melalui cara rehearsal, latihan, elaborasi, atau cara lain.

  1. Recall Phase

Kemungkinan yang dapat terjadi setelah belajar adalah bahwa kita

dapat kehilangan akses menuju informasi yang tersimpan dalam long term memory. Oleh karena itu merupakan bagian penting dalam belajar adalah usaha untuk mencapai akses ke bahan yang sudah kita pelajari agar kita dapat merecall informasi tersebut. Akses untuk mencapai informasi tersebut dibantu melalui pengorganisasian: pengelompokan berdasar kategori, atau konsep lebih mudah direcall daripada bahan yang disajikan secara acak.

  1. Generalization Phase

Biasanya suatu informasi hanya memiliki nilai kecil kecuali kalau

informasi itu dapat diaplikasikan di luar kelas. Jadi generalisasi atau transfer informasi ke situasi-situasi baru merupakan fase kritis dalam belajar. Transfer dapat dibantu dengan mengharuskan siswa untuk menggunakan informasi ke dalam setting atau peristiwa-peristiwa baru, seperti menugaskan siswa menggunakan kemampuannya dalam pelajaran berhitung untuk memecahkan problem-problem yang nyata.

g.  Performance Phase

Dalam performansinya siswa harus menunjukkan bahwa ia “memilki

kemampuan”. Misal para siswa yang baru saja mempelajari perkalian 7 dapat menunjukkan kemampuannya bahwa kalau ada tiga orang yang masing-masing memiliki 7 kelereng, maka keseluruhan kelereng akan berjumlah 21.

  1. h.    Feedback Phase

Siswa harus diberi feedback atas performansinya agar ia tahu apakah

ia telah faham atau belum atas informasi yang diberikan. Umpan balik ini dapat berperan sebagai reinforcer bagi performansi yang berhasil.

Contoh: Seorang siswa belajar memperbaiki mesin mobil dengan ditunjukkan oleh instrukturnya bagaimana memasang karburator. Setelah itu siswa diminta memasang sendiri karburator tersebut di mesin (fase performansi) dan kemudian mengecek apakah mesin mobil dapat dihidupkan (fase feedback). Jika mesin dapat dihidupkan ia akan terreinforced untuk perilaku belajarnya tersebut, sedangkan kalau mesin tidak dapat dihidupkan ia mendapatkan informasi yang bernilai untuk mengubah perilaku belajarnya, memasang kembali karburator, dan mencoba lagi.

2. Peristiwa Pengajaran (Events of Instruction)

Berdasar atas analisanya terhadap peristiwa-peristiwa belajar, Gagne

mengusulkan adanya peristiwa-peristiwa yang kritis dalam pembelajaran selaras dengan peristiwa belajar siswa.

a. Memotivasi siswa dengan menginformasikan tujuan

Langkah I dalam mengajar adalah memunculkan motivasi siswa untuk belajar. Caranya adalah dengan memunculkan minat siswa terhadap materi pelajaran dengan menginformasikan manfaat pelajaran tersebut di kemudian hari. Siswa butuh mengetahui mengapa ia harus mempelajari, apa dan seperti apa yang akan mereka pelajari.

  1. b.    Mengarahkan atensi

Guru harus mengarahkan atensi siswa pada informasi yang relevan guna memfokuskan energi mental siswa terhadap hal-hal yang penting. Hal ini dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan diagram atau menandai konsep-konsep penting.

c. Menstimulasi recall

Agar siswa dapat berhasil mengasimilasi informasi,  mereka perlu merecall informasi terkait yang ada dalam memory mereka. Guru harus menstimulir recall melalui ingatan siswa terhadap informasi terdahulu dan hubungannya dengan materi yang baru. Misal guru mereviu konsep sentimeter sebelum mengajar sentimeter kubik.

d. Menyediakan bimbingan belajar

Bentuk bimbingan belajar yang diberikan kepada siswa tergantung pada tujuan belajar, apakah belajar konsep, prinsip, atau yang lain. Dalam discovery learning, bimbingan belajar dapat mengambil bentuk penyediaan materi dan petunjuk pelaksanaan atau ilustrasi yang tepat.

e. Meningkatkan retensi

Retensi terhadap informasi yang baru diperoleh dapat ditingkatkan melalui beberapa cara. Salah satunya adalah dengan menyuruh siswa  mempraktekkan kemampuan matematika yang baru diperoleh. Cara lain adalah dengan memberikan banyak contoh. Reviu berjarak beberapa hari juga dapat meningkatkan retensi.

f. Mempromosikan transfer belajar (untuk generalisasi)

Segera setelah informasi baru masuk dalam memory siswa, tugas selanjutnya adalah memastikan bahwa siswa dapat melakukan transfer atau generalisasi prinsip-prinsip atau konsep-konsep pada peristiwa-peristiwa baru, seperti aplikasi pemecahan problem atau aplikasi ke bidang-bidang lain seperti hubungan antara sentimeter kubik ke dalam liter.

  1. g.    Memperoleh performansi, menyediakan umpan balik

Pada akhir siklus pengajaran siswa harus menunjukkan apa yang sudah mereka ketahui sehingga guru dapat mengatakan apakah mereka berada pada track yang benar atau salah.

  1. 3.    Reception Learning (David Ausubel)

David Ausubel menyangkal pernyataan yang menyebutkan bahwa para siswa

tidak mengetahui apa yang penting dan apa yang relevan dalam mempelajari sesuatu. Ausubel juga menyebutkan bahwa banyak siswa membutuhkan motivasi eksternal untuk melakukan kerja kognitif yang dituntut pelajaran sekolah. Para pendukung Reception Learning berpendapat bahwa pekerjaan guru adalah menstruktur situasi belajar, menyeleksi materi yang sesuai bagi siswa, dan selanjutnya menyajikannya dalam bahan yang terorganisir secara baik yang bergerak dari idea-idea umum ke detil yang lebih spesifik. Inti pendekatan Ausubel adalah apa yang ia sebut sebagai Expository Teaching, yaitu pengajaran yang terencana, sistematik atas informasi yang penuh arti. Meskipun peran guru berbeda antara Discovery Learning dan Reception Learning, namun kedua pendekatan tersebut memiliki persamaan-persamaan, yaitu:

  1. Keduanyan menuntut para siswa terlibat secara aktif dalam proses belajar
  2. Keduanya menekankan pelibatan pengetahuan siswa sebelumnya untuk menunjang perolehan pengetahuan baru
  3. Keduanya berasumsi bahwa pengetahuan berubah dalam fkiran siswa

Catatan tambahan:

Istilah active learning mempunyai konotasi constructivism, yaitu belajar secara aktif dan dikonstruksi dalam konteks sosial. Ide dasarnya adalah bahwa siswa mendapat pengertian dalam belajar melalui interaksinya dengan lingkungannya, dan bahwa siswa dilibatkan dalam mengkonstruksi pengetahuan mereka. Kelompok konstruktivis menekankan belajar berorientasi pada pemecahan problem karena dengan demikian siswa aktif melakukan sesuatu sehingga dapat mentransformasi informasi menjadi pengetahuan. Partisipasi aktif siswa dengan berinteraksi dan memanipulasi lingkungan merupakan syarat dalam aktivitas belajar. Kelompok ini menambahkan bahwa pengetahuan tidak akan diperoleh siswa dari sumber eksternal, misalnya hanya dengan model ceramah dimana guru memberikan informasi satu arah kepada siswa. Pengetahuan dihasilkan melalui aktivitas siswa. Belajar atau usaha memperoleh pengetahuan merupakan proses perbandingan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, yang berfungsi  memperkuat apa yang sudah diketahui sebelumnya, yang dalam istilah Piaget terjadai proses adaptasi terhadap pengetahuan tersebut (http://home.okstate.edu/homepages.nsf/toc /EPSY5463C142).

Pengetahuan sebelumnya atau pengalaman masa lalu akan membantu siswa dalam belajar, karena ia merupakan representasi semua domain belajar, kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh karena itu pengalaman atau belajar masa lalu tidak sekedar menentukan apa yang mampu siswa pelajari, tetapi juga apa yang ingin ia pelajari. Jadi untuk menumbuhkan minat belajar siswa, guru harus memperhatikan pengalaman belajar siswa sebelumnya; dan perlu dicatat bahwa komponen afektif ini seringkali lebih menentukan keberhasilan belajar siswa daripada kemampuannya. Belajar yang bermakna berhubungan dengan apa yang sudah diketahui siswa dan hal itu akan menjadikan andalan dan mengubah apa yang diketahui. Semua pengetahuan adalah produk dari aktivitas konstruktivistik individu. Kita tidak mendapatkan kebenaran tanpa kita mengembangkan konstruksi secara terus-menerus untuk menerangkan realita seperti yang kita lihat. Tidak ada pengetahuan yang dapat langsung dan tanpa dimediasi.

Sumbangan psikologi kognitif dalam proses belajar-mengajar berbasis kompetensi misalnya membangkitkan curiosity (surprise, mengherankan, kontradiksi, novelty), memfasilitasi agar siswa menguasai konsep dasar dan prinsip dasar (gunakan peta, grafik, film, dsb),  memfasilitasi agar siswa mampu melakukan generalisasi konsep dan prinsip (aktivitas luar kelas), membuat siswa mampu mendapatkan kesamaan informasi pengetahuan dengan pengalaman nyata dalam kehidupan (contoh-contoh aplikasi, diskusi kelas).

Kerja Bruner berpengaruh terhadap pendekatan humanistik dalam pendidikan. Gerakan pendidikan humanistik, penerus gerakan pendidikan progresif yang dipelopori John Dewey, merupakan gerakan reaksi terhadap penggunaan drill & rote learning yang berlebihan dari sekolah tradisional. Hal penting pada pendidikan humanistik adalah siswa harus mempunyai substantial hand dalam mengarahkan diri mereka. Gagasan tersebut dimaksudkan agar siswa memiliki self directed, self-motivated, dan bukan sebagai penerima pasif informasi. Pendidikan humanistik tidak saja menyentuh ranah kognitif, tapi juga ranah afektif yang memfokuskan pada belajar bagaimana belajar (learning how to learn) serta meningkatkan kreativitas dan potensi manusia.

jogjatranslate.com jasatranslate.com copycdjogja.com duplikatcd.com alatinterpreter.us alat-interpreter.com sewaalatinterpreterjogja.com rentalalatinterpreterjogja.com persewaanalatinterpreter.com jasainterpreter.us sewaalatinterpretersurabaya.com sewaalatinterpretersemarang.com interpreterjogja.com

Alfred Adler

Alfred Adler

Alfred Adler

Alfred Adler

Adler semula anggota bahkan ketua masyarakat psikoanalisis Wina yang menjadi organisasi pengembang teori Freud, namun kemudian memisahkan diri karena mengembangkan ide-idenya sendiri. Dia kemudian membentuk kelompoknya sendiri, yakni Individual psychology. Perbedaan prinsip Adler dengan Freud adalah sebagai berikut:

  1. Freud memandang komponen kehidupan yang sehat adalah kemampuan “mencintai dan berkarya”. Bagi Adler masalah hidup selalu bersifat sosial. Fungsi hidup sehat bukan hanya mencintai dan berkarya, tetapi juga merasakan kebersamaan dengan orang lain dan memperdulikan kesejahteraan mereka. Manusia dimotivasi oleh dorongan sosial, bukan dorongan seksual. Cara orang memuaskan kebutuhan seksual ditentukan oleh gaya hidupnya, bukan sebaliknya dorongan seks yang mengatur tingkah laku. Dorongan seksual merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir.
  2. Freud memandang kepribadian sebagai proses biologik mekanistik, sedang Adler termasuk pelopor ego kreatif (ego creative). Ego adalah sistem subjektif yang sangat dipersonifikasikan, yang menginterprestasi dan membuat pengalaman organisme menjadi lebih makna. Ego juga mencari dan menciptakan pengalaman baru untuk membantu pemenuhan gaya hidup pribadi yang unik.
  3. Adler menekankan adanya keunikan pribadi
  4. Adler memandang kesadaran sebagai pusat kepribadian, bukan ketidaksadaran.
  5. Adler keras berpendapat bahwa semua kehidupan selalu bergerak.

Psikologi individual memandang individu sebagai makluk yang saling tergantung secara sosial. Perasaan selalu berati dengan orang lain (interest sosial) ada sejak mausia dilahirkan dan menjadi syarat utama kesehatan jiwa. Rincian teori Adler mencakup enam hal berikut:

  1. Satu-satunya kekuatan dinamik yang melatarbelakangi aktivitas manusia adalah perjuangan untuk sukses atau menjadi superior (Sriving for superiority)
  2. Persepsi subyektif (subjective perception) individu membentuk perilaku dan kepribadian.
  3. Semua fenomena psikologis disatukan (unity of personality) di dalam diri individu dalam bentuk self.
  4. Manfaat dari aktivitas manusia harus dilihat dari sudut pandang interest sosial (social interest)
  5. Semua potensi manusia dikembangkan sesuai gaya hidup (life of style) dari self.
  6. Gaya hidup dikembangkan melalui kekuatan kreatif (creative power) individu.

PERJUANGAN MENJADI SUKSES ATAU SUPERIORITA

Menurut Adler Individu memulai hidup dengan kelemahan fisik yang mengaktifkan perasaan inferior, perasaan yang menggerakkan orang untuk berjuang menjadi superioritas atau untuk menjadi sukses. Perjuangan bisa jadi mempunyai motivasi oleh minat sosial yang suda berkembang. Perjuangan bisa mempunyai motivasi yang berbeda, tetapi semuanya di arahkan menuju tujuan final (final goal).

Menurut Adler untuk membimbing tingkah laku, setiap orang menciptakan tujuan final yang semu (fictional final goal), memakai bahan yang diperoleh dari keturunan dan lingkungan. Tujuan ini semu karena tidak harus didasarkan  pada kenyataan, tetapi tujuan itu lebih menggambarkan fikiran orang itu tentang bagaimana kenyataan itu didasarkan ada interprestasi subjektifnya mengenai dunia. Tujuan final adalah hasil dari kekuatan kreatif individu: kemampuan untuk membentuk tingkah laku diri dan menciptakan kepribadian diri.

MENGATASI INFERIORITAS DAN MENJADI SUPERIORITA:

DORONGAN MAJU

Bagi Adler kehidupan manusia dimotivasi oleh satu dorongan utama –dorongan untuk mengatasi perasaan inferior dan menjadi superior. Jadi tingkah laku ditentukan utamanya oleh pandangan mengenai masa depan, tujuan dan harapan kita. Didorong oleh perasaan inferior, dan ditarik keinginan menjadi superior, maka orang mencoba hidup sempurna mungkin, dan berusaha untuk semakin dekat dengan tujuan final.

Adapun perasaan inferiorita yang melahirkan perjuangan superiorita, dan bersama-sama keduanya menjadi dorongan maju yang sangat besar yang mendorong orang terus bergerak dari minus ke plus, dari bawah ke atas. Dorongan ini menurut Adler di bawah sejak lahir.

Kondisi khusus seperti kelemahan organik/cacat, pemanjaan dan pengabaian mungkin dapat membuat orang mengembangkan kompleks inferiorita (inferiority complex) atau kompleks superioritas (superiority complex). Dua kompleks ini selalu berhubungan erat. Kompleks superior selalu menyembunyikan atau kompensasi dari perasaan inperior, sebaliknya kompleks inperior sering menyembunyikan perasaan superior.

PENGAMATAN SUBYEKTIF( SUBJECTIVEPERSEPTIONS)

Tujuan final yang fiktif bersifat subyektif, artinya orang menetapkan tujuan–tujuan untuk diperjuangkan berdasarkan interpretasinya tentang fakta, bukan berdasarkan fakta itu sendiri. Kepribadian manusia dibangun bukan oleh realita,  tetapi oleh keyakinan subyektif orang itu mengenai masa depannya. Pandangan subyektif yang terpenting adalah tujuan menjadi superioritas atau tujuan menjadi sukses, tujuan yang diciptakan pada awal kehidupan, yang hanya terpahami secara kabur. Tujuan final fiktif itu membimbing gaya hidup (style of life) manusia, membentuk kepribadian menjadi kesatuan, dan kalau tujuan itu dapat dipahami akan memberi tujuan kepada semua tingkah laku.

KESATUAN  (UNITY)   KEPRIBADIAN

Adler berkeyakinan bahwa setiap orang itu unik dan tidak dapat dipecah– pecah. Psikologi Individu menekankan pentingnya unitas kepribadian. Pikiran perasaan dan kegiatan semuanya diarahkan ke satu tujuan tunggal dan mengejar satu tujuan.

LOGAT ORGAN ( ORGAN DIALECT)

 Unity kepribadian bukan hanya kesatuan aspek-aspek kejiwaan seperti motivasi, perasaan dan pikiran tetapi unity juga meliputi organ tubuh. Gejala-gejala fisik, misalnya kelemahan organ-organ tertentu bukan suatu peristiwa yang terpisah, tetapi kelemahan itu berbicara tentang tujuan individu, yang oleh Adler dinamakan logat organ (Organ dialect ) atau bahasa organ.

KESADARAN DAN TAK SADAR

Unitas kepribadian juga terjadi antara kesadaran dan tak sadar. Menurut Adler tingkah laku tak sadar adalah bagian dari tujuan final yang belum di formulasi dan belum dipahami secara jelas. Apakah tujuan itu disadari atau tidak disadari adalah satu tujuannya untuk menjadi superior atau menjadi sukses. Adler memakai ilustrasi, mahkota pohon dan akar keduanya berkembang ke arah yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama.

MINAT SOSIAL

         Minat sosial/perasaan sosial mengandung makna suatu perasaan menyatu dengan kemanusiaan, menjadi anggota dari komunitas umat manusia. Jadi minat sosial/perasaan sosial adalah sikap keterikatan diri dengan kemanusiaan secara umum, secara empati kepada setiap anggota orang per-orang.

Menurut Adler interest sosial adalah bagian dari hakekat manusia dan dalam besaran yang berbeda muncul pada tingkah laku setiap orang – kriminal, psikotik, atau orang yang sehat. Minat sosial/perasaan sosial membuat orang mampu berjuang mengejar superioritas dengan cara yang sehat dan tidak tersesat ke salah sesuaian. Semua kegagalan neurotic, psikotik, kriminal, pemabuk, anak bermasalah, bunuh diri, menyeleweng, prostitusi adalah kegagalan karena mereka kurang memiliki minat sosial. Mereka menyelesaikan masalah pekerjaan, persahabatan, dan seks tanpa keyakinan bahwa itu dapat dipecahkan dengan kerjasama.

PERKEMBANGAN MINAT SOSIAL

Menurut Adler ketika seorang anak lahir dia memiliki minat sosial yang lemah/kecil untuk dapat berkembang sendiri. Untuk itu perkembangan minat sosial ini dikembangkan melalui hubungan ibu – anak, setiap anak akan memiliki pengalaman sosial atau minat sosial dalam kadar tertentu. Minat sosial anak dapat berkembang dengan baik atau sehat pertama tergantung bagaimana hubungan cinta kasih ibu dengan anak dan hubungan cinta kasih ibu dengan orang lain. Yang kedua hubungan cinta kasih ayah dengan anak, dan hubungan cinta kasih ayah dengan orang lain.

PERLUNYA MINAT SOSIAL

Menurut Adler minat sosial itu penting karena merupakan sesuatu yang alami bagi manusia dan merupakan perekat kehidupan sosial.

KRITERIA NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

Minat sosial atau perasaan sosial menjadi satu-satunya kriteria untuk mengukur kesehatan jiwa. Tingkat seberapa tinggi minat sosial orang, menunjukkan kematangan psikologinya. Orang yang kurang matang minat sosialnya atau perasaan sosialnya mementingkan diri sendiri, berjuang menjadi suprioritas pribadi melampaui orang lain. Orang yang sehat peduli kepada orang lain, dan mempunyai tujuan menjadi sukses yang mencakup kebahagiaan semua umat manusia. Jadi minat sosial atau perasaan sosial merupakan satu-satunya sarana penilai atau standar untuk menentukan kemanfaatan hidup seseorang. Dan sering Adler menyebutnya merupakan barometer normalitas.

 GAYA HIDUP

Gaya hidup adalah cara yang unik dari setiap orang dalam berjuang mencapai tujuan khusus yang ditentukan orang itu dalam kehidupan tertentu dimana dia berada. Masing-masing orang mempunyai gaya hidup yang berbeda-beda. Gaya hidup telah terbentuk pada usia 4-5 tahun. Gaya hidup tidak hanya di tentukan oleh kemampuan intrinsic (heriditas) dan lingkungan objektif, tetapi di bentuk oleh anak melalui pengamatannya dan interprestasinya terhadap keduanya.

Gaya hidup ini tidak muda berubah. Ekspresi nyata dari gaya hidup mungkin berubah tetapi dasar gayanya tetap sama, kecuali orang menyadari kesadarannya dan secara sengaja mengubah arah yang ditujunya.

KEKUATAN KREATIF SELF( KREATIVE POWER THE SELF)

Self kreatif adalah kekuatan ketiga yang paling menentukan tingkah laku, penggerak utama, sendi dan obat mujarap kehidupan, yang membawahi dua kekuatan dan konsep lainnya. (kekuatan pertama heridity dan kedua lingkungan)

Menurut Adler keturunan memberi “kemampuan tertentu” dan lingkungan memberi ‘impresi / kesan tertentu’ dan itu merupakan bahan dasar, diri kreatif memakai bahan dasar itu untuk membangun sikap terhadap kehidupan dan hubungan-hubungan dengan dunia-dunia luar. Jadi diri kreatif adalah sarana yang mengolah fakta-fakta dunia dan mengtransformasikan fakta-fakta itu menjadi kepribadian yang bersifat subjektif dinamik, menyatu personal, dan unik.

Menurut Adler manusia adalah aktor dan insiator tingkah laku. Karena kepribadian itu dinamis dan bukan statis.

jogjatranslate.com jasatranslate.com copycdjogja.com duplikatcd.com alatinterpreter.us alat-interpreter.com sewaalatinterpreterjogja.com rentalalatinterpreterjogja.com persewaanalatinterpreter.com jasainterpreter.us sewaalatinterpretersurabaya.com sewaalatinterpretersemarang.com interpreterjogja.com

MENGOLAH KELOMPOK UTAMA

kelompokMENGOLAH KELOMPOK UTAMA

Pada prinsipnya, terdapat beberapa cara utama (mendasar) pada semua kelompok kerja sosial (kemasyarakatan) untuk mempertahankan kelompoknya secara bersama, mengatur perilaku kelompok, mengkoordinasi kegiatan kelompok dan merangsang aksi (kegiatan) kelompok dengan kekuatan anggota-anggota kelompok. Berikut ini dipaparkan empat proses yang menjadi pertimbangan yaitu:

  1. Penyesuaian / kecocokan

Penyesuaian atau kecocokan merupakan proses mengikuti (taat pada) nilai-nilai kelompok. Karena norma-norma yang dimiliki (ini) penting bagi identitas kelompok dan kegiatannya, kelompok sedapat mungkin menggunakan tekanan pada anggota untuk mengikutinya. Karena tekanan untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai kelompok begitu kuat, kita perlu mempertimbangkan keadaan sekitar dimana setiap individu (perorangan) kemungkinan memilih melanggar satu nilai/norma. Lebih lanjut penulis menjelaskan bahwa biasanya seseorang tidak akan mengikuti/menyesuaikan dengan nilai kelompok karena tujuan yang dimilikinya berbeda dengan tujuan kelompok.

contoh dengan melihat bagaimana suatu kelompok pabrik memiliki nilai atau aturan yang ketat tetapi produksi/hasilnya kurang optimal.

Dengan demikian, penyesuaian dalam suatu kelompok atau organisasi tepat menjadi hal yang penting, tetapi hendaknya memperhatikan keselarasan antara tujuan kelompok/organisasi dengan tujuan dari setiap anggota. Dengan begitu diharapkan penyesuaian nilai secara perorangan dalam satu kelompok tidak menimbulkan masalah yang dapat merugikan kelompok atau organisasi tersebut.

  1. Kepaduan kelompok

Kepaduan merupakan perekat sosial, agar menjadi kekuatan bersama setiap orang dalam kelompok.

Kepaduan menunjuk pada tingkat daya tarik yang sungguh-sungguh diantara anggota-anggota kelompok. Ini adalah kepaduan yang menjelaskan kekuatan (semangat) tim yang dikelola banyak kelompok kerja.

Diasumsikan secara umum bahwa kelompok-kelompok yang bersatu lebih memuaskan (meyakinkan) dan lebih produktif daripada bukan kepaduan kelompok, karena anggota-anggota mereka cenderung bergaul lebih, berpartisipasi secara penuh pada kegiatan-kegiatan kelompok, dan menerima serta bekerja bersama memenuhi tujuan kelompok.

Pada prinsipnya saya setuju dengan penulis yang menyebutkan bahwa kelompok-kelompok yang bersatu lebih memuaskan dari kelompok-kelompok yang tidak bersatu.

Bagaimana hubungan antara kepaduan, kepuasan dan produtivitas? Dapat saja terjadi bahwa semakin baik kepaduan, semakin tinggi kepuasan dan tentu berpengaruh pada produktivitas.

Sebuah riset menunjukkan bahwa yang penting dalam kepaduan kelompok adalah ukuran dari kelompok, persamaan, status dari anggota, stabilitas anggota, kesamaan pada anggota, dan suatu eksistensi (keberadaan) yang menunjuk pada suatu masalah atau ancaman.

Dalam hubungan dengan hal diatas saya setuju dengan pemikiran Forsyth sebagaimana dikutip oleh penulis bahwa: stabilitas keanggotaan kelompok berpengaruh positif terhadap kepaduan (Forsyth, 1983). Faktor lain yang mempengaruhi kepaduan kelompok adalah persamaan dari anggota kelompok. Dalam hal ini semakin mirip karakteristik dari anggota kelompok, kemungkinan besar kelompok menjadi lebih kompak/bersatu. Dapat disimpulkan bahwa kepaduan kelompok akan semakin baik apabila terdapat faktor-faktor antara lain: kesamaan anggota kelompok. Dalam hal ini kesamaan karakteristik seperti latar belakang sosial, pendidikan, sikap dan orientasi akan sangat membantu dalam memperkuat kepaduan kelompok. Selain it, sesuatu yang menjadi masalah bersama juga dapat memperkuat kepaduan kelompok.

  1. Kerjasama dan kompetisi dalam kelompok kerja

Tujuan utama dari kelompok-kelompok kerja adalah memudahkan pencapaian tujuan dari perorangan dan yang berhubungan dengan kerja organisasi. Namun demikian patut disadari bahwa terdapat kompetisi diantara sesama kelompok kerja untuk memperoleh bonus, kenaikan dan promosi. Kompetisi dapat juga dianjurkan untuk meningkatkan motivasi, setelah memperhatikan kinerja karyawan. Patut diketahui bahwa kerjasama & kompetisi dapat dijumpai pada satu kelompok kerja (Deutsch, 1973, Tjosvold, Morishima & Belsheim, 1999).

3.1  Kerjasama

Kerjasama dapat dipahami sebagai kritik terhadap berlakunya fungsi dari kelompok kerja dan organisasi. Sebagai contoh, penulis memperlihatkan bagaimana 3 orang karyawan toko buku. Pada saat yang bersamaan ada 2 karyawan pada meja depan melayani pelanggan, dilain waktu, ketiganya membuka kotak buku, menetapkan harganya dan meletakkannya pada rak-rak yang sesuai. Ini merupakan salah satu contoh, para pekerja mengkoordinasi usaha mereka dalam rangka memenuhi tujuan organisasi, menjual buku & menyediakan layanan yang baik kepada pelanggan.

Salah satu unsur yang membantu meningkatkan kerjasama diantara anggota kelompok kerja adalah tingkat saling ketergantungan tugas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saling ketergantungan tugas itu cukup membantu perkembangan perasaan positif antar teman kerja dan meningkatkan perilaku kerjasama dalam kelompok kerja (Van der Vegt, Emanas & Van de Vliert, 1998, 2000).

3.2  Kompetisi

Seperti kerjasama, kompetisi juga merupakan suatu perilaku yang alami yang biasanya muncul dalam dinamika kelompok (Tjosvold, 1998).

Dapat dibedakan antara kerjasama & kompetisi bahwa pada saat kerjasama melibatkan anggota kelompok bekerja bersama guna membagi tugas bersama mencapai tujuan secara umum, kompetisi dalam kelompok melibatkan anggota berlawanan atau berhadap-hadapan satu dengan yang lain untuk mencapai target atau tujuan individu, tidak jarang dengan mengorbankan anggota yang lain.

Kompetisi yang sehat adalah yang memotivasi anggota untuk meningkatkan prestasi kerja. Tentu saja hal ini agak sulit dijumpai karena kecenderungan untuk orang berkompetisi adalah untuk memperoleh sukses secara individu atau kelompoknya.

  1. Konflik dalam kelompok kerja dan organisasi

Konflik adalah perilaku seseorang atau kelompok yang dengan sengaja dirancang untuk menghalangi pencapaian dari target/tujuan oleh kelompok atau orang lain (Gray & Starke, 1984). Unsur kunci dalam definisi dari konflik adalah bahwa partai/kelompok yang berlawanan mempunyai tujuan yang bertentangan (Tjosvold, 1998b). Konflik adalah suatu proses alami yang terjadi dalam semua kelompok kerja dan organisasi. Ini  dapat mejadi hal negatif, akibat yang bersifat merusak, tetapi ini dapat juga menjadi hal yang berguna dan menuju hasil positif untuk kelompok kerja dan organisasi (Rahim, 1985, 1986; Wall & Callister, 1995).

4.1           Tingkat konflik

Konflik dapat terjadi pada empat tingkatan dalam suatu organisasi kerja:

  1. Konflik antar individu,

Konflik antar individu, terjadi ketika seseorang berhadapan dengan dua tujuan yang bertentangan. Hal inilah yang terjadi ketika seseorang berada dalam konflik: tujuan yang berhubungan dengan salah satu peranan individu bertentangan dengan tujuan dari yang lain.

  1. Konflik inter individu,

Konflik antara dua orang, atau konflik inter-individu, sering terjadi dalam  kelompok kerja dan organisasi.

  1. Konflik antar kelompok,

Konflik intragroup, terjadi antara satu orang atau golongan dalam kelompok dan anggota kelompok yang lain. Individu yang melanggar norma kelompok cenderung menimbulkan konflik intragroup

  1. Konflik dalam kelompok.

Ketika dua kelompok berada dalam konflik satu sama lain, konflik antar kelompok pasti akan ada.

4.2            Sumber konflik

Konflik dalam kelompok kerja dan organisasi muncul dari berbagai sumber. Kadang disebabkan oleh struktur organisasi. Sebagai contoh, perbedaan status merupakan sumber umum munculnya konflik. Kurangnya sumber penghasilan utama, bahan-bahan, peralatan, dan persediaan mungkin sumber konflik yang paling umum dalam organisasi (Greenberg & Baron, 1997). Ketergantungan antar individu maupun kelompok adalah sumber konflik yang penting (Victor & Blackburn, 1987). Biasanya, semakin besar ketergantungan aktivitas pekerjaan, semakin besar potensi konflik (Walton & Dutton, 1969).

Salah satu sumber konflik yang paling umum is diakibatkan oleh individu tertentu yang tidak dapat berhubungan akrab satu sama lain (Labianca, Brass & Gray, 1998). Sumber konflik yang penting muncul dari sumber hubungan antar pribadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan konflik terjadi pada beberapa orang atau lebih daripada banyak orang. Perbedaan kepribadian dan watak menunjukkan bahwa orang-orang tertentu mungkin terlibat dalam konflik. Beberapa orang mencoba untuk mencampuradukkan konflik antar individu karena keinginan mereka untuk memperoleh keuntungan orang lain (McClintock, Messick, Kuhlman, & Campos, 1973; lihat juga Knight & Dubro, 1984). Karakteristik terakhir yang bisa menjadi sumber kekuatan konflik adalah usia.

4.3            Dampak konflik

Telah dinyatakan bahwa konflik dalam pengaturan kerja dapat berdampak positif maupun negatif bagi organisasi. Dampak positif dari konflik antara lain adalah dapat merangsang kreativitas dan inovasi (James, Chen,& Goldberg, 1992). Dampak positif konflik yang berhubungan dengan kinerja yang lain muncul ketika konflik meningkatkan kualitas keputusan (Cosier & Dalton, 1990).

Dampak negatif dari konflik, dampak yang paling nyata adalah berkurangnya kekompakan dalam kelompok. Konflik dapat juga menghambat kinerja kelompok yang efektif ketika konflik tersebut  memperlambat hubungan komunikasi.

4.4            Mengelola konflik

Untuk mengelola konflik–dan menempatkannya pada tingkatan yang optimal—satu dari dua hal harus dilakukan. Jika konflik menjadi terlalu besar, dan mengarah pada akibat yang negatif, hal itu harus dipecahkan. Sebaliknya, jika tingkat konflik terlalu rendah, diperlukan rangsangan konflik.

Thomas (1976, 1992) telah mengenalkan lima strategi pemecahan konflik secara individu:

1. Kompetisi (Pemaksaan)—Bertahan dalam konflik sampai tercapai salah satu tujuan pihak tertentu atas pengorbanan mereka dari yang lain. Ini dapat diberi label sebagai strategi menang—kalah: Satu pihak menang, pihak lain kalah.

2. Penyesuaian diri—Menyerah atau bertingkah sebagai orang yang berkorban diri untuk memecahkan konflik. Hal ini merupakan strategi menang—kalah.  Umumnya, strategi peredaan ini dilakukan untuk memperkecil kekalahan atau sebagai usaha untuk menyelamatkan hubungan antara pihak-pihak yang bertikai.

3. Berkompromi—Masing-masing  pihak harus menyerahkan sesuatu. Ini adalah strategi kalah—kalah. Kompromi merupakan tipe situasi tawar-menawar. Sebagai contoh, dalam negosiasi manajemen-perserikatan, manajemen menawarkan kenaikan sebesar 50 dolar per jam, sedangkan perserikatan menginginkan kenaikan sebesar 1.50 dolar. Setelah berkompromi, mereka memutuskan besar kenaikan adalah sebesar 1.00 dolar, tetapi tidak ada kelompok yang telah mencapai target penuh.  Masing-masing dari mereka  kehilangan sesuatu dari keadaan semula mereka hasilnya kalah—kalah. Berkompromi bukanlah suatu strategi yang tepat jika kedua belah pihak tidak bisa berusaha untuk menghasilkan sebagian dari sasaran mereka ( Harris, 1993).

4. Kerja sama—Berbagai pihak mencoba untuk bekerja sama dan mencapa suatu pemecahan yang dapat menguntungkan satu sama lain. Kondisi seperti ini merupakan suatu kondisi yang sama-sama untung. Sayangnya, ini tidak mungkin selalu terjadi, terutama ketika konflik merupakan berakhirnya akal dan tidak cukup untuk memuaskan kedua belah pihak. Seperti yang telah disarankan bahwa jika kedua belah pihak melakukan hal tersebut, banyak konflik dapat dipecahkan secara kolaboratif (Ury, Brett,& Goldberg, 1988).

5. Penghindaran—Penekanan pada konflik, jangan membiarkan konflik itu menjadi terbuka, atau menggambaran dari situasi. Sementara strategi ini menghindari konflik terbuka, perbedaan antara kedua belah pihak masih akan tetaap ada dan mungkin akan terus mempengaruhi kesanggupan mereka untuk kerjasama satu sama lain. Penghindaran sesuai jika pemilihan waktu untuk konflik tertulis tidaklah benar, atau jika pihak yang sedang bertikai memerlukan waktu untuk menenangkan diri.

Satu strategi pemecahan konflik yang managerial, yang diuraikan di sebagian studi oleh Sherif dan rekan-rekan kerjanya (Sherif, Harvey, Whte, Hood & Sherif, 1961).

PENERAPAN PSIKOLOGI I/O

Mengurangi Konflik Manajemen—Perserikatan

Konflik internal kelompok yang umum dalam organisasi besar muncul diantara manajemen dan perserikatan. Seorang ilmuwan mengenai tingkah laku, Blake, Mouton, dan Sloma (1964) menguraikan secara singkat sebuah kasus dikurangi melalui workshop dua-hari yang tersedia untuk memusatkan usaha dua kelompok atas target yang berkaitan dengan pekerjaan secara umum. Perusahaan adalah pabrik elektronik besar dengan lebih dari 4,000 karyawan. Ada sejarah tentang perselisihanan antara manajemen dan serikat buruh, salah satu dari tugas yang paling sulit untuk ilmuwan tingkah laku adalah untuk dapat mengetahui kedua pihak untuk setuju “melakukan eksperimen.” Akhirnya, bagaimanapun, mereka setuju bahwa ketika permusuhan antara kedua kelompok menjadi sangat tinggi maka diperlukan penyelesaian.

RANGKUMAN Psikologi Inteligensi Lanjut

Intelligence

Intelligence

RANGKUMAN Psikologi Inteligensi Lanjut

  1. A.   Inteligensi dan Kreativitas (Overlapping)

 

Apakah Inteligensi?

q   Intelligence is defined as general cognitive problem solving skills (Robert Kemp, 2005).

q   Inteligensi merupakan kemampuan kognitif seseorang untuk menyelesaikan masalah secara umum.

Apakah Kreativitas?

q   Creativity is the ability to think about something in novel and unusual ways and to come up with unconventional solution problems (Santrock, 2005).

q   Kreativitas adalah menggunakan pikiran (kecerdasan) untuk mengatasi masalah dengan cara-cara baru dan berbeda dari yang sudah ada.

Hubungan Antara Inteligensi dan Kreativitas

Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu.

Pada umumnya skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas

Sejauh Manakah Hubungan Inteligensi dan Kreativitas?

q   Manusia dibekali kemampuan berpikir sebagai modalitas.

q   Kreativitas memerlukan latihan yang terstruktur ataupun tidak.

q   Kreativitas akan muncul kalau lingkungan memfasilitasi (diberikan toleransi, kebebasan berpikir, tantangan, dsb)

q   Memunculkan fenomena:

a.Cerdas – kreatif

b.Cerdas – kurang kreatif

c.Cerdas rata-rata – kreatif

d.Cerdas rata-rata – kurang kreatif

Journal of Personality and Social Psychology (Jessica, 2003)

q   Dalam diri individu ada yang disebut ”latent inhibition”, yakni rintangan yang tersembunyi (yang secara instink terjadi pada binatang), yang tidak disadari oleh manusia. Orang pada umumnya, berkecenderungan mengabaikan atau melupakan begitu saja objek stimulus yang diterima, meskipun objek itu sebenarnya menarik perhatiannya.

q   Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang kreatif, kadar latent inhibition begitu rendah (low level latent inhibition), mudah ditembus, sehingga memudahkan kontak secara intens antara  memori dengan  objek, dan memungkinkan munculnya ide-ide baru (new possibilities).

q   Kuat atau lemahnya (tinggi atau rendahnya) level latent inhibition inilah yang  berpengaruh pada mudah dan tidaknya memunculkan ide kreatif. Apakah untuk membongkar blocking “latent inhibition” ini perlu pembiasaan? Dengan kata lain: Apakah untuk menjadi individu yang kreatif perlu latihan?

q   Tingginya tingkat inteligensi apabila disertai dengan besarnya tingkat keingintahuan maka akan menstimulasi bagian otak kiri untuk berpikir konvergen dan otak kanan untuk berpikir divergen. Sehingga kedua otak akan berjalan secara seimbang. Taraf inteligensi pada dasarnya mempunyai hubungan yang sangat erat karena keduanya merupakan aspek kognitif, tetapi berbeda pada fungsi dan peranannya (Guilford, 1971).

Inteligensi dan Kreativitas

q   Apakah kecerdasan mempengaruhi kreativitas? Ya, karena inteligensi tinggi berpotensi memiliki kemampuan kreativitas yang tinggi pula.

q   Apakah kreativitas mempengaruhi kecerdasan? Belum tentu, karena kreativitas tidak mutlak membutuhkan kecerdasan, tetapi lebih kepada faktor lingkungan, kebutuhan untuk survive, dan kemampuan meminimalkan latent inhibition.

Beberapa hasil penelitian lain

q   Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.

q   Koestler (Rawlenton, 1971) ditemukan hasil bahwa belahan otak bagian kanan dan bagian kiri mempunyai fungsi berbeda dalam proses kerjanya walaupun ini tidak secara mutlak.

q   Guilford (1971) yang menyatakan bahwa struktur intelegensi menggunakan proses berpikir secara konvergen. Sedangkan proses kreativitas merupakan proses berpikir secara divergen.

q   Teori Ambang Inteligensi untuk kreativitas dari Anderson menyatakan bahwa sampai tingkat inteligensi tertentu yang diperkirakan seputar IQ 120 ada hubungan yang erat antara inteligensi dan kreativitas

q   Munandar diperoleh koefisien positif sebesar 0,325 secara signifikan antara inteligensi dan kreativitas, yang menyatakan bahwa hasil studi korelasi dan analisis faktor membuktikan bahwa tes kreativitas sebagai dimensi fungsi kognitif yang relatif bersatu dapat dibedakan dari tes inteligensi, tetapi berpikir divergen (kreativitas) juga menunjukkan hubungan yang bermakna dengan berpikir konvergen (inteligensi).

q   Torrance (1959), Getzels dan Jackson (1962), dan Yamamoto (1964) berdasarkan studinya masing-masing sampai pada kesimpulan yang sama, yaitu bahwa kelompok siswa yang  kreativitasnya tinggi tidak berbeda dalam prestasi sekolah dari kelompok siswa yang inteligensinya relatif lebih tinggi.

q   Milgram (1990) menekankan bahwa inteligensi semata-mata tidak dapat meramalkan kreativitas dalam kehidupan nyata. Demikian pula tes kreativitas sendiri.

 

Simpulan

q   Antara inteligensi dan kreatifititas memiliki persamaan dan perbedaan. Tetapi persamaan lebih dominan.

q   Setiap orang berpotensi untuk menjadi kreatif tergantung bagaimana orang tersebut meminimalkan latent inhibition dan bagaimana lingkungan memfasilitasinya.

  1. B.   Inteligensi dalam Kreativitas

 

Konsep Dasar

Inteligensi merupakan salah satu komponen kreativitas, tetapi peningkatan inteligensi tak selalu diikuti oleh meningkatnya kreativitas (Semiawan,1984 & Munandar 1985). Anggapan bahwa inteligensi telah mencerminkan kreativitas tidak sepenuhnya benar.

Faktor kreativitas menurut (Munandar, 1986): (1) intelegensi, (2) kepribadian, dan (3) lingkungan.

Hubungan antara inteligensi dan kreativitas hanya didapatkan pada kelompok inteligensi rendah, sedangkan pada kelompok lebih tinggi korelasi itu tidak begitu kuat (Kuwato, 1992)

Teori Ambang Inteligensi untuk Kreativitas

Sampai tingkat inteligensi tertentu  (IQ 120), ada hubungan yang erat antara inteligensi dan kreativitas. Produk kreativitas yang tinggi memerlukan tingkat inteligensi yang cukup tinggi pula, tetapi di atas ambang inteligensi itu tidak ada korelasi yang tinggi lagi antara inteligensi dan kreativitas (Anderson).

Bukti Teori

Evans (1991) à kemampuan menemukan hubungan baru, melihat pokok persoalan dalam perspektif baru, dan membentuk konsep baru dari dua konsep atau lebih yang telah ada dalam pikiran.

Kuhn à kemampuan untuk menemukan konsep baru, metode baru, hubungan baru dan gagasan operasional baru.

Stenberg & Lubart (1996) à menuntun pada penemuan-penemuan tingkat ilmiah, gerakan baru pada bidang seni, penciptaan baru, dan program-program baru.

Temuan Hasil Penelitian

q   Tidak ada hubungan antara kreativitas dan inteligensi dengan prestasi belajar.

q   Tidak ada hubungan yang signifikan antara kreativitas dengan prestasi belajar pada siswa kelas akselerasi (Uyun, 2005).

  1. C.   Kreativitas dalam Inteligensi

 

Teori Guilford (Structure of Intellect)

q   Guilford mengilustrasikan intelektual dalam bentuk sebuah kubus tiga dimensi yang masing-masing mewakili satu klasifikasi faktor-faktor intelektual yaitu dimensi isi,operasi, dan produk.

q   Dalam dimensi operasi salah satu prosesnya disebut divergent production yang mencerminkan kemampuan berfikir kreatif.

q   Dengan demikian maka, kreativitas merupakan salah satu bagian dari inteligensi.

Teori Kirk dan Gallegher (1985)

Menegaskan bahwa intelektual superior tetap merupakan penentu perilaku   kreatif.

Mash (1981)

Menambahkan bahwa IQ masih menjadi kriteria tunggal bagi munculnya  kreativitas.

Sternberg (1988)

Inteligensi terdiri dari tiga subteori yaitu; componential intelligent behavior, experiential intelligent behavior, contextual intelligent behavior.

Fakta dan penelitian yang mendukung

q   Leonardo Da Vinci mampu menciptakan sketsa helikopter pertama tanpa didasari pengetahuan mengenai operasional helikopter tersebut. Helikopter baru dapat diwujudkan sekitar 500 tahun kemudian. Kreativitas Da Vinci tersebut didasari oleh tingginya intelegensi yang dia miliki.

q   Daruma (1997) Tesis: Ada hubungan yang positif antara taraf inteligensi dan kreativitas dengan r = 0.370 dan p = 0.000, siswa dengan taraf inteligensi tinggi cenderung lebih kreatif dan siswa dengan taraf inteligensi rendah cenderung kurang kreatif.

q   Abdullah (1993) Laporan Penelitian: Ada hubungan yg positif antara inteligensi dengan kreativitas, anak yang taraf inteligensi tinggi maka  kreativitasnya juga tinggi dan sebaliknya.

q   Hasil penelitian terdahulu yang mendukung: Dewing (1970), Torrance (1974), Hurlock (1978), Munandar (1977) menyimpulkan bahwa semakin tinggi taraf inteligensi anak, semakin tinggi pula kreativitasnya.

ERIK ERIKSON

ERIK ERIKSON

ERIK ERIKSON

Teori Erik Erikson dipilih dan disajikan dalam buku ini yang berjudul “Personality Theory Researche” oleh Pervin dan Jhon sebab dianggap sebagai teori yang mendukung perkembangan dalam ilmu psikologi. Dengan kata lain teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan. Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern seperti ini.

SKETSA BIOGRAFI ERIK ERIKSON

Erik Homburger Erikson dilahirkan di Frankurt, Jerman pada tanggal 15 juni 1902. Sangat sedikit yang bias diketahui tentang asal usulnya. Ayahnya adalah seorang laki-laki berkebangsaan Denmark yang tidak dikenal namanya dan tidak mau mengaku Erikson sebagai anaknya sewaktu masih dalam kandungan dan langsung meninggalkan ibunya. Ibunya bernama Karla Abrahamsen yang berkebangsaan Yahudi. Saat Erikson berusia tiga tahun ibunya menikah lagi dengan seorang dokter bernama Theodore Homburger, kemudian mereka pindah kedaerah Karlsruhe di Jerman Selatan. Nama Erik Erikson dipakai pada tahun 1939 sebagai ganti Erik Homburger. Erikson menyebut dirinya sebagai ayah bagi dirinya sendiri, nama Homburger direduksi sebagai nama tengah bukan nama akhir.

Sebelum melihat lebih jauh mengenai teori dari Erik Erikson, maka kita tidak bisa melewati sketsa biografi Erik Erikson yang juga berperan/mendukung terbentuknya teori psikoanalisis. Pencarian identitas tampaknya merupakan fokus perhatian terbesar Erikson dalam kehidupan dan teorinya.

Pertama kalinya Erikson belajar sebagai “child analyst” melalui sebuah tawaran/ajakan dari Anna Freud (putri dari Sigmund Freud) di Vienna Psycholoanalytic Institute selama kurun waktu kurang lebih tahun 1927-1933. Bisa dikatakan Erikson menjadi seorang psikoanalisis karena Anna Freud. Kemudian pada tanggal 1 April 1930 Erison menikah dengan Joan Serson, seorang sosiologi Amerika yang sedang penelitian di Eropa. Pada tahun 1933 Erikson pindah ke Denmark dan di sana ia mendirikan pusat pelatihan psikoanalisa (psychoanalytic training center). Pada tahun1939 Erikson pindah ke Amerika Serikat dan menjadi warga Negara tersebut, selain itu secara resmi pun dia telah mengganti namanya menjadi Erik Erikson. Tidak ada yang tahu apa alasannya memilih nama tersebut.

TEORI

Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.

Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu :

(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas. (2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.

Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence” atau kemunculan. Gambaran dari perkembangan cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul , dan akan selalu terjadi pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu sendiri.   Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan bagian yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap tahap.

Erikson percaya “epigenetic principle” akan mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas dapat melihat krisis psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap manusia yang sudah dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar (Figure 3-1). Di mana gambar tersebut memaparkan tentang delapan tahap perkembangan yang pada umumnya dilalui dan dijalani oleh setiap manusia secara hirarkri seperti anak tangga. Di dalam kotak yang bergaris diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai adanya hal-hal yang bermuatan positif dan negatif untuk setiap tahap secara berturut-turut. Periode untuk tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai kondisi yang relatif berkaitan dengan kesehatan psikososial dan cocok dengan sakit yang terjadi dalam kesehatan manusia itu sendiri.

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori yang dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa.

Meminjam kata-kata Erikson melalui seorang penulis buku bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi. Oleh karena itu, melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson ingin mengemukakan bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif (adaptasi keliru) dan malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung kalau satu tahap tidak berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif dan juga malignansi, selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu berinteraksi dengan pola-pola tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi serta ritualisme yang berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan. Menurut Erikson delapan tahap perkembangan yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun secara hirarkri, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnya dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya.

Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :

  1. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)

Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.

Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.

Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.

Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap saat.

Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.

Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang lain.

  1. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu

Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman  baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan  yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.

Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.

Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.

Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya teredapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hokum dan kewajiban”.

Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas kasih.

  1. Inisiatif vs Kesalahan

Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.

Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.

Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.

  1. Kerajinan vs Inferioritas

Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.

Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka.              Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.

Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.

  1. Identitas vs Kekacauan Identitas

Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas.

Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.

Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya.

Ritualisasi yang nampak dalam tahap adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.

  1. Keintiman vs Isolasi

Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.

Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.

Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.

  1. Generativitas vs Stagnasi

Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.

Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baik.

Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.

  1. Integritas vs Keputusasaan

Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif  yang biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri.

Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.

PENUTUP

Pada dasarnya pusat dari perumusan konsep Erikson meliputi beberapa bagian yang dianggap memiliki aspek penting seiring berjalannya roda dalam kehidupan manusia yaitu :

ü  Identitas ego yang menurut Erikson berarti bahwa perkembangan setiap individu adalah di dalam kerangka lingkungan dan budaya di mana setiap individu dapat menemukan dirinya yang sebenarnya.

ü  Langkah-langkah guna mengembangkan psikososial yang epigenetik. Pada awalnya teori Erikson bermula dari teori Freud mengenai psikoseksual namun kemudian dikembangkan oleh Erikson ke luar dari pendapat tersebut dengan mempertimbangkan perkembangan ego dalam konteks psikososial.

ü  Perkembangan hidup manusia pada dasarnya berawal atau beredar dari masa bayi sampai masa usia senja/tua sesuai dengan delapan tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson.

ü  Kekuatan ego, yang menandai masing-masing delapan langkah-langkah perkembangan manusia adalah kebaikan seperti harapan, akan tujuan dan kebijaksanaan (Christopher F.Monte, Beneath The Mask an Introduction of Theories of Personality).

Hal lain yang menurut Erikson penting bahwa apabila kecenderungan dari segi positif yang diinginkan tidak dapat dicapai dalam tahap sebelumnya, maka pada tahap-tahap sesudahnya semua itu dapat terulang kembali untuk dapatdiraih dan dikembangkan.

Setelah mempelajari teori perkembangan kepribadian Erikson ada hal positif dan negatif yang muncul dalam pemikiran saya sebagai pembuat makalah mengenai Teori Psikososial dari Erik Erikson yaitu bahwa pencetus ide dalam teori ini, dalam hal ini Erikson setidak-tidaknya berhasil memberi arah perkembangan kepribadian yaitu guna pencapaian identitas ego berikut pematangannya. Dan hal ini diterangkan maupun dipaparkan oleh Erikson secara baik dan lengkap melalui delapan tahap yang ada. Sedangkan dari sisi negatifnya bahwa Erikson menetapkan hubungan antar tahap agak mengikat, seolah-olah tahap sebelumnya begitu menentukan secara langsung kwalitas dan kwantitas pada tahap berikutnya.

REFERENSI

BUKU

Alwilsol. Psikologi Kepribadian. UMM, Malang, 2004, 111-139.

Boeree, C. George, Personality Theories. Primasophie, Yogyakarta, 2005, 76-110.

Hall, C.S dan Lindzey, G. Theories of Personality. Terjemahan, editor Supratiknya. Kanisius, Yogyakarta, 1978, 137-169.

Monks, F.J . Psikologi Perkembangan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, 14-16.

Pervin, L.A dan Jhon, O.P. Personality Theory and Research. New York. 2001, 59-91.

Sumartiningsih, Dien. Diktat atau catatan kuliah Psikologi Perkembangan. 2002.

ARTIKEL

http//www.theory of psychosocial.com

http//www.theory of psychosocial development.com

Emil Kraepelin (1856 – 1926)

Emil Kraepelin

Emil Kraepelin

Emil Kraepelin dilahirkan pada tanggal 15 Pebruari 1856 di Neustrelitz dan wafat pada tanggal 7 Oktober 1926 di Munich. Ia menajdi dokter di Wurzburg tahun 1878, lalu menjadi dokter di rumah sakit jiwa Munich. Pada tahun 1882 ia pindah ke Leipzig untuk bekerja dengan Wundt yang pernah menjadi kawannya semasa mahasiswa. Dari tahun 1903 sampai meninggalnya, ia menjadi profesor psikiatri di klinik psikiatri di Munich dan sekaligus menjadi direktur klinik tersebut. Emil Kraepelin adalah psikiatris yang mempelajari gambaran dan klasifikasi penyakit-penyakit kejiwaan, yang akhirnya menjadi dasar penggolongan penyakit-penyakit kejiwaan yang disebut sebagai Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA). Emil Kraepelin percaya bahwa jika klasifikasi gejala-gejala penyakit kejiwaan dapat diidentifikasi maka asal usul dan penyebab penyakit kejiwaan tersebut akan lebih mudah diteliti. Kraepelin menjadi terkenal terutama karena penggolongannya mengenai penyakit kejiwaan yang disebut psikosis. Ia membagi psikosis dalam dua golongan utama yaitu dimentia praecox dan psikosis manic-depresif. Dimentia praecox merupakan gejala awal dari penyakit kejiwaan yang disebut schizophrenia. Kraepelin juga dikenal sebagai tokoh yang pertama kali menggunakan metode psikologi pada pemeriksaan psikiatri, antara lain menggunakan test psikologi untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan kejiwaan. Salah satu test yang diciptakannya di kenal dengan nama test Kraepelin. Test tersebut banyak digunakan oleh para sarjana psikologi di Indonesia pada era tahun 1980an.

Tahap-tahap perkembangan

  • MENURUT SIGMUND FREUD

    Fase Oral

    Tahap Perkembangan Anak

  1. Tahap mulut (oral stage)

Ialah tahap pertama kepribadian Freud yang berlangsung selama 18 bulan pertama kehidupan dimana kenikmatan bayi berpusat disekitar mulut. Mengunyah, mengisap, dan menggigit adalah sumber utama kenikmatan. Tindakan-tindakan ini mengurangi ketegangan/ tekanan pada bayi.

  1. Tahap lubang anus (anal stage)

Ialah tahap kedua kepribadian Freud, yang berusia antara usia 1 dan 3 tahun, dimana kenikmatan terbesar anak meliputi lubang anus atau fungsi pengeluaran aau pembersihan yang diasosiasikan dengannya. Latihan otot-otot lubang dubur mengurangi ketegangan.

  1. Tahap alat kelamin laki-laki (Phallic stage)

Ialah tahap ketiga kepribadian Freud, yang berlangsung antara usia 3 dan 6 tahun. Kenikmatan berfokus pada alat kelamin, ketika anak menemukan bahwa manipulasi diri (self manipulation) dapat memberikan kenikmatan.

  1. Tahap laten/ tersembunyi (latency stage)

Ialah tahap keempat kepribadian Freud, yang berlangsung antara kira-kira usia  6 tahun dan masa pubertas. Anak menekan semua minat terhadap seks dan mengembangkan ketrampilan social dan intelektual. Kegiatan ini menyalurkan banyak energi anak kedalam bidang-bidang yang aman secara emosional dan menolong anak untuk melupakan konflik pada tahap phallic yang sangat menekan.

  1. Tahap kemaluan (genital stage)

Ialah tahap kelima dan terakhir kepribadian Freud, yang berawal dari masa pubertas dan seterusnya. Tahap genital adalah suatu masa kebangkitan seksual; sumber kenikmatan seksual sekarang menjadi seseorang yang berada diluar keluarga.

 

  • MENURUT ERIKSON
TAHAP ERKSON PERIODE PERKEMBANGAN KARAKTERISTIK
Kepercayaan dan ketidakpercayaan (trust VS mistrust) Masa bayi (tahun pertama) Rasa kepercayaan menuntut perasaan nyaman secara fisik dan jumlah ketakutan minimal akan masa depan. Kebutuhan-kebutuhan dasar bayi dipenuhi oleh pengasuh yang tanggap dan peka.
Otonomi serta rasa malu dan ragu-ragu (autonomy VS shame and doubt) Masa bayi (tahun kedua) Setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuh, bayi mulai menemukan bahwa mereka memiliki kemauan yang berasal dari diri mereka sendiri. Mereka menegaskan rasa otonomi atau kemandirian mereka. Mereka menyadari kemauan mereka. Jika bayi terlalu dibatasi atau dihukum terlalu keras, mereka cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu.
Prakasa dan rasa bersalah (initiative VS guilt) Masa awal anak-anak (tahun-tahun pra-sekolah, usia 3-5 tahun) Ketika anak-anak prasekolah menghadapi dunia social yang lebih luas, mereka lebih tertantang dan perlu mengembangkan perilaku yang lebih bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. Anak-anak diharapkan menerima tanggung jawab yang lebih besar. Namun, perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul jika anak-anak tidak bertanggung jawab dan dibuat terlalu merasa cemas.
Tekun dan rasa rendah diri (industry VS inferiority) Masa pertengahan dan akhir anak-anak (tahun-tahun sekolah, 6 tahun – pubertas) Tidak ada masalah lain yang lebih antusias daripada akhir periode masa awal anak-anak yang penuh imajinasi. Ketika anak-anak memasuki tahun-tahun sekolah dasar, mereka mengarahkan energy mereka pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Yang berbahaya pada tahap ini adalah perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.
Identitas dan kebingungan identitas (Iidentity VS identity confusion) Masa remaja (10-20 tahun) Individu dihadapkan pada temuan siapa mereka, bagaimana mereka kira-kira nantinya, dan kemana mereka menuju dalan kehidupannya. Satu dimensi yang penting ialah penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap peran. Penjajakan karir merupakan hal yang penting.
Keakraban dan keterkucilan

(intimacy VS isolation)

masa awal dewasa (20-an, 30-an tahun) Individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan relasi yang akrab dengan orang lain. Erikson menggambarkan keakraban sebagai penemuan diri sendiri, tetapi kehilangan diri sendiri pada diri orang lain.
Bangkit dan mandeg (generativity VS stagnation) Masa pertengahan dewasa (40-an, 50-an) Persoalan utama adalah membantu generasi muda dalam mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang berguna.
Keutuhan dan keputusasaan

(integrity VS despair)

Masa akhir dewasa (60-an tahun – meninggal) Individu menoleh ke masa lalu dan mengevaluasi apa yang telah mereka lakukan dengan kehidupan mereka. Menoleh kembali ke masa lalu dapat bersifat positif (keutuhan) atau negatif (putus asa).

 

  • MENURUT PIAGET
  1. a.      Tahap  sensorimotor (sensorimotor stage)

Kelahiran hingga usia 2 tahun. Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman- pengalaman sensor (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan- tindakan motorik fisik – oleh karena itulah istilahnya sensorimotor.

  1. b.      Tahap praoperasional (preoperasional stage)

Usia 2 hingga 7 tahun. Anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar. Belum mampu untuk melaksanakan apa yang piaget sebut “operation” – tindakan mental yang diinternalisasikan yang memungkinkan anak-anak melakukan secara mental apa yang sebelumnya dilakukan secara fisik.

  1. c.       Tahap operasional konkret (concrete operational stage)

Usia 7 hingga 11 tahun. Anak-anak dapat melaksanakan operation, dan penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan kedalam contoh-contoh yang spesifik atau konkret.

  1. d.      Tahap operasional formal (formal operational stage)

Usia 11 hingga 15 tahun. Pada tahap ini individu melampaui dunia nyata, pengalaman-pengalaman konkret, berfikir secara abstrak dan lebih logis. Anak-anak remaja mengembangkan gambaran keadaan yang ideal. Membandingkan orang tua mereka dengan standar ideal. Mereka mulai mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan bagi masa depan dan terkagum-kagum terhadap apa yang dapat mereka lakukan.

 

TAHAP PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET

TAHAP

GAMBARAN

RENTANG USIA

Sensosimotor Bayi beranjak dari tindakan reflex naluriah seak kelahiran hingga permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensor dengan tindakan fisik. Lahir-2 tahun
Praoperasional Anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar, kata-kata dan gambar-gambar ini mencerminkan meningkatnya pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi sensor dan tindakan fisik. 2-7 tahun
Operasional konkret Anak saat ini dapat berfikir logis tentang peristiwa-peristiwa konkret dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda. 7-11 tahun
Operasional formal Anak remaja berpikir dengan cara yang lebih abstrak dan logis. Pemikiran lebih idealistis. 11-15 tahun

 

Otak Manusia

Otak manusia

Otak manusia

OTAK

  • Berat : 2 % berat badan atau 1400 gram
    • Terdiri atas 100 milyar sel saraf dan 1 trilyun sel penyokong
    • Otak merupakan bagian superior system nervosum centrale (SNC)
    • Fungsi sistem saraf :
  1. reseptif : menerima informasi
  2. storage : menyimpan informasi dan mengolahnya
  3. transfer : mengirim informasi
  • Sistem saraf dikenal adanya :
  1. sensor (reseptor)

b. saluran komunikasi aferen

  1. pusat komputasi dan pembuat keputusan (kontak-kontak sinaptik antar neuron)

d. saluran komunikasi eferen

  1. efektor  berupa sel otot polos, skelet dan jantung, sel-sel kelenjar
  • Otak terletak fungsi-fungsi luhur (ingatan, belajar, bahasa, asosiasi, penalaran, kecerdasan, inisiatif, kesadaran)
  • Terbungkus oleh tiga lapisan yang disebut selaput otak (mening) dan terlindung oleh tengkorak
  • Mening :
    • o Piamater
    • o Arakhnoid
    • o Duramater
    • Otak mengapung dalam cairan : cairan serebrospinal (CSS), sehingga beratnya menjadi 50-100g dalam CSS.
    • Tiap belahan otak terdapat lobus-lobus :
  1. Lobus frontalis :
    1. gyrus frontalis superior dan medius di rostral gyrus precentralis mengendalikan gerakan tubuh dan mata

b. Gyrus frontalis inferior (area Broca) berkait dengan produksi bicara

  1. Gyrus orbitalis merupakan bagian lintasan ekspresi emosi
  2. lobus parietalis
    1. gyrus postcentralis (cortex sensori) menerima input sensoris berhubungan dengan apresiasi sentuhan, sensasi posisi (kinestesi), keseimbangan, taktil halus kasar
    2. lobus occipitalis, terdapat fissura calcarina yanga mengandung neuron peneriam informasi visual
    3. lobus temporalis
      1. gyrus temporalis tranfersus menerima informasi auditoris

b. gyrus temporalis inferior memproses informasi visual

  1. lobus centralis
    1. lobus limbicum, penting dalam ekspresi emosi

Pertumbuhan bagian-bagian otak:

 

Bagian Sub-bagian Bangunan utama
Forebrain

(prosencephalon)

–         telencephalon

 

 

 

 

 

–       cerebral cortex

–       basal ganglia

–       limbic sistem

 

–         diencephalon –         thalamus

–         hypothalamus

Midbrain mesencephalon –       tectum

–       tecmentum

Hindbrain

(rhombecephalon)

metencephalon –       cerebellum

–       pons

  myelencephalon Medulla oblongata

MENINGES

  • Adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus otak dan medulla spinalis, merupakan shock absorber berisi liquor cerebrospinalis.

Lapisan meninges :

  1. dura mater
  • lapisan paling luar
    • selaput padat dan keras dan tak terentangkan
    • terdiri 2 lapis mengelilingi otak, dan 1 lapis mengelilingi medulla
  1. arachnoidea
  • membran halus terletak sebelah dalam duramater
  • mengelilingi otak dengan agak longgar
  • cenderung mengikuti dura mater
  1. pia mater
  • lapisan paling dalam
  • melekat pada permukaan otak dan medulla spinalis
  • member makan jaringan araf dibawahnya
  • berperan sebagai barrier terhadap masuknya senyawa-senyawa dan organisme yang membahayakan
  • meningitis : penyakit infeksi sistem saraf yang melibatkan meninges

Cairan Serebrospinal

  • merupakan larutan yang jernih tak berwarna
  • terdapat di dalam sitem ventriculare dan spatium subarachnoidale
  • volume CSS pada orang dewasa 125 ml
  • setiap hari diproduksi sebanyak 600-700 ml CSS
  • CSS mengandung air, sedikit protein, gas terlarut ()2 dan CO2), ion-ion Na, X, C1, glukose, limfosit
  • jika CSS dikeluarkan akan menimbulkan sakit kepala yang sangat bla kepala digerakkan
  • tekanan CSS adalah isotonik dengan plasma darah
  • Fungsi CSS :
    • o sebagai shock absorber sehingga otak dapat menahan tekanan yang terjadi sebagai akibat goncangan atau gerakan kepala yang cepat.
    • o CSS berperan juga sebagai nutritif dan membuang produk limbah metabolik sarafi

SUBSTANSI TRANSMITTER

Memiliki dua efek pada membran psotsinaptik :

  1. depolarisasi          – excitatory
  2. hyperpolarisasi     – inhibisi

Macam:

  1. acetylcholine (ACh)
  • dibebaskan oleh otot skeletal
  • juga terdapat pada ganglion sistem saraf dan organ target sistem saraf otonom parasimpatik dan otak
  • sinapsisnya disebut acetylcholinergic
  • berperan pada mengingat dan belajar dan mengontrol fase tidur
  • setelah dibebaskan oleh termonal bouton Ach dinonaktifkan oleh enzzym AchE yang ada di membran postsinaptik®cholin + acetat
  • Cholin dikembalikan (re-uptake) ke terminal bouton
  1. monoamine
  • macamnya : epineprine, norepineprin, dopamin, serotonin
  • diproduksi oleh sistem saraf otak
  • dopamin memproduksi potensial postsinaptik menjadi excitatory atau inhibisi tergantung apad resptornya
    • § berfungsi pada gerakan, perhatian, dan belajar
    • § degenerasi neuron dopamin mneyebabkan penyakit Parkinson (tremor, kejang, keseimbangan terganggu)
    • § pemberian L-DOPA suatu obat yang mnestimulasi dopamine menyebabkan gejala Parkinson berkurang
    • § efek kelebihan dopamin terlibat pada Schizophrenia (halusinasi, delusi, kekacauan berpikir)®diatasi dengan obat yang mengeblok neuron dopamin
    • norepineprin banyak terdapat pada sistem saraf
    • epineprin dihasilkan oleh adrenal medulla
    • serotonin menyebabkan hambatan potensial postsinaptik
      • § serotonin mengatur mood, kontro makan, tidur bangun, meregulasi sakit.
      • § LSD (fungsi = serotonin) meningkatkan halusinasi walaupun pengguna sedang jaga
  1. asam amino
  • Asam glutamik
    • § Ditemuka di seluruh otak
    • § Berperan sebagai excitatory
    • GABA
      • § Banyak di otak dan sumsum tulang belakang
      • § Merupakan transmitetr penghambat
      • § Abnormalitas sekresi GABA menyebabkan epilepsi
      • § Reseptor GABA berisi tempat pengikat 3 substansi transmitter yaitu 1) GABA; 2)obat transquilizing (benzodiazepam) yang berfungsi meredakan kecemasan,  tidur, menurunkan agresi, otot rileks; 3) barbiturat atau alkohol
      • § Glycine
        • § Banyak ditemukan pada neurotransmitter penghambat di spinal cord dan bagian otak bawah
        • § Tetanus ®zat kimia yang mengeblok aktivitas synapsis glycine sehingga menghilangkan hambatan sinapsis dan menyebabkan otot berkontraksi terus menenrus

 

GANGGUAN SEKSUAL

fetis

Fetihisme – ilustrasi alakadarnya 🙂

GANGGUAN SEKSUAL

PARAFILIA

Parafilia berasal dari kata ”para” yaitu penyimoangan pada apa yang membuat orang tertarik (”philia). Mengacu pada sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap obyek yan tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Fantasi, dorongan atau perilaku harus berlangsung setidknya selama 6 bulan dan menyebabkan distress atau hendaya signifikan. Seseorang dapat memiliki perilaku, fantasi,  dan dorongan seperti yang dimiliki oleh parafilia namun tidak didiagnosis menderita parafilia jika fantasi atau perilaku tersebut tidak berulang atau bila ia tidak mengalami distress karenanya. Seorang mungkin menampilkan satu atau lebih parafilia, dan pola ini mungkin merupakan aspek dari gangguan mental lain seperti Skizifrenia, depresi atau salah satu gangguan kepribadian. Jenisnya antara lain :

  1. Fetihisme

Yaitu ketergantungan seseorang pada obyek yang tidak hidup untuk memperoleh rangsangan seksual. Pederitanya kebanyakan adalah laki-laki dan memiliki dorongan seksual yang berulang dan mendalam terhadap obyek yang tidak hidup, yang disebut fetishes (misalnya sepatu perempuan) dan munculnya fetish sangat disukai atau bahkan dibutuhkan untuk terjadinya rangsangan seksual.

Perilaku yang ditampakkan pelaku memiliki kualitas kompulsi, merupakan suatu perilaku yang tidak dibuat dan tidak bisa ditahan. Gangguan biasanya muncul pada masa remaja, meskipun mungkin fetish sudah dianggap signifikan pada masa yang lebih awal. Kebanyakan fetish menampilkan pula parafilia lainnya seperti paedofilia, sadisme, masokisme.

  1. fetihisme transfestik

adalah gangguan dimana seorang laki-laki terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya, meskipun ia masih menyadari dirnya sendiri sebagai laki-laki. Praktek transvestisme bervariasi mulai dari memakai pakaian dalam perempuan di balik pakaian konvensional hingga memakai pakaian perempuan lengkap. Fetihisme transvestik biasanya diawali dengan separuh memakai pakaian lawan jenis di masa kanak-kanak atau remaja. Para transvestik adalah heteroseksual, selalu laki-laki dan secara umum hanya memakai pakaian lawan jenis secara episodik bukan secara rutin. Di luar itu mereka cenderung berpenampilan, berperilaku dan memiliki minat seksual maskulin.

  1. pedofilia

pedofilia berasal dari kata ”pedos” (anak – yunani) adalah orang dewasa yang mempunyai kepuasan seksual melalui kontak fisik dan seksual dengan anak prapubertas yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Hasil penelitian oleh Marshall (1997) menunjukkan bahwa anak yang menjadi korban bahkan lebih muda daripada batas usia yang diperbolehkan di Amerika Serikat untuk melakukan hubungan seksual. Pedofil lebih banyak diidap oleh laki-laki daripada perempuan. Meskipun sebagian besar pedofilia tidak menyakiti korbannya secara fisik, beberapa di antranya sengaja menakut-nakuti si anak dengan misalnya membunuh hewan peliharaan si anak dan mengancam akan lebih menyakitnya jika si anak melapor pada orang tua. Kadang pedofil senang membelai rambut si anak, namun ia juga dapat memain-mainkan alat kelamin si anak. Percabulan tersebut dapat terus berlangsung selama beberapa minggu, bulan atau tahun jika tidak diketahui oleh orang dewasa lain dan jika si anak tidak memprotesnya.

  1. inces

mengacu pada hubungan seksual antara keluarga dekat, dimana pernikahan tidak diperbolehkan antra mereka. Biasanya adalah pada kakak dan adik kandung, dan bentuk lain yang umum dan dianggap lebih patologis adalah ayah dengan anak perempuan. Bukti menunjukkan struktur keluarga dimana inces terjadi adalah patriakhal yang tidak biasa dan tradisioanl, terutama dengan memandang posisi perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki. Orang tua dalam keluarga semacam ini akan cenderung menolak dan berjarak secara emosional dengan anak mereka. Lebih jauh lagi diyakini bahwa incest lebih banyak terjadi jika ibu tidak ada atau cacat, karena ibu biasanya melindungi anak-anak perempuannya dari penganiayaan seksual yang dilakukan anggota keluarga.konsumsi alkohol dan stress meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mencabuli anak. Data juga menunjukkan bahwa pedofil memiliki kematangan sosial, harga diri, pengendalian, impuls, dan ketrampilan sosial yang rendah (Kalichman, 1991; Overholser & Beck, 1986).

  1. Voyeurisme

Adalah preferensi yang nyata untuk memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orng lain dalam keadaan tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual. Pada beberapa orang, hal ini merupakan satu-satunya aktivitas seksual dimana mereka terlibat. Sementara bagi yang lain, kegiatan ini disukai tetapi tidak sepenuhnyapenting untuk meraih rangsangan seksual (Kaplan & Kreuger, 1997).

Orang yang mengalami gnanguan ini akan mengalami kepuasan seksual dengan melakukan masturbasi, baik saat melihat kejadian ataupun sesudahnya. Terkadang mereka berfantasi melakukan kontak seksual dengan orang yang dilihat, namun hal ini tetap menjadi fantasi. Jarang sekali pelaku yang melakukan kontak seksual dengan orang yang diobservasinya. Biasanya gangguan ini muncul pada masa remaja.

  1. eksibisionisme

adalah preferensi yang jelas dan berulang untuk memperoleh kepuasan seksual dengan mempertunjukkan alat kelaminnya pada orang lain yang tidak menghendakinya, terkadang pada anak-anak. Biasanya mulai pada masa remaja (Murphy, 1997). Rangsangan seksual diperoleh pada saat pelaku membayangkan dirinya memamerkan alat kelamin atau benar-benar melakukannya dan ia melakukan masturbasi pada saat membayangkan atau saat sendang memamerkan alat kelaminnya. Pada banyak kasus terdapat keinginan untuk mengagetkan atau mepermalukan orang yang melihatnya.

  1. Frotteurisme

Yaitu orientasi seksual dengan menyentuh orang yang tidak disangka-sangka. Pelaku mungkin menggosokkan alat kelaminnya pada paha atau pantat seorang perempuan, atau memegang payudara atau alat kelamin seorang perempuan. Serangan ini biasanya dilakukan di tempat-tempat yang memungkinkan pelaku melarikan diri, misalnya di bis yang ramai atau jalanan. Gangguan biasanya sudah muncul pada masa remaja dan berkembang sejalan dengan parafilia yang lain.

  1. sadisme dan masokisme seksual\

sadisme adalah kegemaran untuk memperoleh atau meningkatkan kepuasan seksual dengan menimbulkan kesakitan atau penderitaan psikologis (misalnya mempermalukan) pada orang lain. Sedangkan masokisme adalah kegemaran seseorang untuk memperoleh atau meningkatkan kepuasan seksual dengan menjadikan dirinya sebagai subyek untuk disakiti dan dipermalukan.

Kedua gangguan ini dapat ditemukan pada hubungan heteroseksual maupun homoseksual. Banyak orang sadis yang menjalin hubungan dengan orang masokis dengan memperoleh kepuasan seksual. Sekitar 5-10% populasi di Amerika Serikat terlibat dlam hubungan seperti ini.

ETIOLOGI

Sudut pandang psikodinamik

Parafilia dipandang sebagai reaki defensif, melindungi ego dari ketakutan dan ingatan yang direpres, dan merepresentasikan fiksasi pada tahapan pragenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang yang mengidap parafilia dipandang sebagai seorang yang takut pada hubungan heteroseksual yang konvensional, bahkan untuk hubungan yang tidak berkaitan dengan seks. Perkembangan sosial dan seksualnya tidak matang dan tidak adekuat untuk menjalinhubungan sosial maupun seksual dalam dunia orang dewasa.

Sudut pandang cognitive-behavioral

Beberapa ahli berpandangan bahwa parafilia berasal dari kondisioning klasik yang kebetulan berhubungan dengan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus yang secara budaya dianggap tidak sesuai untuk menimbulkan rangsangan seksual (Kinsey, Pomeroy & Martin, 1948).

Namun pandangan cognitive-behavioral tentang parafilia saat ini multidimensional, dan menyatakan bahwa parafilia adalah hasil dari berbagai faktor yang berpengaruh pada individu. Sejarah masa kanak-kanak dari orang yang mengidap parafilia menunjukkan seringkali mereka merupakan korban penyiksaan fisik dan seksual dan tumbuh dalam keluarga dimana hubungan orang tua terganggu. Pengalaman ini dapat berkontribusi terhadap rendahnya tingkat ketrampilan sosial, rendahnya kepercayaan diri, kesepian dan tidak adanya hubungan yang intim.

Distorsi kognitif juga dianggap berperan dalam pembentukan parafilia. Sedangkan dari perspektif kondisioning klasik, parafilia merupakan hasil dari pembelajaran ketrampilan sosial yang tidak adekuat atau penguatan yang tidak konvensional dari orang tua.

Penanganan/terapi

Pendekatan psikoanalitik

Sedikit sekali terapi psikoanalisa yang efektif untuk menangani parafilia.

Pendekatan behavioral

Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui reorientasi orgasmik, yaitu pasien belajar untuk lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional, dengan berhadapan dengan stimulus tersebut.

Pendekatan kognitif

Terapi ini digunakan untuk mengcounter kesalahan berpikir dari individu dengan parafilia. Teknik lain adalah dengan mengajarkan empati terhadap orang lain, bahwa perilaku mereka mempengaruhi orang lain.

Pendekatan biologis

Beberapa intervensi biologis dilakukan sejak masa lalu, antara lain adalah kastrasi atau pengangkatan testis. Sedangkan saat ini, penanganan biologis untuk parafilia adalah dengan menggunakan obat. Yaitu dengan menggunakan jenis MPA yang menurunkan tingkat testosteron pada pria, sehingga diharapkan pria akan dapat menurunkan rangsangan seksual dan perilaku yang tidak dikehendaki juga tidak akan dilakukan lagi.

  1. GANGGUAN DISFUNGSI SEKSUAL

Bagian ini akan membahas tentang disfungsi seksual, yaitu masalah-masalah seksual yang dianggap menghambat siklus respon seksual yan normal (Davinson & Neale, 2001). Secara umum gangguan disfungsi seksual dibagi menjadi 4 kategori, yaitu gangguan hasrat seksual (sexual desire disorder), gangguan perangsangan seksual (Sexual arousal disorder), gangguan orgasme (orgasmic disorder) dan gangguan rasa sakit seksual (sexual pain disorder) (Kaplan, Sadock & Grebb, 1994). Namun sebelum membahas masing-masing gangguan akan dibahas dulu siklus seksualitas yang normal pada manusia.

Siklus respomn seksual pada manusia secara tipikal identik pada laki-laki dan perempuan, meliputi 4 fase (Davinson & Neale, 2001):

  1. keinginana (appettive)

yaitu minat atau keinginan seksual yang seringkali dikaitkan dengan fantasi-fantasi yang merangsang secara seksual.

  1. kegairahan (excitment)

fase pertama menurut Master & Johnson, yaitu pengalaman subyektif dari kegairahan seksual, yang diasosiasikan dengan perubahan fisiologis yang terjadi melalui peningkatan aliran darah ke genital dan pada wanita juga ke payudara. Pada pria hal ini muncul sebagai ereksi pada penis dan pada wanita pembesaran payudara dan perubahan pada vagina (seperti meningkatnya lubrikasi).

  1. orgasme

pada masa ini kenikmatan seksual mencapai puncaknya. Ditamdai dengan ejakulasi pada laki-laki (meskipun juga terjadi orgasme tanpa ejakulasi dan sebaliknya), dan pada perempuan ditandai dengan kontraksi pada dinding vagina.

  1. resolusi

tahap ini disebut sebagai relaksasi oleh Master & Johnson, dan perasaan senang biasanya menyertainya.

Prevalensi gangguan seksual pada populasi di Amerika Serikat diperkirakan cukup tinggi. Prevalensi keseluruhannya sektitar 43 % untuk perempuan dan 31 % untuk laki-laki.

  1. gangguan gairah seksual

terdiri dari gangguan gairah seksual hiporaktif dengan karakter defisiensi atau tidak adanya fantasi seksual dan keinginan untuk melakukan aktivitas seksual, serta sexual aversion disorder yaitu rasa sakit terhadap dan penghindaran melakukan kontak seksual dengan genital dengan pasangan. Ganguan hipoaktif lebih banyak pravelensinya sekitar 20% dari populasi di Amerika Serikat dibandingkan dengan gangguan sexual aversion. Ke dua gangguan ini sering disebut sebagai rendahnya hasrat seksual (Kaplan, Sadoc & Grebb, 1994).

Etiologinya agak sulit untuk diketahui. Diperkirakan hal ini berkaitan dengan masalah dalam hubungan dengan patner. Selain itu kemungkinan lain adalah masalah trauma seksual pada masa kanak-kanak, seperti pelecehan seksual atau perkosaaan, dan ketakutan akan mendapat penyakit menular seksual (Davinson & Neale, 2001).

  1. Gangguan perangsangan seksual (sexual arousal disorder)

Struktur Kepribadian Menurut CARL ROGERS

Carl Rogers

Carl Rogers

Rogers lebih senang menaruh perhatian pada perubahan dan perkembangan kepribadian dan dia tidak mementingkan konstruk-konstruk structural. Namun ada dua konstruk yang sangat penting dalam teorinya dan bahkan dapat dianggap sebagai panduan bagi seluruh teorinya. Kedua konstruk tersebut adalah organisme dan diri (self).

Organisme

Secara psikologis, organisme adalah lokus atau tempat dari seluruh pengalaman. Pengalaman meliputi segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam kesadaran organisme pada setiap saat. Keseluruhan pengalaman ini merupakan medan fenomenal. Medan fenomenal adalah”frame of reference” dari individu yang hanya dapat diketahui oleh orang itu sendiri. ”Medan fenomenal tidak dapat diketahui oleh orang lain kecuali melalui inferensi empatis dan selanjutnya tidak pernah dapat diketahui dengan sempurna”. Bagaimana individu bertingkah laku tergantung pada medan fenomenal itu (kenyataan subjektif) dan bukan pada keadaan-keadaan perangsangannya (kenyataan luar).

Harus dicatat bahwa medan fenomenal tidak identik dengan medan kesadaran. ”Kesadaran adalah perlambangan dari sebagian pengalaman kita”. Dengan demikian, medan fenomenal terdiri dari pengalaman sadar (tidak dikembangkan). Akan tetapi, organisme dapat membedakan kedua jenis pengalaman tersebut dan bereaksi terhadap pengalaman yang tidak dilambangkan. Mengikuti McCleary dan Lazarus (1949), Rogers menyebut peristiwa ini subsepsi (subception).

Pengalaman tidak bisa disimbolkan secara tepat, karena itu orang-orang biasa mengaitkan pengalaman- pengalaman dengan kenyataan yang ada dan ini yang membuat seseorang melakukan tindakan yang selaras antara apa yang dibayangkan dengan realitas, hal ini disebut sebagai uji realitas. Akan tetapi, beberapa pengalaman tertentu malah tidak diuji atau diuji secara kurang memadai, dan pengalaman yang tidak diuji ini dapat menyebabkan orang bertingkah laku secara tidak realistis, bahkan merugikan orang itu sendiri. Meskipun Rogers tidak menyingung permasalahan tentang kenyataan yang “sebenarnya”, namun jelas bahwa setiap orang harus memiliki suatu konsepsi tentang standar kenyataan luar atau impersonal, sebab kalau tidak demikian, maka mereka tidak akan dapat membedakan suatu gambar kenyataan “subjektif” dengan kenyataan “objektif”. Kemudian timbul suatu pernyataan, yakni bagaimana orang-orang dapat membedakan antara gambaran subjektif yang tidak merupakan representasi yang tepat dari kenyataan dan gambaran yang benar-benar merupakan representasi dari kenyataan yaitu gambaran objektif. Apak yang membuat orang-orang tersebut membedakan antara fakta dan fiksi dalam dunia subjektifnya? Inilah Paradoks terbesar dalam fenomenologi.

Rogers memecahkan paradoks tersebut dengan menyimpangkannya dari rangka pemikiran fenomenologi murni. Apa yang dialami atau dipikirkan orang sebenarnya bukanlah kenyataan bagi orang itu: hal itu hanya hipotesis sementara tentang kenyataan yang bias jadi benar atau salah. Orang menunda keputusannya sampai ia menguji hipotesis tersebut. Apakah yang dimaksud dengan menguji? Menguji berarti mencek ketepatan informasi yang diterima dan yang merupakan dasar dari hipotesisnya dengan sumber-sumber informasi lain. Misalnya, seseorang yang akan menggarami makanannya, berhadapan dengan dua tempat bumbu. Satu diantaranya berisi garam dan yang lain berisi merica. Orang tersebut mengira bahwa tempat yang berlubang besar berisi garam, tetapi karena tidak yakin maka ia menuangkan sedikit isinya pada telapak tangannya. Apabila partikel-partikel yang keluar adalah putih dan bukan hitam, maka orang tersebut merasakan yakin bahwa itu garam. Orang yang sangat teliti mungkin merasa perlu mencicipinya sedikit sebab bisa jadi itu merica berwarna putih, bukan garam. Apa yang dikemukan dengan contoh ini adalah suatu pengujian ide-ide seseorang dengan berbagai data indera. Pengujian tersebut berupa mencek informasi yang kurang pasti dengan pengetahuan yang lebih langsung. Dalam kasus garam, ujian terakhir adalah rasanya; suatu cita rasa tertentu menentukan bahwa itu garam.

Tentu saja, contoh yang dikemukakan tadi menggambarkan suatu kondisi ideal. Dalam banyak kasus, orang menerima begitu saja pengalamannya sebagai representasi yang tepat tentang kenyataan dan tidak memperlakukannya sebagai hipotesis tentang kenyataan. Akibatnya, orang terap kali mengajarkan banyak konsepsi salah tentang dirinya dan tentang dunia luar. “Pribadi yang utuh”, baru-baru ini Rogers menulis, “orang yang benar-benar orang sepenuhnya adalah berdasar pada data yang dialami dalam dirinya dan data yang dialaminya dari dunia luar “.

Diri (Self)

Lama kelamaan, sebagian dari medan fenomenal ini menjadi terpisah. Inilah yang disebut sebagai diri atau konsep-diri. Dijelaskan sebagai berikut :

Konsep Gestalt berisikan tentang organisasi dan konsistensi yang terdiri dari persepsi-persepsi tentang sifat-sifat dari ‘diri subjek’ atau ‘diri objek’ dan persepsi-persepsi tentang hubungan-hubungan antara ‘diri subjek’ atau ‘diri objek’ dengan orang-orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini. Gestalt lah yang ada dalam kesadaran meskipun tidak harus disadari. Gestalt tersebut bersifat lentur dan berubah-ubah, merupakan suatu proses, tetapi pada setiap saat merupakan suatu entitas spesifik.

Diri merupakan salah satu konstruk sentral dalam teori Rogers, dan ia telah memberikan suatu kejelasan yang menarik bagaimana ini terjadi:

Berbicara secara pribadi, saya memulai karir saya dengan keyakinan yang mantap bahwa “diri” adalah suatu istilah yang kabur, ambigu atau bermakna ganda, istilah yang tidak berarti secara ilmiah, dan telah hilang dari kamus para psikolog bersama menghilangnya para introspeksionis. Dari sebab itu, saya lambat menyadari bahwa apabila klien-klien diberi kesempatan untuk mengungkapkan masalah-masalah mereka dan sikap-mereka dalam istilah-istilah mereka sendiri, tanpa suatu bimbingan atau interpretasi, ternyata mereka cenderung berbicara tentang diri… Tampaknya jelas,…bahwa diri merupakan suatu unsur penting dalam pengalaman klien, dan aneh karena tujuannya adalah menjadi ‘diri-sejati’-nya.

Di samping “diri” sebagai bagian dari struktur diri, terdapat suatu diri ideal, yakni apa yang diinginkan orang tentang dirinya.

Organisme dan Aku: Keselarasan dan ketidakselarasan

Pentingnya konsep-konsep struktural, yakni organisme dan “diri”, dalam teori Rogers menjadi jelas dalam pembicaraannya tentang Keselarasan dan ketidakselarasan antara diri sebagaimana dibahas dalam pengalaman aktual organisme. Apabila pengalaman-pengalaman yang dilambangkan yang membentuk diri benar-benar mencerminkan pengalaman-pengalaman organisme, maka orang yang bersangkutan disebut berpenyesuaian baik, matang, berfungsi sepenuhnya. Orang semacam itu menerima seluruh pengalaman organismik tanpa merasakan ancaman atau kecemasan. Ia mampu berfikir secara realistis. Ketidak selarasan antara diri dan organisme menyebabkan individu-individu merasa terancam dan cemas. Mereka bertingkah laku serba defensif dan cara berfikir mereka menjadi sempit dan kaku.

Dalam teori Rogers secara implisit dijelaskan dua manifestasi lain dari keselarasan dan ketidak selarasan. Pertama adalah keselarasan dan ketidak selarasan antara kenyataan subjektif (medan fenomenal) dan kenyataan luar (dunia sebagaimana adanya). Kedua adalah tingkat kesesuaian antara diri dan diri ideal. Apabila perbedaan antara diri dan diri ideal adalah besar, maka orang menjadi tidak puas dan tidak dapat menyesuaikan diri.

Bagaimana ketidak selarasan itu terjadi dan bagaimana diri dan organisme dapat dibuat lebih selaras, menjadi pembahasan utama Rogers. Untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang sangat penting inilah maka ia telah menghabiskan begitu banyak kehidupan profesionalnya. Bagaimana ia menjawab pertanyaan-pertanyaan ini akan dibicarakan pada bagian tentang perkembangan kepribadian.

Dinamika Kepribadian

“Organisme mempunyai satu kecenderungan dan keinginan mendasar-yakni mengaktualisasikan, mempertahankan,dan mengembangkan pengalaman organisme”. Kecenderungan untuk mengaktualisasi ini bersifat selektif, menaruh perhatian hanya pada aspek-aspek lingkungan yang memungkinkan orang bergerak secara konstruktif ke arah pemenuhan keinginan. Di satu pihak terdapat satu kekuatan yang memotivasikan, yakni dorongan untuk mengaktualisasikan diri; di lain pihak hanya ada satu tujuan hidup, yakni menjadi pribadi yang teraktualisasikan – dirinya atau pribadi yang utuh.

Organisme mengaktualisasikan dirinya menurut garis-garis yang diletakkan oleh hereditas. Ketika organisme itu matang, maka ia makin berdiferensiasi, makin luas, makin otonom, dan makin tersosialisasikan. Kecenderungan mendasar pada pertumbuhan ini adalah mengaktualisasikan dan mengekspansikan diri sendiri-tampak paling jelas sekali bila individu diamati dalam suatu jangka waktu yang lama. Ada suatu gerak maju pada kehidupan setiap orang; tendensi yang tak henti-hentinya inilah yang merupakan satu-satunya kekuatan yang benar-benar dapat diandalkan oleh ahli terapi untuk mengadakan perbaikan dalam diri klien.ini disebut sebagai metode terapi Client-Centered (berbasis klien).

Rogers menambahkan suatu ciri baru pada konsep pertumbuhan ketika ia mengamati bahwa tendensi gerak maju hanya dapat beroperasi bila pilihan-pilihan dipersepsikan dengan jelas dan dilambangkan dengan baik. Seseorang tidak dapat mengaktualisasikan dirinya kalau ia tidak dapat membedakan antara cara-cara tingkah laku progresif dan regresif. Tidak ada suara hati dari dalam yang akan memberitahu seseorang manakah jalan menuju aktualisasi itu, tidak ada suatu rasa keharusan organisme yang akan mendorongnya maju. Orang harus mengetahui sebelum mereka dapat memilih, tetapi bila mereka benar-benar mengetahui maka mereka selalu memilih untuk maju dan bukan untuk mundur.

“Pada dasarnya tingkah laku adalah usaha organisme yang berarah pada tujuan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan sebagaimana yang dialaminya dalam medan fenomenal(sebagaimana medan itu dipersepsikan)”. Pernyataan yang jelas-jelas menyinggung tentang adanya banyak “kebutuhan” ini tidak berlawanan dengan pengertian tentang motif(dorongan) tunggal. Meskipun ada banyak kebutuhan, namun semuanya mengarah kepada tendensi dasar organisme untuk mempertahankan dan mengembangkan diri.

Rogers tetap setia pada pendirian fenomenologisnya dengan selalu menggunakan frase “sebagaimana dialami” dan “sebagaimana dipersepsikan”. Akan tetapi dalam membicarakan proposisi ini, rogers mengakui bahwa kebutuhan-kebutuhan dapat menimbulkan tingkah laku yang tepat meskipun kebutuhan-kebutuhan itu tidak dialami secara sadar (dilambangkan dengan memadai). Sesungguhnya, Rogers (1977) telah mengurangi peranan kesadaran atau kesadaran diri bagi berfungsinya individu secara sehat. Ia menulis, “dalam pribadi yang berfungsi dengan baik, kesadaran tentu menjadi cenderung menjadi sesuatu yang refleksif, bukan suatu lampu sorot tajam dari perhatian yang terpusat. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan bahwa dalam pribadi demikian, kesadaran hanyalah merupakan refleksi tentang suatu dari aliran organisme pada saat itu. Hanya ketika fungsi terganggulah maka timbul kesadaran diri dengan jelas”.

Pada tahun 1959, Rogers mengemukakan perbedaan antara tendensi mengaktualisasikan pada organisme dan tendensi mengaktualisasikan diri.

Menyusul perkembangan struktur diri tendensi umum kearah aktualisasi ini juga muncul dalam aktualisasi sebagai bagian pengalaman organisme yang dilambangkan dalam diri. Apabila diri dan seluruh pengalaman organisme relatif sesuai, maka tendensi aktualisasi relative akan tetap padu. Apabila diri dan pengalaman tidak selaras maka yang terjadi adalah tendensi umum untuk mengaktualisasikan organisme akan berlangsung dengan tujuan yang berlawanan dengan subsistem motif tersebut, yakni tendensi untuk mengaktualisasikan diri .

Meskipun teori Rogers tentang motivasi bersifat monistik, ia telah memberi perhatian khusus pada dua kebutuhan, yakni kebutuhan akan penghargaan yang positif (the need for positive regard) dan kebutuhan akan harga diri. Keduanya adalah kebutuhan yang dapat dipelajari. Kebutuhan yang pertama terjadi pada masa bayi sebagai akibat karena bayi dicintai dan diperhatikan, dan kebutuhan yang kedua terbentuk karena bayi menerima kebutuhan ini, sebagaimana akan kita lihat pada bahsan nanti, bisa juga berselisih tujuan dengan tendensi aktualisasi dengan mendistorsikan pengalaman-pengalaman organisme.

Perkembangan Kepribadian

Meskipun organisme dan diri mempunyai tendensi inheren untuk mengaktualisasikan diri, namun sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan dan khususnya oleh lingkungan social. Tidak seperti para teoritikus klinis yang lain, (seperti Freud, Sullivan, dan Erikson, Rogers) mereka tidak memberikan jadwal waktu tahap-tahap penting yang dilalui orang dari masa bayi hingga masa dewasa. Sebaliknya ia memusatkan perhatian pada cara-cara bagaimana penilaian orang-orang terhadap individu, khususnya selama masa kanak-kanak, cenderung memisahkan pengalaman-pengalaman organisme dan pengalaman-pengalaman diri.

Apabila penilaian-penilaian ini semata-mata bernada positif, yang oleh Rogers disebut unconditional positive regard atau penghargaan positif tanpa syarat, maka tidak akan terjadi pemisahan atau ketidaksesuaian antara organisme dan diri. Rogers berkata: “Apabila individu hanya mengalami penghargaan positif tanpa syarat, maka tidak akan ada syarat-syarat penghargaan, harga diri akan menjadi tanpa syarat, kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan positif dan harga diri tidak akan berbeda dengan penilaian organismik dan individu serta akan terus berpenyesuaian baik secara psikologis dan akan berfungsi sepenuhnya”.

Tetapi karena penilaian-penilaian tingkah laku anak oleh orang tuanya dan orang-orang lain kadang-kadang positif dan kadang-kadang negatif, maka anak belajar membedakan antara perbuatan-perbuatan dan perasaan-perasaan yang berharga (disetujui) dan yang tidak berharga (tidak disetujui). Pengalaman-pengalaman tidak berharga cenderung dikeluarkan dari konsep diri, meskipun perasaan-perasaan itu secara organisme valid. Keadaan ini menghasilkan konsep-diri yang tidak selaras dengan pengalaman organismik. Anak berusaha menjadi apa yang diinginkan oleh orang-orang lain dan tidak berusaha untuk menjadi apa yang sebenarnya yang diinginkannya. Rogers berkata: “Ia menilai pengalaman secara positif atau secara negative semata-mata karena syarat-syarat penghargaan ini diambilnya dari orang-orang lain, bukan karena pengalaman itu telah mengembangkan atau gagal mengembangkan organismenya”.

Keadaan di atas terjadi dalam kasus berikut:

Seorang anak laki-laki memiliki gambaran diri sebagai anak laki-laki yang baik dan dicintai oleh orangtuanya, tetapi ia juga senang menyiksa adik perempuannya sehingga dia dihukum. Sebagai akibat dari hukuman itu ia harus meninjau kembali gambaran diri (self-image) dan nilai-nilainya dengan salah satu cara berikut:(a)”saya seorang anak yang jahat”,(b)”orang tua saya tidak menyukai saya “,(c)”saya tidak suka mengganggu adik saya”.masing-masing sikap diri (self –attitudes)ini mengandung distorsi kebenaran.Kita andaikan ia memilih bersikap “saya tidak suka mengganggu adik saya”,dengan demikian ia menyangkal perasaan-perasaannya yang sebenarnya.Dengan disangkal tidak berarti perasaan-perasaan menjadi lenyap;perasaam-perasaan akan tetap mempengaruhi tingkah lakunya dalam berbagai cara meskipun perasaan-perasaan itu tidak disadarinya .konflik akan terjadi antara nilai-nilai sadar yang diinteroyeksikan dan palsu ,dengan nilai –nilai tak sadar yang sebenarnya.Apabila makin banyak nilai-nilai yang “sebenarnya”dari seseorang digantikan dengan nilai-nilai yang diambil ataupun dipinjam dari orang-orang lain,kendati begitu dipersepsikan sebagai miliknya sendiri ,makanya diri akan menjadi sebuah rumah yang terbagi melawan dirinya sendiri.pribadi semacam itu akan merasa tegang ,merasa tidak enak dan sebagainya.ia akan merasa seolah-olah ia benar-benar tidak mengetahui siapa ia dan apa yang diinginkannya.

Selanjutnya, sedikit demi sedikit sepanjang masa kanak-kanak, konsep diri menjadi semakin menyimpang justru disebabkan penilaian orang lain. Akibatnya ,suatu pengalaman organismik yang tidak selaras dengan konsep – diri yang tak wajar ini akan dirasakan sebagai suatu ancaman dan akan menimbulkan kecemasan. Kemudian untuk melindungi kebutuhan konsep – diri ,maka pengalaman-pengalaman yang mengancam ini tidak akan dilambangkan atau diberi suatu perlambangan yang menyimpang .

Menyangkal suatu pengalaman tidak sama dengan mengabaikannya. Menyangkal berarti memalsukan realitas baik dengan mengatakannya tidak ada atau dengan mempersepsikannya secara menyimpang.orang dapat menyangkal perasaan agresifnya, sebab perasaan itu tidak konsisten dengan gambaran diri yang ia miliki sebagai cinta damai dan bersahabat. Dalam kasus demikian, perasaan-perasaan yang disangkal, mungkin diungkapkan dengan perlambangan yang menyimpang, misalnya dengan memproyeksikan perasaan-perasaan tersebut kepada orang-orang lain. Rogers menunjukkan bahwa orang-orang kerap kali mempertahankan dan mengembangkan dengan gigih gambaran diri yang sama sekali berbeda dengan kenyataan. Orang yang merasa bahwa dirinya tidak berharga akan keluar dari kesadaran evidensi yang bertentangan dengan gambaran atau akan menginterpretasilkan kembali evidensi tersebut untuk membuatnya selaras dengan perasaan tidak berharganya. Misalnya, apabila mereka dipromosikan dalam pekerjaan maka mereka akan berkata “pimpinan merasa kasihan kepada saya“ atau “saya tidak pantas menerima promosi tersebut”. Orang – orang tersebut tentu mungkin benar – benar menunjukkan prestasi buruk dalam jabatan yang baru itu untuk membuktikan kepada diri mereka dan kepada dunia bahwa mereka tidak baik.

Bagaimana orang dapat menyangkal ancaman terhadap gambaran diri tanpa terlebih dahulu menyadari ancaman itu? Rogers berkata bahwa ada tingkat-tingkat pengenalan dibawah tingkat pengetahuan sadar, dan bahwa objek yang mengancam mungkin dipersepsikan secara tak sadar atau “disubsepsikan” sebelum sungguh-sungguh dipersepsikan. Objek atau situasi yang mengancam itu, misalnya, bisa menimbulkan reaksi-reaksi viskral, seperti degupan jantung, yang dialami secara sadar sebagai perasaan –perasaan cemas,tapi penyebab rasa cemas itu tetap tidak diketahui. Perasaan-perasan cemas mengaktifkan mekanisme penyangkalan untuk mencegah pengalaman yang mengancam itu agar tidak menjadi sadar.

Keretakan antara diri dan organisme tidak hanya menimbulkan sikap defensif dan distorsi, tetapi juga mempengaruhi hubungan-hubungan seseorang dengan orang-orang lain. Orang-orang yang defensif cenderung merasa bermusuhan terhadap orang-orang lain karena menurut pandangan mereka tingkah laku orang-orang lain tersebut mencerminkan perasaan-perasaan mereka yang disangkal.

Bagaimana keretakan antara diri dan organisme, serta antara aku dan orang-orang lain dapat disembuhkan? Rogers mengemukakan tiga dalil berikut.

“Dalam kondisi-kondisi tertentu, terutama pada saat ancaman terhadap struktur diri sama sekali tidak ada,pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur diri itu mungkin diamati, dan diperiksa, dan struktur diri-nya disesuaikan untuk mengasimilasikan dan masukan pengalaman-pengalman tersebut”.

Dalam “Clien-centered therapy” orang mengemukakan dirinya berada dalam situasi yang tidak mengancam karena konselor sepenuhnya menerima apa yang di katakan klien. Sikap menerima yang hangat pada pihak konselor ini mendorong klien untuk meneliti perasaan-perasaan tak sadarnya dan membuat perasaan-perasaan itu menjadi sadar. Para klien dengan pelan-pelan meneliti perasaan-perasaan yang tidak dilambangkan yang mengancam keamanan mereka. Dalam hubungan-hubungan terapeutik yang aman, perasaan-perasaan yang selama ini mengancam, kini dapat diasimilasikan kedalam struktur diri. Asimilasi ini mungkin membutuhkan reorganisasi yang agak drastis dalam konsep-diri klien supaya sejalan dengan realitas pengalaman organismik. “Ia akan menjadi lebih bersatu dengan dirinya sendiri sebagai organisme, dan ini merupakan hakikat dari terapi”. Rogers mengakui bahwa orang-orang tertentu mungkin dapat mencapai proses ini tanpa menjalani terapi.

Keuntungan social dari menerima dan mengasimilasikan pengalaman-pengalaman yang tidak dilambangkan adalah bahwa orang makin memahami dan menerima orang-orang lain. Ide ini dikemukakan dalam dalil berikut:

“Apabila individu mempersepsikan dan menerima segala pengalaman sensorik dan viskerlanya kedalam satu sistem yang konsisten dan terintegrasi, maka ia pasti lebih memahami orang-orang lain yang lebih menerima orang-orang lain sebagai individu –individu yang berbeda”. Apabila seseorang merasa terancam oleh impuls-impuls seksual, maka ia cenderung mengritik orang-orang lain yang pada penglihatannya bertingkah laku dalam cara-cara seksual. Sebaliknya, hubungan-hubungan social akan menjadi baik dan kemungkinan timbulnya konflik sosial akan berkurang. Rogers yakin bahwa implikasi-implikasi social dari dalil ini adalah “sedemikian rupa sehingga melonggarkan imajinasi”. Hal ini malah merupakan kunci untuk menghapuskan perselisihan interpersonal.

Dalam dalilnya yang terakhir, Rogers menunjukan bagaimana pentingnya orang harus selalu meneliti nilai-nilai yang dimilikinya untuk menjaga penyesuaian diri yang sehat.

“Apabila individu mempersepsikan dan menerima lebih banyak lagi pengalaman-pengalaman organiknya ke dalam struktur dirinya, maka ia akan menemukan bahwa dirinya tengah mengganti sistem nilainya sekarang- yang sebagian besar didasarkan introyeksi-introyeksi yang dilambangkan secara menyimpang-lewat proses penilaian yang berlangsung secara terus-menerus” .

Tekanannya terletak pada dua kata yakni sistem dan proses.Sistem menunjukkan sesuatu yang tetap dan statis, sedangkan proses menujukan bahwa sesuatu tengah berlangsung. Demi penyesuaian diri yang sehat dan terintegrasi, orang selalu memeriksa pengalaman-pengalamannya untuk mengetahui apakah pengalaman-pengalaman tersebut membutuhkan perubahan dalam struktur nilai. Setiap kumpulan nilai yang tetap akan cenderung mencegah orang yang bereaksi secara efektif terhadap pengalamn-pengalaman baru. Orang harus fleksibel untuk menyesuaikan diri secara tepat terhadap kondisi-kondisi kehidupan yang baru.

Sehubungan dengan ini Rogers mengemukakan pertanyaan, apakah proses penilaian yang terus menerus terhadap pengalaman-pengalaman seseorang menurut patokan-patokan yang sama sekali pribadi sifatnya, tidak akan menimbulkan anarki sosial? Menurut keyakinan Rogers tidak. “Semua orang pada dasarnya memiliki kebutuhan-kebutuhan yang sama, termasuk kebutuhan supaya diterima oleh orang-orang lain. Maka dari itu, nilai-nilai mereka akan memiliki ‘banyak kesamaan’ “.

Mengakhiri uraian tentang ciri-ciri pokok teori Rogers ini, pembaca mungkin heran mengapa teori tersebut dinamakan “person centered” atau “berpusat pada pribadi”, jawabannya sangat sederhana. Dalam individu yang berfungsi sebagai sang pribadi adalah juga sang organisme. Dengan kata lain, sama sekali tidak ada perbedaan antara kedua istilah tersebut. Istilah pribadi lebih disukai karena istilah itu lebih bermakna psikologis. Pribadi adalah organisme yang mengalami. Pribadi dan diri adalah juga sama apabila diri benar-benar kongruen dengan organisme. Semuanya ini dapat disimpulkan: organisme sebagai suatu sistem yang hidup, bertumbuh dan bersifat holistic merupakan realitas psikologis dasar. Setiap bentuk penyimpangan dari realitas dasar ini akan mengancam integritas pribadi yang bersangkutan.

Gangguan Identitas Gender dan Seksual

Ilustrasi : Olga Syahputri

Olga Syaputri (hanya Ilustrasi)

GANGUAN IDENTITAS GENDER DAN GANGGUAN SEKSUAL

Pendahuluan

Seksualitas merupakan sebuah ranah yang sangat pribadi dalam kehidupan individu. Setiap orang adalah makhluk seksual dengan minat dan fantasi yang dapat mengejutkan atau bahkan dapat mengagetkan kita dari waktu ke waktu. Hal ini merupakan fungsi seksual yang normal. Namun ketikan hasrat dan fantasi tersebut mulai membahayakan diri kita dan orang lain maka dapat digolongkan abnormal.

Perilaku seksual itu bermacam-macam dan ditentukan oleh interaksi faktor-faktor yan kompleks. Perilaku seksual juga dipengaruhi oleh hubungan seseorang dengan orang lain, lingkungan dan kultur dimana ia tinggal.

ISI

  1. GANGGUAN IDENTITAS GENDER

Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Identitas jenis kelamin didasarkan pada sikap, pola perilaku dan atribut lain yang ditentukan secara kultural yang biasanya berhubungan dengan maskulinitas atau feminitas. Orang dengan identitas jenis kelamin yang sehat akan mampu berkata ” saya adalah laki-laki” atau ”Saya adalah perempuan”.

John Money mengambarkan perilaku peran jenis kelamin sebagai semua hal yang dikatakan atau dilakukan seseorang  untuk mengungkapkan dirinya sendiri sebagai individu yang memiliki status laki-laki atau perempuan. Suatu peran jenis kelamin tidak didapatkan ketika lahir teapi dibangun secara komulatif melalui pengalaman yang ditemukan dan dilakukan melalui pengajaran yang kebetulan dan tidak direncanakan, melalui instruksi dan penanaman yang tegas.

Hal yang perlu dperhatikan adalah kesesuaian identitas jenis kelamin dan peranan jenis kelamin. Walaupun atribut biologis itu penting tetapi faktor utama dalam mendapatkan peranan yang sesuai dengan jenis kelamin seseorang adalah melalui proses belajar.

Sedangkan orientasi seksual digambarkan sebagai obyek impuls seksual seseorang/kecenderungan reposn erotik seseorang. Contohnya heteroseksual : jenis kelamin berlawanan, homoseksual : jenis kelamin sama dan biseksual : kedua jenis kelamin.

Gangguan identitas gender biasanya dikenal juga dengan istilah transeksualisme, memiliki karakteristik perasaan yang menetap dalam diri sesorang tentang ketidaknyamanan memiliki jenis kelamin (biologis) mereka, dan peran gender yang sesuai dengan  jenis kelamin tersebut. Pada istilah sehari-hari  mereka inilah yang sering disebut sebagai waria.wadam.banci.bencis.bencong ataupun istilah –istilah semacam itu. Gangguan ini biasanya muncul sejak awal masa kanak-kanak, munclunya ganguan ini antara lain saat usia 2-4 tahun, mereka merasa bahwa mereka adalah orang yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya saat itu. Mereka tidak menyukai pakaian dan aktivitas yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Bukti-bukti anatomi mereka atau kelamin normal dan karakteristik jenis kelamin sekunder yang umum, seperti tumbuhnya cambang pada laki-laki dan membesarnya payudara pada perempuan, tidak membuat mereka merasa bahwa mereka adalah orang dengan gender yang dilihat orang lain pada mereka.

Data menunjukkan bahwa gangguan indentitas gender 6 kali lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Ketika gannguan identitas gender bermula di masa kanak-kanak hal itu dihubungkan dengan banyaknya perilaku lintas gender, sperti cara berpakaian yang menyerupai lawan jenisnya, lebih suka bermain dengan teman-teman lawan jenisnya. Meskipun demikian, sebagian besar anak yang mengalami gangguan identitas gender tidak tumbuh dewasa sebagai orang yang terganggu, meskipun banyak yang menunjukkan orientasi homoseksual.

PENYEBAB GANGGUAN IDENTITAS GENDER

FAKTOR BIOLOGIS

Penjelasan biologis munculnya gangguan identitas gender sangat berkaitan dengan hormon dalam tubuh. Tubuh manusia menghasilkan hormon testosteron yang mempengaruhi neuron otak, dan berkontribusi terhadap maskulinitas otak yang terjadi pada area seperti hipotalamus. Dan sebaliknya dengan homon feminin. Namun hingga saat ini, pengaruh hormon terhadap munclnya gangguan masih menjadi kontroversi.

FAKTOR SOSIAL DAN PSIKOLOGIS

Seorang anak akan mengembangkan identitas gendernya selaras dengan apa yang diajarkan pada mereka selama masa pengasuhan. Menurut pendekatan psikososial, terbentuknya gangguan identitas gender dipengaruhi oleh interaksi temperamen anak, kualitas dan sikap orang tua. Secara budaya masih terdapat larangan bagi anak laki-laki untuk menunjukkan perilaku feminin dan anak perempuan menjadi tomboy, termasuk dengan perbedan terhadap pakaian dan mainan untuk anak laki-laki dan perempuan. Hipotesis lain adalah bahwa perilaku feminin yang stereotip pad aanak laki-laki didorong oleh ibu yang sejak sebelum kelahiran anak menginginkan anak perempuan. Namun hipotesis ini masih mendapat tantangan hingga kini.

TERAPI GANGGUAN IDENTITAS GENDER

PERUBAHAN TUBUH

Proses perubahan tubuh seharusnya didahului dengan psikoterapi selama 6-12 bulan dan hidup sesuai gender yang diinginkan, dengan fokus terapi pada kecemasan dan depresi yang dialami, dan berbagai kemungkinan yang tersedia bagi orang yang ingin mengubah tubuhnya. Perubahan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya beberapa orang yang mengalami gangguan identitas gender dapat memilih untuk menjalani operasi kosmetik, seoramg transeksual laki-lak ike perempuan dapat menjalani elektrolisis untuk menghilangkan bulu-bulu di wajah dan operasi untuk mengecilkan pipi dan jakun. Banyak transesksual juga mengkonsumsi hormon agar tubuh mereka secara fisik mendekati keyakinan mereka tentang gender mereka.

OPERASI PERGANTIAN JENIS KELAMIN

Cara ini adalah suatu proses dimana alat genital diubah untuk dibuat menyerupai alat kelamin lawan jenis. Karena apabila sudah dilakukan operasi jenis kelamin tidak dapat diubah lagi, maka ada proses yang harus dialalui. Antara lain dengan mengikuti percobaan hidup dengan jenis kelamin yang diharapkan selama setidaknya 3 bulan dan juga pasien harus menjalani terapi hormon.

MENGUBAH IDENTITAS GENDER

Identitas yang dimiliki mungkin dapat diubah, sehingga sesuai dnegan jenis kelamin biologisnya. Beberapa orang di Amerika Serikat mencoba cara ini dan berhasil. Namun hal ini cukup sulit dan sering gagal, sehingga kebanyakan penanganan yang dilakukan adalah dengan mengubah jenis kelamin (biologis).

Gangguan Pengendalian Diri: Trichotillomania

Trichotillomania

Trichotillomania

Trichotillomania

Desakan untuk mencabut rambut seseorang, yang menjadi suatu keharusan pada orang-orang dengan penyimpangan langka disebut trichotillomania, nampak aneh dan jauh dihilangkan kenyataan perilaku manusia sehari-hari. Dalam budaya kita, banyak wanita-wanita yang telah sadar mengenai facial rambut dan mengalami kesulitan untuk menghilangkannya. Bagaimanapun, untuk sebagian orang adalah tindakan mencabut rambut mengemangkan dorongan kualitas, membuat mereka memiliki keasyikan dengan mencabut rambut mereka dimana mereka terlupa pada fakta bahwa mereka sedang merusak penampilan mereka.

Karakteristik

Seperti orang-orang dengan penyimpangan pegendalian keinginan yang lain, penderita trichotillomania mengalami suatu peningkatan tekanan perasaan yang dapat dibebaskan untuk sementara dengan mencabut rambut. Masalah ini paling sering terjadi pada anak perempuan dan wanita, yang umumnya dimulai pada masa kanak-kanak atau masa remaja (Muller, 1987). Orang-Orang dengan  penyimpangan ini merasa tidak mampu untuk melawan keinginan untuk menarik rambut, dengan mengabaikan fakta bahwa perilaku mereka mengakibatkan kebotakan-kebotakan sebagian dan hilangnya alis, bulu mata, rambut ketiak, dan bulu kemaluan. Pada kasus ekstrim, beberapa individu mentelan rambutnya setelah mereka mencabutnya, beresiko bahaya mengeras dalam pertu atau usus.

Disamping bukti fisik yang mengenai kesengajaan pencabutan rambut, orang dengan  penyimpangan ini cenderung menyangkal bahwa mereka sedang mengalami perilaku tersebut. Tetapi tetap saja, mereka tidak bisa melawan keinginan untuk mencabut rambut mereka. Sebagai hasilnya, yang menemukan penyimpangan itu biasanya adalah ahli dermatologi bukannya para ahli kesehatan mental. Yang biasanya terjadi adalah orangtua membawa anaknya ke ahli dermatologi sebab anak kehilangan rambut secara misterius. Ketika diperiksa, ahli dermatologi mungkin melihat banyak rambut pendek dan rusak pada kulit di sekitar daerah kebotakan, menandakan rambut telah dicabuti. Pada kasus lain bukan keprihatinan dermatologis menyebabkan perhatian klinis, tetapi beberapa  masalah psikologis lain, penderita trichotillomania juga cenderung untuk mempunyai suasana hati, ketertarikan, penyalahgunaan obat, dan penyimpangan pola makan (Christenson dan kawan-kawan, 1991), dan mungkin menjadi perhatian ahli pengobatan karena permasalahan tersebut.

Walaupun secara relatif sedikit kasus trichotillomania telah dicatat secara resmi, penyimpangan ini kelihatannya yang lebih umum dari yang disadari ahli klinik bahkan ketika tahun 1970. Pada waktu itu, kira-kira 8 juta Orang Amerika diperkirakan memiliki penyimpangan tersebut  (Azrin & Nunn, 1978). Sepanjang akhir tahun 1980, diskusi mengenai topik ini muncul dalam artikel-artikel surat kabar dan pada acara perbincangan, akibatnya banyak lagi orang-orang yang mengakui bahwa mereka menderita masalah ini. Yang menarik, di dalam suatu percobaan yang membandingkan metoda perawatan yang berbeda, subyek diperoleh ketika mereka menghubungi Institut Kesehatan Mental Nasional setelah melihat penyimpangan yang diuraikan pada program acara televisi ABC 20/20  (Swedo dan kawan-kawan, 1989).

Teori dan perawatan

Trichotillomania adalah suatu penyimpangan yang membangkitkan minat yang tidak dipahami dengan baik, walaupun pendukung model utama telah mengusahakan beberapa hipotesis mengenai apa penyebab timbulnya perilaku ini dan bersifat sangat sulit untuk dirubah. Pendukung pendapat biologis berpendapat bahwa trichotillomania adalah suatu varian dari kelainan penyimpangan keinginan. Dugaan ini didukung oleh fakta kedua perilaku penyimpangan ini disebabkan oleh ketegangan atau kegelisahan, dan penderita kedua penyimpangan tersebut bereaksi terhadap berbagai pengobatan, termasuk litium (Christenson dan kawan-kawan, 1991) dan antidepressants (Pollard dan kawan-kawan, 1991), terutama sekali clomipramine, suatu antidepressant yang mengurangi gejala obsesional (Swedo dan kawan-kawan, 1989). Ketika pengobatan menjadi efektif dalam mengurangi perilaku mencabuti rambut, efektivitas jangka panjangnya belum terlihat, lagipula, dapat dimengerti bahwa orang-orang merasa segan untuk memilih pengobatan bertahun-tahun bila tersedia intervensi psikologis efektif.

Dari sudut pandang psikologis, trichotillomania dilihat sebagai awal gangguan dalam hubungan orangtua-anak, kekecewaan seorang anak yang merasakan dilalaikan, ditinggalkan, atau terbebani secara emosional bisa berakhir pada perilaku ini dalam usahanya untuk memperoleh perhatian atau untuk memperoleh suatu gangguan pada bentuk kepuasan (Krishnan dan kawan-kawan 1985). Walaupun ini adalah suatu hipotesis yang dapat dipertahankan, tidak menjelaskan mengapa perilaku ini dapat terbentuk sedemikian kuat dan bertahan. Dari sudut pandang perilaku, pola teladan ini berkembang sebab individu menganggap perilaku mencabut rambut dapat menghilangkan ketegangan.

Perlakuan perilaku untuk penderita trichotillomania dibedakan menjadi lima kategori: kesadaran yang yang ditingkatkan mengenai perilaku, penguatan, mencegah kebiasaan, relaksasi atau teknik hipnotis, dan penggantian dengan perilaku lain (Ratner, 1989). Melalui prosedur yang disesuaikan dengan peningkatan kesadaran, individu didukung untuk secara penuh kesadaran menahan perilaku mencabuti rambut, hal ini dapat terpenuhi dengan membuat catatan pada setiap peristiwa, dengan bicara dengan suara keras mengenai perilaku ketika mencabut rambut, atau dengan meminta anggota keluarga untuk menunjukkan ketika individu sedang melakukan perilaku tersebut. Dengan peningkatan kesadaran mengenai kebiasaan, diharapkan bahwa individu akan mengembangkan kemampuan untuk menghentikan perilaku sebelum terjadi pencabutan rambut.

Penggunaan teknik penguatan mengikuti saat seseorang sedang berusaha menghilangkan perilaku tersebut, sebagai contoh dengan memuji individu atas keberhasilannya menahan perilaku tersebut atau untuk penampilan yang membaik dalam karena berhenti mencabutio rambut dapat memperkuat tekad individu untuk merubah perilaku ini. Teknik melarang bisa melalui perintah pada individu untuk memberi beberapa stimulus yang buruk pada tingkat kesadaran mengenai perilaku tersebut, barangkali jepretan karet gelang sebagai hukuman ketika mencabut rambut (Stevens, 1984)

Walaupun teknik relaksasi umum belum menjadi sangat efektif dalam membantu menghentikan perilaku mencabuti rambut, teknik yang lebih spesifik menggunakan hipnotis kini menjanjikan. Metoda hipnotis efektif diarahkan pada peningkatan kesadaran terhadap kebiasaan tersebut, kepekaan terhadap sisi keburukan dari perilaku perilaku ini, dan semangat individu untuk pengendalian diri (Ratner, 1989)

Teknik tingkah laku lain adalah dengan penggantian suatu perilaku yang lebih bisa diterima seperti menggenggam tangan yang digunakan untuk mencabuti rambut (Tarnowski dan kawan-kawan, 1987). Pendekatan ini didasarkan pada gagasan di mana jika individu sedang melakukan sesuatu yang secara fisik tidak bertentangan dengan mencabuti rambut setiap kali keinginan itu muncul, perilaku yang lebih bisa diterima akan mendukung pada pengurangan perilaku keinginan mencabuti rambut. Bergerak diluar teknik perilaku langsung pada penggunaan prinsip pengertian perilaku, beberapa ahli menghimbau individu untuk memulai suatu dialog dalam rangka memberikan suatu memperingatkan situasi di mana perilaku dapat dimungkinkan untuk terjadi (Ratner, 1989).

Gangguan Pengendalian Diri: Penyimpangan Cara Makan

banyak makan

ilustrasi

Penyimpangan Cara Makan

Arti psikologis dari makanan berkembang jauh diluar kekuatan nitrisinya. Secara umum manusia menjediakan berjam-jam dan banyak usaha untuk memilih, menyiapkan, dan menyajikan hidangan makanan. Sebagai tambahan terhadap ketergantungan fisik terhadap makanan, manusia mempunyai asosiasi emosional kuat terhadap makanan. Orang yang lapar akan merasa tidak nyaman dan mudah menimbulkan amarah, sebaliknya suatu yang makanan enak dapat menyebabkan orang merasa senang dan puas.

Pada sebagian orang, makanan memiliki arti yang sangat besar, dan mereka temukan diri mereka menjadi diperbudak pada suaturitual aneh yang tak sehat saat proses santapan. Orang dengan penyimpangan cara makan berjuang untuk mengendalikan perilaku dan nya yang menyimpang mengenai makanan, dan gangguan terhadap mereka yang berada dekat dengan mereka, banyak yang menempatkan mereka pada dalam bahaya. Kita akan memperhatikan dua penyimpangan yang berhubungan dengan makanan, yaitu: anorexia nervosa dan bulimia nervosa. Walaupun mereka adalah penyimpangan yang beda, ada persamaan penting pada caranya untuk dapat dipahami. Sebagai konsekwensi, kita pembahasan ini akan berkombinasi menyangkut perawatan dan teori tentang penyimpangan-penyimpangan ini.

Karakteristik Anorexia Nervosa

Walaupun banyak orang-orang di Barat yang melakukan diet untuk menurunkan berat badan, pada beberapa titik dalam hidup mereka (Polivy& Herman, 1987), penderita penyimpangan cara makan anorexia nervosa membawa harapan yang tipis hingga sesuatu yang ekstrim, berkebangnya suatu ketakutan yang kuat untuk menjadi gemuk yang menyebabkannya melakukan diet dengan tujuan untuk menjadi kurus. Ketakutan menjadi gemuk merupakan suatu teknik penilaian yang terpenting untuk mendiagnosa anorexia nervosa. Beberapa penderita anorexia nervosa (tipe menolak makan) melakukan berbagai perilaku yang sesuai dengan tujuan pengurangan berat badan seperti menyalah-gunakan obat pencuci perut atau pil diet yang dan memaksakan diri dalam melakukan kegiatan olahraga. Orang yang lain (tipe suka banyak makan) makan terlalu banyak kemudian memaksa diri mereka untuk membersihkannya, atau membersihkan diri mereka apapun juga yang mereka makan. Kelaparan yang berhubungan dengan anorexia nervosa menyebabkan sejumlah kelainan fisik seperti gangguan haid, kulit kering dan pecah-pecah, denyut jantung melambat, mengurangi aktivitas gastrointestinal, dan kelemahan berotot  (Kaplan & Woodside)

Daftar Pustaka
Martaniah, M, Sri, 2004. Pengantar Psikologi Abnormal. Psikologi UGM. Yogyakarta

Impulsivitas Seksual

impulsivitas seksual

impulsivitas seksual

Impulsivitas Seksual

Penderita inpulsivitas seksual tidak mampu mengendalikan perilaku seksual mereka, terkait dalam aktivitas seksual yang sering dan sembarangan. Kelainan ini telah memperoleh perhatian yang luas sejak awal 1980-an, sebagain besar memulai penerbitan buku berjudul : Out of Shadow : Understanding Sexual Addiction karangan Carnes (1983)

Karakeristik

Impulsivitas seksual kadang mengacu pada desakan seksual atau kecanduan seksual, namun istilah ini tidak sesuai (Barth & Kinder, 1987), karena gambaran umum kelainan tersebut tidak mencakup desakan atau kecanduan yang sebenarnya, namun cenderung kurangnya pengendakian dorongan hasrat seksual. Penderita kelainan ini dikuasi sek, merasa tidak terkendali didorong  untuk mencari hubungan seksual yang akan disesali kemudian.  Dorongan ini mirip dengan yang dilaporkan dalam kelainan pengendalian diri lainnya, melibatkan keadaan yang didalamnya seseorang ditekan oleh kebutuhan berhubungan seks. Seringkali, impulsivitas seksual terjadi di banyak hubungan seksual dala suatu jangka waktu yang jelas, bahka reiko penyakit dan penanganannya.

Benar adanya bagi penderita kelainan kontrol implus, penderita perilaku inpulsivitas seksual tidak terkendali disertai dengan kemampuan untuk melakukan peran sosial dan pekerjaan yang wajar.  Mereka mereas sangat tertekan dengan perilaku mereka, dan melakukan hubungan seksual yang mereka cenderung merasa sedih, putus asa, dan malu. Meskipun beberapa penderita impulsivitas seksual dimakan oleh kebutuhan tetap melakukan masturbasi, kebanyakan mencari pasangan, biasanya dengan orang yang tidak mereka kena, dan tida terlibat lebih jauh ketimbang hubungan seksual dengan orang yang tak dikenal.

Kebanyakan penyelidikan rinci impulsivitas seksual dilakukan dengan sample pria homoseksual dan iseksual (Quadland, 1985). Pada kelompok ini, impulsivitas seksual terjadi dengan  lebih dari 29 pasangan perbulan dan lebih dari 2000 hubungan seksual yang berbeda selama hidup mereka. Mereka secara berkala berhubungan sek di lingkungan umum dan memakai alkohol atau obat-obatan saat berhubungan sek, dan biasanya mereka memiliki sedikit sejarah hubungan jangka panjang.

Teori dan perlakuan

Merupakan penjelasan-penjelasan yang paling mengena pada unsur-unsur pembentuk kebebasan seksual yang berhubungan dengan sistem keluarga dan teori mengenai tingkah laku. Kebasan seksual dapat disebabkan baik oleh sikap yang terlalu membatasi terhadap seks atau sebagai suatu akibat dari pengabaian dan penyimpangan di dalam suatu keluarga (Coleman, 1987). Keluarga-keluarga dengan pandangan yang bersifat terlalu membatasi atas pengetahuan seks dianggap turut bersalah jika dipandang dari adanya perilaku pencarian-kenikmatan. Anak akan menjadi tertutup dan gelisah menghadapi perkembangan seksualnya. Satu reaksi lingkungan emosional tersebut akan berkembang menjadi suatu kelainan fungsi seksual tubuh, seperti kelainan keengganan seksual. Contoh ekstrim yang lain, anak mungkin berperilaku menyimpang secara seksual. Semakin orang tua berusaha untuk mengekang seksualitas anak, semakin anak berkeinginan untuk melakukan secara diam-diam dalam pengejaran seksual. Pada saat anak-anak seperti itu sudah memasuki masa remaja, pengejaran seksual akan menjadi suatu bagian yang tidak dapat dikendalikan dari hidup mereka.

Dalam kasus masa kanak-kanak yang diabaikan dan disakiti, anak yang disakiti merasakan kesepian dan kesedihan, dan mencari seks sebagai pelarian sementara dari rasa sakit hatinya. Anak yang merasa tidak bahagia cenderung untuk mencari pelampiasan seksual dengan jalan lari dari anggota keluarga yang menyakiti atau mengabaikan. Sebab kepuasan seksual dapat menjadi suatu penyembuh yang kuat, sangat sulit untuk memisahkan pengertian antara lari dari kesedihan dan penyimpangan seksual. Lama-kelamaan anak berfikir untuk bergantung pada seksualitas dan aktivitas pelarian lain seperti makan terlalu banyak atau penyalahgunaan obat. Setelah dewasa, individu seperti itu dapat menjadi pecandu alkohol atau obat maupun seks (Schwartz& Brasted, 1985).

Mungkin dalam beberapa kasus kelainan seksual disebabkan oleh hormon testosterone yang sangat tinggi yang menyebabkan individu menjadi hypersexual (Berlin& Meinecke, 1981; Gagne, 1981). Jelas disebutkan dalam ilmu fisiologi pada respon seksual, faktor biologi penting bagi pertimbangan dalam kasus pemahaman kelainan seksual.

Perlakuan pada kelainan seksual melibatkan suatu kombinasi dari komponen-komponen yang muncul dari kesadaran diri, perilaku, dan sistem pendekatan keluarga. Terapi kesadaran diri tertuju pada pengangkatan konflik dasar permasalahan individu yang memotivasi perilaku tersebut. Konflik ini meliputi memecahkan permasalahan nonseksual melalui cara seksual, kebutuhan penenteraman hati, dan perasaan tidak aman dari segi seksual (Weissberg& Levay, 1986). Teknik perilaku meliputi pengaruh penolakan secara terselubung, dimana individu dilatih untuk berpandangan buruk mengenai perilaku seksual menyimpang (McConaghy dan kawan-kawan, 1985). Teknik lain meliputi perilaku pengurangan, pemberian bentuk aktivitas alternatif, dan metoda membangkitkan rasa percaya diri individu yang rendah (Schwartz& Brasted, 1985). Keikutsertaan terapi keluarga atau pasangan penting bagi klien-klien dengan perilaku seksual berlebihan dalam konteks hubungan erat jangka panjang. Pendekatan ini tertuju pada peningkatan komunikasi antara klien dengan pasangan klien dan mebangun hubungan mereka untuk memperbaiki tidak berfungsinya pola interaksi yang berpengaruh pada masalah seksual  (Sprenkle, 1987).

Jika melibatkan kejahatan seksual oleh orang lain, pengobatan antiandrogenik terkadang digunakan untuk mengurangi tingkat hotmon testosteronnya. Metoda ini melibatkan sebagian dari keprihatinan serupa yang terdapat pada perawatan terhadap pelaku kejahatan seksual.

Seperti halnya dengan penyimpangan lain dengan dorongan pengendalian diri, terapi berkelompok nampak bermanfaat dalam perawatan pada kelainan seksual (Quadland, 1985). Unsur-unsur keberhasilan pendekatan berkelompok meliputi dukungan kawan senasib, konfrontasi, dan ketersediaan alternatif hubungan sosial.

STANDAR PROGRAM PAUD: ISI, PROSES, DAN PENILAIAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Untuk mencapai tingkat perkembangan yang optimal diperlukan program pengasuhan dan pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini. Isi, proses, dan penilaian merupakan tiga standar nasional pendidikan yang terintegrasi, menyeluruh, dan terpadu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pelaksanaan ketiga standar tersebut sangat menentukan tingkat pe

playgroup paud

PAUD

ncapaian perkembangan anak. Keterpaduan antara isi, proses, dan penilaian tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai moral, religi, dan budaya keluarga serta masyarakat setempat sebagai bentuk tanggung jawab bersama.

Standar isi pendidikan anak usia dini mencakup kerangka dasar, struktur kurikulum, lingkup materi, beban belajar, kalender pendidikan/akademik, dan tingkat pencapaian perkembangan anak. Kurikulum pendidikan anak usia dini tidak terpusat pada orang dewasa tetapi terpusat dan berorientasi pada anak dalam rentang usia 0 – 6 tahun, berdasar atas keragaman latar belakang budaya, kondisi geografis, serta status demografis keluarga. Standar isi memuat bidang pengembangan, bentuk dan intensitas stimulasi dalam pengasuhan dan pendidikan. Standar proses adalah semua pendekatan yang digunakan dalam praktek pengasuhan dan pendidikan yang diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, variatif, menyenangkan, menyehatkan, dan memotivasi anak untuk berpartisipasi aktif secara fisik maupun mental. Standar proses meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi praktek pengasuhan dan pendidikan. Standar penilaian adalah asesmen dan evaluasi terhadap perkembangan selama anak dalam pengasuhan dan pendidikan.

Standar program terdiri dari komponen isi, proses dan penilaian.

  1. Komponen isi

Komponen isi mencakup kegiatan dan waktu stimulasi yang dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 kali seminggu selama minimal 2 jam, maksimal 10 jam. Kalender pendidikan meliputi minggu efektif, waktu pengasuhan dan pendidikan efektif, hari libur bersifat fleksibel tergantung pada masing-masing satuan pendidikan. Persyaratan untuk memenuhi standar isi pendidikan anak usia dini:

  1. Terfokus pada anak, dilakukan dengan konsisten sesuai dengan tingkat kemampuan perkembangan, minat dan kebutuhan masing-masing anak
  2. Memperhatikan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan
  3. Berdasarkan prinsip pembelajaran melalui bermain yang menyenangkan, menantang, dan bermakna bagi anak
  4. Berdasarkan budaya lokal dan pengenalan terhadap budaya lain
  5. Mengandung pengalaman-pengalaman bermain yang melibatkan seluruh modalitas/multisensoris (visual, pendengaran, pengecapan, perabaan, penciuman)
  6. Mendorong keaktifan dan kreativitas fisik maupun mental
  7. Mengoptimalkan potensi di semua bidang (fisik motorik, kognitif bahasa, sosial emosi, dan moral agama)
  8. Mengintegrasikan selain pendidikan juga layanan kesehatan, dan nutrisi serta gizi seimbang
  9. Memberikan beragam kegiatan bermain berupa pengalaman sehari-hari secara fleksibel sesuai dengan kondisi, minat, dan kebutuhan anak

10. Mengenalkan jenis dan alat permainan yang bersumber dari budaya lokal

  1. Komponen proses.

Perencanaan dan pengasuhan anak usia dini perlu memperhatikan penyedian ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan karakteristik setiap tahap perkembangan dan kondisi lingkungan setempat. Perencanaan proses pengasuhan dan pendidikan meliputi rencana kegiatan mingguan (RKM) dan rencana kegiatan harian (RKH) yang memuat tujuan, materi stimulasi, metode, sumber belajar, dan evaluasi. Proses pengasuhan dan pendidikan anak usia dini perlu memperhatikan jumlah maksimal anak per kelompok, beban setiap pamong dalam mengasuh dan mendidik (minimal 18 jam, maksimal 30 jam aktivitas pendampingan per minggu), rasio jumlah anak untuk setiap pamong PAUD disesuaikan dengan usia anak (untuk kelompok usia 0-2 tahun rasio 1:5; usia 2-4 tahun rasio 1:8; usia 4-6 tahun rasio 1:10). Perlu dipersiapkan lingkungan pembelajaran yang memberikan pembiasaan-pembiasaan secara konsisten dalam pembentukan kepribadian anak, misalnya membiasakan anak bersalaman dan meletakkan peralatan yang dibawa di tempat yang telah tersedia. Jadwal kegiatan berupa pendahuluan, inti dan penutup yang pelaksanaan disesuaikan dengan kelompok usia anak. Kegiatan lain yang termasuk dalam proses adalah makan bersama, mencuci tangan untuk membiasakan menjaga kebersihan, menggosok gigi, dan kesempatan untuk istirahat. Tahapan kegiatan meliputi:

  1. Inti, yang berisi pilihan-pilihan kegiatan secara kelompok maupun individual. Anak diberi kesempatan untuk memilih, mengambil, menentukan alat dan kegiatan bermain. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup stimulasi seluruh aspek perkembangan yang bersifat elaboratif, eksploratif dan konfirmatif yang dilakukan dengan berbagai macam metode. Pamong PAUD memfasilitasi anak untuk memperoleh pengalaman bermakna melalui kegiatan sosialisasi, membicarakan gambar, mendengarkan cerita, menyanyi, bersajak pendek, menari, menghitung sederhana serta beragam kegiatan multisensoris.
  2. Pembukaan, berisi kegiatan pengenalan diri dan lingkungan, diskusi, membicarakan hal-hal sesuai minat anak diselingi dengan gerak dan lagu, syair jenaka, sajak pendek.
  3. Penutup, berisi membacakan cerita sederhana yang bermakna bagi anak selain kegiatan konfirmasi dan refleksi diri terhadap kegiatan yang telah dilakukan. Pamong memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk pujian, dan melakukan perencanaan tidak lanjut bagi anak-anak yang membutuhkan.

 

  1. Komponen penilaian.

Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan cara membuat kesimpulan dari hasil pencatatan harian, riwayat kesehatan, berbagai tingkat pencapaian perkembangan anak yang dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Penilaian dilakukan setiap bulan, setiap tiga bulan, sesuai dengan tahap perkembangan anak, semakin awal usia anak semakin pendek jarak penilaian. Deteksi dini dilakukan terhadap anak yang memiliki masalah perkembangan sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Tindak lanjut berupa konsultasi atau rujukan dilakukan apabila dipandang perlu.

STANDAR INFRASTRUKTUR PENDUKUNG, SARANA, PRASARANA, PENGELOLAAN, DAN PEMBIAYAAN

            Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidik pasal 42, 49, 59, 62; setiap satuan pendidikan usia dini wajib memiliki sarana, prasarana, pengelolaan dan pembiayaan. Merupakan tantangan saat ini adalah adanya keragaman pelaksanaan kegiatan dan penataan lingkungan pendidikan anak usia dini di berbagai wilayah di Indonesia. Di kota besar telah tersedia pelayanan pendidikan anak usia dini oleh lembaga swasta dengan dukungan fasilitas lengkap bahkan terkesan mewah.  Sebaliknya, sebagian pelayanan pendidikan anak usia dini di desa terpencil masih sangat sederhana dan seadanya.

Standar ini dimaksudkan untuk menjamin infrastruktur pendukung untuk terselenggaranya pelayanan yang secara minimal dapat dicapai tetapi tetap menjamin tersedianya hal-hal yang esensial bagi keamanan, kenyamanan, kesehatan, untuk menunjang proses tumbuh kembang anak secara optimal.

Standar Infrastruktur Pendukung terdiri dari komponen sarana, prasarana, pengelolan dan pembiayaan. Sarana, adalah segala fasilitas yang dibutuhkan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Komponen sarana meliputi: perabotan, peralatan pendidikan, kesehatan, ketertiban, berbagai jenis media pendidikan, dan bahan-bahan habis pakai. Prasarana, merupakan tempat kegiatan di dalam ruangan maupun di luar ruangan yang menjamin anak melakukan aktivitas secara aman, nyaman, sehat, dan menyenangkan. Pengelolaan, adalah segala hal yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pengasuhan maupun pembelajaran. Pembiayaan, untuk menjamin keberlanjutan dan konsistensi penyelenggaraan diperlukan pengaturan biaya yang meliputi biaya investasi, personal, dan operasi.

Standar Infrastruktur Pendukung terdiri dari:

  1. Standar Komponen Sarana yaitu:
    1. Perabotan
      1. Meja – kursi anak atau tikar sebagai alas lantai
      2. Tempat menyimpan alat permainan
      3. Tempat menyimpan dokumen (perlengkapan administrasi)
      4. Alat pengukur tinggi badan
      5. Alat penimbang berat badan
      6. Alat – alat kebersihan
  1. Peralatan pendidikan
    1. Alat bermain untuk di dalam ruang
    2. Alat/perlengkapan bermain di luar ruang
    3. Perlengkapan musik dan seni
    4. Perlengkapan olah raga
  1. Media pendidikan
    1. Poster
    2. Buku dan alat tulis
    3. Majalah
    4. Elektronik (apabila memungkinkan): radio, tape recorder, dsb.
  1. Prasarana
    1. Ruang aktivitas
    2. Ruang makan
    3. Ruang ibadah (dapat menggunakan ruang aktivitas)
    4. Dapur
    5. Kamar mandi/jamban (tersedia cukup air bersih)
    6. Perlengkapan kesehatan (PPPK)
  1. Pengelolaan
    1. Yaitu penerapan manajemen berbasis masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya: kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas
    2. Setiap lembaga PAUD harus memiliki status yang jelas pengelolaannya apakah oleh perorangan, masyarakat, swasta, LSM, maupun pemerintah
    3. Lembaga PAUD dapat menjalin kemitraan dalam berbagai bentuk kerjasama dengan pihak lain
    4. Lembaga PAUD bersifat terbuka dan akuntabel, memiliki struktur organisasi, personil yang bertanggung jawab, pembagian tugas yang jelas, rencana kerja, melakukan laporan kegiatan dan monitoring evaluasi
    5. Lembaga PAUD harus memiliki pedoman yang mengatur kurikulum, kalender pendidikan, tata tertib serta mekanisme pengawasan
  1. Pembiayaan
    1. Biaya investasi untuk menyediakan sarana dan prasarana, pengembangan SDM
    2. Biaya personal meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan yang melekat pada gaji

Biaya operasi untuk pembelian peralatan dan bahan habis pakai

 

STANDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pendidik anak usia dini harus memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial. Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan mendidik anak usia dini yang dilaksanakan melalui belajar dan bermain. Kompetensi profesional yaitu kemampuan penguasaan materi esensial yang diajarkan pada anak usia dini secara integratif (terpadu) dan holistik (menyeluruh). Kompetensi kepribadian yaitu suatu penampilan yang mencerminkan pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa serta dapat diteladani. Kompetensi sosial yaitu kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan bergaul, baik dengan anak, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua anak dan masyarakat sekitar.

Penyusunan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini dimaksudkan untuk para pendidik anak usia 0 – 6 tahun, namun karena standar pendidik untuk usia Taman Kanak-kanak 4 – 6 tahun sudah ada (dalam proses di BSNP), maka standar Pendidik AUD ini secara khusus akan memusatkan perhatian pada anak usia 0 – 4 tahun.

Mengingat usia 0 – 4 tahun merupakan rentang usia yang berawal sejak anak lahir dan mencakup proses tumbuh kembang seluruh aspek perkembangan secara holistik, maka partisipasi, kerjasama dan keterlibatan bidang, instansi dan lembaga yang terkait dengan masalah tumbuh kembang anak seperti BKKBN, Departemen Kesehatan, Dinas Sosial, lembaga-lembaga masyarakat, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran mengenai pentingnya standar pendidikan anak usia dini.

Selain ketentuan mengenai kompetensi pendidik, sebutan bagi pendidik anak usia dini dapat menggunakan sebutan sesuai dengan apa yang berkembang dan dapat diterima masyarakat. Namun apapun sebutan yang digunakan, harus mengandung makna dan fungsi sebagai pendidik, tutor atau pamong sesuai dengan ketentuan dalam PP No. 19 tahun 2005. Berdasarkan hasil pengamatan, perkembangan pendidikan anak usia dini saat ini, sebutan guru masih merupakan sebutan yang dapat diterima dan diminati masyarakat.

Sesuai dengan fungsi pendidik anak usia dini dalam rentang usia 0 – 4 tahun sebagai sosok pengganti peran ibu maka kompetensi pendidik anak usia dini lebih ditekankan dalam aspek pengasuhan.

Pendidik dan tenaga pendidikan anak usia dini diharapkan memilii kompetensi sebagai berikut:

Kompetensi Pendidik

A

Kompetensi Pedagogik

1

Memiliki wawasan tentang tumbuh-kembang anak usia dini

2

Mampu menciptakan lingkungan yang nyaman, aman, menarik, bersih dan sehat bagi anak

3

Memahami konsep dasar tentang ilmu pendidikan anak usia dini

4

Memiliki kemampuan dalam merancang program bermain pada pendidikan anak usia dini

5

Mampu melaksanakan kegiatan bermain yang integratif, holistik, kreatif dan inovatif untuk tumbuh kembang anak sesuai dengan usia anak

6

Memiliki kemampuan dalam mengembangkan program pendidikan anak usia dini

7

Mampu menyusun satuan kegiatan belajar dan bermain berdasarkan kelompok usia anak dalam satuan harian dan mingguan

8

Mampu melatih rutinitas (makan, minum, istirahat dan toilet training)

9

Menguasai pengetahuan mengenai gizi dan kesehatan anak

10

Memiliki kemampuan melakukan evaluasi tentang perkembangan anak usia dini dalam aspek fisik motorik, kognitif bahasa, sosial emosional dan moral agama

11

Memiliki wawasan tentang pengelolaan dan administrasi lembaga pendidikan anak usia dini

 

B

Kompetensi Profesional

1

Mampu mengembangkan substansi bidang pengembangan PAUD yang bersifat tematik

2

Menguasai kemampuan mengenalkan konsep dasar mengenai matematika, sains, bahasa, pengetahuan sosial, agama, seni, pendidikan jasmani, kesehatan dan gizi sebagai sarana pengembangan anak usia dini

3

Mampu menggunakan berbagai alat permainan sebagai sarana pengembangan potensi anak

4

Menguasai berbagai lagu, tari, dan seni keterampilan anak usia dini

5

Mampu memanfaatkan ruang, waktu dan sarana bermain secara efisien dan efektif

6

Mampu melakukan inovasi dalam bidang yang sesuai dengan perkembangan kegiatan pendidikan anak usia dini

7

Mampu mengaplikasikan pengetahuan tentang pertumbuhan, perkembangan dan cara belajar anak dalam praktek pengasuhan dan pendidikan

8

Mampu mengikuti kegiatan ilmiah dalam upaya meningkatkan kompetensi profesinya

9

Memahami pentingnya peran keluarga dalam perkembangan dan pembelajaran anak usia dini

10

Memahami mengkomunikasikan kepada orang tua mengenai pentingnya aspek gizi dan kesehatan dalam proses tumbuh kembang untuk menunjang aspek pembelajaran anak

11

Memahami dan tanggap terhadap kebutuhan anak sesuai dengan kelompok usia

12

Memahami mengkomunikasikan kepada orang tua mengenai pentingnya pemenuhan kebutuhan psikologis anak (kasih sayang, perhatian, kepedulian, perlindungan)

 

C

Kompetensi Kepribadian

1

Menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif dan berwibawa

2

Menampilkan sikap dan perilaku ikhlas pada anak usia dini

3

Memiliki kesabaran dan kasih sayang dalam mengasuh anak

4

Mencintai anak dengan segala keunikan dan keterbatasannya

5

Menampilkan perilaku bertanggungjawab terhadap setiap perbuatan

6

Memiliki kepribadian luhur yang ditunjukkan dengan menghargai hak-hak anak

7

Berperilaku santun yang mencerminkan ketakwaan

8

Menampilkan diri sebagai pribadi yang menjadi tauladan dan berakhlak mulia

 

D

Kompetensi Sosial

1

Mampu membangun hubungan yang saling menghargai dengan teman sejawat dan tenaga kependidikan lainnya

2

Mampu bekerjasama dan berkomunikasi dengan keluarga anak, instansi mitra, dan masyarakat sekitar

3

Melaksanakan kegiatan belajar dan bermain dengan mengikutsertakan peran  orang tua anak usia dini

4

Membangun kerjasama dan membina jaringan kerjasama antar teman seprofesi dalam rangka menciptakan lingkungan kerja yang kondusif

5

Mampu meningkatkan kepedulian masyarakat dalam mengembangkan kualitas pendidikan anak usia dini

6

Memiliki kepekaan sosial mengenai tingkat pemahaman masyarakat berkaitan dengan pengasuhan pendidikan anak usia dini

7

Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat sekitar kegiatan PAUD

STANDAR TINGKAT PENCAPAIAN PERKEMBANGAN

ANAK USIA DINI

Dalam Bab I pasal 1 butir 14 UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003, tercantum: pendidikan anak usia dini adalah upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan psikologis agar anak memiliki persiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Sesuai dengan kaidah bahwa anak tumbuh dan kembang melalui tahapan-tahapan perkembangan yang berlangsung secara berurutan dan berkesinambungan, maka tingkat perkembangan yang dicapai anak usia dini akan menjadi dasar pencapaian perkembangan pada tahap berikutnya. Dalam setiap tahap perkembangan, anak memiliki ciri perkembangan dan kebutuhan yang spesifik.

Untuk mencapai perkembangan yang optimal, diperlukan cara pengasuhan dan pendidikan holistik dengan memberikan rangsangan perkembangan fisik-motorik; kognitif-bahasa; sosial-emosi; moral-agama. Seluruh aspek tersebut berkembang secara integratif, saling berkaitan dan tidak terpisahkan. Tingkat perkembangan yang dicapai bukan merupakan tingkat pencapaian kecakapan akademik seperti pada pendidikan formal, tetapi merupakan aktualisasi potensi semua aspek perkembangan yang diharapkan dapat dicapai anak pada setiap tahap perkembangan.

Tingkat pencapaian perkembangan secara integratif tersusun dalam urutan tahap usia. Setiap aspek perkembangan akan meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif pada tahap berikutnya.

Tingkat Pencapaian Perkembangan Yang Diharapkan

  1. Pada saat anak berusia 1 tahun diharapakan mampu mencapai perkembangan:
    1. Motorik kasar
      1. Merangkak
      2. Berdiri dengan berpegangan
      3. Berjalan dengan bantuan
      4. Berjalan sendiri beberapa langkah

 

  1. Motorik halus
    1. Meraih benda yang dapat dijangkau
    2. Menunjukkan gerakan membuka, menutup, dan memukul-mukul 2 benda
    3. Mencoba menumpuk atau menyusun kotak atau balok dengan mengikuti contoh
    4. Mencoret-coret dengan alat tulis

 

  1. Kognitif
    1. Menunjukkan respon terhadap suara maupun gerakan
    2. Menunjukkan perhatian terhadap benda di sekelilingnya dan mencoba memegang
    3. Memahami perintah sederhana
  1. Bahasa
    1. Mengoceh
    2. Mengucapkan kata yang belum sempurna mengenai sesuatu yang dimaksud (maem-mama)
    3. Menirukan kata-kata sederhana
  1. Sosial-emosional
    1. Mengekspresikan emosi dengan tersenyum, tertawa, menangis, reaksi takut
    2. Mampu merespon interaksi (bermain ci-luk-ba)
    3. Menunjukkan reaksi menolak terhadap orang yang belum dikenal
  1. Pada saat anak berusia 2 tahun diharapkan mampu mencapai perkembangan:
    1. Motorik kasar
      1. Mampu melakukan gerakan melompat
      2. Mampu naik turun tangga dengan berpegangan
      3. Menarik benda yang tidak terlalu berat (kursi kecil)
  1. Motorik halus
    1. Melipat kertas walaupun belum rapi/sempurna
    2. Membuka/membalik halaman buku, tetapi belum sempurna
    3. Menyusun beberapa balok
    4. Meniru gambar geometris (lingkaran-garis-segi empat)
    5. Kognitif
      1. Menunjukkan berminat terhadap angka dan hitungan sederhana
      2. Mengenal beberapa warna primer (merah, biru, kuning)
      3. Dapat menyebutkan nama benda dan bertanya nama benda yang belum dikenal
      4. Mampu menyebut nama sendiri dan beberapa orang yang dikenal

 

  1. Bahasa
    1. Menggunakan kata-kata sederhana untuk menyatakan keingintahuan
    2. Menyanyikan lagu sederhana
    3. Mulai tertarik pada gambar dalam buku
    4. Menjawab pertanyaan sederhana

 

  1. Sosial-emosional
    1. Menunjukkan reaksi emosi senang, kecewa, marah, takut
    2. Menunjukkan reaksi menerima atau menolak kehadiran orang lain
    3. Tertarik bermain bersama teman tetapi sibuk dengan permainannya sendiri (solitary play)

 

  1. Pada saat anak berusia 3 tahun diharapkan mampu mencapai perkembangan:
    1. Motorik kasar
      1. Berjalan sambil berjinjit
      2. Melakukan gerakan menendang
      3. Menari mengikuti irama
      4. Melakukan gerakan melempar
      5. Menggunting kertas
      6. Melompat dengan satu maupun dua kaki
  1. Motorik halus
    1. Melepas dan memasang potongan-potongan mainan
    2. Merangkai manik-manik yang ukurannya tidak terlalu kecil
    3. Koordinasi jari-jari tangan cukup baik untuk memegang benda pipih (pensil, sikat gigi, sendok)
  1. Kognitif
    1. Menyebut bagian-bagian dari suatu pola (gambar mobil, wajah orang, dsb)
    2. Memasang potongan-potongan puzzle sederhana
    3. Memahami prinsip ukuran (besar-kecil)
    4. Bermain peran (pura-pura)
    5. Mengenal nama bagian-bagian tubuh
  1. Bahasa
    1. Hafal beberapa lagu sederhana
    2. Mampu menggunakan kata tanya (apa, siapa, bagaimana, mengapa)
    3. Memahami cerita (dongeng) dengan bahasa sederhana
    4. Memahami perintah sederhana (letakkan pensil di atas meja)
  1. Sosial-emosional
    1. Mulai memahami mengenai hak orang lain
    2. Mulai menunjukkan sikap berbagi, membantu teman
    3. Menyatakan perasaannya terhadap anak/orang lain (tidak suka pada teman karena nakal)
    4. Meniru perilaku atau sikap (menari – mengendarai mobil – memasak)
    5. Memahami bagaimana dan kapan mengucapkan salam
  1. Pemahaman moral dan agama
    1. Meniru gerakan berdoa
    2. Mengikuti gerakan sembahyang
    3. Mengucapkan terima kasih, maaf
  1. Pada saat anak berusia 4 tahun diharapkan mampu mencapai perkembangan:
    1. Motorik kasar
      1. Berlari sambil membawa sesuatu yang ringan (bola)
      2. Naik atau turun tangga dengan kaki bergantian
      3. Berjalan mundur dengan berjinjit
      4. Melakukan gerakan menuang air atau pasir

 

  1. Motorik halus
    1. Meronce manik-manik
    2. Melipat kertas dengan lipatan mendatar, tegak lurus, atau menyilang
    3. Menggunting mengikuti pola garis lurus
    4. Memasukkan benda kecil ke dalam botol, misalnya potongan lidi, kerikil, biji-bijian
  1. Kognitif
    1. Mampu menempatkan benda dalam urutan ukuran (paling kecil – paling besar)
    2. Mampu menemukan/mengenali bagian yang hilang dari suatu pola gambar (wajah – mobil dsb.)
    3. Meningkatnya fungsi sensori penciuman, pencecap dan peraba melalui pengenalan bau – rasa – dan perabaan
  1. Bahasa
    1. Mampu menceritakan pengalaman sederhana yang dialami
    2. Memahami cerita/dongeng
    3. “Membaca” cerita bergambar dalam buku dengan kata-kata sendiri
    4. Menyatakan keinginan dengan susunan kata yang lebih jelas
  1. Sosial-emosional
    1. Menunggu giliran dalam bermain
    2. Bereaksi terhadap hal-hal yang dianggap tidak benar (marah apabila mainannya direbut atau diperlakukan berbeda)
    3. Menunjukkan reaksi menyesal ketika melakukan kesalahan
    4. Memahami peran dalam permainan khayalan
  1. Pemahaman moral dan agama
    1. Mulai mengerti mengenai hal yang baik – buruk, benar – salah, sopan – tidak sopan meskipun belum selalu dilakukan
    2. Mulai memahami arti “kasihan”, “sayang”
  1. Pada saat anak berusia 5 tahun diharapkan mampu mencapai perkembangan:
    1. Motorik kasar
      1. Menari menirukan gerakan-gerakan binatang, pohon tertiup angin, pesawat terbang dsb.
      2. Melakukan gerakan menggantung (bergelayut)
  1. Motorik halus
    1. Jari-jari tangan berkoordinasi lebih baik dalam melakukan gerakan yang lebih rumit
    2. Memasang dan melepas kancing baju
    3. Mewarnai pada gambar sesuai pola
    4. Membuat suatu bentuk dengan lilin (wax, clay)
  1. Kognitif
    1. Memahami prinsip klasifikasi (mengelompokkan benda berdasarkan bentuk, warna atau ukuran)
    2. Mengenal beberapa angka, huruf, dan logo
    3. Memiliki konsep dalam bermain konstruksi (membuat jembatan – menara – kereta api dsb.)
    4. Menggunakan benda-benda sebagai permainan simbolik
  1. Bahasa
    1. Mampu menjelaskan sesuatu hal kepada temannya
    2. Menyatakan alasan terhadap sesuatu yang diinginkan atau ketidaksetujuan
    3. Mulai mengenal perbendaharaan kata mengenai kata sifat (nakal – pelit – baik hati – berani – baik – jelak dsb.)
  1. Sosial-emosional
    1. Menunjukkan sikap berbagi, menolong, membantu teman
    2. Mampu bersaing dalam perlombaan
    3. Mampu menahan perasaan dan mengendalikan reaksi (sakit tetapi tidak menangis; marah tetapi tidak memukul)
  1. Pemahaman moral dan agama
    1. Ingat untuk berdoa sebelum atau sesudah melakukan sesuatu
    2. Mampu menangkap tema cerita mengenai perilaku utama dan tercela
    3. Pada saat anak berusia 6 tahun diharapkan mampu mencapai perkembangan:
      1. Motorik kasar
        1. Melakukan koordinasi gerakan kaki – tangan – kepala
        2. Meniti balok titian
        3. Terampil menggunakan tangan kanan dan kiri
        4. Mampu menyimpulkan tali sepatu
        5. Menyikat gigi tanpa bantuan
  1. Motorik halus
    1. Menggambar – menulis dengan rapi
    2. Menggunting sesuai pola yang rumit
    3. Menempel gambar dengan rapi
  1. Kognitif
    1. Mampu melakukan klasifikasi benda berdasarkan fungsi (pisau untuk memotong, pensil untuk menulis)
    2. Mengenal prinsip sebab – akibat secara sederhana
    3. Mampu mencari alternatif dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam bermain
    4. Menyusun perencanaan mengenai kegiatan yang akan dilakukan bersama teman-teman
    5. Menunjukkan inisiatif dan kreativitas dalam memilih tema permainan
  1. Bahasa
    1. Mampu menyusun kalimat sederhana dalam struktur lengkap (pokok kalimat – predikat – keterangan)
    2. Ikut terlibat dalam pengambilan keputusan dengan menjelaskan pada kelompok teman sebaya
    3. Perbendaharaan kata lebih kaya dan lengkap untuk melakukan komunikasi verbal

 

Wilhelm Wundt (1832 – 1920)

Wilhelm Wundt

Wilhelm Wundt

Wilhelm Wundt dilahirkan di Neckarau pada tanggal 18 Agustus 1832 dan wafat di Leipzig pada tanggal 31 Agustus 1920. Wilhelm Wundt seringkali dianggap sebagai bapak psikologi modern berkat jasanya mendirikan laboratorium psikologi pertama kali di Leipzig. Ia mula-mula dikenal sebagai seorang sosiolog, dokter, filsuf dan ahli hukum. Gelar kesarjanaan yang dimilikinya adalah dari bidang hukum dan kedokteran.  Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang banyak melakukan penelitian, termasuk penelitian tentang proses sensory  (suatu proses yang dikelola oleh panca indera).

Pada tahun 1875 ia pindah ke Leipzig, Jerman, dan pada tahun 1879 ia dan murid-muridnya mendirikan laboratorium psikologi untuk pertama kalinya di kota tersebut. Berdirinya laboratorium psikologi inilah yang  dianggap sebagai titik tolak berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang terpisah dari ilmu-ilmu induknya (Ilmu Filsafat  & Ilmu Faal). Sebelum tahun 1879 memang orang sudah mengenal psikologi, tetapi belum ada orang yang menyebut dirinya sarjana psikologi. Sarjana-sarjana yang mempelajari psikologi umumnya adalah para filsuf, ahli ilmu faal atau dokter. Wundt sendiri asalnya adalah seorang dokter, tetapi dengan berdirinya laboratorium psikologinya, ia tidak lagi disebut sebagai dokter atau ahli ilmu faal, karena ia mengadakan eksperimen-eksperimen dalam bidang psikologi di laboratoriumnya.

Wundt mengabdikan diri selama 46 tahun sisa hidupnya untuk melatih para psikolog dan menulis lebih dari 54.000 halaman laporan penelitian dan teori.  Buku-buku yang pernah ditulisnya antara lain: “Beitrage Zur Theorie Der Sines Wahrnemung” (Persepsi yang dipengaruhi kesadaran, 1862),  “Grund zuge der Physiologischen Psychologie” (Dasar fisiologis dari gejala-gejala psikologi, 1873) dan “Physiologische Psychologie”.

Gangguan Pengendalian Diri: Penyimpangan Letupan Sesekali

letupan marah sesaat

ilustrasi

Penyimpangan Letupan Sesekali

Sebagaimana halnya pada penyimpangan pengendalian rangsangan diri, penyimpangan letupan sesekali merupakan suatu ketidakmampuan untuk menahan suatu keinginan dimana orang lainpun mengalaminya tetapi tidak memiliki masalah serius dalam mengendalikannya. Keinginan, dalam hal ini, adalah meluapkan perasaan marah yang kuat dan berhubungan dengan perilaku kejam.

Karakteristik

Perilaku yang dijumpai pada penderita penyimpangan letupan sesekali adalah serangan penyakit yang datang sesekali dari amukan ekstrim dimana individu menjadi kasar atau bersifat merusak tanpa provokasi yang serius. Selama peristiwa ini, penderita dapat menyebabkan kerusakan fisik serius pada diri mereka sendiri, orang lain, dan benda-benda disekitarnya. Ketika peristiwa terjadi, mereka merasakan seolah-olah mereka berada dibawah pengaruh mantera, dan beberapa bahkan menggunakan istilah bahwa ia sedang dalam keadaan serangan. Tepat sebelum terjadi letupan, mereka dapat merasakan bahwa sesuatu akan segera terjadi, suatu pengalaman yang telah dibandingkan dengan aura, atau keadaan antisipasi, dimana penderita epilepsi mengalaminya sebelum mengalai serangan. Diantara peristiwa terjadi, penderita tidak menunjukkan tanda-tanda kebiasaan tertentu atau temperamental. Penyimpangan yang langka ini umumnya terjadi laki-laki, sebagian dari mereka dipenjara karena perilaku perusakan atau penyerangan. Wanita yang menderita penyimpangan ini biasanya dikirim ke fasilitas perawatan kesehatan mental untuk menjalani perawatan.

Teori dan perlakuan

Banyak corak mengenai penyimpangan letupan sesekali yang menyatakan bahwa faktor biologi memiliki suatu peran penting yang menentukan, dapat dimungkinkan terdapat kombinasi dengan faktor lingkungan (Hamstra, 1986). Sebagai contoh, seperti pada catatan sebelumnya, penderita penyimpangan ini memperlihatkan suatu pengalaman aura tepat sebelum letupan terjadi serupa dengan penderita epilepsi. Akan tetapi epilepsi tidak termasuk pada penyimpangan ini (Leicester, 1982), sehingga harus ada penjelasan lain. Pada suatu penelitian, orang-orang yang didiagnos menderita kelainan ini cenderung memiliki pengeluaran hormon insulin yang abnormal (Virkkunen, 1986). Tingkat scrotonin dan norepinephrine yang renda juga telah diberitakan (Linnoila dan kawan-kawan, 1983; Virkkunen dan kawan-kawan, 1989). Corak lain yang mendukung penjelasan biologis adalah letupan tidak tetap dan terlihat bahwa keadaan lingkungan tidak mempercepat peristiwa.

Oleh karena telah dipercaya bahwa faktor biologis menjadi penyebab utama dalam pada penyimpangan ini, ahli klinis telah melakukan perawatan somatic (Mattes, 1985), yang biasanya ditambahkan dengan intervensi tingkah laku. Pada pengobatan yang direkomendasikan untuk jenis penyimpangan ini, ahli klinis kembali menggunakan perlakuan yang digunakan terhadap pelaku kekerasan (Lion, 1989). Sebagai contoh, benzodiazepines telah digunakan untuk mengurangi perilaku letupan pada penderita penyimpangan kepribadian tersebut. Pengobatan yang mengubah metabolisme norepinephrine, termasuk litium dan suatu pengobatan yang disebut beta blockers, dapat juga mengurangi perilaku agresif (Eichelman, 1988).

Gangguan Pengendalian Diri : Berjudi Patologi

Berjudi Patologi

Mabuk Judi

Berjudi Patologi

Orang yang dikatakan berjudi patologi adalah orang-orang yang mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk berjudi melebihi orang-orang kebanyakan dan sering pada akhirnya mereka membelanjakan seluruh hidupnya untuk mengejar kemenangan.

Karakteristik

Penjudi patologik tidak mampu melindungi diri mereka  dari keinginan untuk bertaruh. Obsesi mereka adalah mendapatkan uang yang banyak dan menggunakannya untuk kegiatan yang biasa mereka lakukan. Apabila mereka dihalangi berjudi, mereka akan tidak bisa istirahat dan gelisah. Beberapa penjudi patologik mencoba dengan putus asa untuk berhenti tetapi tidak bisa, mereka menipu diri mereka dan orang lain untuk berhernti bila meraka dapat mengganti kehilangan yang telah mereka alami tetapi itu tidak pernah menjadi kenyataan. Lingkungan keluarga dan kerja memburuk sebagai dampak dari munculnya masalah hukum dan finansial. Beberapa penjudi patologik datang dengan perasaan yang putus asa dan memikirkan atau berniat untuk bunuh diri.

Judi patologi berdampak merusak pada kehidupan mereka, perilaku ini mengikis kesejahteraan/kesehatan keluarga. Masalah yang paling banyak dilaporkan para istri dengan suami penjudi adalah gangguan emosional. Perilaku koping yang disfungsional tampil dalam bentuk alkoholik, merokok, makan berlebihan dll. Juga terjadi kekerasan baik fisik maupun verbal dan bahkan usaha bunuh diri. Anak dengan ayah penjudi juga mengalami masalah perilaku baik di sekolah maupun di rumah, seperti ketergantungan obat, tindak kejahatan atau aktivitas yang berhubungan dengan judi. Mereka mempunyai masalah keuangan yang berat sehingga harus meminjam kepada keluarga, teman atau kreditor.

Sangalah jelas, meskipun masyarakat Amerika Serikat memberikan banyak kesempatan berjudi, tidak tiap orang yang berjudi menjadi penjudi patologis. Bagaimanakah hal yang di masa lalu nampak tidak berbahaya berkembang menjadi pola yang mendorong kerusakan diri ? Menurut psikiater Robert L. Custer yang di tahun 1974 mendirikan klinik pertama perawatan judi patologis di Amerika Serikat, seseorang menjadi penjudi patologis mnelalui serangkaian tahap yang di dalamnya berjudi berkembang dari olahraga yang relatif tidak berbahaya  menjadi sebuah fokus total hudup (Custer, 1982). Di tahap pertama seseorang hanya sebagai penjudi hanya sebagai rekreasi yang menikmati berjudi sebagai sebuah aktivitas sosial.  Dalam hal ini perilaku seseorang tidak dapat dipisahkan dari pola berjudi yang ditunjukkan oleh orang awam yang berhenti saat mulai kalah, atau menerapkan batas saat mereka berjudi. Pergeseran ke tahap berikutnya, yang merupakan awal pola berjudi patologis, terjadi saat seseorang mulai memperoleh kemenangan. Saat ini penjudi mulai memperoleh indentisa sebagai pemenang, dan lebih sering keberhasilan diperoleh dalam berjudi, semakin kuat identitas ini.

Selama tahap kemenangan awal, seseorang memperoleh keahlian berjudi, yang dapat meningkat kapanpun mengamali keberuntungan dengan pengetahuan yang lebih besar atas berbegai strategi yang berperan dalam kemenangan.  Jika pada tahap ini seseorang memperoleh kemnangan besar, mendapatkan uang yang lebih besar dalam satu taruhan, penjudi menjadi terdorong ke dalam sebuah pola kecanduan yang tidak dapat dihindarkan menjadi hampir tidak mungkin untuk berhenti. Peristiwa ini sangat menguatkan secara finansial dan psikologis, bahwa seorang individu menjadi dikuasai keinginan untuk mengamaminya kembali.  Penjui sekarang yakin memiliki keberuntungan besar yang unik dan keahlian berjudi, dan mulai membuat taruhan yang lebih beresiko dan lebih mahal. Meski demikian, tidak dapat diacuhkan bahwa keberuntungan tidak bertahan lama, dan orang itu mulai kalah. Kapanpun uang yang diperoleh dari kemenangan besar menghilang sebagaimana kekalahan mulai yang diderita lebih banyak. Menjaga seseorang tetap mempercayaai kepercayaan palsunya bahwa jika kemenangan besar dapat teruloang maka semua masalah akan berakhir. Penjudi bahkan akan berjanji untuk berhenti setelah mendapatkan kemenagang besar lainnya. Pada tahap ini, seseorang mulai berusaha lebih dan lebih keras untuk menebus kekalahan sebelumnya. Sebagaimana keputusasaan mennggunung, seseorang sepenuhnya meluncur kedalam kegiatan yang lebih intensif dan yang dikonsumsi semuanya. Dan diakibatkan sepenuhnya oleh keputusasaan ini, penjudi menerita kehilangan penilaian dan bertaruh secara ceroboh.

Dalam pencarian terhukum atas kemenangan besar  lainnya, sebuah siklus menjadi mapan yang didalamnya penjudi patologis memperoleh kemenagan periodik dan yang mempertahankan optimisme yang tidak masuk akal, namun perolehan ini tidak akan pernah menghapus hutang, karena bagi tiap kenengan yang dialamia, meneruskan berjudi membawa  kerugian yang lebih besar. Pada waktunya kemampuan fisik, psikologis, dan keuangan penjudi menurun drastis dan orang tersebut melakukan tindakan drastis seperti bunuh diri, melarikan diri, atau memulai hidup dalam kejahatan.

Teori dan perawatan 

Kita baru saja melihat tahap yang dikatakan bermula dari berjudi yang sifatnya rekreasi sampai patologis. Tahap ini nampaknya melibatkan beberapa faktor yang sama yang berperan dalam kecanduan alkohol dan obat-obatan, pada seseorang yang terus menerus mencari kepuasan dari suatu perilaku yang memiliki potensi imbala yang kuat meskipun membawa masalah. Usaha memperoleh kemenangan besar secar terus menerus cenderung seperti ketergantungan alkohol, seseorang mencari perasaan terangsang dan terpuaskan melalui pemakaian alkohol, meskipun ada perbedaan yang siginifikan antara keduanya. Membelanjakan uang tidak secara inheren mampu memuaskan sebagaimana menggunakan bahan psikoaktif, demikian juga, pnjudi tidak bertambah kuat dalam tiap berspekulasi saat berjudi, sedangkan alkoholik (pecandu alkohol) mendapatkan penguatan tiap mereka mabuk (Rachlin, 1990).

Selain perbedaan ini, baik ketergantungan alkohol dan penjudi patologis merupakan perilaku kecanduan, dan peneliti terus mencari tahu mengapa bangak penjudi patologis juga memiliki gejala kelainan yang merusak (McCormick dkk, 1987). Mungkin hubungan ini terpendam dalam fakta sebagaimana gejala gangguan, penjudi patologis mencari sesnsasi baru dan yang menarik (Blazcynski dkk 1986).  Penjudi dengan mudah menjadi bosan (Rosenthal, 1986) dan kecanduan rangsangan, apa yang merek asebut “sedang bekerja”. Mereka bergairah oleh resiko kehilangan sebagaimana gairah kemengangan, pengalaman yang menambah penguatan nilai berjudi.

Sebagai tambahan kemudahan menjadi kecanduan, faktor lain apa yang mendorong sejumlah orang menjadi penjudi patologis? Beberapa karakter pribadi yang menarik biasanya melekat pada penjudi patologis, misalnya, penjudi pria cenderung memaksa dan anti sosial, wanita dengan kelainan ini biasanya lebih tergantung, tunduk dan tidak agresif (Peck, 1986). Penjudi patologis juga narsis dan agresif (Dell dkk, 1981), mencari keberhasilan dengan cara yang tidak lazim (Taber dkk, 1986). Dalam survei anggota Gam-Anon (Lorenz & Shuttlesworth, 1983), gambaran istri tentang suami mereka juga memberikan beberapa pandangan yang menarik atas pnjudi patologis. Hampir semua isteri  mengatakan mereka mengatahui suami mereka pembohong yang tidak bertanggungjawab, tidak komunikatif, bermuka dua, dan menuruti kata hati.

Sebagai tambahan karakter pribadi ini, telah dinyatakan bahwa sejumlah besar penjudi patologis diderita dari kelainan emosi, bahkan, terdapat sekumpulan bukti yang mengarah pada penjudi patologis terkait dengan kelainan emosi (McElroy dkk, 1992). Peneliti menyelidiki kemungkinan pengaruh faktor biologis dalam perjudian patologis telah menemukan beberapa karakter menarik pada penderita kelainan ini. Misalnya, penjudi patologis menunjukkan aktivitas noreoinephrine (roy dkk, 1988) dan kecenderunagn besara kelainan Eeg (Goldstein dkk, 1985) ketimbang subjek pembanding.

Sangatlah menarik, penjudi patologis mempercayai bahwa mereka mengendalikan aspek acak perjudian (Dickerson & Adcock, 1987). Mislnya, saat bermain mesin slot, pnjudi patologis biasanya, mengambil waktu untuk menyelidiki sebuah mesin slot sebelum memainkkannya. Mereka dengan cermat mempelajari segi permasalhana mesin yang tidak diperhatikan orang lain, seperti posisi mesin dalam barisan mesin slot atau bagaimana rasa pegangannya. Secara keliru meyakini bahwa mereka dapat memngendalikan kemungkinan yang mempengaruhi hasil taruhan mereka, mereka mengembangkan gagasan yang megah yang mengarahkan mereka untuk menyakini kesuskesesan besar mereka.

Dalam beberap kasus, seorang penjudi patologis mungkin ditopang oleh hubungan perkawianan yang tidak harmonis. Suami penjudi meungkin memperbolehkan isterinya untuk menyalahkan konflik perkawinan  atau suami penjudinya ketimbang pada permasalahaan pribadinya. Atau seorang suami mungkin mendesak isterinya untuk bertaruh jika ia membagi optimismenya yang salah  bahwa isterinya akan memperoleh kemenangan besar secara ajaib (Gaudia, 1987). Bahkan jika pasangan yang tidak berjudi mencoba melepaskan diri dari perkawinan,  akan dipersulit oleh ancaman penjudi atau janji palsu. Dalam suvei pasangan Gam-Anon, isteri penjudi patologis menunjukkan bahwa mereka memiliki kesulitan menjalani niat mereka untuk menyimpan uang dari suami mereka,  dan menkipun tujuh lima persen dari mereka  manunjukkan keinginan untuk bercerai, banyak yang tetap bertahan dengan pasangnnya karena mereka mencintainya, dan berharap mereka akan membaik. Yang menarik, hampir seperlima istrei dalam penelitian ini berasal dari keluarga yang orang tuanya penjudi patologis (Lorenz & Shuttleworth, 1983).

Seperti seseorang yang kecanduan alkohol, penjudi patologis menyangkal menunjukkan tingkat kesulitan mereka dan kecenderungan untuk mecari pengobatan. Saat mereka melakukanya, hal ini berasal dari keputusasaan, merasa bahwa mereka tidak punya pilihan lain karena masalah keuangan, hukum dan keluarga yang serius. Bahkan kemudian mereka harus berhadapan dengan sifat terpendam masalah perjudian mereka. Penedekaatan ini digunakan dalam kelompok seperti Gamblers Anonymous yang anggotanya meruntuhkan tembok penyangkalan antara satu dengan lainnya (Franklin & Ciarrocchi, 1987).

Metode perlakuan mirip dengan teknik untuk merawat kecanduan alkohol yang banyak dipakai secara umum. Dalam emiasaan aversif, metode perlakuan yang paling sering digunakan, seseorang menerima sngatan lisrik yang tidak nyaman namun  tidak menyakitkan ke jari-jari setelah membaca serangkaian bacaan tentang berjudi (McConaghy dkk, 1983). Bagi metode penyingkapan in vivo, seseorang diajak terapis ke kasino judi namun hanya diijinkan melihat tidak berjudi. Metode lainnya, yang nampaknya memiliki efektifitas jangka panjang (McConaghy 1991) adalah dsesensitasi imaginer. Dalam bentuk perawatan ini. klien diminta untuk mambayangkan gambaran yang didalamnya mereka merasa tergoda untuk berjudi dan bersantai saat mereka membayangkan tiap rangkaian perilaku yang terjadi dalam gambaran khususn. Dsesnrisasi dalam prosedur ini dibandingkan dengan yang digunakan untuk merawat orang yang memiliki fobia., dalam hal itu seseorang belajar mengantikan tanggapan yang diberikan pada situasi tersebit dengan tanggapn yang baru yang menggantikan perilaku yang bermasalah.  Dengan penggantian relaksasi bagi penampakan dalam situasi ini, mereka belajra untuk menghindari menjadi tertekan saat tidak diijinkan berjudi, dan melajar mengenali bahwa mereka memiliki kemapuan mengendalikan kecanduan mereka.

Hubungan Kecemasan Dengan Agresivitas

agresi dan kecemasan

agresivitas

Hubungan Kecemasan Dengan Agresivitas

Perilaku agresif yang sering kita hadapi di tengah masyarakat menunjukkan gejala yang cukup memprihatinkan, secara kualitas sangat meningkat. Tindakan agresif yang dilakukan bukan saja terjadi secara musiman, melainkan sudah menjadi kebiasaan bahkan terencana dan sangat beragam misalnya ketika kita menonton TV pada acara Sergap, kita melihat bentuk tindakan agresif mulai dari perkelahian, pengrusakan, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan dan tindakan kriminal lainnya. Berkowitz (1995) menyatakan agresif adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun psikis. Bus dan  Perry (1992) membagi agresi menjadi : agresi fisik(phicikal aggrsion), agresi Verbal ( verbal Agresion), Kemarahan( Anger), permusuhan ( hostility).

Dasar Munculnya Agresif

Untuk menjelaskan faktor dasar dari munculnya perilaku agresif dapat ditinjau dari beberapa pendekatan. Menurut Baron dan Byrne (1997) mengelompokkan agresif menjadi 3 pendekatan yaitu pendekatan biologis, Pendekatan Eksternal dan Pendekatan Belajar.

  1. 1.       Pendekatan biologis

Adalah pendekatan yang mengatakan bahwa tingkah laku organisme termasuk di dalamnya tingkah laku agresif bersumber atau ditentukan oleh faktor bawaan yang sifatnya biologis.

  1. 2.       Pendekatan eksternal

Penyebab timbulnya perilaku agresif adalah faktor ekternal, faktor tersebut merupakan faktor penting dalam pembentukan perilaku agresif. Ada beberapa faktor penting yang mendasari munculnya agresif tersebut antara lain frustasi, kekecewaan karena hambatan yang dihadapi individu dalam mencapai suatu tujuan.

 

  1. 3.       Pendekatan belajar.

Pendekatan belajar mengatakan bahwa perilaku agresif terbentuk karena adanya faktor pembelajaran dari lingkungan sekitarnya melalui pengamatan langsung atau mengamati perilaku orang lain dan agresif merupakan perilaku yang terbentuk karena faktor tersebut.

 

Bertolak dari uraian di atas maka dapat dikatakan sumber munculnya tingkah laku agresif dapat juga dari faktor bawaan yang bersifat biologis, faktor eksternal dalam hal ini situasi-situasi lingkungan yang mengakibatkan seseorang stres, kecewa akibat adanya hambatan dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu di dalam kehidupannya dan agresif itu juga bisa terjadi akibat adanya proses imitasi yang dilakukan terhadap apa yang ditangkap lewat indera.

Pendekatan kognitif. Menurut Beck (1967) bahwa pikiran negative merupakan penyimpangan berpikir ( distorsi koknitif), satu di antaranya adalah berpikir ekstrim. Agresi di akibatkan karena adanya kegagalan, kekurangan atau ketidak mampuan anak dalam memproses informasi sosil.

Pendekatan emosional, peristiwa emosional adalah berbagai peristiwa atau pengalaman yang telah lalu, yang mempengaruhi kondisi dan perasaan sseorang, yang berefek pada perilakunya. Peristiwa emosional dalam kehidupan cenderung diingat dengan jelas meskipun kadang mengalami penyimpangan dari keadaan yang sebenarnya, peristiwa-peristiwa tersebut dapat berpengaruh terhadap reaksi emosi dan prilakunya dalam menghadapi stimulasi.  Seseorang yang   kurang mendapatkan afeksi dan penolakan orangtua merupakan penyebab utama perilaku menyimpang terutama anti social. Dan orang yang mengalami perilaku anti social menunjukan perilaku tidak bertanggungjawab dan anti social dengan bekerja tidak konsisiten, melanggar hokum, mudah tersinggung, mudah tersinggung dan agresif secara fisik, tidakmau membayar utang, dan semberono cerobo (Langbehn& Gadort, 2001).

Emosi

            Pada umumnya perbuatan kita sesehari disertai oleh perasaan – perasaan tertentu, yaitu perasaan senang, tidak senang mewarnai kehidupan kita sehari- hari disebut warna efektif. Jika warna efektif ini kuat maka perasaan lebih mendalam, lebih luas dan terarah perasaan seperti ini disebut emosi.

Menurut Albin (1993) emosi adalah perasaan yang kita alami , misalnya rasa senang, sedih, marah, cemas, cinta dan sebagainya. Sedangkan Goleman( 1997) menganggap emosi adalah suatu keadaan mental yang melibatkan aspek biologis, psikologis maupun kecenderungan untuk bertindak. Pengertian hampir sama juga dikemukakan oleh Samon & Knrick (1994) yaitu bahwa emosi memiliki tiga komponen yang saling terkait: aspek fisiologis, ( yang mencakup sisetm saraf), aspek perilaku ( khususnya gerakan atau ekspresi wajah), dan aspek pengalaman fenomenologis ( yang melibatkan aspek koknitif dan perasaan). Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa emosi terjadi karena reaksi fisik, kognitif, psikologis dan  fenomena. Emosi dapat dibagi atas dua bagian yaitu: emosi positif dan emosi negatif. emosi positif misalnya: heppiness/joy, pride, love/affection dan relief (berakhirnya rasa yang menyakitkan).            Emosi negative adalah emosi utama yang dihasilkan dari pencapaian tujuan yang tidak selaras. Emosi negative misalnya: marah, ketakutan-kecemasan, rasa bersalah, malu, kesedihan, iri-cemburu dan jijik. Sedangkan emosi positif misalnya: heppiness/joy, pride, love/affection dan relief (berakhirnya rasa yang menyakitkan) salah satu emosi negative adalah kecemasan yang merupakan inti pembahasan pada penulisan ini.

 

Kecemasan

Kecemasan merupakan salah satu emosi negatif yang dihasilkan dari pencapaian tujuan yang tidak selaras. Menurut Averill (1988), kebanyakan orang yang diserang kepanikan tidak dapat menjelaskan apa yang Ia cemaskan dan apa yang harus Ia lakukan.

Menurut Freud kecemasan muncul ketika kita berada dalam bahaya, karena adanya stimulus yang berlebihan dan konflik pada masa oral, amal dan phalic dapat menjadi sumber dari kekecewaan dari kecemasan. Beker berpendapat bahwa jika kecemasan bersifat permanen / menetap maka akan merusak tubuh, bahkan seseorang dapat sekarat dan kehilangan identitas dirinya. Tema ketakutan dan kecemasan difokuskan pada ancaman yang tiba-tiba dan merusak.

Appraisais Pattern

Kecemasan merupakan emosi yang dinilai berdasarkan pada komponen:

  1. Jika ada tujuan yang relevan, maka dapat menimbulkan emosi, termasuk kecemasan.
  2. Jika ada tujuan yang tidak selaras (goal incongruence), kemudian kemungkinannya akan menimbulkan kecemasan
  3. Jika tile of ego – involvement ada untuk melindungi ego – identity – nya ketika keberadaan diri merasa terancam, sehingga menimbulkan kecemasan.

 

Kecenderungan tindakan kecemasan, cenderung dengan menghindar, mencari jalan keluar jika ada sesuatu yang menyakitkan muncul secara tiba-tiba, secara nyata akan menimbulkan kecemasan dan keadaan ketidakpastian akan menimbulkan kecemasan dan secara nyata ketika cemas cenderung tindakan yang dilakukan melarikan diri atau menghindar. Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa jika kecemasan bisa digunakan secara tepat, kecemasan dapat menyadarkan individu akan adanya bahaya yang datang dari luar maupun dalam. Kecemasan ringan sering dipandang konstruktif karena dapat merangsang individu untuk memfokuskan perhatian dan meningkatkan efisiensi dalam feformnya. Resiko yang ringan dirasakan sebagai stimulus dan tantangan untuk memicu individu untuk megembangkan diri.

Menurut Mira (Witt dan Wat, 1981) mengatakan bahwa kecemasan dapat bersifat adaptif bila keadaan tidak menyenangkan yang timbul dapat memotivasi individu untuk mempelajari cara-cara baru dalam menghadapi tantangan kehidupan.

Kecemasan yang abnormal merupakan kecemasan yang kronis. Adanya kecemasan tersebut menimbulkan perasaan dan tingkah laku yang tidak efisien. Menurut Buras (1988) ekcemasan dapat timbul karena adanya distorsi kognitif (penyimpangan) pola berpikir yang terjadi pada individu.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan antara kecemasan dan agresivitas.  Hal ini disebabkan karena individu yang mengalami kecemasan akan berdampak pada gangguan fungsi pikiran, fisiologis, psikologis serta organ tubuh lainnya. Dalam teori dikemukakan bahwa efek dari ganguan kognisi, fisik serta emosi sangat dimungkinkan memunculkan agresivitas. Distorsi kognitif mengganggu fungsi pemikiran sehingga berpengaruh terhadap preposisi proses berpikir dan terkait dengan hasil pemikiran tersesat, kondisi fisik yang terganggu mengakibatkan ketidak tenangan sehingga berakibat pada munculnya perilaku agresif diantaranya agresivitas. Demikian juga dengan kondisi emosional memiliki keterkaitan erat dengan perilaku agresif tersebut.

Berdasarkan uraian di atas maka orang tua dan guru di sekolah juga perlu memperhatikan kondisi perilaku anak , dan menciptakan lingkungan yang kondusif tenang, dan harmonis baik di rumah maupun sekolah agar tidak memicu munculnya ketegangan yang berevekkan kecemasan, dan memiliki dampak munculnya agresivitas di kalangan sekolah maupun masyarakat

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Albin, R.S 1993. Emosi: Bagaiman Mengenal Menerima dan Mengerahkannya

( M Birgit, penerj). Yogyakarta: Kanisius

Baron Roberts A. dan Byrne, Donn. 1997. Social Psichology Understending Human Interaction. Needham: Allyn dan Bacon

Berkowitz, L.M. 1995. Agresi Sebab dan Akibatnya. (Hartati Woro Susianti Penerj). Jakarta. PT. Pustaka Binaan

Burns, D.D. 1988. Terapi Kognitif, Pendekatan Baru Bagi Penanganan Depresi (Alih bahasa: Santosa). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Richard S. Lazarus. 1999. Emotion & Adaptation, Oxford University Press, New York

Goleman,D. 1997.Kecerdasan emosional: mengapa EI lebih penting dari IQ?

(T Hermaya, penrj). Jakarta Gramedia Utama.

Devison& Neale. 2006. Psikologi Abnormal ( Noermalasari Fajar penerj) Jakarta, Raja Grafindo Prasada