Filsafat ilmu sebagai landasan pengembangan Ilmu pengetahuan alam

tokoh filsafat

tokoh filsafat

1.Pendahuluan

Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987,  Nuchelmans, 1982).

Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.

Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.

Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.

Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon  (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.

Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).

Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena  pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu  sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa  filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.

Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas serta dikaitkan dengan permasalahan yang penulis akan jelajahi, maka  penulisan ini akan difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam”, dengan pertimbangan bahwa latar belakang pendidikan penulis adalah ilmu pengetahuan alam (MIPA – Kimia).

2. Pengertian Filsafat

Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).

Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya  adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.

Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).

Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).

Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.

3. Filsafat Ilmu

Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik  dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.

Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa  filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980)  bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.

Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).

Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.

Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.

Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.

4. Filsafat Ilmu sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Alam

Frank (dalam Soeparmo, 1984), dengan mengambil sebuah rantai sebagai perbandingan, menjelaskan bahwa fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah mengembangkan pengertian tentang strategi  dan taktik ilmu pengetahuan alam. Rantai tersebut sebelum tahun 1600, menghubungkan filsafat disatu pangkal dan ilmu pengetahuan alam di ujung lain secara berkesinambungan. Sesudah tahun 1600, rantai itu putus. Ilmu pengetahuan alam memisahkan diri dari filsafat. Ilmu pengetahuan alam menempuh jalan praktis dalam menurunkan hukum-hukumnya. Menurut Frank, fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah menjembatani putusnya rantai tersebut dan menunjukkan bagaimana seseorang beranjak dari pandangan common sense (pra-pengetahuan) ke prinsip-prinsip umum ilmu pengetahuan alam. Filsafat ilmu pengetahuan alam bertanggung jawab untuk membentuk kesatuan pandangan dunia yang di dalamnya ilmu pengetahuan alam, filsafat dan kemanusian mempunyai hubungan erat.

Sastrapratedja (1997), mengemukakan bahwa ilmu-ilmu alam secara fundamental dan struktural diarahkan pada produksi pengetahuan teknis dan yang dapat digunakan. Ilmu pengetahuan alam merupakan bentuk refleksif (relefxion form) dari proses belajar yang ada dalam struktur tindakan instrumentasi, yaitu tindakan yang ditujukan untuk mengendalikan kondisi eksternal manusia. Ilmu pengetahuan alam terkait dengan kepentingan dalam meramal (memprediksi) dan mengendalikan proses alam. Positivisme menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan ilmu pengetahuan alam.

Menurut Van Melsen (1985), ciri khas pertama yang menandai ilmu alam ialah bahwa ilmu itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan registrasi inderawi yang langsung. Hal kedua yang penting mengenai registrasi ini adalah bahwa dalam keadaan ilmu alam sekarang ini registrasi itu tidak menyangkut pengamatan terhadap benda-benda dan gejala-gejala alamiah, sebagaimana spontan disajikan kepada kita. Yang diregistrasi dalam eksperimen adalah cara benda-benda bereaksi atas “campur tangan” eksperimental kita. Eksperimentasi yang aktif itu memungkinkan suatu analisis jauh lebih teliti terhadap banyak faktor yang dalam pengamatan konkrit selalu terdapat bersama-sama. Tanpa pengamatan eksperimental kita tidak akan tahu menahu tentang elektron-elektron dan bagian-bagian elementer lainnya.

Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri sendiri sejak abad ke 17. Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996), sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Dengan mempelajari gejala-gejala yang paling sederhana dan paling umum secara lebih tenang dan rasional, kita akan memperoleh landasan baru bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang saling berkaitan untuk dapat berkembang secara lebih cepat. Dalam penggolongan ilmu pengetahuan tersebut, dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan keempat.

Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap ilmu yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang dibelakangnya (The Liang Gie, 1999).

Pada pengelompokkan tersebut, meskipun tidak dijelaskan induk dari setiap ilmu tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa fisika, kimia dan biologi adalah bagian dari kelompok ilmu pengetahuan alam.

Ilmu kimia adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan materi serta energi yang menyertai perubahan materi. Menurut ensiklopedi ilmu (dalam The Liang Gie, 1999), ilmu kimia dapat digolongkan ke dalam beberapa sub-sub ilmu yakni: kimia an organik, kimia organik, kimia analitis, kimia fisik serta kimia nuklir.

Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996) memberi efinisi tentang ilmu kimia sebagai “… that it relates to the law of the phenomena of composition and decomposition, which result from the molecular and specific mutual action of different subtances, natural or artificial” ( arti harafiahnya kira-kira adalah ilmu yang berhubungan dengan hukum gejala komposisi dan dekomposisi dari zat-zat yang terjadi secara alami maupun sintetik). Untuk itu pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia tidak saja melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi).

Jika melihat dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan alam, pada mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan nama/istilah filsafat alam bagi ilmu pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat dari judul karya utama dari pelopor ahli kimia yaitu John Dalton: New Princiles of Chemical Philosophy.

Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya yaitu filsafat. Untuk itu diharapkan uraian ini dapat memberikan dasar bagi para ilmuan IPA dalam merenungkan kembali sejarah perkembangan ilmu alam dan dalam pengembangan ilmu IPA selanjutnya.

5. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa filsafat ilmu sangatlah tepat dijadikan landasan pengembangan ilmu khususnya ilmu pengetahuan alam  karena kenyataanya, filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan alam.

DAFTAR PUSTAKA

Bahm, Archie, J., 1980., “What Is Science”, Reprinted from my Axiology; The Science Of Values; 44-49, World Books, Albuquerqe, New Mexico, p.1,11.

Bertens, K., 1987., “Panorama Filsafat Modern”, Gramedia Jakarta, p.14, 16, 20-21, 26.

Koento Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan Pariwara, Klaten, p.6-7, 9, 16, 35, 79.

Koento Wibisono S., 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”, Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta p.3, 14-16.

____________________., 1996., “Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte”, Cet.Ke-2, Gadjah Mada University Press Yogyakarta, p.8, 24-26, 40.

____________________., 1999., “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran Dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu”, Makalah, Ditjen Dikti Depdikbud – Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, p.1.

Nuchelmans, G., 1982., “Berfikir Secara Kefilsafatan: Bab X, Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam, Dialihbahasakan Oleh Soejono Soemargono”, Fakultas Filsafat – PPPT UGM Yogyakarta p.6-7.

Sastrapratedja, M., 1997., “Beberapa Aspek Perkembangan Ilmu Pengetahuan”,  Makalah, Disampaikan Pada Internship Filsafat Ilmu Pengetahuan, UGM Yogyakarta 2-8 Januari 1997, p.2-3.

Soeparmo, A.H., 1984., “Struktur Keilmuwan Dan Teori Ilmu Pengetahuan Alam”, Penerbit Airlangga University Press, Surabaya, p.2, 11.

The Liang Gie., 1999., Pengantar Filsafat Ilmu”, Cet. Ke-4, Penerbit Liberty Yogyakarta, p.29, 31, 37, 61, 68, 85, 93, 159, 161.

Van Melsen, A.G.M., 1985., “Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung Jawab, Diterjemahkan Oleh K.Bartens”,  Gramedia Jakarta, p.16-17, 25-26.

Van Peursen, C.A., 1985., “Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, Diterjemahkan Oleh J.Drost”, Gramedia Jakarta, p.1, 4, 12.

Gangguan Pengendalian Diri: Pyromania

Pyromania

Pyromania (ilustrasi)

Pyromania

Pemandangan kebakaran mempesona banyak orang. Jika sebuah bangunan terbakar, kebayakan orang yang lewat berhenti dan melihat saat api dipadamkan. Lilin dan perapian biasanga digunakan sebagai latar belakang suatu malam romatis atau intim. Bagi sebagian kecil orang yang memiliki kelainan syaraf yang disebut pyromania terpesona oleh api melebihi tingkat normal ketertarikan dan menjadi desakan yang memkasa dan berhaya untuk sengaja menyalakan api.

Karakteristik

Benar adanya dengan semua kelainan kendali syaraf, seseorang dengan pyromania tidak dapat menahan diri mereka untuk bertindak dalam desakan yang kuat dan memaksa, dalam hal ini desakan yang melibatkan maksud keinginan untuk meyiapkan, membuat, dan menonton api. Sebelum pembakaran, orang-orang ini menjadi tegang dan menimbulkan dan atas gambaran api yang mereka mengalami perasaan kenikmatan, kepuasan, atau kelegaan yang memuncak.  Perilaku mereka tidak didorong oleh motif krimial atau keuangan sebagaimana dalam kasus pembakar rumah yang memperoleh keuntungan keuangan melalui penipuan asuransi.

Pyromania merupakan kelainan langka, bahkan di antara pelaku pembakaran, hanya 2-3 persen yang dianggap sebagai penderita pyromania (Crossley & Guzman, 1985). Seperti halnya, penjudi patologis, pyromania lebih umum bagi pria, dengan tanda pertama yang paling sering ditunjukkan adalah ketertarikan patologis pada api saat kanak-kanak (Jacobson, 1985). Di berbagai kasus, kecenderungan seksual dilaporkan berperan dalam desakan perilaku membuat api (yaitu Bourget & Bradford, 1987, Quinsey dkk 1989), mengarah pada kemungkinan bahwa dalam beberapa kasus pyromania mungkin secara nyata sesuai dianggap sebagai perilaku paraphilic fetsishtic. Meski demikana hanya sedikit penelitian sistematis yang telah dilakukan untuk memastikan pernyataan tersebut.

Teori dan perawatan

Sebagian besar penderita pyromonia disebabkan oleh satu atau lebih persoalan atau kelainan, dan dalam kebanyakan kasus kelainan besumber dari permasalahan anak-nakan dan perilaku pembakaran. Sebagai upaya untuk memahami bagaimana pola pmbakaran tidak terkontrol dimulai, dan dalam sebuah upaya untuk mengembangkan program penanggulangan dini, peneliti telah melakukan penyelidikan luas menganai pembakaran pad anak anak, yang  melakukan dua sampai lima pembakaran (Wooden 1985). Anak pembakar tidak perlu tumbuh menjadi penderita pyromania, perilaku pembakaran pada anak-naka dan remaja muncul dari berbagai permasalahan. Wooden (1985) mengambarkan empat macam anak pembakar : anak-anak yang ingin tahu yang secara tidak sengaja membuat kebakaran saat bermain dengan koerk api, anak-nak yang bermasalah dengan orang tua yang mencari perhatian dan pertolongan, anak nakal yang menggunakan api untuk bertindak melawan yang berwenang, dan kelompok dengan beberapa gangguan psikologis yang berkembang menjadi pembakar kronis saat dewasa. Di antara kesus-kasus ekstrem tersebut, Wooden menggambarkan dua macam kepribadian : gangguan syaraf impulsif dan setengah gila. Penderita gangguan syaraf impulsif tidak sabaran, hampir hiperaktif, dan cenderung untuk merusak dan mencuri. Penderita setengah gila mengalami ketidakstabilan emosi, cenderung pemarah, berbagai fobia, dan kecenderungan melakukan kekerasan. sakah satu kasus yang paling terkenal seseorang yang memiliki bentuk ektrim perilaku pembakaran adalah David Berkowitz, pembunih berantai yang mengaku sebagai “Putra Sam” yang dilaporkan merancang 2000 kebakaran di kota New York selama periode 3 thun di pertengahan 1970-an.

Penelitian lainnya pada anak-anak yang nerkuta dengan perilaku pembakaran terbaru memberi ketean lebih mengenai bagaimana perbedaan anak-anak ini dari teman sebayanya. (Kolko & Kazdin, 1988, 1989a, 1989b). Anak-anak pembakar memiliki segudang ketertarikan dan rasa keingintahuan akan api, yang biasanya berkembang sebagai hasil pengamatan dan peniruan mereka atas perilaku pembakaran orang dewasa. Mereka mengetahuai lebih banyak mengenai apa yang diperlukan untuk menyalakan api, dan mereka biasanya memiliki pengetahuan yang mengagumkan mengenai bahan yang mudah terbakar. Sebagai tambahan, masalah keluarga, khususnya yang menyangkut disiplin, merupakan faktor yang berpengaruh.  Orang tua anak pembakar cenderung menerapkan gaya menngatur yang tidak dapat diperkirakan berkutat dari disiplin keras sampai hukuma ringan yang tidak efektif (Kolko & Kazdin 1989a). Hubungan orangtua anak biasanya dicirrikan dengan penyiksaan dan gangguan emosional yang tidak stabil yang menghailkan perkembangan perilaku kelainan tindakan termasuk pembakaran. (Lowenstein, 1989).

Kemungkinan sumbangan biologis bagi pyromania yang dikemukakan dalam penelitian menunjukkan serotonin dan norepinephrine tingkat rendah pada penderita kelainan ini (Roy dkk, 1988 ; Virkkunen dkk, 1987).

Kebanyakan penderita pyromonia menghindari perawatan, sehingga petugas medis hanya menemui mereka yang tertangkap dan diserhkan untuk mendapat bantuan profesional. Orang yang ditahan karena pembakaran seius mereka dikirim baik ke penjara atau ke rumah sakit jiwa, tergantung keadaan penahanan mereka dan proses tuntutan hukum. Idealnya, beberapa bentuk perawatan akan disediakan tanpa peduli penempatan pembakar.

Hanya ada sedikit informasi perawatan biologis, kebanyakan penangggulangan psikologis bagi pyromania yang umumnya diterapkan bergantung pada perisip behavioris. Prinsip yang paling tekemuka adalah teknik grafis, awalnya dikembangkan bagi perawatan anak yang terkait dengan pembakaran. (Bumpass, 1989).  Meneruskan metode ini, petugas medis dan klien membuat sebuah grafik yang terkait dengan sejarah perilaku seseorang, perasaan, dan pengalaman yang terkait dengan pembakaran.  Kiranya, presentasi vilsual kronologi sejarah perilaku ini memungkinkan klien menyadari hubungan sebab-akibat, dan untuk disesuaikaan dengan sunyal yang medesak untuk membakar muncul. Sebagai tanggapan sinyal tersebut, seseorang dapat digantikan dengan cara yang lebih tepat untuk mengurangi tegangan.  Teknik ini telah secara efektif membantu banyak orang menghentikan pembekaran mereka, namun ini hanyalah bagian awal terapi yang harus dipusatkan dalam pengembangan pandangan yang lebih dalam pada perilaku yang berbahaya ini.

Perkembangan Psikologi Anak Dalam Kehidupan Sosial

Perkembangan Psikologi Anak Dalam Kehidupan Sosial

Perbedaan fase perkembangan status sosial di dunia anak-anak dalam persahabatan dan mendapatkan kawan bermain di lingkungan sekolah dan di luar lingkungan sekolah, berbeda dengan pengertian persahabatan yang terjadi pada orang dewasa, untuk orang dewasa persahabatan adalah suatu ikatan relasi dengan orang lain, di mana kepercayaan, pengertian, pengorbanan dan saling membantu satu sama lainnya akan terjalin dalam periode yang lama, sedangkan di dunia anak-anak tidak seperti halnya yang terjadi pada orang dewasa, di dunia anak-anak persahabatan terjalin tidak untuk waktu yang lama, terkadang bila terjadi masalah yang kecil saja, jalinan persahabatan tersebut akan terputus.

Ada dua metode penelitian untuk mengetahui arti persahabatan dan kawan bermain di dalam dunia anak-anak :

1. Dengan cara kita mengajukan beberapa pertanyaan, seperti ;

Siapa teman dekatmu ? kenapa dia ? apa yang kamu senangi dari dia ?

2. Dengan cara kita bercerita tentang persahabatan, kemudian kedua orang sahabat tersebut bertengkar karena mereka tidak dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik.

Dari kedua metode tersebut, metode yang nomor dua kita akan banyak mendapatkan informasi, kemudian kita ajukan pertanyaan kepada anak ; Harus bagaimanakah situasi itu diselesaikan ?

Dari banyak informasi yang diberikan anak tersebut, kita akan mendapatkan kesimpulan yang kita bagi dalam beberapa fase, seperti ;

Fase Pertama ;

– Teman untuk bermain

Teman bermain untuk usia anak antara 5 sampai 7 tahun.

Bagi mereka, teman adalah seseorang yang mempunyai mainan yang menarik yang tempat tinggalnya dekat di sekitar mereka, dan mereka mempunyai ketertarikkan yang sama.

Kepribadian dari teman tersebut tidak menjadi masalah, yang terpenting bagi mereka adalah kegiatan dan mainan apa yang mereka miliki, persahabatan mereka akan terputus apabila salah seorang dari anak tersebut tidak mau bermain lagi dengan anak lainnya karena kejenuhan dan kebosanan, persahabatan mereka akan secepat mungkin terputus dan terbina kembali begitu saja.

Contoh percakapan yang sering kita temui pada anak-anak usia 5 sampai 7 tahun, antara lain mengenai berbagi makanan, misalnya ;

“Kalau kamu memberi saya coklat, kamu temanku lagi”

Dalam usia ini mereka dengan gampangnya mengatakan tentang berteman, biasanya percakapan mereka dimulai dengan perkataan “namamu siapa ? dan namaku……” dan mereka bisa begitu saja berteman setelah saling mengetahui nama masing-masing.

Fase Kedua

– Teman untuk bersama

Teman bermain dan membangun kepercayaan, untuk usia anak antara 8 sampai 10 tahun.

Dalam usia mereka ini, pengertian teman sedikit lebih luas dari pada fase pertama, karena arti teman bagi mereka sudah melangkah ke perasaan saling percaya, saling membutuhkan dan saling mengunjungi.

Dalam fase ini seorang anak untuk mendapatkan teman tidak segampang anak pada fase pertama, karena mereka harus ada kemauan berteman dari kedua belah pihak.

Mereka tidak akan mau berteman lagi setelah di antara mereka timbul masalah, seperti ;

– Salah seorang di antara mereka ada yang melanggar janji ;

– Salah seorang di antara mereka ada yang terkena gosip ;

– Salah seorang di antara mereka tidak mau membantu, disaat temannya tersebut

membutuhkan pertolongan.

Percakapan yang sering kita temui pada fase kedua ini, misalnya ;

“Kenapa kamu pilih dia sebagai temanmu ?”

Dalam fase ini, seorang anak tidak mudah menjalin persahabatan, biasanya persahabatan tersebut terjadi setelah beberapa saat mereka saling mengenal baik baru mereka akan menjalinnya, kadang persahabatan mereka bisa sampai usia dewasa, kadang juga terputus tergantung factor apa yang terjadi selama persahabatan mereka.

Fase Ketiga

– Persahabatan yang penuh dengan saling pengertian

Terjadi pada anak usia 11 sampai 15 tahun, bagi mereka arti teman tidak hanya sekedar untuk bermain saja, di sini seorang teman harus juga bisa berfungsi sebagai tempat berbagi pikiran, perasaan dan pengertian.

Pada fase ini persahabatan memasuki stadium yang sangat pribadi, karena pada umumnya mereka sedang mengalami masa puber dengan permasalahan psikologis seperti ; depresi, rasa takut, problem di rumah, atau problem keuangan yang terjadi pada mereka, biasanya mereka lebih tahu permasalahan psikologis tersebut dibandingkan dengan orang tua mereka sendiri.

Persahabatan pada fase ini bisa berubah seiring dengan berjalannya usia mereka, dari sekedar teman bermain, kemudian berkembang menjadi teman berbagi kepercayaan dan teman berbagi emosi.

Persahabatan tersebut biasanya terputus karena salah seorang dari mereka pindah rumah atau

melanjutkan sekolah di kota lain.

Percakapan di antara mereka yang sering kita dengar pada fase ini, misalnya ;

“Kita butuh teman yang baik, karena kita bisa berbagi ceritera di mana orang lain tidak perlu tahu, teman yang baik akan memberi nasihat atau jalan keluar yang terbaik”

Pentingnya Persahabatan Untuk Perkembangan Sosial Anak-Anak

– Populer atau Tidak Populer dan Apa Akibatnya

Di dalam lingkungan sekolah dasar, biasanya ada anak yang populer dan tidak populer, baik anak tersebut lebih menonjol karena kepintaranya atau pun karena hal yang lainnya.

Mereka mendapat perhatian lebih, seperti selalu diundang dan hadir di pesta ulang tahun temannya sedangkan yang tidak populer tidak pernah diundang.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang hubungan sosial anak populer dan tidak populer di dalam kelas, seorang guru atau kita, dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka,

seperti ;

– Dengan siapa kamu mau pergi tamasya ?

– Dengan siapa kamu mau duduk ?

Ternyata anak populer lebih banyak disebut dan anak tidak populer jarang atau sama sekali tidak disebut.

Untuk lebih mengetahui anak populer dan tidak populer, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikembangkan lagi dengan pertanyaan-pertanyaan negatif dan pertanyaan-pertanyaan positif.

Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita bisa lebih cepat mengetahui mana anak populer dan mana anak yang tidak populer dan juga kita bisa lebih cepat mengetahui serta membantu mengatasi problem si anak pada stadium yang masih belum terlalu jauh.

Dengan cara tersebut, pada akhirnya kita bisa membedakan perkembangan anak-anak secara berurutan, seperti ;

1. Anak-anak yang menyandang bintang sosiometris

Bintang sosiometris, artinya mereka paling banyak disebut sisi positifnya dari pada sisi

negatifnya, biasanya mereka disenangi dan diakui oleh teman-temannya sedikit dari mereka yang menyandang bintang sosiometris ini merasa terasingkan.

2. Anak-anak yang biasa

Biasanya mereka tidak begitu populer dibandingkan dengan bintang sosiometris, tetapi mereka lebih banyak disebut sisi positifnya dan sedikit disebut sisi negatifnya.

3. Anak-anak yang terisolir

Biasanya mereka tidak disebut sisi positifnya dan juga tidak disebut sisi negatifnya, sepertinya anak terisolir tersebut tidak terlihat oleh teman-temannya.

4. Anak-anak yang terasingkan

Biasanya mereka oleh anak-anak yang lain diasingkan dan tidak diakui sebagai teman, mereka biasanya sedikit sekali disebut sisi positifnya dan lebih banyak disebut sisi negatifnya.

Dari urutan-urutan di atas, kita sebagai orang tua harus cepat tanggap dan tidak ragu untuk bertanya kepada guru di sekolah, bagaimana perkembangan psikologi anak di lingkungan sekolah, hal tersebut dilakukan untuk membandingkan perkembangan psikologi anak di lingkungan rumah dan di lingkungan sekolah, supaya kita dapat secepatnya menelusuri dan mengetahui apakah anak kita mempunyai masalah dalam dirinya yang tidak berani diungkapkan kepada kita sebagai orang tuanya dan kita bisa dengan cepat menangani serta membantu memecahkan masalah si anak tersebut, sebelum masalah anak tersebut terlanjur merubah sifat dan karekter si anak.

Faktor-faktor penting yang mempengaruhi dalam status sosial anak

1. Cara orang tua mendidik dan membina anak

Orang tua yang mendidik anak dengan cara bertahap dalam menjelaskan sesuatu hal, dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, biasanya anak-anak mereka memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan mereka akan mudah dalam mengembangkan hubungan sosialnya.

Lain halnya dengan anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang secara penuh dan mereka dididik oleh orang tuanya dengan cara kasar serta mendapatkan peristiwa yang membuat anak tersebut trauma, maka kita bisa dengan jelas melihat perbedaan yang mencolok, biasanya anak tersebut sulit dikendalikan dan memiliki masalah, mereka tidak akan mudah membina hubungan sosial dan sulit membina persahabatan dengan anak lainnya.

2. Urutan kelahiran

Urutan kelahiran, mempengaruhi juga dalam status sosial anak, karena biasanya anak yang paling muda lebih populer dan terbiasa dengan negoisasi dari pada saudara-saudaranya.

3. Kecakapan dan keterampilan mengambil peran

Biasanya anak-anak populer memiliki kecakapan dan keterampilan dalam mengambil apa pun posisi peran dan posisi peran tersebut dapat berkembang menjadi lebih baik.

Anak-anak populer biasanya memiliki intellegensi/kecerdasan yang baik.

Dengan memiliki ciri-ciri tersebut, anak-anak populer lebih mudah menempatkan dirinya atau beradaptasi dilingkungan yang asing.

4. Nama

Ternyata di lingkungan anak-anak, nama dapat membawa pengaruh.

Nama yang dapat diasosiasikan dengan sesuatu hal, dapat membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan sosial psikologi anak. karena anak-anak masih sangat kongkrit dalam menyatakan sesuatu hal, akibatnya anak tersebut merasa rendah diri dan tersudut apabila anak-anak yang lain mencemoohkan karena namanya dapat diasosiasikan dengan sesuatu hal.

5 Daya tarik

Anak-anak yang memiliki daya tarik tersendiri, biasanya selalu populer daripada anak yang kurang memiliki daya tarik.

Anak-anak yang berumur 3 tahun, sudah bisa membedakan mana anak-anak yang menarik dan mana anak-anak yang kurang menarik, reaksi ketertarikkannya hampir sama dengan orang dewasa.

Pada anak usia 3 tahun, anak yang menarik dan anak tidak menarik tidak begitu kelihatan mencolok, tetapi pada anak usia 5 tahun, hal tersebut dapat terlihat sangat jelas, anak usia 5 tahun yang tidak menarik biasanya lebih agresif dan sering tidak jujur dalam bermain, sedangkan pada anak usia 5 tahun yang memiliki daya tarik, biasanya mereka sering diberi masukkan-masukkan yang positif dari sekitarnya sehingga tumbuh rasa percaya diri yang lebih tinggi, sabaliknya pada anak usia 5 tahun yang tidak menarik rasa percaya dirinya berkurang karena terpengaruh masukkan-masukkan yang negatif dari lingkungannya.

6. Perilaku

Tidak semua anak yang menarik menjadi populer karena masih banyak faktor lainnya yang bisa mempengaruhi katagori populer.

Perilaku yang membuat anak populer, antara lain ; ramah tamah, mempunyai rasa simpati, tidak agresif, bisa berkerja sama, suka menolong, suka memberikan masukkan atau komentar yang positif, dan lain-lain.

Secara umum faktor-faktor di atas terdapat pada anak-anak yang populer, dan factor-faktor tersebut dapat menentukan status sosial anak, tetapi tidak selamanya anak  populer pada nantinya dapat menentukan status sosial, sebagian anak-anak yang tumbuh dari lingkungan yang selalu terjaga pendidikannya, intellegensinya, cakap dan terampil, mempunyai nama yang baik serta menarik tetapi tidak popular, sebagian lagi ada juga anak-anak yang tumbuh dari lingkungan yang bermasalah, kurang perhatian dari orang tua, mempunyai nama yang kurang bagus, dan tidak memiliki daya tarik, tetapi bisa juga menjadi populer.

Lalu bagaimana dengan anak-anak yang kurang dihargai seperti ; Anak-anak yang terisolir dan Anak-anak yang terasingkan.

Kelompok anak-anak tersebut memiliki nilai yang rendah dari anak-anak seumurnya, akan tetapi anak-anak yang terisolir lebih mudah diakui dari pada anak-anak yang terasingkan, namun lama kelamaan anak-anak yang terasingkan akan diakui juga.

Anak-anak yang terasingkan memiliki resiko adaptasi lebih besar dalam usia menjelang dewasa, mereka menjadi terasingkan karena ada penyimpangan dari salah satu factor status sosial anak.

Jika anak-anak ini lemah dalam menghadapi ejekkan-ejekkan atau godaan dari anak-anak lainnya, maka hal tersebut dapat membentuk perilaku dan proses belajarnya akan terganggu.

Beberapa problem pada anak-anak yang terasingkan, antara lain ;

–          secara terbuka mereka diasingkan

–          sering terlibat dalam hal-hal kejadian interaksi yang negatif

–          mempunyai masalah perilaku

–          sering memperlihatkan perilaku agresif

–          mempunyai status negatif yang stabil

–          sering bermasalah di sekolah

Secara umum anak-anak yang terasingkan, berreaksi dengan dua cara :

1. Menarik diri

Biasanya mereka menarik diri dari kontak dengan yang lain, mereka sebetulnya ingin main dengan anak-anak lainnya, tetapi mereka diacuhkan dan diabaikan keberadaannya, malahan mereka mengejeknya seperti dengan sebutan “professor” karena anak tersebut memakai kacamata, maka dari itu mereka selalu menhindar dari anak-anak lainnya, di rumah biasanya mereka juga pendiam dan selama mungkin tinggal di kamarnya dengan membaca komik atau mendengarkan musik, kepada orang tuanya mereka beralasan tidak suka main di luar.

2. Perilaku anti sosial

Biasanya mereka sulit untuk diatur, padahal anak-anak lainnya tidak suka dengan perilakunya, misalnya ;

Pada saat anak-anak yang lain bermain bola, kemudian datang anak yang terasingkan, tetapi tidak untuk ikut bermain dengan anak-anak lainnya, anak tersebut datang hanya sekedar untuk mengganggu saja dengan mengambil bolanya, dan apabila ikut bermain bola pun anak itu akan tampil dengan kasar sehingga membuat anak-anak lainnya berhenti bermain, anak yang terasing itu akan marah-marah hingga akhirnya anak-anak yang lain terpaksa mengalah dan bermain bola kembali dengan aturan-aturan yang dikehendaki oleh anak yang terasing tadi.

Untuk anak-anak yang terasing ini di negara-negara yang sudah maju, seperti di Belanda, para orang tua dari anak tersebut akan mendapat laporan dari pengajar atau guru, kemudian mereka diberikan penyuluhan dan konsultasi dari Psikolog Anak yang ada di bawah Departemen Urusan Anak-anak Bermasalah, kemudian akan dikirim ke Departemen Kesehatan untuk gangguan jiwa yang tidak stabil untuk diberi pengarahan dan keterampilan sosial dalam  cara menyesuaikan diri atau cara beradaptasi di lingkungan rumah maupun di lingkungan sekolah.

Untuk orang yang lebih dewasa, mereka diajarkan semacam therapy untuk beradaptasi dalam lingkungan masyarakat supaya akhirnya mereka bisa mandiri.

 

 

Memahami Psikologi Anak

Berbicara masalah psikologi anak, Pakar Psikologi Perkembangan Erikson memfokuskan pada perkembangan psikososial sejak kecil hingga dewasa dalam delapan tahap.

Perlu diketahui, setiap orang akan melewati tahapan dan setiap tahapan akan mendapatkan pengalaman positif dan negatif. Kepribadian yang sehat akan diperoleh apabila seseorang dapat melewati krisis dalam tugas perkembangan dengan baik.

Pada teori psikologi anak, bayi memerlukan pengasuhan yang penuh cinta kasih sehingga ia merasakan aman. Ketidakkonsistenan dan penolakan pada masa bayi akan menimbulkan ketidak percayaan pada pengasuhnya berlanjut pada orang lain dan lingkungan yang lebih luas.

Pada masa usia dini, banyak hal yang membuatnya tertarik sehingga ingin selalu mencoba, meski terkadang pada hal yang berbahaya. Pada tahap ini orang dewasa harus memberikan dukungannya. Erikson mengingatkan bahwa pembatasan dan kritik yang berlebihan akan menyebabkan tumbuh rasa ragu terhadap kemampuan dirinya.

Penelitian tentang psikologi anak, yang berfokus pada bab kecerdasan, lebih jauh diungkapkan Gardner dengan konsep kecerdasan Jamak atau Multiple Intelegence (MI). Gardner mengidentifikasi kecerdasan sebagai kemampuan untuk menemukan dan mencari pemecahan masalah serta membentuk suatu produk yang mempunyai nilai dipandang dari budaya seseorang.

Ketujuh kecerdasan tersebut adalah : Linguistik, logika, matematika, spasial, kinestetik, musik, intrapersonal, interpersonal serta naturalis. Setiap orang mempunyai berbagai potensi tersebut. Masing-masing dapat dikembangkan pada tahap tertentu.

Tangisan Berjam-jam

Terkait psikologi anak, mungkin Anda akan menemukan anak Anda menangis selama berjam-jam. Kunci meredakan tangisan dan teriakan anak adalah bersikap tenang dan tidak perlu tergesa-gesa. Orangtua yang nampak gelisah atau memendam kemarahan tentu akan sulit menerima kondisi si kecil yang juga sedang tidak nyaman dengan tangisannya sendiri.

Anak membutuhkan figur yang tenang dan mampu mengendalikan emosinya. Kontrol emosi Anda akan membuat suatu ruang toleransi apapun reaksi tambahan yang akan dikeluarkan anak. Tangisan anak itu suara musik alam yang indah.

Menurut Hans Grothe, seorang psikolog perkembangan dari Jerman, sebenarnya tangisan dan teriakan tantrum anak ternyata tidak berkaitan dengan usia. Tak hanya anak berusia 2 tahun yang melakukannya, usia 3 atau 5 tahun pun kadang-kadang masih melakukannya.

frekuensi yang terbanyak adalah pada usia 2 tahun. Menurutnya, ada 3 kunci untuk meredakan tangisan anak yaitu ketenangan, ketenangan dan ketenangan. Tentu saja dalam tiga tataran yang berbeda-beda.

Kemampuan ini tidak begitu saja jatuh dari langit, melainkan para orangtua harus melatih dan belajar melihat reaksi anak. Inilah perlunya orang tua memahami ilmu psikologi anak.

Perlu dipahami, menjadi orangtua sebenarnya seperti seorang peneliti di laboratorium. Mencoba sebuah formula pola asuh, memecahkan masalah sesuai dengan budayanya serta kemudian melihat reaksi yang terjadi dengan dicobakan formulanya.

Apabila tidak cocok dan reaksi buruk, maka harus dicobakan formula yang lain sampai cocok. Dan biasanya formula yang cocok untuk satu anak belum tentu cocok untuk anak yang lainnya.

Jadi berlatih dan belajar menjadi peneliti adalah tugas orang tua agar sukses mendidik anak-anaknya. Anda akan mempelajari tentang psikologi anak yang tidak ada habisnya.

Proses psikologis dasar: Emosi dan motivasi (bag 2)

MOTIVASI

Pengertian

Motivasi adalah faktor-faktor yang mengarahkan dan memberi energi pada tingkah laku.

Studi tentang motivasi mencakup identifikasi tentang mengapa orang melakukan sesuatu. Pertanyaan yang sering diajukan:

–          Mengapa orang memilih tujuan tertentu sehingga mendorong dia bertingkah laku?

–          Motif spesifik apa yang mengarahkan tingkah laku?

–          Perbedaan individual Apa saja yang ada sehingga tingkah laku bervariasi?

–          Bagaimana memotivasi orang agar mau melakukan tindakan tertentu?

Kompleksitas motivasi telah mengarahkan pada pengembangan sejumlah konsep tentang motivasi. Meskipun berbeda-beda penekanannya, semua pendekatan tersebut sama-sama berusaha mencari penjelasan tentang  energi yang membuat orang bertindak ke arah tertentu.

 

Pendekatan Instink

Menurut pendekatan ini, kita lahir dengan membawa seperangkat perilaku terprogram yang penting untuk bertahan hidup. Instink-instik ini memberi energi bagi tingkah laku sehingga menjadi terarah. Dari sini dapat diterangkan bahwa sex merupakan respon terhadap instink reproduksi, perilaku menjelajah merupakan tindakan yang didorong oleh instink teritorial.

Tokoh dalam pendekatan ini misalnya William McDougall. Dia mengatakan ada 18 macam instink pd manusia.

 

Pendekatan Pengurangan Dorongan (Drive – Reduction Approach)

Teori ini menyatakan bahwa ketika seseorang kekurangan kebutuhan biologis yang mendasar, misal kebutuhan minum, maka akan timbul dorongan (drive) untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Jika drive itu muncul maka akan menimbulkan kondisi ketidak seimbangan. Ketidak seimbangan ini akan kembali kepada keadaan seimbang (homeostasis) apabila kebutuhan yang muncul sudah terpenuhi.

Drive terdiri dari dua macam: primer dan sekunder. Dorongan primer mencakup segala kebutuhan yang sifatnya biologis. Sedang dorongan sekunder mencakup semua kebutuhan yang muncul akibat pengalaman dan belajar di masa lalu.

Pendekatan Arousal

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita menemukan bahwa orang bertindak bukan semata-mata mengurangi ketegangan, tapi bahkan mencari ketegangan. Pendekatan arousal ini berusaha menjelaskan fenomena tersebut.

Menurut pendekatan ini, kita selalu berusaha mempertahankan tingkat simulasi dan aktivitas pada level tertentu. Jika terlalu tinggi maka kita akan berusaha mengurangi, sebaliknya jika terlalu rendah kita akan berusaha meninggikan dengan cara mencari stimulasi.

 

Pendekatan Insentif

Pendekatan ini lebih menekankan faktor eksternal daripada internal seperti pendekatan sebelumnya. Menurut teori ini, seseorang terdorong bertindak sesuatu karena adanya stimulus / reward  dari luar. Reward ini dalam istilah motivasi disebut insentif.

Pendekatan Kognitif

Pendekatan kognitif menekankan pada peran pikiran, harapan dan pemahaman kita terhadap lingkungan sekitar.

Contoh pendekatan ini adalah Teori Harapan dan Nilai (expectancy – value theory). Menurut teori ini, orang melakukan sesuatu didasari oleh harapan dan nilai tertentu. Jika orang meyakini bahwa tindakannya akan membawa pada pencapaian tujuan tertentu, dan bahwa tindakan itu sangat berharga, maka motivasinya akan tinggi.

Pendekatan kognitif membedakan dua macam motivasi: intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik menyebabkan kita melakukan sesuatu semata-mata demi kepuasan diri. Sedang motivasi ekstrinsik lebih karena reward dari luar.

Berdasar hasil penelitian, motivasi intrinsik lebih berpengaruh positif daripada ekstrinsik.

 

Pendekatan Humanistik: Hirarki Kebutuhan Maslow

Menurut Maslow, pada diri kita terdapat beberapa kebutuhan yang tersusun secara hirarkis sebagai berikut:

Aktualisasi Diri

Harga Diri

Kasih Sayang dan Rasa Memiliki

Rasa Aman

Fisiologis

 

Dorongan  untuk memenuhi kebutuhan muncul jika kebutuhan pada tingkat di bawahnya sudah terpenuhi. Misal dorongan untuk memenuhi kebutuhan rasa aman muncul jika kebutuhan fisiologis sudah terpenuhi.

 

MOTIVASI DALAM KELAS

Mitos-Mitos Tentang Motivasi

  • Siswa yang tidak aktif terlibat dalam pembelajaran berarti tidak memiliki motivasi

–          siswa yang mengerjakan sesuatu belum tentu termotivasi untuk belajar, tetapi termotivasi untuk melakukan sesuatu , dan bahwa “sesuatu” ini dapat mengarah pada problem disiplin yang serius.

  • Kegagalan adalah motivator yang baik

–          pengalaman mungkin merupakan guru yang berharga, tetapi kegagalan yang kronis justru sering mengakibatkan hal yang sebaliknya. Kesuksesan meski itu kecil merupakan motivator yang lebih kuat bagi kebanyakan siswa.

  • Belajar lebih penting daripada motivasi

–          sebagian mengatakan hal yang demikian karena siswa harus belajar untuk survive, maka sekolah harus mendorong siswa untuk belajar. Meski keyakinan ini dapat menghasilkan belajar yang segera, tetapi pada akhirnya konsekuensi yang ditimbulkan negatif. Siswa mungkin tidak menggunakan hasil belajarnya karena tidak bermakna; lebih buruk lagi mereka semata-mata hanya didorong oleh pemikiran untuk menambah belajar.

  • Guru dapat memotivasi siswa

–          secara realistis, hal terbaik yang kita dapat lakukan adalah membuat kondisi belajar semenarik mungkin dan dapat memberi stimulasi. Persepsi, nilai-nilai, kepribadian dan penilaian siswa lah yang pada akhirnya menentukan motivasi mereka. Dengan menyesuaikan tugas dengan kemampuan di bawah kondisi yang menyenangkan dan bermakna (termasuk dorongan guru), kita dapat mendorong motivasi diri siswa.

  • Ancaman dapat meningkatkan motivasi

­          Dengan menggunakan ancaman akan dapat nilai rendah, dilaporkan pada orang tua, dan sebagainya, beberapa guru meyakini bahwa hal tersebut dapat memotivasi siswa. Meski ketegasan kadang perlu digunakan, membangun iklim kelas dengan ancaman akan bersifat kontra produktif.

  • Belajar akan secara otomatis meningkat sejalan dengan meningkatnya motivasi siswa

– bukti yang positif kurang  menunjukkan bahwa motivasi selalu meningkatkan belajar. Motivasi sudah pasti merupakan kondisi yang diperlukan untuk belajar, tetapi jika kondisi vital lainnya tidak ada, kita harus mempertanyakan sejauh mana hasil belajarnya. Sebagai contoh, seorang guru mungkin telah dapat memotivasi siswa, tetapi jika pelajaran tidak terencana dengan baik, guru tidak dapat mengendalikan kelas, atau guru tidak jelas dalam menerangkan pelajaran, maka siswa yang termotivasi mungkin akan belajar lebih sedikit daripada jika kondisi-kondisi lain lebih baik.

 

Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Siswa

  • Kecemasan

Sumbernya dapat dari guru, ujian, teman sebaya, hubungan sosial, standar prestasi, pemikiran anak laki-laki terhadap anak perempuan dan sebaliknya, kesukaan atau ketidaksukaan terhadap  mata pelajaran, dan jarak dari rumah ke sekolah.

  • Sikap

Terbentuknya sikap dapat bersumber dari orang tua, saudara, teman sebaya, guru, performan siswa sendiri, dll.

Strategi untuk menumbuhkam sikap yang positif

  • Ø Sikap terhadap guru

–          sharing sesuatu dengan siswa secara individu dengan cara yang sealamiah mungkin

–          penerimaan terhadap  siswa tanpa harus perlu menerima perilakunya

  • Ø Sikap terhadap mata pelajaran

–          tunjukkan antusiasme terhadap mata pelajaran

–          hati-hati terhadap apa yang secara tidak langsung diajarkan dalam mata pelajaran tersebut, misal hindari tugas ekstra sebagai hukuman

–          tunjukkan betapa penting / bermaknanya mata pelajaran tersebut

  • Ø Sikap siswa terhadap dirinya sendiri

–          beri jaminan kesuksesan bahwa apapun yang akan dilakukan siswa yang memiliki pengalaman konsep diri yang jelek akan berhasil

–          siap untuk memberi dorongan secara konstan, yaitu pada awalnya kita dekati dia untuk menghargai usaha dan kesuksesannya, lalu bantulah mereka pada permulaan mengerjakan tugas untuk meminimalkan kesalahan. Lalu tekankan untuk belajar dari kesalahan dan berilah penguat pada usahanya.

  • Rasa ingin tahu

Cara-cara untuk menumbuhkan rasa ingin tahu siswa :

–          tunjukkan antusiasme kita terhadap mata pelajaran yang diajarkan

–          beri sitmulasi berupa konflik kognitif

–          beri kebebasan siswa untuk memilih topik kapan saja jika memungkinkan, biarkan mereka mengeksplorasi sendiri

–          beritahu siswa bahwa kita tertarik ingin mengetahui dan menyelidiki sesuatu dan tunjukkan perilaku yg biasa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki rasa ingin tahu dalam memecahkan masalah.

  • Locus of control (Pusat Kendali Diri)

Pusat kendali diri adalah kesadaran akan penjelasan terhadap sebab-sebab perilaku  individu. Jika  individu meyakini sebabnya ada di dalam individu sendiri maka disebut pusat kendali dirinya internal, jika penyebabnya di luar individu maka disebut eksternal.

Karakteristik :

LOC Internal

LOC Eksternal

Siap siaga

Kompeten

Mampu menolak pengaruh

Mendominasi

Berorientasi pada prestasi

Independen

Percaya dri

TrampilKurang perhatian

Performannya tidak menentu

Dipengaruhi oleh status

Dipengaruhi oleh teman sebaya

Dikendalikan oleh orang lain

Kurang percaya diri terhadap kemampuannya

Bereaksi secara acak

 

 

Dari tabel di atas maka wajar jika LOC internal lebih dikehendaki daripada LOC eksternal

Implikasi di kelas :

–          Buatlah usaha-usaha untuk memberi siswa suatu tantangan yang realistis. Untuk itu kita harus mengenali siswa sehingga dapat menentukan apa yang dapat dicapai oleh siswa.

–          Kemudian secara hati-hati beri reward atas hasil yang dicapai atau sekurang-kurangnya atas usaha siswa. Reinforcement harus didasarkan pada pencapaian aktual siswa.

–          Gunakan keberhasilan awal dan dorong siswa untuk biasa mencoba dan mengambil tanggung jawab atas tindakannya

  • Learned Helplesness (Ketidakberdayaan yang dipelajari)

Adalah reaksi individu yang menjadi frustrasi dan berhenti berusaha setelah gagal berulang kali meski sebenarnya masih mampu mengubah keadaan. Di sini individu mempersepsikan bahwa lingkungan sekitarnya sudah tidak dapat dikontrol lagi.

Penelitian Diener dan Dweck:

–          ada dua pola perilaku reaksi  siswa terhadap kegagalan : “helpless” dan “mastery-oriented”

–          siswa yang helpless cenderung merenungi hal-hal yang menyebabkan dia gagal, cenderung meremehkan kesuksesan yang diperoleh dan melebih-lebihkan kegagalan

–          siswa yang “mastery-oriented” lebih berfokus pada usaha menemukan solusi bagi problem yang tadinya gagal dipecahkan

Strategi menghadapi siswa yang helpless:  bantulah dia untuk mengevaluasi kegagalannya secara realistis dan memfokuskan diri pada usaha untuk mencapai kesuksesan dan mengatasi perasaan tidak berdaya.

  • Self-Efficacy (Efikasi Diri)

Ini adalah konsep yang dikemukakan oleh Bandura.

Yaitu  penilaian seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk mengorganisir dan melakukan suatu pola tindakan untuk mencapai tipe performan yang diharapkan.

Bandura meyakini bahwa efikasi diri penting bagi kontrol siswa atas motivasinya. Siswa yang memiliki efikasi diri yang kuat cenderung memusatkan perhatian dan usahanya pada tuntutan tugas dan meminimalisir kesukaran-kesukaran yang potensial.

Dalam teori ini dibedakan antara efficacy expectation (efikasi harapan) dengan outcome expectation (harapan hasil). Harapan hasil mencerminkan perkiraan seseorang bahwa perilaku tertentu akan mengarahkan pada hasil tertentu. Sedangkan efikasi harapan adalah keyakinan individu bahwa dia dapat melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk menimbulkan hasil tertentu. Ini perlu dibedakan karena seorang siswa mungkin meyakini bahwa perilaku tertentu dapat memberikan hasil tertentu tapi di tidak yakin dapat melakukan perilaku tersebut.

Efikasi diri siswa berpengaruh terhadap tantangan apa yang akan dihadapi, seberapa banyak usaha yang harus dikeluarkan, berapa lama dapat bertahan, dan seberapa banyak stress yang dapat ditanggung. Siswa-siswa hanya akan menerima tujuan yang bermakna bagi mereka dan bahwa mereka  yakin mampu mencapainya.

Siswa mungkin memiliki efikasi diri yang rendah pada satu bidang tertentu (misal matematika) dan  tinggi pada bidang yang lain (misal bahasa)

  • Cooperative Learning (Belajar Kooperatif)

Yaitu seperangkat metode pengajaran  dimana siswa didorong atau dituntut untuk bekerja sama dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik. Ini melibatkan dua hal : struktur tugas untuk memastikan bahwa anggota kelompok harus bekerja sama satu sama lain dan struktur reward.

Agar efektif harus ada dua kondisi yang harus terpenuhi: masing – masing kelompok memilki tujuan bersama yang bermakna bagi individu dan kesuksesan kelompok harus muncul dari usaha semua anggota kelompok.

Semata-mata menempatkan siswa secara bersama tidak akan menghasilkan perolehan belajar. Siswa perlu bekerja untuk tujuan kelompok dan semua anggota harus memberikan kontribusinya, bukan hanya yang terpandai.

Belajar kooperatif jika dilaksanakan secara baik dapat meningkatkan motivasi, mendorong siswa dari semua golongan untuk bekerja sama dan mengenalkan toleransi dalam kelas yang majemuk.

 

Implikasi Motivasi Dalam Pendidikan

Wlodkowski mencatat bahwa  dalam suatu peristiwa belajar, strategi motivasi dapat berpengaruh penting pada awal, selama dan akhir pembelajaran.

Faktor Kunci Yang terlibat
Awal pembelajaran Sikap dan kebutuhan
Selama pembelajaran Stimulasi dan emosi
Akhir pembelajaran Kompetensi dan reinforcement

 

Proses psikologis dasar: Emosi dan motivasi (bag 1)

EMOSI

Pengertian

adalah perasaan-perasaan yang pada umumnya terdiri dari unsur kognitif dan fisiologis dan mempengaruhi perilaku.

Fungsi

  • Mempersiapkan tindakan: emosi bertindak sebagai penghubung antara peristiwa eksternal dengan  respon yang dibuat individu.
  • Membentuk perilaku di masa yad: emosi yang timbul membantu proses belajar terhadap informasi sehingga membantu kita memberikan respon yang tepat.
  • Membantu regulasi interaksi sosial: emosi yang ditunjukkan seseorang baik melalui perilaku verbal maupun nonverbal merupakan sinyal yang memungkinkan orang lain memahami apa  yang dialami seseorang tersebut. Pemahaman yang baik akan meningkatkan interaksi sosial yang dan layak efektif

 

Macam-macam emosi

Bahwa sebenarnya tidak ada kategorisasi emosi yang sifatnya universal, yang dapat mencakup seluruh pengalaman emosi yang dialami individu dari berbagai penjuru dunia.
 

Teori-teori emosi

  1. Teori James-Lange

emosi merupakan akibat dari perubahan fisiologis yang menghasilkan sensasi spesifik. Sensasi ini diinterpretasi oleh otak sebagai suatu jenis emosi tertentu à saya sedih karena menangis

  1. Teori Cannon-bard

Perubahan fisiologis merupakan akibat dari pengalaman emosi yang dialami à saya menangis karena sedih

  1. Teori Schachter-Singer

Emosi merupakan  label terhadap perubahan fisiologis yang kita alami dan ini dipengaruhi oleh konteks lingkungan. Contoh: jantung berdebar ketika ujian à cemas dan takut; sedang ketika bertemu dengan gadis cantikà jatuh cinta

  1. Perspektif Kontemporer

bahwa pola-pola reaksi biologis tertentu berhubungan dengan emosi individu.

Contoh peneliti telah menemukan bahwa emosi tertentu mengaktivasi bagian otak yang tertentu pula à emosi bahagia berhubungan dengan turunnya aktivitas cerebral korteks pada bagian tertentu, sedih berhubungan dengan peningkatan aktivitas korteks.


Ekpresi Emosi

Secara umum ditemukan bahwa ekspresi emosi dasar melalui wajah sifatnya universal.  Mengapa? Salah satu hipotesis yang berusaha menjelaskan hal ini adalah facial affect-program: kita lahir sudah terprogram untuk mengaktifkan otot-otot tertentu pada wajah ketika mengalami emosi tertentu pula. à emosi bahagia secara universal ditunjukkan dengan gerakan zigomatik mayor, otot yang menaikkan sudut mulut sehingga kita tersenyum.

Ekspresi wajah selain mencerminkan emosi yang sedang dialami, juga dapat membantu dalam membentuk emosi à “tersenyumlah maka engkau akan bahagia”. Ini disebut sebagai facial-feedback hypothesis

Proses psikologis dasar: Berpikir , bahasa, dan inteligensi (bag 3)

INTELIGENSI

Pengertian

Inteligensi memiliki makna yang berbeda-beda tergantung pada konteks budaya/lingkungan. Stenberg meneliti konsep inteligensi menurut orang awam adalah kemampuan problem solving, kemampuan verbal dan kompetensi sosial. Pengertian yang diambil oleh para psikolog: inteligensi adalah kemampuan untuk memahami dunia sekitar, berpikir rasional, dan menggunakan sumber daya secara efektif ketika menghadapi tantangan (Wechsler, 1975). Ini adalah definisi yang paling sering digunakan.

 

Pendekatan

Untuk memahami hakekat inteligensi, perlu memahami pendekatan umum:

  1. Pendekatan belajar

pendekatan ini lebih menekankan pada perilaku yang tampak. Bahwa inteligensi bukan sifat kepribadian tetapi merupakan kualitas hasil belajar. Perilaku yang inteligen adalah yang berisi proses belajar pada level fungsional tingkat tinggi

  1. Pendekatan biologi

inteligensi memiliki dasar anatomis dan biologis. Perilaku yang   dapat ditelusuri dari dasar-dasar neuro-anatomis dan proses neurofisiologisnya. Misal membandingkan otak orang biasa dengan otak orang cerdas. Hasilnya ditemukan bahwa ada “brain efficiency”, yaitu otak yang efisien memiliki banyak asosiasi antara neuron satu dengan yang lain, mengalamipemangkasan pada cabang-cabang neuron yang tidak diperlukan, aksonnya lebih besar dan myelin yang melapisinya lebih tebal

  1. Pendekatan psikometri

inteligensi merupakan suatu konstruk hipotetis. Misal inteligensi dirumuskan sebagai kemampuan umum umum terutama yang berkaitan dengan ingatan dan penalaran dalam mempelajari dan menghadapi masalah baru. Pendekatan ini melahirkan tes-tes psikologi sehingga lebih bersifat kuantitatif

  1. Pendekatan perkembangan

pendekatan perkembangan lebih menekankan perkembangan inteligensi secara kualitatif dalam kaitannya dengan tahap-tahap perkembangan biologis individu. Tokohnya antara lain Piaget yang melihat adanya perbedaan kualitatif dalam cara berpikir anak pada masing-masing kelompok usia.

Ke-empat pendekatan di atas tidak terpisah secara eksklusif akan tetapi saling tumpang tindih sampai pada taraf tertentu.

 

Teori-Teori Inteligensi

Dari beberapa pendekatan melahirkan teori-teori inteligensi, misal yang dikemukakan oleh :

  1. Binet, bahwa inteligensi merupakan faktor tunggal dan karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan
  2. Thorndike: inteligesi adalah kemampuan abstraksi, mekanik dan sosial
  3. Spearman: inteligensi terdiri dari kemampuan umum (g factor) dan kemampuan khusus (s factor)
  4. Thurstone & Thurstone: inteligensi terdiri dari enam unsur kemampuan,yaitu 1)verbal, 2) Numerik; 3)Spasial; 4)Word Fluency; 5) Memori; 6) Reasoning
  5. Guilford: mengemukakan model SOI (Structure Of Intellect) yang digambarkan dalam bentuk kubus. Inteligensi terdiri dari tiga dimensi, yaitu isi, operasi, dan produk. Isi menunjuk pada tipe informasi yang meliputi figural, simbolik, semantik dan behavioral. Operasi menunjuk pada cara pemrosesan informasi, meliputi kognisi, memori, produksi konvergen, produksi divergen dan evaluasi. Produk menunjuk pada hasil pemrosesan yang dilakukan oleh dimensi operasi terhadap isi informasi, meliputi unit, kelas, relasi, sistem, transformasi dan implikasi.
  6. Howard Gardner: mengemukakan teori inteligensi ganda (multiple intelligence); bahwa kita memiliki tujuh macam kecerdasan yang satu sama lain relatif independent, yaitu inteligensi musik, kinesthetik, logika-matematika, bahasa, spasial, interpersonal dan intrapersonal.
  7. Sternberg: mengemukakan Teori Inteligensi Triarkhis; bahwa ada tiga aspek utama dalam inteligensi, yaitu componential, experiential, dan contextual. Aspek komponen berfokus pada komponen mental yang terllibat dalam analisa informasi untuk memecahkan masalah. Sebaliknya, aspek pengalaman berfokus pada bagaimana pengalaman seseorang mempengaruhi inteligensi dan bagaimana menggunakan pengalaman masa lalunya  tersebut untuk problem solving. Aspek kontekstual menunjuk pada tingkat keberhasilan seseorang dalam menghadapi tuntutan lingkungan sehari-hari.

 

Pengukuran Inteligensi

Pengukuran inteligensi menghasilkan skor yang disebut IQ (Inteligence Quotient). Hal ini dipelopori oleh Binet yang menciptakan tes inteligensi formal yang pertama. Binet merancang tes tersebut untuk mengidentifikasi murid-murid yang bodoh di sekolah-sekolah Paris untuk diberikan bantuan remedial. Binet memulainya dengan memberikan tugas-tugas pada siswa-siswa yang seusia yang telah dilabel bodoh dan pintar oleh guru-guru mereka. Jika satu tugas hanya dapat diselesaikan dengan baik oleh murid yang pintar saja, dia menetapkan tugas tersebut layak untuk dijadikan item tes. Pada akhirnya dia berhasil menyusun alat tes yang mampu membedakan anak yang pintar dengan yang bodoh, bahkan lebih lanjut dapat membedakan kemampuan anak-anak dari kelompok usia yang berbeda.

Skor inteligensi yang diperoleh menggunakan rumus:

IQ = MA / CA x 100

MA: Mental Age, yaitu rerata usia anak didasarkan pada kemampuan mengerjakan seluruh soal tes.

CA: Chronological Age, yaitu usia anak berdasar kalender.

Perkembangan selanjutnya, untuk menentukan IQ seseorang dengan melihat seberapa besar penyimpangan dari rerata (Standard Deviation)

Persoalan dalam pengukuran inteligensi

Tes inteligensi banyak dikritik karena dianggap bias budaya; bahwa tes inteligensi yang disusun lebih berdasarkan populasi kulit putih kelas menengah ke atas. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan disusunnya tes inteligensi bebas budaya (Culture Fair Inteligence Test). Namun demikian penyusunan tes inteligensi yang bebas budaya juga sulit bahkan tidak mungkin karena individu dari kelompok budaya yang berbeda mempunyai konsep yang berbeda pula mengenai kecerdasan.

Selain persoalan bias budaya, tes inteligensi yang ada sampai saat ini belum mampu mengukur semua kemampuan yang ada pada manusia. Tes-tes yang pernah disusun hanya mengukur sebagian kemampuan saja.

 

Faktor-Faktor yang mempengaruhi IQ

Skor IQ dapat berubah karena berbagai sebab. Perubahan terjadi karena alasan teknis yang berhubungan dengan konstruksi tes. Namun demikian, pada kasus lain, perubahan IQ kemungkinan mencerminkan perubahan riel dari kemampuan yang dinilai. Skor kadang berubah karena ada perubahan-perubahan besar dalam kehidupan, seperti penyakit atau pertikaian keluarga. Karena tidak semua anak bereaksi secara sama terhadap pengalaman yang penuh stress, maka sulit menilai pengaruh peristiwa-peristiwa tersebut terhadap inteligensi.

Perubahan dalam IQ juga berhubungan dengan faktor kepribadian, dimana agresivitas, kemandirian dan kompetisi merupakan karakter yang menonjol pada anak-anak yang menunjukkan kenaikan IQ bila dibandingkan dengan anak yang menurun IQnya.

Terkait dengan gender, tidak ada perbedaan IQ pada kemampuan umum. Tetapi untuk kemampuan khusus, perempuan lebih baik dalam tugas-tugas verbal. Sementara itu,  laki-laki lebih baik dalam mengerjakan tugas-tugas numerik dan spasial. Sumber perbedaan itu kemungkinan lebih karena budaya yang mencerminkan perbedaan cara mengasuh anak dan perbedaan harapan terhadap kemampuan yang harus dicapai oleh masing-masing jenis kelamin. Sebagai pendukung dari penafsiran ini, sifat yang berhubungan dengan naiknya IQ dan dengan kesuksesan memecahkan masalah adalah sifat-sifat yang dianggap maskulin dalam budaya Barat.

Ada beberapa studi pengaruh deprivasi sosial terhadap IQ tetapi hasilnya sulit diinterpretasi. Tidak semua anak yang ada dilingkungan yang terdeprivasi  menunjukkan defisit IQ. Kesulitan juga muncul dalam menspesifikasi aspek deprivasi sosial mana yang penting, yaitu apakah kualitas sosial pengasuhan ibu, aspek sensoris dari stimulasi, timing input, dan lain-lain. Akhirnya, andaikata karakter sesungguhnya dari komponen deprrivasi diketahui, tetap tidak diketahui apakah pengaruh deprivasi itu reversibel.

Ada hubungan moderat antara status sosial ekonomi dengan IQ. Tiga hipotesis yang menjelaskan hubungan ini adalah: 1). Kemungkinan adanya bias budaya dalam tes; bahwa tes yang disusun lebih menguntungkan individu yang berasal dari kelas menengah ke atas. 2). Perbedaan lingkungan antar status sosial ekonomi. 3). Perbedaan genetik. Tampaknya ada kecenderungan bahwa ketiga faktor itu penting sampai pada tingkat tertentu. Harus ditekankan bahwa hubungan IQ dengan status sosial ekonomi hanya moderat dan bahwa individu baik yang berIQ tinggi maupun rendah dapat ditemukan pada status sosial ekonomi manapun.

Selanjutnya adalah faktor herediter. Dasar fisik bagi berfungsinya inteligensi ditemukan pada materi genetis yang mengarahkan perkembangan sistem syaraf. Studi kemiripan IQ pada kembar identik, kembar fraternal dan saudara kandung lainnya menunjukkan bahwa baik faktor keturunan dan kondisi lingkungan mempengaruhi inteligensi

Gangguan Pengendalian Diri : Kleptomania

kleptomania

kleptomania (ilustrasi: corbis)

GANGGUAN PENGENDALIAN DIRI

 Kita mungkin pernah mengalami pengalaman dimana kamu merasa tidak mampu untuk mengontrol impuls untuk melakukan sesuatu setelah itu kamu menyesalinya, misalnya berkelahi dengan orang lain, dll. Pengalaman seperti itu   secara  umum membuat sebagian orang merasa berbeda, menariknya perilaku ini dilakukan secara berulang dan dengan terpaksa, dan mereka merasa tersiksa oleh ketidak-mampuan mereka untuk mengendalikan diri mereka. Makalah ini akan mendiskusikan tentang gangguan  yang dikarakteristikkan dengan ketidakmampuan menolak dorongan untuk berperilaku yang dapat membahayakan dan tidak dapat diterima.

Gangguan Pengendalian Impuls

Gangguan  pengendalian diri meliputi ketidakmampuan dalam mengelola suatu impuls, yaitu  dorongan untuk melakukan suatu kegiatan. Orang-orang dengan gangguan pengendalian impuls pada beberapa impuls tertentu dapat menimbulkan perilaku berbahaya dan mereka tidak dapat menolak perilaku tersebut. Perilaku yang menuruti kata hati ( impulsif ) tidak selalu berbahaya, kenyataannya kita semua pernah mengalami perilaku tersebut, namun dalam beberapa kondisi tertentu dapat menimbulkan suatu resiko. Misalnya seorang perempuan muda  membeli sebuah sweater yang sangat mahal kemudian dia menyesalinya. Pada kondisi yang mengancam misalnya seorang perempuam muda mengajak seorang lelaki yang baru dikenalnya untuk menginap dirumah, hal ini dapat mengakibatkan seks bebas. Orang-orang dengan gangguan pengendalian impuls berpotensi bahaya, perasaan tidak mampu menghentikan perilaku tersebut, dan mengeksperesikan suatu perasaan putus asa  bila perilaku tersebut dihalangi.

Gangguan pengendalian impuls mempunyai 3 ciri :

  1. Tidak mampu menghentikan tindakan yang dapat membahayakan diri merka dan orang lain. Mereka berjuang untuk melawan keinginan untuk melakukan tindakan tersebut. Tindakan itu dapat direncanakan atau tidak direncanakan
  2. Sebelum mereka melakukan tindakan tersebut, mereka mersa tertekan, tegang dan cemas dan hanya dapat dikurangi dengan mengikuti keinginan mereka. Mereka mengalami suatu perasaan yang menggetarkan sama seperti kegembiraan seksual.
  3. setelah mereka melakukan tindakan tersebut, mereka merasa nyaman atau puas seperti melepaskan ketegangan seksual.

Individu dengan gangguan pengendalian impuls biasanya tidak ada masalah ketika mereka memutuskan untuk melakukan perilaku tersebut. Konflik dan penyesalan yang dalam terjadi apabila periku tersebut telah dilakukan

Kleptomania

Kleptomania menggambarkan seseorang yang menggambil suatu benda dari rumah/tempat orang lain. Kleptomania bukan disebabkan oleh kekurangan ekonomi tetapi karena mereka dikendalikan oleh keinginanan/dorongan yang kuat untuk mencuri.

Karakteristik

Kekacauan pengendalian impuls ini membuat seseorang memutuskan untuk mencuri bukan untuk memiliki. Motivasi mereka melakukan adalah untuk mengurangi ketegangan. Tindakan mencuri memberikan kebebasan terhadap getaran jiwa pada penderita Kleptomania, sungguhpun demikian individu menganggap tindakan mencuri adalah suatu tindakan yang tidak nyaman, tidak dikehendaki, menganggu dan bodoh. Penderita Kleptomania hanya mencuri benda-benda tertentu yang lebih sering adalah objek seperti makanan, pakaian, mainan, pena dan kertas, kosmetik perhiasan dan uang. Kenyataannya kebanyakan penderita Kleptomania bingung tentang apa yang harus mereka lakukan terhadap benda-benda yang mereka peroleh. Kadang-kadang mereka menyimpannya sampai beberapa tahun, memberikannya kepada orang lain atau membuang ke tempat sampah. Ketidaktertarikan atau tidak membutuhkan terhadap benda-benda yang dicuri, membedakan Kleptomania dari pencuri yang sebenarnya atau pengutil.

Teori dan terapi

Meskipun kleptomania merupakan suatu gangguan psikologi yg menarik tetapi sedikit sekali mendapat perhatian dari para penelit,i barangkali karena sedikit kasus yang dirujuk kepada psikolog forensik. Clinicians biasanya didatangi oleh penderita Kleptomania ketika mereka memerlukan terapi terhadap masalah psikologi yang lain seperti cemas, gangguan makan atau gangguan mood ( Bradford & Balmaceda, 1983 ; McElroy et al 1991 ). Beberapa penelitian berspekulasi bahwa defisiensi Serotonin kemungkinan mengakibatkan Kleptomania, ide ini didukung bahwa pemberian obat Fluoxetine (Prozac) yang dapat meningkatkan Serotonin dalam sistem syaraf ternyata dapat mengurangi perilaku Kleptomania ( McElroy et al, 1991 ). Disamping itu, terapi perilaku juga digunakan untuk membantu mereka mengontrol keinginan untuk mencuri.

Proses psikologis dasar: Berpikir , bahasa, dan inteligensi (bag 2)

BAHASA

Bahasa merupakan bagian penting pada proses-proses kognitif. Susah membayangkan bagaimana sebuah peradaban tanpa bentuk bahasa.

Ada tiga aspek bahasa, yaitu language comprehension, reading  dan language production.

Language Comprehension (Pemahaman Bahasa)

Proses memahami bahasa, sering disebut sebagai language comprehension, melibatkan penggunaan pengetahuan yang disimpan untuk menginterpretasi input baru. Individu dalam mendengar satu set suara dan mengolah untuk dibuat menjadi bermakna menggunakan pengetahuannya yang luas tentang suara, kata-kata, aturan bahasa dan dunia sekitarnya.

Proses yang terjadi dalam language comprehension

  1. Speech Perception (persepsi kata) mengacu pada proses dimana sistem auditori pendengar mengubah getaran suara menjadi rangkaian suara yang kemudian dipersepsikan sebagai kata-kata.
  2. constituent structure: pemahaman terhadap rangkaian kata-kata (kalimat) secara keseluruhan dengan menghilangkan sebagian kata-kata yang tidak perlu tanpa mengubah maknanya. Konteks dalam proses ini sangat membantu dalam memaknai rangkaian kata (kalimat) tersebut.
  3. transformational grammar: Chomsky berpendapat bahwa orang dalam memahami kalimat melakukan transformasi struktur permukaan kalimat ke dalam bentuk struktur dasar yang lebih dalam, yaitu makna abstrak dari suatu kalimat. Dua kalimat yang berbeda struktur permukaannya kemungkinan memiliki struktur dalam (makna) yang sama. Sebaliknya, dua kalimat yang sama struktur permukaannya boleh jadi memiliki makna yang berbeda.

Kalimat akan lebih sulit dipahami jika:

  1. kalimat negatif, yaitu mengandung kata tidak
  2. berbentuk pasif
  3. ambigu, mencakup a) leksikal yaitu jika satu kata memiliki makna beragam, b) struktur permukaan kalimat dimana kata-kata dapat dikelompokkan dengan cara lebih dari satu, dan c) struktur dalam, yaitu relasi logis antar phrase dapat diinterpretasikan dua makna

Reading

Selama membaca ada proses saccadic eye movement yaitu gerakan mata dari satu titik ke titik lain. Hal ini harus dilakukan agar retina terfokus pada posisi kata yang dibaca sehingga diperoleh penglihatan yang jelas. Hasil penelitian menunjukkan rentang huruf yang bisa terbaca secara jelas adalah empat di kiri dan delapan di kanan mata. Pembaca yang baik dapat melakukan saccadic eye movement dengan rentang yang lebar, berhenti sebentar, dan jarang kembali ke titik awal

Language production

 

Perkembangan Bahasa

Penelitian dalam perkembangan bahasa akhir-akhir ini menemukan pola perkembangan yang sama, yaitu dari kemampuan umum menuju pada kemampuan yang lebih spesifik.

Tahap- tahap yang dilalui adalah

  1. Cooing (menggumam): ini terjadi pada masa bayi, yaitu bayi mengeluarkan suara-suara yang mencakup semua fonem yang mungkin ada. Suara-suara tersebut sama pada bayi dan bahasa yang berbeda, mencakup pula bayi yang tuli.
  2. Babbling (meraban): terjadi pada bayi berusia sekitar 6 bulan; bayi mampu mengeluarkan fonem yang menonjol yang menandai bahasa utama bayi
  3. One-word utterance: bayi usia 6 bulan – 1 tahun menggunakan satu kata untuk menyampaikan maksud, keinginan, maupun tuntutannya. Biasanya berupa kata benda yang menggambarkan objek-objek yang dikenalnya melalui pengamatan
  4. Two word-utterance dan telegraphic speech: secara bertahap, pada usia 1,5 – 2,5 tahun, anak dalam berkomunikasi mulai mengkombinasikan kata-kata tunggal untuk menghasilkan ucapan dua kata. Pada tahap ini sering terjadi overextension errror yaitu kesalahan penerapan kosa kata dalam menyatakan sesuatu pada situasi yang berlainan karena keterbatasan kosa kata anak.
  5. Basic adult sentence structure: anak usia 3-4 tahun sudah mampu berkomunikasi dalam bentuk kalimat yang lengkap

Bagaimana manusia memperoleh kemampuan berbahasa? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan berbagai perspektif. Menurut Chomsky seorang tokoh ahli bahasa menyatakan bahwa pada diri manusia sudah ada kemampuan bawaan untuk berbahasa yang disebut LAD (Language Acquisition Device)

Dalam perspektif yang menekankan pengaruh lingkungan, kemampuan berbahasa dapat diperoleh karena proses imitasi dan modeling.

Proses psikologis dasar: Berpikir , bahasa, dan inteligensi

BERPIKIR

Pengertian

Tidak ada spesies lain yang dapat berkontemplasi, menganalisa, merekoleksi ataupun membuat rencana seperti yang dilakukan manusia. Meski demikian, mengetahui bahwa kita berpikir dan memahami apa yang dimaksud dengan berpikir merupakan dua hal yang berbeda. Bagi para ahli psikologi, berpikir adalah manipulasi representasi mental dari informasi. Representasi tersebut dapat berupa kata-kata, kesan visual, suara atau data pada  suatu modalitas lain. Apa yang terjadi dalam berpikir adalah mengubah representasi informasi ke dalam bentuk yang baru dan berbeda yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan, memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu.

 

Elemen Dasar Dalam Berpikir

  1. mental images

adalah representasi dalam pikiran yang menyerupai objek atau peristiwa yang  direpresentasikan. Mental images tidak hanya berupa representasi visual; kemampuan kita untuk mendengarkan nada juga mendasari mental images. Dalam kenyataan, adalah mungkin bahwa setiap modalitas sensoris menghasilkan mental images yang saling berhubungan. Produksi mental image telah digunakan sebagian orang sebagai cara untuk meningkatkan performa berbagai ketrampilan. Sebagai contoh, beberapa atlit menggunakan mental imagery ketika berlatih.

  1. konsep

adalah kategorisasi objek, peristiwa, atau orang yang memiliki karakteristik umum. Dengan menggunakan konsep kita mampu mengorganisir fenomena kom pleks menjadi kategori kognitif yang lebih sederhana sehingga mudah digunakan. Konsep memungkinkan kita mengklasifikasi objek baru berdasar pengalaman masa lalu. Selanjutnya, konsep juga mempengaruhi perilaku. Sebagai contoh, kita akan setuju memelihara hewan setelah menentukan bahwa hewan tersebut adalah anjing. Kita akan menunjukkan sikap yang berbeda jika hewan tersebut adalah serigala.

  1. penalaran

adalah proses dimana informasi digunakan untuk menarik kesimpulan dan mengambil keputusan. Ada dua bentuk utama penalaran, yaitu deduktif dan induktif. Penalaran deduktif adalah suatu bentuk penalaran dimana orang menarik kesimpulan dan implikasi dari sejumlah asumsi dan menerapkannya pada kasus-kasus spesifik. Penalaran induktif adalah proses penalaran dimana aturan umum ditarik dari kasus-kasus spesifik, dengan menggunakan pengetahuan, pengamatan, pengalaman dan keyakinan.

 

Hambatan Dalam Berpikir

Berpikir mempunyai kemungkinan untuk keliru. Kekeliruan ini karena adanya hambatan-hambatan yang menghalangi orang untuk melihat realitas yang sebenarnya. Ini misalnya:

  1. berpegang teguh pada pikiran-pikiran lama

berpegang teguh pada pikiran lama, kebiasaan dan tradisi yang berlaku, merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan pikiran menjadi statis dan tidak mau menerima pikiran-pikiran baru yang dikemukakan padanya.

  1. tidak cukup data

tidaklah mudah bagi seseorang untuk dapat berpikir secara benar tentang suatu hal apabila ia tidak mempunyai data dan informasi yang cukup yang diperlukannya mengenai objek yang dipikirkannya itu.

  1. sikap memihak yang emosional dan apriori

kecenderungan dorongan, emosi, dan perasaan seseorang berpengaruh terhadap pemikirannya. (bersambung: bahasa dan intelegensi)

Proses psikologis dasar: Belajar dan memori (sambungan)

MEMORI (INGATAN)

Pengertian

Memori atau ingatan adalah proses memasukkan, menyimpan dan mengeluarkan kembali informasi dan pengalaman yang kita peroleh. Menurut Andersen (1997) memori adalah rekaman pengalaman yang relatif permanen yang mendasari perilaku belajar. Kaitan memori dengan belajar: belajar mengacu pada proses adaptasi perilaku terhadap pengalaman dan memori menunjuk pada rekaman permanen yang mendasari adaptasi tersebut.

Proses memori dapat dibagi menjadi tiga tahap: tahap akuisisi (perolehan), tahap retensi (penyimpanan) dan tahap retrieval (pemunculan kembali)

repetitive             elaborative rehearsal

rehearsal

 

informasi à  memori sensoris à short term memory à long term memory

informasi yang pada mulanya direkam dalam sistem sensoris masuk kedalam memori sensoris

 

Macam Memori

  1. memori sensoris (Sensory Memory)

informasi yang langsung diterima alat indera dan akan hilang dalam waktu satu detik

  1. memori jangka pendek (Short Term Memory)

informasi bertahan 15-25 detik. Disebut juga working memory karena saat beraktivitas kita membutuhkan informasi-informasi tertentu ysng penggunaannya hanya sesaat. Memori jangka pendek ini dapat kita tingkatkan dengan metode chunking, yaitu membagi-bagi informasi ke dalam unit-unit tertentu. Misal menghafal NIM: 71060017 menjadi 71-06-0017

  1. memori jangka panjang (Long Term Memory)

informasi yang relatif permanent. Macamnya:

    1. memori deklaratif: berisi informasi-informasi faktual, terdiri dari memori semantik dan memori episodik. Memori semantik adalah ingatan tentang pengetahuan/fakta-fakta umum, misal kitab suci umat Islam adalah Al-Quran. Memori episodik adalah ingatan tentang suatu peristiwa tertentu, misal ingatan ketika kita pertama kali masuk kuliah.
    2. Memori prosedural: berisi informasi yang berhubungan dengan ketrampilan dan kebiasaan melakukan sesuatu. Misal ingatan tentang tatacara wudhu.

 

Mengingat adalah memunculkan kembali informasi tersebut pada saat dibutuhkan. Jika informasi yang kita butuhkan tersebut tidak dapat dimunculkan kembali secara utuh, maka itulahnyang disebut dengan lupa.

Ada beberapa penjelasan mengapa kita lupa

  1. Teori Atropi (Decay Theory)

Lupa terjadi karena informasi yang pernah kita simpan tidak pernah lagi dimunculkan. Akibatnya jejak-jejak memori menjadi rusak atau hilang

  1. Teori Interferensi

Informasi yang disimpan tidak hilang. Lupa terjadi karena informasi yang ada saling menghambat atau bercampur aduk. Macamnya:

    1. interferensi proaktif: informasi yang baru masuk sulit dimunculkan karena terhambat oleh informasi lama yang sudah tersimpan (informasi lama menghambat informasi baru).
    2. interferensi retroaktif: informasi yang sudah lama tersimpan sulit dimunculkan kembali karena terhambat oleh informasi yang baru masuk (informasi baru menghambat informasi lama).
  1. Teori Kegagalan Mengingat kembali (Retrieval Failure Theory)

Informasi yang pernah kita simpan tidak akan hilang. Lupa terjadi jika tidak didapatkan petunjuk yang cukup untuk memunculkan kembali informasi yang pernah disimpan dalam memori. Misal

  1. Motivated Forgetting

lupa terjadi karena adanya dorongan atau usaha untuk melupakan biasanya hal-hal/peristiwa peristiwa yang tidak mengenakkan. Memang ada kecenderungan manusia untuk tidak mengingat-ingat kembali pengalaman yang kurang menyenangkan/menyakitkan bagi dirinya.

  1. Lupa karena sebab fisiologis (disfungsi memori)

Kelupaan terjadi karena faktor fisiologis, yaitu karena proses kimiawi, proses penuaan atau proses degenerasi sel otak dan syaraf. Macamnya:

    1. amnesia retrograd, yaitu lupa pada informasi-informasi yang telah lalu. Misal lupa pada nama sendiri, orang-orang terdekat, alamat rumah, dan lain-lain.
    2. Amnesia anterograd: lupa pada informasi yang baru saja masuk. Misal lupa bahwa tadi baru saja makan.
    3. Penyakit alzheimer: lupa karena kerusakan sel otak secara progresif akibat kekurangan zat neurotransmitter yang disebut Ach  (Asetilkolin)
    4. Sindrom Korsakoff: lupa karena minum alkohol dalam jangka waktu lama sehingga kekurangan vit B1

 

Agar tidak mudah lupa ada beberapa teknik yang bisa kita pakai:

  1. teknik kata kunci (keyword technique), yaitu mengingat suatu kata dengan cara mengasosiasikannya dengan kata lain secara interaktif.
  2. metode lokus: menempatkan secara imaginer kata-kata yang akan diingat pada tempat-tempat tertentu yang sudah familiar bagi kita.
  3. encodinng fenomena spesifik: memanfaatkan karakteristik lingkungan atau materi yang mirip dengan karakteristik lingkungan atau materi ketika memasukkan infprmasi.
  4. organisasi materi teks, yaitu ketika membaca  materi tertulis, memahami strtuktur bacaan tersebut. Cara lain dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri setelah membaca materi.
  5. organisasi catatan kuliah: menggunakan teknik mencatat efektif yaitu penggunaan peta pikiran
  6. praktek dan latihan
    sumber: materi handout oleh: SRI PURNAMI, S.PSI

Proses psikologis dasar: Belajar dan memori

A. BELAJAR

Pengertian

Belajar merupakan topik dasar dalam psikologi yang berperan penting dalam hampir semua cabang psikologi. Sebagai contoh, ahli psikologi yang mempelajari persepsi akan bertanya, “Bagaimana kita belajar bahwa orang yang kelihatan kecil dari jarak tertentu itu berarti dia jauh dan tidak berarti orang tersebut kecil. Seorang ahli psikologi perkembangan mungkin akan bertanya-tanya, “Bagaimana bayi belajar membedakan ibunya dengan orang lain?. Seorang ahli psikologi klinis akan bertanya, mengapa sebagian orang takut pada laba-laba?” Psikolog sosial akan bertanya, Bagaimana kita tahu bahwa kita sedang jauh cinta?”. Masing-masing pertanyaan ini meski ditarik dari cabang psikologi yang berbeda dapat dijawab hanya dengan mengacu pada proses belajar.

Belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan. Perilaku belajar memiliki ciri-ciri:

  1. merupakan sebuah proses yaitu belajar secara umum menunjuk pada proses perubahan
  2. relatif permanent, bahwa perubahan tersebut bukan karena kematangan, kelelahan maupun pengaruh zat-zat kimia
  3. perilaku, bahwa belajar akan menjadi bermakna (signifikan) jika ada manifestasi eksternal yang dapat diamati sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan
  4. bersifat potensial, sewaktu-waktu siap dimunculkan. Bahwa tidak semua yang kita pelajari berpengaruh langsung pada perilaku.

 

Tipe-Tipe Belajar

Belajar dapat dibedakan menjadi tiga tipe:

  1. Belajar dengan pembiasaan /Kondisioning Klasik (Classical Conditioning)
  2. Belajar operan/ Kondisioning Operan (Operant Conditioning)
  3. Belajar melalui pengamatan (Observational Learning)

 

Kondisioning Klasik

Teori belajar dengan kondisioning (pembiasaan) ini pada awalnya tidak secara sengaja ditemukan oleh seorang fisiolog Rusia, yakni Ivan P.Pavlov (1849-1936). Pavlov banyak melakukan penelitian tentang gerak refleks pada saluran pecernakan dengan menggunakan anjing sebagai subyek percobaannya. Setiap kali ia masuk laboratorium, anjing itu mengeluarkan air liur meski tidak membawa makanan. Fenomena tersebut diteliti lebih lanjut sehingga melahirkan teori belajar yang disebut Kondisioning Klasik.

Prinsip belajar dengan kondisioning klasik adalah pemasangan stimulus bersyarat dengan stimulus alami secara berulang-ulang sehingga terbentuk perilaku baru yang disebut sebagai respon bersyarat.

Untuk lebih memahami proses terjadinya kondisioning seperti yang dilakukan dalam eksperimen Pavlov, ada beberapa konsep dasar yang perlu diketahui:

  1. Stimulus Netral, yaitu stimulus yang – sebelum kondisioning – tidak berpengaruh terhadap respon yang diinginkan
  2. Stimulus Alami (Unconditioned Stimulus/UCS), yaitu stimulus  yang bisa menimbulkan respon secara alami/tanpa perlu dipelajari terlebih dahulu
  3. Stimulus Bersyarat (Conditioned Stimuli/CS), yaitu stimulus yang tadinya netral, setelah proses kondisioning dapat menimbulkan respon yang diinginkan (respon bersyarat)
  4. Respon Alami (Unconditioned Response/UCR), yaitu respon yang terbentuk akibat kehadiran stimulus alami
  5. Respon Bersyarat ((Conditioned Response/CR), yaitu respon yang terbentuk setelah proses kondisioning  (sebagai akibat dari pemasangan stimulus alami/UCS dan stimulus bersyarat/CS secara berulang-ulang )

Adapun prosesnya adalah sebagai berikut:

Sebelum Kondisioning:

Stimulus Respon
Netral : Bunyi bel Tidak ada respon yang diharapkan
Alami/ UCS: Daging  UCR: Mengeluarkan air liur

 

Selama Kondisioning

Stimulus   Respon
Netral: Bunyi bel  

UCR: mengeluarkan air liur

Alami/ UCS: Daging  

 

Sesudah Kondisioning

Stimulus Respon
Bersyarat /CS: Bunyi bel CR: mengeluarkan air liur

Percobaan lain yang sejalan dengan prinsip-prinsip kondisioning klasik adalah percobaan yang dilakukan oleh JB Watson dari Amerika. Dia memasangkan stimulus dengan suara keras yang dipaparkan pada seorang bayi bernama Albert. Suara keras secara alami menghasilkan rasa takut pada bayi, sedang binatang berbulu pada awalnya menimbulkan reaksi senang. Setelah pemaparan berulang-ulang binatang berbulu yang diikuti dengan suara keras, bayi Albert memberikan respon takut terhadap binatang tersebut.

Fenomena – fenomena dalam kondisioning klasik

  1. extinction, adalah menurunnya frekuensi respon bersyarat bahkan akhirnya menghilangnya respon bersyarat akibat ketiadaan stimulus alami dalam proses kondisioning
  2. spontaneous recovery: munculnya kembali respon bersyarat yang tadinya menghilang beberapa waktu kemudian tanpa pemaparan stimulus bersyarat.
  3. generalisasi dan diskriminasi stimulus: generalisasi stimulus  adalah respon yang terjadi terhadap stimulus yang mirip dengan stimulus  bersyarat. Sedangkan diskriminasi stimulus  adalah proses organisme belajar membedakan stimulus  yang mirip dan membatasi responnya hanya terhadap stimulus  bersyarat.
  4. higher order conditioning, terjadi ketika stimulus  bersyarat yang telah dipaparkan pada proses kondisioning sebelumnya dipasangkan dengan stimulus  netral secara berulang. Jika stimulus  netral ini dapat menimbulkan respon bersyarat yang mirip terhadap stimulus  bersyarat sebelumnya,, higher order conditioning terjadi.

 

Kondisioning Operan

Berawal dari percobaan Thorndike lalu dikembangkan oleh Skinner. Skinner meyakini bahwa memang kita memiliki sesuatu seperti halnya jiwa atau pikiran, tetapi akan lebih produktif mempelajari perilaku yang dapat diamati daripada mengkaji peristiwa-peristiwa mental internal. Dia membedakan dua tipe perilaku, yaitu respondent behavior dan operant behavior. Respondent behvior adalah perilaku karena gerak refleks dan tidak perlu dipelajari. Operant behavior adalah perilaku karena hasil belajar dan kebanyakan perilaku manusia adalah termasuk dalam tipe ini.

Prinsip kondisioning operan memprediksikan jika suatu efek secara  konsisten mengikuti suatu perilaku atau tindakan, maka kita akan belajar bahwa perilaku kitalah yang menimbulkan efek tersebut, terlepas apakah itu benar-benar penyebabnya atau bukan. Dengan kata lain, belajar terbentuk karena konsekuensi perilaku yang ditimbulkan menyenangkan atau tidak menyenangkan. Perilaku yang menimbulkan konsekuensi yang menyenangkan akan cenderung diulang (frekuensinya meningkat), sebaliknya jika konsekuensi yang ditimbulkan tidak menyenangkan maka perilaku akan cenderung dihindari (frekuensi menurun). Konsekuensi yang dapat meningkatkan probabilitas frekuensi terjadinya perilaku disebut reinforcement (penguatan/pengukuhan). Konsekuensi yang dapat menurunkan terjadinya perilaku disebut punishment. Macam reinforcement dan punishment dapat dilihat pada tabel berikut:

Jenis stimulus Pemberian Penghilangan
Positif (menyenangkan) Reinforcement positif Punishment by removal
Negatif (tidak menyenangkan) Punishment by applicatiion Reinforcement negatif

 

Jadwal pemberian reinforcement:

  1. continuous reinforcement: setiap perilaku/respon yang tepat diberi penguat
  2. partial reinforcement: tidak semua perilaku yang tepat diberi reinforcement, kadang diberi, kadang tidak
    1. Ratio: berdasar jumlah respon
  1.                                                               i.      Fixed Ratio Schedule:: reinforcement diberikan pada setiap jumlah tertentu respon yang diharapkan secara tetap, misal setiap 3 x respon tepat
  2.                                                             ii.      Variable Ratio Schedule: reinforcement diberikan pada sejumlah respon secara bervariasi
  3.                                                               i.      Fixed Interval Schedule: reinforcement diberikan pada setiap interval waktu yang tetap, misal setiap 10 menit
  4.                                                             ii.      Variable Interval Schedule: reinforcement diberikan pada setiap interval waktu yang bervariasi
    1. Interval:berdasar rentang waktu

 

Belajar Observasi

Teori belajar ini dikembangkan oleh Albert Bandura, merupakan perpaduan antara pandangan behavioristik dan kognitif, bahwa belajar tidak harus melalui reinforcement secara langsung seperti pada kondisioning operan. Belajar dapat terjadi karena individu meniru (imitasi) orang lain (model) yang mendapat reinforcement sebagai konsekuensi dari tindakan yang dilakukan oleh model tersebut. Ini disebut vicarious reinforcement. Bandura menyatakan bahwa terjadinya belajar sosial dengan melalui proses pengolahan informasi tentang konsekuensi yang diperoleh model sebelum memutuskan meniru atau tidak. (bersambung)

Albert Bandura

Albert Bandura

Albert Bandura

SEJARAH SINGKAT

Bandura lahir 4 Desember 1925 di Mundare, sebuah kota kecil di Alberta, Canada. Dia mendapatkan gelar B.A dari University of British Columbia dan M.A tahun 1951 dan Ph.D 1952, keduanya dari University of Lowa.

EARLIER EXPLANATIONS OF OBSERVATIONAL LEARNING

Keyakinan bahwa makhluk hidup belajar dengan mengobservasi makhluk hidup lain telah ada sejak awal jaman Yunani misalnya Plato dan Aristoteles. Menurut penjelasan nativistic, kecenderungan observational learning adalah bawaan sejak lahir.

Thorndike adalah orang pertama yang mempelajari observational learning  secara eksperimental. Pada tahun 1898, dia meletakkan seekor kucing pada puzzle box dan kucing lain di box disampingnya. Kucig dalam puzzle belajar bagaimana melarikan diri, sehingga kucing kedua hanya mengobservai kucing pertama mempelajari respon melarikan diri. Ketika kucing kedua diletakkan di puzzle box dia tidak menunjukkan respon melarikan diri. Kucing kedua tetap melakukan trial and error seperti yang dilakukan kucing pertama sebelum berhasil melarikan diri. Thorndike melakukan eksperimen yang sama dengan ayan dan anjing dan hasil yang didapatkan sama. Tidak masalah berapa lama hewan “naïf” melihat hewan “ahli”, hewan “naïf” terlihat tidak mempelajari apapun. Tahun1901 dia melakukan eksperimen dengan monyet tetapi hasilnya sama. Kemudian dia menyimpulkan, bahwa tidak satupun dari eksperimennya dengan hewan membuktikan hipotesis bahwa mereka mempunyai general ability untuk belajar melakukan sesuatu dari melihat yang lainnya melakukannya.

1908, Watson mengulangi penelitian Thorndike dengan monyet , dan ia juga tidak menemukan bukti observational learning. Thorndike dan Watson menyimpulkan bahwa belajar hanya dihasilkan dari direct experience bukan dari indirect or vicarious experience. Dengan kata lain, mereka merasa bahwa belajar muncul sebagai hasil dari interaksi personal dengan lingkungan dan bukan hasil dari mengobservasi interaksi individu lain.

 

Miller and Dollard’s Explanation of Observational Learning

Tidak seperti Thorndike dan Watson, Miller dan Dollard tidak menolak fakta bahwa organisme dapat belajar dengan mengobservasi interaksi organisme lain. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku imitasi yang direinforce, akan menjadi kuat seperti tingkah laku lain. Dollard dan Miller membagi tingkah laku imitasi menjadi tiga kategori

  1. Tingkah laku yang sama muncul ketika dua atau lebih respon individu berada pada situasi dan cara yang sama. Sebagai contohnya kebanyakan orang yang berhenti di lampu merah akan bertepuk tangan jika sebuah konser telah selesai dan tertawa ketika yang lainnya tertawa.
  2.   Copying behavior meliputi panduan tingkah laku seseorang oleh orang lain, seperti ketika instruktur memberi arahan kepada murid-murid yang berusaha menggambar. Dengan copying behavior, respon akhirnya akan dikuatkan dan direnforced.
  3. Mached-dependent behavior, observer akan direinforce dengan melakukan pengulangan tingkah laku model. Sebagai contohnya tingkah laku seorang kakak berjalan mendekati pintu ketika dia mendengar suara langkah kaki sang ayah yang menuju pintu dan ayah mereinforce kakak dengan permen. Dan adiknya menemukan bahwa ketika dia berjalan di dekat kakaknya dia juga menerima permen dari ayahnya. Bagi kakak, suara langkah kaki ayah akan memicu respon berjalan, yang dikuatkan dengan permen. Bagi sang adik, tanda darikakaknya yang berjalan menuju pintu memicunya untuk berjalan, dan dia juga dikuatkn dengan permen.

Tingkah laku ini juga terlihat pada remaja yang berada di situasi yang tidak familier. Ketika kita berada di Negara asing kita akan mengobservasi bagaimana respon alami diberbagai situasi dan kemudian kita akan merespon seperti yang mereka lakukan.

Mereka juga menekankan bahwa imitasi dapat menjadi sebuah kebiasaan. Seperti kasus adik dan kakak tadi, probabilitas tingkah laku sang adik meniru kakaknya akan meningkat diberbagai macam situasi. Mengacu pada hal diatas, kecenderungan untuk mengimitasi tingkah laku satu individu atau lebih sebagai generalized imitation.

Mereka melihat tidak ada yang special dari belajar imitasi. Bagi mereka, peran model adalah memandu respon observer sampai tepat atau mendemonstrasikan pada observer.mana respon yang akan direinforce pada situasi tertentu. Bagi mereka belajar imitasi adalah hasil dari observasi, overt responding, dan reinforcement. Mereka setuju dengan kesimpulan Thorndike dan Watson. Mereka menemukan bahwa organism belajar bukan hanya dari observasi semata. Menurut mereka, kesalahan dari eksperimen Thorndike dan Watson adalah bahwa keduanya tidak meletakkan hewan yang “naïf” dan yang ahli dalam satu kotak.penempatan itu akan membuat hewan “naïf” mengobservasi, merespon dan direinforced, dan mungkin belajar imitasi akan muncul.

 

BANDURA’S ACCOUNT OF OBSERVATIONAL LEARNING

Menurut Bandura, Observational Learning bisa meliputi imitasi ataupun tidak. Sebagai contohnya saat kita melintasi sebuah jalan kemudian disamping kita ada mobil yang masuk jurang, dan berdasarkan proses belajar observasi itu kita akan membelokka mobil untuk menghindari jurang. Dalam kasus ini, kita belajar dari proses observasi kita, tetapi kita tidak mengimitasi apa yang kita oservasi. Yang kita pelajari meurut Bandura adalah informasi, dimana terjadi proses kognitif dan kita akan melakukan sesuatu yang berguna. Observasional learning lebih kompleks dari pada simple imitasi.

Teori belajar yang dekat dengan konsep Bandura adalah Tolman theory. Mereka percaya bahwa proses belajar merupakan proses yang konstan yang tidak membutuhkan reinforcement.

Teory belajar Bandura didemonstrasikan dalam eksperimennya. Anak ditunjukkan sebuah film dimana modelnya yang ditunjukkan memukul, menendang boneka. Dalam teory Bandura model dapat berupa apa saja yang membawa informasi, seperti orang, film, televise, gambar, instruksi. Pada kelompok pertama anak melihat model diberi reinforce atas keagresifitasan mereka. Pada kelompok kedua anak melihat model di hokum atas keagresifitasan mereka. Pada kelompok ketiga konsekuensi dari keagresifitasan model di netralkan, tidak direinforce maupun dihukum. Yang diharapkan, adalah bahwa anak pada kelompok pertama akan menunjukkan agresifitas tertinggi, kelompok kedua akan menunjukkan keagresivitasan terendah dan kelompok ketiga berada diantaranya. Yang menarik adalah bahwa tingkah laku anak dipengaruhi oleh indirect experience atau vicarious experience. Dengan kata lain apa yang diobservasi anak dari orang lain akan mempengaruhi tingkah lakunya. Ini kontra dengan Miller dan Dollard yang menyatakan bahwa belajar observasi hanya akan muncul jika tingkah laku overt organism diikuti reinforcement.

Anak ditawari intensive untuk mereproducing tingkah laku model, dan semua anak melakukannya. Dengan kata lain semua anak belajar respon agresif model tetapi mereka menunjukkannya dengan berbeda, tergantung apa yang mereka observasi apakah model direinforced, di beri hukuman, atau konsekuensi yang netral.

Kemudian Bandura dengan tegas tidak setuju dengan pendapat Miller dan Dollard tentang observational learning. Bagi Bandura, observational learning muncul disemua waktu. Setelah perkembangan kapasitas belajar observasi berkembang penuh, individu tidak dapat membatasi orang untuk belajar dari apa yang mereka lihat. Belajar observasi juga tidak membutuhkan respon yang tampak ataupun reinforcement.

The Skinnerian Analysis of Observational Learning

Penjelasan Skinner tentang Observasional Learning sama dengan apa yang dikatakan Miller dn Dollard. Pertama tingkah laku model diobservasi, kemudian observer mencocokkan tingkah laku model, dan terakhir respon yang cocok direinforce. Bandura menemukan beberapa hal yang tidak benar. Pertama mereka tidak dapat menjelaskan bagaimana tingkah laku dapat muncul ketika baik observer maupun model tidak diberi penguat. Kereka tidak menjelaskan adanya delayed modeling. Ketiga tentang reinforcement yang secara otomatis akan memperkuat tingkah laku, menurut Bandura, observer harus menyadari reinforcement sebelum reinforcement itu mempunyai efek. Karena belajar dengan konsekuensi membutuhkan proses kognitif, konsekuensi secara umum mengubah sedikit tingkah laku yang komplek ketika tidak ada kesadaran apa arti reinforcemen. Secara singkat, Bandura mengatakan bahwa penjelasan analisis operan tentang beajar observasi salah. Tidak ada discriminative stimulus, tidak ada overt responding, dan tidak ada reinforcement.

NONHUMANS CAN LEARN BY OBSERVING

Dibeberapa penelitian ditemukan data yang mengejutkan bahwa non humans dapat belajar secara cukup kompleks dengan mengobservasi anggota lain dalam species nya. Studi yang dipelopori oleh Nicole dan Pope (1993) mengobservasi ayam yang dipasangkan dengan ayam “demonstrator” .

 

VARIABLES AFFECTING OBSERVATIONAL LEARNING

Attentional Processes

Sebelum sesuatu dipelajari dari sebuah model, model harus diperhatikan. Dalam pemikiran Bandura, belajar merupakan proses yang tanpa henti, tetapi poinnya adalah bahwa hanya apa yang kita observasi yang dapat kita pelajari. Pertanyaan yang muncul adalah, apa yang ditekankan?

  1. Kapasitas sensori seseorang akan dipengaruhi proses perhatian. Stimulus modeling yang digunakan untuk mengajari orang yang buta, tuli akan berbeda dengan yang digunakan kepada orang dengan pendengaran dan pengelihatan normal.
  2. Perhatian selektif observer dapat dipengaruhi oleh past reinforcement. Dengan kata lain, prior reinforcement dapat membentuk persepsi observer yang akan mempengaruhi observasi yang akan datang.
  3. Variasi karakteristik model juga akan mempengaruhi apa yang akan mereka perhatikan. Menurut Bandura, orang akan memperhatikan model yang dianggap berguna dan mengabaikan orang yang diasumsikan tidak berguna. Orang lebih suka memilih model yang pandai menghasilkan good outcome dari pada yang berulang kali mendapat hukuman.

Retentional Processes

Informasi panduan yang digunakan dalam observasi harus disimpan. Penyimpanan informasi secara simbolis dengan dua cara, imaginally dan verbally. Imaginally store symbol adalah penyimpanan gambaran actual dari pengalaman model dan dapat diretrieved dan dilakukan beberapa lama setelah proses belajar berlangsung.ini juga merupakan poin kesepakatan antara Bandura dan Tolman. Menurut Bandura tingkah laku menekankan gambaran mental dari pengalaman masa lalu; Tolman mengatakan bahwa tingkah laku dipengaruhi oleh cognitive map. Tidak mungkin memisahkan antara symbol imaginal dan verbal, keduanya tidak terpisahkan ketika kejadian terreprensentasikan di memori. Ketika stimulus verbal dan visual memiliki arti yang sama, individu akan mengintegrasikannya menjadi representasi konsep umum.

Informasi yang tersimpan secara cognitive, dapat diretrieved secara covert, rehearsed, dan dikuatkan jauh setelah proses belajar terjadi. Penyimpanan symbol ini yang memungkinkan delayed modeling.

Behavioral Production Processes

Proses ini menekankan tingkat dimana apa yang dipelajari dapat iartikan dalam tingah laku (performansi). Sebagai contohnya mengobservasi monyet yang bergelantuangan dari satu pohon ke pohon lain, tetapi makluk lain tidak dapat mereplikasinya jika dia tidak memiliki ekor seperti monyet. Dengan kata lain, individu mungkin dapat belajar sesuatu yang besar dalam cognisinya tetapi tidak mampu untuk mengartikan informasi itu ke dalam tingkah laku yang mungkin dikarenkan terebatasan, sakit, level perkembangan.

 

Motivational Processes

Dalam teori Bandura, reinforcemen mempunyai dua fungsi utama. Pertama reinforcement akan membentuk sebuah harapan bagi observer jika dia melakukan sesuatu dengan cara dan situasi tertentu, mereka akan direinforced. Kedua proses motivasi, yang akan member motiv untuk menggunakan apa yang dipelajari (mengartikan belajar ke dalam performasi).

Kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa belajar observasi meliputi perhatian, retensi, kemampuan tingkah laku dan intensif. Jika belajar observasi gagal muncul, ini dapat dikarenakan observer tidak mengobservasi tingkah laku yang relevan dari model, tidak menyimpannya, adanya ketidakmampuan secara fisik untuk menampilkannya, tidak memiliki intensive yang pantas untuk melakukannya.

 

RECIPROCAL DETERMINISM

Pertanyaan dasar dalam psikologi adalah “mengapa orang bertingkah laku seperti yang mereka lakukan?”. Bandura menjawab pertanyaan ini bahwa individu, lingkungan dan tingkah laku itu sendiri berinteraksi untuk menghasilkan tingkah laku individu. Dengan kata lain, ketiga komponen itu tidak ada yang diisolasi dari yang lain dalam menerangkan tingkah lak individu. Ketiga interaksi itu adalah sebagai berikut :

B

P                                              E

Pola ini dinamakan reciprocal determinism. Kesimpulannya tepat untuk mengatakan bahwa tingkah laku dipengaruhi individu dan lingkungan seperti lingkungan atau individu mempengaruhi tingkah laku.

Sebagai contoh tingkah laku yang dipengaruhi lingkungannya, Bandura mendiskribsikannya pada eksperimen dimana shock terjadwal yang diterima tikus setiap menit kecuali bila dia menekan balok, dimana pemberian shock akan ditunda 30 detik. Tikus belajar menekan balok dengan frekuensi tertentu untuk menghindari shock, tikus yang gagal mempelajari respon itu harus mengalami periodic shock. Apakah lingkungan mengontrol tingkah laku ataukah tingkah laku mengontrol lingkungan? Yang kita miliki adalah 2 sistem pengaturan dimana organism baik sebagai objek maupunagen dari control, tergantung proses reciprocal yang dipilih.

Aspek-aspek di lingkungan akan ditekankan oleh bagaimana kita bertingkah laku di dalam lingkungan. Lebih jauh Bandura menyatakan bahwa tingkah laku dapat membentuk lingkungan.

Menurut bandura orang dapat mempengaruhi lingkungan dengan brtindak dalam cara tertentu dan akan mengubah lingkungan, pada gilirannya akan mengubah tingkah laku berikutnya. Meskipun disana ada interaksi diantara orang, lingkungan, dan tingkah laku, beberapa komponen itu akan lebih berpengaruh dari pada komponen lain di waktu tertentu. Sebagai contoh, suara keras di lingkungan dapat lebih bereffek terhadap tingkah laku orang pada yang lain. Di waktu lain mungkin kepercayaan menjadi factor yang paling berpengaruh dalam tindakan. Dalam faktanya banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tingkah laku mahkluk hidup lebih diperintah oleh apa yang mereka yakini dari pada apa yang benar-benar terjadi.sebagai contohnya pada penelitian diterapkan pemberian reinforce sekali tiap menitnya (variable-interval schedule) untuk memberi respon manual. Walaupun semua subyek diberi jadwal yang sama namun beberapa terjadi kesalahan dalam pemahaman mereka. Suatu kelompok menyatakan variable-interval schedule (rata-rata diantara dua kelompok), kelompok lain menyatakan fix-interval schedule (respon  lambat), dan variable-ratio schedule respon cepat).

Dalam eksperimen partisipan diberi informasi yang salah, mereka mempercayainya dan melakukannya. Beberapa factor dalam kehidupan sehari-hari yang dapat membentuk kepercayaan yang nonadaptive dalam individu, yang dapat memicu tindakan yang tidak efektif dan bizarre.

Sebagai kesimpulannya, konsep Bandura tentang reciprocal determinism adalah bahwa tingkah laku, individu a9dengan kepercayaannya), lingkungan semua berinteraksi dan ketiga cara intraksi harus dipahami sebelum memahami bagaimana tingkah laku dan fungsi psikologis dapat muncul.

 

SELF-REGULATION OF BEHAVIOR

Menurut Bandura, jika tindakan menekankan semata-mata pada external reward dan punishment, orang akan bertingkah laku seperti contoh, pergantian yang konstan dalam arahan yang berbeda untuk menyesuaikan diri

Bagaimana jika eksternal reinforce dan punishment tidak  mengontrol tingkah laku? Bandura menyawab, bahwa tingkah laku menusia secara luas akan dilakukan secara self-regulated. Pengalaman manusia baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi standar evaluasi. Satu dari standar itu akan menjadi dasar self-evaluasi. Jika tingkah laku orang di situasi tertentu sesuai dengan standar, akan dievaluasi secara positif, jika jauh dari standar akan dievaluasi negative.

Standar seseorang dapat berasal dari pengalaman langsung dengan reinforcement dari dari tingkah lakunya, misalnya rasa bangga dari orang tua. Standar personal dapat di dapat secara tidak langsung melalui observasi tingkah laku orang lain yang direinforce.

Bandura percaya bahwa intrinsic reinforcement yang berasal dari self-evaluation lebih berpengaruh dari pada ekstinsik reinforcement yang dibagikan oleh individu lain.tingkah laku self-rewarded cenderung dipertahankan secara lebih efektif dari pada yang di beri external reinforced.

Ketidakberuntungan terjadi jika standar dari performasi terlalu tinggi, hal itu akan menjadi dasar dari personal distress. Bandura menyatakan standar evaluasi yang terlalu ekstrem akan menjadikan reaksi yang defensive, perasaan tidak berharga, tidak memiliki tujuan. Bekerja dengan tujuan yang terlalu jauh dan terlalu sulit akan mengecewakan. Sub tujuan dengan kesulitan yang moderat akan menjadi motivasi dan memuaskan.

Seperti internalisasi standar performasi, persepsi self-efficacy, sangat berperan dalam self-regulated behavior. Persepsi self efficacy merujuk pada kepercayaan yang berfokus pada apa yang seseorang mampu lakukan, dan inimuncul dari berbagai sumber termasuk keberhasilan dan kegagalan personal, melihat orang lain yang setara dan persuasi verbal.

Orang dengan persepsi self-eficacy yang tinggi cenderung berusaha lebih, berprestasi lebih, dan tetap melakukan tugas yang panjang dari pada yang memiliki self-eficacy yang rendah. Karena orang dengan self-efficacy yang tinggi cenderung untuk mengontrol kejadian-kejadian di lingkungan dan melakukan sesuatu dengan keberanian.

Persepsi seseorang tentang self-efficacynya kadang tidak sesuai dengan real-self efficacy. Situasi yang terbaik adalah jika persepsi mereka sesuai dengan kemampuan mereka.  Dengan kata lain, jika seseorang melakukan sesuatu diluar kemampuan mereka, mereka akan frustasi, mudah menyerah. Dan jika orang dengan self-efficacy yang tinggi tidak memberi tantangan pada diri mereka secara tepat maka pertumbuhan akan terhalang.

Moral conduct

Moral code berkembang melalui interaksi dengan model. Dalam kasus moral, orang tua menjadi model pengaturan dan peran moral yang diinternalisasi oleh anak.

Bandura menekankan bahwa tingkah laku itu tidak konsisten, lebih dipengaruhi oleh ingkungan. Dengan kata lain tingkah laku lebih ditentukan oleh situasi dimana dia berada an persepsinya terhadap tingkah laku itu dari pada oleh tahap-tahap perkembangan, oleh sifat atau tipe seseorang.

  1. Moral Justification

Suatu tindakan yang salah menjadi bernilai lebih tinggi dan dapat dibenarkan.

  1. Euphemistic Labeling

Menunjukkan sesuatu yang patut dicela dengan sesuatu yang lain, dimana seseorang dapat bertingkah laku tanpa rasa rendah (self-contempt). Sebagai contohnya, orang yang tidak agresif dapat menjadi agresif kepada orang lain melalui game. Contoh yang lain adalah “soldier ‘waste’ people dari pada ‘kill them’.

  1. Advantangeous Comparison

Membandingkan tindakan yang menyebabkan self-deplored (penyesalan) dengan tindakan yang lebih mengerikan atau lebih keji, ini membuat tindakan yang reprehensible (patut dicela) terlihat remeh.

  1. Displacement of Responsibility

Melalui pemindahan tanggung jawab, seseorang dapat siap untuk meninggalkan prinsip moral jika mereka mereka merasa tingkah laku mereka akan menimbulkan sangsi atau persetujuan dengan kekuasaan. Sebagai contohnya tingkah laku staff Nazi yang inhumanity hanya tidak dirasakan sebagai tanggung jawab pribadi, karena mereka hanya menjalankan perintah.

  1. Diffusion of Responsibility

Keputusan untuk melakukan tindakan yang patut dicela yang dilakukan oleh kelompok itu lebih mudah dari pada keputusan individual. Dimana tanggung jawab individu dengan adanya pengaburan tanggung jawab maka tidak ada single tanggung jawab.

  1. Disregard or Distortion of Consequences

Orang mengabaikan dampak bahaya dari tindakan mereka sehingga mereka tidak merasakan penyesalan. Lebih jauh lagi, orang memindahkan dirinya dari dampak yang menyakitkan dari tindakan immoral mereka, menuju ke tekanan yang lebih rendah.

  1. Dehumanization

Jika seseorang terlihat sebagai subhuman, mereka dapat berberilaku inhumanly tanpa rasa bersalah.

  1. Attribution of Blame

 

Determinism versus Freedom

Apakah fakta yang menunjukkan bahwa tingkah laku adalah self-regulated berarti individu bebas melakukan apa yang mereka pilih? Bandura mendifinisikan kebebasan dalam artian sejumlah pilihan tersedia yang mungkin untuk orang dan kesempatan mereka untuk melakukannya. Ketidakleluasaan kebebasan individu meliputi incompetence, ketakutan yang tidak beralasan, excessive self-censure (celaan pada diri sendiri yang berlebihan), dan penghalang social seperti diskriminasi dan prasangka.

Kemudian di lingkungan yang sama beberapa individu lebih merasa bebas dari pada yang lain. Ketidakleluasaan lain dalam kebebasan individu dapat berasal dari kegagalan proses kognitif, dimana dapat mencegah orang berinteraksi secara efektif dengan lingkungan mereka.

 

FAULTY COGNITIVE PROCESSES

Bandura menyatakan betapa pentingnya proses kognitif dalam menentukan tingkah laku mahkluk hidup. Bagaimana individu menginternalisasi standar moral, mempercepsi self efficacy dan moral code sangat berperan dalam tingkah laku self-regulasi.  Bukti lain adalah fakta bahwa kita membayangkan diri kita di di kondisi emosi tertentu yang kita harapkan. Dan tingkah laku sangat dipengaruhi oleh imajinasi kita.

Jika proses kognitif tidak akurat dengan kenyataan maka akan menghasilkan tingkah laku yang maladaptive.  Bandura member beberapa jawaban atas perkembangan proses kognitif yang salah. Pertama mereka membangun keyakinan yang salah dari kecenderungan untuk mengevaluasi sesuatu berdasarkan penampilannya. Contohnya gelas kimia yang tinggi dan sempit memuat air lebih banyak dari pada yang kecil, pendek, karena bagi mereka lebih panjang berarti lebih besar. Kedua kesalahan pemikiran dapat berasal dari informasi yang mempunyai bukti yang tidak cukup bukti. Ketiga, pemikiran dapat berasal dari kesalahan pemrosesan informasi. Selain itu dari informasi yang benar juga ada kemungkinan dihasilkan kesimpulan yang salah. Sebagai contohnya, orang kulit hitam lebih banyak yang menganggur dari pada orang kulit putih kemudian kita menyimpulkan kesimpulan yang salah bahwa orang kulit hitam lebih tidak termotivasi dibandingkan orang kulit putih.

 

PRACTICAL APPLICATIONS OF OBSERVATIONAL LEARNING

What Modeling Can Accomplish

Modeling telah ditemukan sebagai dampak bagi observer. Respon yang baru dapat dihasilkan dari melihat model direinforced untuk tingkah laku tertentu. Kemudian acquisition tingkah laku muncul dari vicarious reinforcement. Respon akan terhalangi jika model di punished. Kemudian respon inhibition dihasilkan dari vicarious punishment. Melihat model dapat melepaskan diri dari ketakutan tanpa mengalami efek sakit dapat mengurangi inhibitions pada observer. Pengurangan rasa takut sebagai hasil dari pengobservasian model yang tidak dihukum dalam faered activity dinamakan disinhibition. Dengan menampilakan respon, model meningkatkan kemungkinan observer menghasilkan respon yang sama, ini dinamakan facilitation. Modeling juga dapat menstimulasi creativity, yang dapat dimahirkan dengan observer mengekspos bervariasi model yang membuat observer dapat mengadopsi combinasi dari berbagai karekteristik atau gaya.

Principle or rule yang mengarahkan tingkah laku berasal dari sesuatu seperti abstract modeling dimana orang akan mengobservasi model yang menunjukkan respon yang bervariasi yang mempunyai prinsip dan aturan yang umum. Abstract modeling mempunyai tiga komponen (1) mengobservasi situasi luas yang bervariasi yang mempunyai aturan atau prinsip yang umum (2) menyimpulkan role atau prinsip dari pengalaman (3) menggunakan aturan dan prinsip dalam situasi baru.

Menurut Bandura, segala sesuatu yang dapat dipelajari dengan pengaaman langsung dapat juga dipelajari melalui pengalaman tidak langsung. Akan lebih efektif jika belajar melalui modeling dengan mengeliminasi belajar secara langsung melalui trial dan error. Observational learning sangat penting untuk perkembangan dan pertahanan hidup. Karena kesalahan itu menghasilkan cost, atau konsekuensi fatal, prospek untuk bertahan akan menyempit jika kita belajar hanya dengan konsekuensi yang cukup dari trial dan error.

Modeling in the Clinical Setting

Menurut Bandura, psychopathology merupakan hasil dari dysfungcional learning, yang disebabkan ketidaktepatan antisipasi terhadap dunia. Tugas terapis adalah memberi pengalaman yang akan

Pshychopatologist mencarikan insight atau motivasi tak sadar bagi klien mereka

Banduara dan koleganya mempelajari keefektifan modeling dalam mengatasi psikopatologi. Sebagai contohnya penelitian eksperimen dengan subyek anak-anak yang takut anjing. Kelompok eksperimen di beri modeling teman sebayanya yang berinteraksi dengan anjing yang familiar, sedangkan kelompok control tidak. Hasilnya kelompok eksperimen beberapa waktu kemudian dapat berinteraksi dengan anjing dan digeneralisasikan dengan anjing yang tidak familiar.

Bandura menyimpulkan dari direct modeling (melihat model) dan symbolic modeling (melihat model dalam film) keduanya efektif untuk mengurangi ketakutan, tetapi direct modeling lebih efektif. Kekurang efektifan symbolic modeling dapat diatasi dengan menunjukkan variasi model dari pada hanya satu model.

Penelitiannya yang terakhir membandingkan keefektifan symbolic modeling, modeling dengan partisipasi dan desentisisasi sebagai teknik mengatasi phobia. Hasilnya ketiganya efektif untuk mengatasi phobia tetapi modelin-participation paling efektif.

 

THE INFLUENCE OF THE NEWS AND ENTERTAINMENT MEDIA

Televisi, koran, gambar bergerak adalah model dimana kita bisa belajar. Tidak semua yang kita pelajari dari berita dan infotainment itu negative, walaupun kadang-kadang terjadi. Karena dengan melihat televisi menyebabkan terjadinya kesalahan proses kognitif yang pada gilirannya dapat menyebabkan tindakan kriminal. Menurut Bandura, gambaran fiksi dan non fiksi dapat mendorong pada kekerasan. Walaupun tidak semua orang yang mengekspos kek.erasa di koran dan televise menjadi  melakukan kekerasan. Begitu juga dengan sexuality. Dalam faktanya materi erotic dapat mentreat orang yang mengalami problem sexual.

SOCIAL COGNITIVE THEORY

Tolman theory menjelaskan proses belajar sedangkan Bandura lebih komprehensif. Teori Bandura disebut teori observational learning menekankan pada fakta bahwa informasi terbesar datang dari interaksi kita dengan orang lain. Teori bandura menjelaskan keunikan manusia. Teori ini mendiskribsikan dinamika proses informasi, pemecahan masalah, dan organisasi social. Proses belajar kita baik dari direct learning maupun indirect learning selalu meliputi orang lain di setting social. Dan itu menjadi dasar observasi kita dan interaksi dimana kognisi kita berkembang.

Psikologi Kepribadian

Featured

menyendiri

menyendiri

  1. DISKRIPSI KASUS

Di sebuah dusun yang kecil letaknya di pulau Seram provinsi Maluku ada seorang anak namanya Udi. Dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang kurang harmonis. Ayahnya seorang pemabuk, kehidupannya sangat tergantung pada alkohol. Pekerjaannya sebagai seorang PNS. Seluruh uangnya selalu dikelola sendiri tidak pernah diberikan kepada istrinya (ibu). Kebutuhan anak pun selalu diabaikan. Uang ayah selalu digunakan untuk mabuk dan main permpuan lain.

Ibu harus bekerja membanting tulang berjualan di pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarga (makan, minum, sekolah). Udi mempunyai 6 orang saudara, Udi anak yang sulung. Dalam proses perkembangan kurang mendapati kasih sayang dari orang tua, tidak pernah diberi kesempatan untuk bergaul dengan teman-teman dan tidak diberi kesempatan untuk ngomong dengan orang tua lebih khusus ayah. Ayah orang yang kejam, sering bertindak keras dalam keluarga. Memukuli ibu tanpa alasan yang pasti. Udi pun sering dipukul tanpa salah. Udi pernah diikat di tiang rumah karena permasalahan yang dialaminya dengan wanita simpanannya yang sebenarnya adik Ibu sendiri. Hari terus berlalu, penderitaan terus berlanjut sampai memasuki masa remaja. Pada masa remaja banyak keinginan yang dipendam, direpres karena takut kepada ayah dan selalu memilih menghindari dari hukuman dengan menunjukkan sikap yang selalu patuh terhadap ayah dan ibu. Walaupun bagi Udi sendiri sangat menyakitkan, karena banyak hal dibatasi. Semakin besar semakin ditekan oleh ayah, tidak bisa belajar kelompok, tidak bisa memakai jepit-jepit rambut berwarna, tidak bisa memakai bedak, pulang sekolah tidak bisa terlambat, walau jarak antara sekolah dan rumah sangat jauh dan harus jalan, kalau terlambat dicurigai macam-macam kemudian dipukul, kadang tidak dikasih makan dan Ibu tidak bisa menentang. Kalau Ibu bersuara, Ibu yang dicambuk oleh ayah. Pokoknya sangat menyakitkan, kadang kalau terlalu sakit rasanya mau bunuh diri saja karena berpikir lebih baik mati dari pada terlalu disiksa tanpa kesalahan yang pasti, namun ketika itu juga kadang muncul kekuatan ketika teringat tokoh-tokoh agama yang kokoh dalam penderitaan dan selalu berjuang.

Hal seperti ini terus berlanjut sampai Udi tamat SMP. Sekolah tamat, Udi mengambil keputusan harus sekolah di tempat lain dengan tujuan bisa memiliki kehidupan yang lebih bahagia.

Udi kemudian melanjutkan sekolah SMA di Ambon, ibu kota provinsi Maluku. Selama studi tidak pernah pulang karena waktu-waktu liburan sering dimanfaatkan untuk kerja menjadi pembantu rumah tangga.

Ketika tamat SMA, Udi bekerja sebagai pembantu rumah tangga selama 2 tahun. Setelah itu uangnya digunakan untuk daftar kuliah. Udi kuliah sambil bekerja untuk membiayai studi pada semester IV tepat tahun 1997 ayah sempat meninggalkan ibu selama satu tahun. Itu salah satu masalah yang sangat menggoncangkan. Karena takut malu, takut diejek teman-teman. Udi selalu menghindar dari teman-teman dan memilih menyendiri. Segala sesuatu yang dialami biasanya direpres dan tidak pernah diketahui orang lain. Dan pada akhirnya membentuk kepribadian Udi menjadi orang yang ”psimis”, tertutup, tidak mampu berbicara di depan orang banyak karena takut gagal, takut salah dan sebagainya. Udi orang yang memiliki sifat introvert dominan, ekstrovet sedikit saja kalau mengalami tantangan ekstrovert direpres dan menjadi introvert lagi. Udi juga sering menggunakan topeng rendah hati untuk menghindar dari pertengkaran walaupun berada pada posisi yang benar karena takut bertengkar.

Walaupun demikian pahitnya hidup yang dijalai, namun Udi selalu mempunyai usaha untuk mencapai perubahan ke arah yang lebih baik. Itulah tujuan hidup.

  1. TEORI DAN ANALISIS

Dalam menganalisis kasus ini, penulis menggunakan teori analitik yang dikemukakan oleh Carl Jung.

  1. Teori

Menurut Carl Jung, tingkah laku Manusia ditentukan tidak hanya oleh sejarah individu dan ras (kasualitas), tetapi juga oleh tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi (teologi). Baik masa lampau sebagai aktualitas maupun masa depan sebgaai potensialitas sama-sama membimbing tingkah laku orang sekarang. Padangan Jung tentang kepribadian adalah: Prospektif dalam arti bahwa ia melihat kedepan ke arah garis perkembangan sang pribadi di masa depan dan retrofektif dalam arti bahwa ia memperhatikan masa lampau. Mengutip kata-kata Jung ”Orang hidup dibimbing oleh tujuan-tujuan maupun sebab-sebab.”

Menurut Jung dasar-dasar kepribadian bersifat arkhaik, primitif, bawaan, tak sadar, dan mungkin universal. Freud menekankan asal-usul kepribadian pada masa kanak-kanak sedangkan Jung pada ras.

  • Struktur Kepribadian

Menurut Jung struktur kepribadian Manusia terdiri dari sejumlah sistem yang berbeda namun saling berinteraksi. Sistem-sistem tersebut adalah ego, ketidaksadaran pribadi, ketidaksadaran kolektif, pesona, anima, animus dan bayang-bayang. Di samping itu terdapat sikap introversi dan esktroevrsi, serta fungsi pikiran, perasaan, pendirian dan institusi. Akhirnya terdapat diri (self) yang merupakan pusat dari seluruh kepribadian.

  • Dinamika Kepribadian

Menurut Jung kepribadian atau psyche sebagai sistem energi yang setengah tertutup, dikatakan setengah tertutup karena harus ditambahkan dengan energi dan sumber-sumber luar, misalnya makan, atau dikurangi dari sistem dengan melakukan pekerjaan yang menggunakan otot. Dinamika kepribadian rentan terhadap pengaruh-pengaruh dan modifikasi-modifikasi dari sumber luar, yaitu energi psikis.

Ini adalah contoh ketidaksadaran kolektif dan ini benar-benar ada dalam kepribadian Udi. Namun ada sebagian dari ketidaksadaran tadi diabaikan oleh ego sehingga mengganggu proses-proses rasional dasar dan membelokkannya ke dalam bentuk penyimpangan kasar, takut berbicara di depan orang banyak.

Hal ini terjadi karena ketidaksadaran tadi baik individual maupun kolektif ada yang disisihkan.

  • Persona

Dari uraian kasus di atas Udi juga sering menjadikan kerendahan hati sebagai topeng tuntutan tradisi masyarakat. Dimana anak harus menghargai orang tua, harus taat kepada orang tua untuk menciptakan kesan menjadi anak yang taat kepada orang tua dan bisa diketahui orang lain dan kadang-kadang digunakan untuk menyembunyikan pribadi yang sebenarnya.

  • Bayang-bayang

Berdasarkan uraian kasus di atas sebenarnya Udi memiliki bayang-bayang yang terdiri dari insting-insting binatang. Ada nafsu memberontak juga namun direpres dalam ketidaksadaran pribadi.

  • Anima dan animus

Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa Udi juga sebagai wanita memiliki sisi feminism dan maskulin.

  • Diri atau Self

Karena diri adalah titik pusat kepribadian dimana sistem lain terkonsetrasikan. Diri juga adalah tujuan hidup, suatu tujuan yang selalu diperjuangkan orang tetapi jarang tercapai. Seperti arketipe, orang mencari kebulatan khususnya melalui cara-cara agama. Pengalaman-pengalaman religius sejati merupakan bentuk pengalaman paling dekat ke diri (self-hood) yang mampu dicapai oleh kebanyakan manusia, sedangkan toko Kristus dan Budaha merupakan arketipe diri paling jelas yang dapat ditemukan di dunia modern.

Bertolak dari kasus yang diuraikan di depan, maka dapat dilihat bahwa dalam penderitaan yang dialami ada perjuangan yang dilakukan untuk mencapai tujuan hidup yang diinginkan yaitu kebahagiaan. Untuk mencapai hal tersebut kadang Udi mengkaitkan dengan pengalaman religius sejati karena itu yang paling dekat ke diri. Misalnya mempunyai masalah selalu berusaha untuk mencapai kepribadian yang kokoh dengan mengkaitkan dengan pengalaman-pengalaman religius. Mencontohi arketipe Kristus yang telah menderita disalib dan bisa menanggung semua penderitaan itu. Namun di dalam berusaha belum mencapai kesempurnaan. Dikatakan demikian karena kepribadian masih bergantung pada ego.

  • Sikap

Dari uraian kasus di depan Udi memiliki sikap introversi yang dominan segala permasalahan yang dialami selalu diarahkan ke dalam diri dan, suka menyendiri, tertutup.

Sikap ekstroversi kurang dominan dan tidak sadar. Dari uraian kasus dapat dilihat juga bahwa ada usaha untuk bagaimana membangun hubungan dengan dunia luar, mau membagi dan sebagainya. Tetapi kebiasaan kalau ada tantangan biasa sikap ekstroversi itu direpers kembali ke ketidaksadaran.

Contoh misalnya belajar kelompok, saya berusaha untuk bagaimana bisa membangun hubungan dengan teman-teman secara obyektif bisa mengeluarkan pendapat jika benar-benar saya tahu, dan itu bisa tetapi jika ada kesalahan dan ditertawakan, saya kembali berubah lagi menjadi introver tidak mau bergabung dan sebagainya.

  1. Dinamika Kepribadian

Berdasarkan uraian di depan dapat dilihat bahwa stimulus-stimulus lingkungan memberi perubahan pada distribusi energi dalam sistem kepribadian Udi.

Misalnya: ada dorongan energi psikis untuk bagiamana bersama teman, memenuhi keinginan bisa belajar bersama teman, bisa memiliki perasaan bahagia dan berjuang untuk menjadi yang lebih baik kadang dipengaruhi oleh stimulus dari lingkungan yakni lingkungan keluarga dan sekitar sehingga kepribadian hanya bisa stabil secara relatif.

  • Nilai-nilai Psikis

Dari uraian kasus di depan dapat dilihat bahwa Udi memiliki nilai yang tinggi pada perasan pesimis dan diam. Sehingga perasaan tersebut memainkan peranan penting dalam mencetuskan dan mengarahkan tingkah laku. Misalnya cepat putus asa, suka menyendiri dan takut. Dan itu adalah nilai relatif dari perasaan Udi.

  • Perkembangan Kepribadian

Dari kasus di depan bisa dilihat bahwa tujuan dari perkembangan kepribadian yaitu realisasi diri belum tercapai karena belum ada perpaduan yang harmonis dari seluruh aspek kepribadian Udi. Ego masih menjadi pusat pertentangan antara lingkungan dan tuntutan batin dari ketidaksadaran.

Memang sudah mulai ada proses penyatuan atau fungsi transeden tetapi belum seimbang dan terintegrasi dengan baik. Self belum berperan dengan baik walaupun sudah menggunakan. Pendekatan agama dikatakan arketipe diri Udi memang belum tampak. Kadang masih menggunakan topeng.

Masih ada perjalanan panjang yang mesti dilewati dalam membentuk kepribadian manusia itu dapat dipahami menurut kemana ia pergi bukan dimana dia berada.

Menurut Jung untuk mencari pemahaman yang sempurna tentang kepribadian kedua pandangan tentang sebab-sebab sebelumnya baik pengalaman maupun ras dan tujuan hidup/pandangan hidup ke depan.

Masa sekarang tidak hanya ditentukan oleh masa lampau (kasualitas) tetapi juga ditentukan oleh masa depan (teologi).

  1. KESIMPULAN
  1. Kepribadian Udi bukan semata-mata ditentukan oleh pengalaman masa kanak-kanak / masa lalu (kasualitas) tetapi ditentukan juga oleh masa depan, sehingga walaupun mempunyai banyak masalah yang menggoncangkan tetapi tetap ada usaha ke depan.
  2. Ada proses inetraksi antara struktur-struktur kepribadian.
  3. Dalam struktur kepribadian manusia ada ketidaksadaran individu dan ketidkasadaran kolektif.
  4. Terimakasih Tuhan walaupun masa lalu saya yang sangat menyedihkan tetapi itu bukan satu-satunya penentu/pembentuk kepribadian saya. Masih ada interaksi dan proses asimilasi dari bagian-bagian struktur kepribadian untuk membentuk Self/diri yang kokoh dengan mengambil pengalaman arketip Kristus tokoh yang kokoh dalam menghadapi setiap penderitaan.

Referensi :

Alwisol, Psikologi Kepribadian. Malang. UMM Press 2006.

Hall Calvin dan Lindzey Gardner, supratiknya A (ed). Psikologi Kepribadian 1 Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta. Kanisius 1993.

Kode Etik Psikologi Indonesia

Featured

kode etik

kode etik

PENGERTIAN
  • Ilmuwan Psikologi
    • Lulusan S1 psikologi atau lulusan S2 dan S3 dalam bidang psikologi tapi S1 diperoleh bukan dari fakultas psikologi
    • Dapat memberikan jasa psikologi tapi tak diperbolehkan memberi untuk memberikan praktik psikologi
  • Psikolog
    • Sarjana S1 dari psikologi + program pendidikan profesi/kurikulum lama yang setara dengan psikolog
    • Berhak dan berwenang memberikan praktik psikologi tapi harus memiliki izin praktik
  • Jasa Psikologi
    • Jasa yang diberikan kepada perorangan/kelompok/organisasi yang diberikan oleh ilmuwan psikologi sesuai kompetensi dan kewenangan keilmuwan psikologi di bidang pengajaran, pendidikan, pelatihan, penelitian, penyuluhan masyarakat
  • Praktik Psikologi
    • Kegiatan yang dilakukan psikolog dalam memberikan jasa dan praktik kepada masyarakat dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual/kelompok dengan menerapkan prinsip diagnostika
    • Segala terapan prinsip psikologi yang berkaitan dengan kegiatan diagnosis, prognosis, konseling dan psikoterapi
  • Pemakai Jasa Psikologi
    • Perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/institusi yang menerima dan meminta jasa/praktik psikologi
    • Pemakai jasa disebut klien
TANGGUNGJAWAB
Dalam melaksanakan kegiatannya, mengutamakan  kompetensi, obyektivitas, kejujuran, menjunjung tinggi integritas dan norma-norma keahlian serta menyadari konsekuensi tindakannya
  • Tanggungjawab Etika
    • Dalam melaksanakan tugasnya, ilmuwan psikologi dan psikolog terikat pada Kode Etik Psikologi Indonesia
    • Tanggungjawab Hub. Profesional dan Ilmiah
      • Tanggungjawab ilmuwan psikologi dan psikolog dalam memberikan jasa dan praktik psikologi hanya dalam konteks hubungan atau peran profesional maupun ilmiah
BATAS KEILMUAN
  • Menyadari Keterbatasan Keilmuan
    • Ilmuwan psikologi dan psikolog menyadari sepenuhnya atas keterbatasan keilmuan psikologi, yang dinyatakan dalam sikap dan cara kerjanya
    • Landasan kesadaran ini:

– Mencegah kegiatan yang melampaui batas keilmuan

– Mendorong kerjasama dengan profesi lain dengan tetap

menghargai dan menghormati kompetensi dan

kewenangan masing-masing pihak

– Memberikan informasi tentang keterbatasan keilmuan

psikologi, mendorong masyarakat untuk dapat

memanfaatkan jasa/praktik psikologi secara benar

 

  • Konsultasi dan Rujukan
    • Ilmuwan psikologi dan psikolog wajib mengatur konsultasi dan rujukan yang pantas atas dasar prinsip kepentingan dan persetujuan klien dengan mempertimbangkan berbagai hal, termasuk segi hukum dan kewajiban lain
    • Karena keterbatasan kemampuan, ilmuwan psikologi dan psikolog bekerjasama dengan profesi lain untuk melayani klien
    • Untuk praktik perujukan kasus kepada ahli lain, ilmuwan psikologi dan psikolog harus konsisten dengan hukum yang berlaku
PERILAKU DAN CITRA PROFESI
Dalam melaksanakan keahliannya, ilmuwan psikologi dan psikolog wajib mempertimbangkan dan mengindahkan etika dan nilai-nilai moral dalam masyarakat
  • Perilaku Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
    • Memperhatikan, mempelajari, mempertimbangkan etika dan nilai-nilai moral yang berlaku di lingkungan masyarakat tempatnya bekerja
    • Terhadap segala persamaan ataupun perbedaan yang ada, ilmuwan psikologi dan psikolog harus mampu bersikap netral, baik dalam sikap maupun cara kerjanya
    • Mengembangkan sikap terbuka terhadap perbedaan dan selalu mengikuti perkembangan masyarakat
  • Penyalahgunaan Pengaruh Keahlian Psikologi
    • Wajib mengembangkan sikap berhati-hati karena dalam melakukan penilaian, tindakan ilmiah dan profesionalnya, ilmuwan psikologi dan psikolog dapat mempengaruhi kehidupan orang lain
    • Citra Profesi Psikologi
      • Menyadari bahwa (secara langsung ataupun tidak) perilakunya dapat mempengaruhi citra ilmuwan psikologi, psikolog dan profesi psikologi secara umum

 

Teori Psikologi

Sigmund Freud

Sigmund Freud

TEORI PSIKOLOGI

 

  1. I.        Teori Psikoseksual oleh Sigmund Freud

Perkembangan psikoseksual menekankan pada perkembangan seksual. Prinsipnya adalah pada tubuh manusai terdapat bagian-bagian tertentu, yang apabila mendapat rangsangan akan memberikan kenikmatan dan daerah dari bagian tubuh yang mendapat kenikmatan tersebut berpindah-pindah. Misalnya mulut sebagai pusat kenikmatan maka perkembangan psikoseksual berada pada tahap oral.

Sigmud Freud membagi fase perkembangan atas beberapa bagian:

No.

Tahapan/Fase

Usia

Karakteristik

1. Fase oral Lahir – 12 / 18 bulan Bayi mendapat sumber kenikmatan di daerah mulut seperti menghisap dari puting susu ibu
2. Fase anal 12/18 bulan – 3 tahun Anak mendapatkan kepuasan seksual melalui membuang air besar, pusat pemuasan berada pada daerah anal
3. Phallic 3 – 6 tahun Daerah pemuasan beralih pada daerah genital
4. Latency 6 – puber Saat relatif calm
5. Genital Puber – dewasa Matura adult sexuality

 

  1. II.     Perkembangan Kognitif oleh Jean Plaget

Menurut teori in proses perkembangan dititikberatkan pada proses kognitif. Jadi menurut Plaget perkembangan kognitif terjadi dalam beberapa tingkatan.

No.

Tahap

Usia

Karakteristik

1. Sensorimotor 0 -2
  • Menggunakan imitasi, ingatan, dan berpikir
  • Mengenali obyek yang menghilang sebagai benar-benar terjadi
  • Perubahan dari refleks ke prilaku menuju goal
2. Preoperasional 2 – 7
  • Bahasa mulai berkembang dan mulai mampu berpikir dalam bentuk simbolik
3. Kongkrit operasional 7 -11
  • Mampu menyelesaikan masalah kongkrit secara logis
  • Memahami konservasi, klasifikasi dan mengurutkan.
4. Formal operasional 11 – ke atas
  • Mampu menyelesaikan masalah abstrak dengan logis.
  • Lebih ilmiah dalam berpikir
  • Mulai memikirkan issue sosial dan identitas

 

Dalam proses pendidikan diharapkan orang tua, guru dan masyarakat juga dapat, mengoptimalkan perkembangan kongnitif anak.

Ä  Untuk Anak Yang Berada Pada tahap Sensorimotor

  1. Orang tua harus memberi kesempatan kepda anak untuk memanfaatkan aspek-aspek pengindraan dan motoriknya dengan memberi mainan-mainan yang berwarna-warni, berbunyi dan bergerak.

 

Ä  Untuk anak yang berada di tahap preoperasional

  1. Orang tua dan guru harus memberikan bantuan kepada anak yang bersifat kongkrit dan visual.
  2. Berikan intruksi yang pendek dengan penggunaan gerakan maupun kata-kata
  3. Jangan mengharapkan anak melakukan sesuatu sesuai pandangan orang lain.
  4. Sensitif terhadap kemungkinan perbedaan persepsi antara orang tua / guru dengan anak.
  5. Berikan kesematan kepda anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan keterampilan.

 

Ä  Untuk Anak Pada Tahap Kongkrit Operasional

  1. Dalam roses belajar mengajar guru harus menggunakan bantuan yang bersifat kongrit dan visual terutama untuk tugas-tugas yang sulit.
  2. Gunakan contoh-contoh yang dikenal untuk ide-ide yang kompleks (contoh-contoh kongkrit)
  3. Sajikan masalah yang membutuhkan kemampuan berpikir logis dan analistik.

 

Ä  Untuk anak yang berada pada tahap formal operasional anak sudah mulai diajarkan untuk berpikir abstrak, untuk itu:

  1. Lanjutkan penggunaan strategi dan materi pengajaran yang kongkrit.
  2. Berikan kesempatan kepada anak untuk menggali berbagai pertanyaan hipotesis.
  3. Berikan kesempatan kepada anak untuk menalar dan memecahkan masalah secara ilmiah tidak lagi bergantung pada hal-hal yang kongkrit.

 

  1. III.  Teori Psikososial oleh Erik H. Erikson

Menurut Erikson, kepribadian berkembang selama rentang kehidupan. Manusia aktif mengembangkan sikap dan keterampilannya, dan pentingnya pengaruh lingkungan untuk pengembangan kepribadian.

Perkembangan ini juga dapat dibagi atas beberapa tahap antara lain:

No.

Tahap

Usia

Karakteristik

1. Basic Trust

Vs.

Basic Mistrust

Lahir – 12 – 18 bulan Anak harus membentuk cinta, rasa percaya dan hubungan dengan pengasuhnya atau timbul ras atidak percaya
2. Anatomy

Vs.

Shame dan Doubt

18 – 3 tahun Energi diarahkan pada perkembangan keterampilan fisik, tetapi bila keinginan untuk mengendalikan tercapai ia akan merasa malu dan ragu
3. Intiative

Vs

Gulit

3 – 6 tahun Anak semakin asertif dan berinisiatif dan mengembangkan sikap tanggung jawab. Bila ornag tua terlalu sering menyalahkan anak akan timbul perasaan bersalah pada anak.
4. Industry

Vs.

Inferiority

6 – 12 tahun Anak mempelajari keterampilan-keterampilan baru yang sesuai dengan tumbuh-tumbuhan. Inferiority terjadi bila sering mengalami pengalaman negatif
5. Identiy

Vs

Role confusion

Remaja Anak mempelajari idnetitas dalam pekerjaan, peran jenis kelamin, pendidikan sosial serta agama, kalau tidak tercapai timbul sikap langsung terhadap peran.
6. Intimacy

Vs.

Isolation

Dewasa awal Individu harus mengembangkan hubungan akrab dan intim dengan orang lain, klau tidak akan mengisolasi diri
7. Generativity

Vs.

Stagnation

Dewasa tengah Individu harus mencapai cara-cara untuk memperoleh kepuasan dan mendukung generasi seterusnya, kalau tidak tercapai maka akan stagnan
8. Ego idntity

Vs.

Despair

Dewasa akhir Individu sudah harus memiliki identitas diri yang jelas, kalau tidak terpenuhi akan terjadi putus asa.

 

  1. IV.  Teori Psikohumanistik oleh Abraham Moslow, Carl rogers, dll

Teori psikohumanistik adalah teori psikologi yang memandang Mc memiliki kemampuan untuk merubah hidupnya dengan membantu perkembangannya sendiri.

Maksud teori ini, manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan dan perkembangannya dengan cara yang sehat dan positif melalui perubahan kualitas manusia terhadap pilihan, kreativitas dan relaisasi dirinya.

Teori ini tidak menyusun perkembangan menurut tingkatan-tingkatan tetapi menekankan pada pola asuh yang diberikan orang tua terhadap anak, terutama pada tahun-tahun awal kehidupan.

Menurut teori ini orang tua tidka boleh membatasi tingkah laku anak, tidak banyak aturan, anak diberi penghargaan positif tanpa syarat.

Jadi penghargaan diberi secara positif tanpa ada syaratnya (unconditional positive regard).

 

  1. V.     Teori Plaget Tentang Moral

Menurut Jeane Plaget perkembangan awal dapat dibagi atas 2 tahap:

  1. Hetronomanus morality (± 5 sampai 10 tahun)

Pada tahap ini anak memandang aturan-aturan sebagai otoritas yang dimiliki oleh tuhan, orang tua dan guru yang tidak dapat dirubah dan harus dipatuhi dengan sebaik-baiknya.

  1. Autonomous morality atau morality of cooperation (10 tahun ke atas)

Pada tahap ini moral tumbuh melalui kesadaran bahwa orang dapat memilih pandangan yang berbeda terhadap tindakan moral.

Hal ini menyadarkan anak bahwa norma bersifat fleksibel, merupakan kesepakatan sosial, yang dapat disesuaikan dengan keinginan mayoritas.

 

  1. VI.  Teori Perkembangan Moral Menurut Kotilberg

Menurut Kotilberg moral berkembang melalui 3 level dan 6 taraf moral berkembang dari kongkrit, orientasi eksternal yang logis menjadi lebih abstrak, adanya prinsip jastifikasi (pembenaran) dalam memilih moral. Dan dibangun atas dasar kapasitas kognitif dan perspektif.

 

Pembagian Tahap Perkembangan Moral Menurut Kotilberg

I. Tingkat Pra konvensional

Aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal). Tingkah laku yang baik adalah yang mendapatkan reward. Sedangkan tingkah laku yang buruk adalah tingkah laku yang mendapatkan ganjaran

Taraf 1

 

 

 

Taraf

2.

The punishment and obedience orientation Orientasi pada hukuman dan ketentuan – mematuhi norma menjauhi hukuman

The isntrumental purpose orientation

Individu memandang tingkah laku yang baik adalah apa yang dapat memuaskan kebutuhannya dan meyakini orang lain  pun dapat bertindak demikan. Sudah ada fairness dan hubungan timbal balik, tetapi sebatas batas-batasan

II. Tingkat Convensional

Menghargai konvrontitas peraturan-peraturan sosial seperlunya, bukan karen akeinginan sendiri mematuhi sistem sosial hanya untuk mempertahankan hukuman positif dnegan orang lain dna keteraturan sosial

Taraf

3

 

 

 

 

 

 

 

Taraf

4

Good boy – good girl orientation atau the morality of interpersonal cooperation.

Berusaha untuk menjadi orang baik dengan menjaga perasaan dan penghargaan dari teman dan sahabat, berperilaku loyal, menghargai, membantu bersikap baik

The order maintenance orientation

Kebaikan adalah apabila melakukan tugas, menunjukkan penghormatan terhadap otoritas dan mempertahankan aturan sosial.

III. Tingkat cost conventional atau tingkat principled

 

 

 

 

Mematuhi peraturan yang tanpa syarat. Moral adalah nilai yang harus dipakai dalam segala situasi

Taraf

5

 

 

 

 

Taraf

6

The social contract orientation

Menerima hukum dan peraturan yang fleksibel

Hukum dapat berubah dan tidak kaku, asalkan bertujuan untuk perbaikan masyarakat.

Apa yang benar ditentukan oleh keputusan kata hati sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri yang sesuai nilai etika.

 

  1. VII.          Havinghurst tentang tugas perkembangan

Menurut Havingtrust tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu.

Jadi tugas perkembangan ini merupakan harapan dari masyarakat yang harsu dicapai oleh individu dalam bentuk keterampilan-keterampilan khusus.

Dalam proses perkembangan individu jika berhasil melakukan tugas perkembangannya akan ada perasaan bahagia tetapi kalau gagal akan mengakibatkan muncul kekecewaan dan akan mempengaruhi individu dalam mencapai tugas perkembangan selanjutnya.

  • Tujuan dari tugas perkembangan bagi individu ada 3:
  1. Akan membantu mereka untuk penyesuaian diri mereka di dalam masyarakat.
  2. Sebagai motivasi untuk melakukan apa yang diharapkan masyarakat dari mereka dan
  3. Membantu mereka mengetahui apa yang akan dihadapi pada masa perkembangan selanjutnya.

 

 

  • Bahaya dari tugas perkembangan
  1. Jika ada harapan-harapan yang kurang tepat, misalnya: keterampilan untuk berjalan mesti dicapai pada masa bayi, sedangkan fisik anak terganggu.
  2. Apabila ada kegagalan dalam mencapai tugas tertentu
  3. Ada krisis yang dialami jika masuk pada tugas baru (akibat kecelakaan tugas sebelumnya)

 

Daftar Tugas-Tugas Perkembangan Menurut Havingtrust

  • Masa bayi dan awal anak-anak

–          Belajar makan makanan padat

–          Belajar berjalan

–          Belajar berbicara

–          Belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh

–          Mempelajari perbedaan seks dan tata caranya

–          Mempersiapkan diri untuk membaca

–          Belajar membedakan benar dan salah dan mulai mengembangkan hati nurani

 

  • Akhir masa kanak-kanak

–          Mempelajari keterampilan fisik yangd iperlukan untuk permainan –permainan yang umum.

–          Membangun sikap yang sehat mengenai diri snediri sebagai makhluk yang sedang tumbuh

–          Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya

–          Ulai mengembangkan persamaan sosial pria / wanita yang tepat.

–          Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung.

–          Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari.

–          Mengembangkan hati nurani pengertian moral dan tingkatan nilai.

–          Mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial.

–          Mencapai kebeasan pribadi

  • Masa Remaja

–          Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dnegan teman sebaya baik pria maupun wanita

–          Mencapai peran sosial baik pria maupun wanita

–          Menerima keadaan fisinya dan menggunakannya secara efektif

–          Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

–          Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dewasa lain

–          Memperispkan karir ekonomi

–          Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

–          Memperoleh peringkat nilai dan sisitem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.

  • Awal Masa Dewasa

–          Mulai bekerja

–          Memilih pasangan

–          Belajar hidup dengan tunangannya

–          Mulai membina keluarga

–          Mengasuh anak

–          Mengelola rumah tangga

–          Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara

–          Mencari kelompok sosial yang menyenangkan

  • Masa Usia Pertengahan

–          Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga negara

–          Membantu remaja belajar untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia

–          Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang untuk orang dewasa

–          Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan hidup sebagai suatu individu

–          Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada tahap ini.

–          Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karier pekerjaan.

–          Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua.

  • Masa Tua

–          Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan

–          Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan) keluarga

–          Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup

–          Membentuk hubungan dnegan orang-orang yang seusia

–          Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan

–          Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penguasaan tugas-tugas perkembangan

Ä  Yang menghalangi

–          Tingkat perkembangan yang mundur

–          Tidak ada kesempatan dan bimbingan untuk menguasai tugas perkembangan

–          Tidak ada motivasi

–          Kesehatan yang buruk

–          Cacat tubuh

–          Tingkat kecerdasan yang rendah

Ä  Yang membantu

–          Tingkat perkembangan yang normal atau yang diakselerasikan

–          Ada kesempatan dan bimbingan dalam mencapai tugas perkembangan

–          Ada motivasi

–          Kesehatan  yang baik dan tidak ada cacat tubuh

–          Tngkat kecerdasan yang tinggi

–          Kreativitas


 

Teori Psikologi Pendidikan

gadis cantik di sekolah

Psikologi Pendidikan

 

  1. I.        Teori Koneksionisme Menurut Thorndike

Dalam proses belajar ada hubungan stimulus dan respons. Namun harus ada kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaab-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.

Untuk melakukan seleksi ada beberapa hukum belajar dari Thorndike:

  1. Hukum kesiapan (The Law of Readiness) yang rumusnya antara lain:

–          Jika sudah siap melakukan suatu tingkah laku maka ada kepuasan

Contoh orang yang sudah belajar untuk ujian maka di asnagat puas bila ujian tersebut berlangsung. Dia akan tenag bekerja dan tidak menyontek.

–          Bila sudah siap melakukan tingkah laku dan tidak melaksanakan tingkah laku tersebut maka akan menimbulkan kekecewaan.

Contoh jika seseorang sudah benar-benar siap untuk ujian dan ujian tidak dilaksanakan / diundur, maka ia sangat kecewa. Untuk mengurangi k kekecewaan, dia membuat gaduh dan protes.

–          Jika seseorang belum siap lakukan sesuatu tingkah laku tetapi dia harus melakukannya, maka akan menimbulkan ketidak puasan dan dia akan melakukan tingkah laku lain untuk menghalanginya.

Contoh: siswa yang tiba-tiba diberi tes / ulangan tanpa ada pemberitahuan sebelumnya maka akan ada protes pembatalan.

  1. 2.      Hukum latihan (The law of experience)

Hukum ini dibagi 2 hukum penggunaan (the law of use) dan hukum tidak ada penggunaan (the law of disuse)

Untuk the law of use dilakukan dengan latihan berulang-ulang hubungan stimulus dan respons makin kuat.

The law of disuse dinyatakan, hubungan antara stimulus dan respon melemah bila latihan, latihan dihentikan. Jadi makin sering sesuatu pelajaran diulangi. Pelajaran tersebut semakin dikuasai oleh anak.

  1. 3.      Hukum akibat (the law of effect)

Hubungan stimulus respons diperkuat jika akibatnya memuaskan dan diperlemah bila akibatnya tidak memuaskan.

Contoh, sisiwa yang nyontek diberi nilai A maka pada kesempatan lain akan  memnyontek lagi.

Dalam pembelajaran menurut Thorndike

–          Guru harus merumuskan tujuan pembelajaran dengan jelas

–          Materi pendidikan yang diberikan kepada siswa harus ada manfaatnya untuk kehidupan kelak keluar dari sekolah

–          Pelajaran yang diberikan tidak boleh melebihi kemampuan anak

 

  1. II.     Classical Conditioning Ivan Pavlov

Suatu bentuk belajar yang memungkinkan organisme memberikan respon terhadap suatu rangsang yangs ebelumnya tidak menimbulkan respon. Atau suatu proses untuk menintroduksi berbagai refleks menjadi sebuah tingkah laku. Jadi Classical conditioning sebagai pembentuk tingkah laku melalui proses persyaratan (conditioning process).

Di samping itu Pavlov beranggapan bahwa tingkah laku organisme dapat dibentuk melalui pengaturan dan manipulasi lingkungan.

Untuk membuktikan teori Pavlov, dia mengadakan eksperimen terhadap anjing:

  1. Anjing dibiarkan lapar setelah bel dibunyikan, anjing benar-benar mendengarkan bunyi bel tersebut. Setelah bel berbunyi 30 detik, makanan diberikan, maka terjadilah refleks pengeluaran air liur.
  2. Percobaan dilakukan berulang-ulang dengan jarak waktu 15 menit
  3. Setelah diulangi 32 kali, ternyata bunyi bel saja telah keluar air liur dan air liur bertambah deras kalau makanan diberikan. Makanan sebagai pembuatan yang disebut reinformen yang disingkat R1.
  4. Berdasarkan eksperimen tersebut bel merupakan CS, makanana merupakan US, kelenjar air liur karena bel disebut CR.

 

  1. III.  Teori Operant Conditioning oleh Skiner

Skiner membedakan tingkah laku menjadi 2:

  1. Tingkah laku operan
  2. Tingkah laku responden

–          Tingkah laku operan, tingkah laku yang ditimbulkan oelh stimulus yang jelas

–          Tingkah laku operan, tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus yang belum diketahui semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri.

Dalam proses pendidikan hadiah diberikan kadang-kadang jika perlu ada penampilan perilaku yang baik diberi hadiah (penguatan positif), ada penampilan perilaku yang baik diberi hukuman misalnya mengalihkan perhatian (pembuatan negatif)

Jadi hadiah diberikan kadang-kadang supaya ada perimbangan antara efek hadiah dan hukuman dalam perubahan tingkah laku.

Penerapan teori Skiner dalam proses pendidikan

  1. Bahan yang dipelajari dianalisis secara sistematis
  2. Hasil belajar diberitahukan, jangan ditunda, harus emmberi feed back. Jika saka dibetulkan, jika betul diberi reinforcement
  3. Pengarahan dalam mencapai tujuan sangat penting
  4. Dalam proses belajar mengajar dipentingkan aktivitas sendiri.

 

  1. IV.  Teori Behaviorisme

Tokoh utama aliran in ialah J.B. Watson

Menurut Watson:

Sebagai science, psikologi harus bersifat positif sehingga obyeknya bukanlah kesadaran dan hal-hal yang dapat dilihat melainkan tingkah laku.

Metode yang digunakan dalam meliohat tingkah laku adalah obesrvasi.

Teori ini terbagi atas beberapa bagian yang penting.

 

  1. a.      Teori  Sarbon (stimulus and response theory)

Menurut teori ini, tingkah laku yang kompleks dapat dianalisis menjadi rangkaian unit perangsang dan reaksi (stimulus and response) yang disebut refleks.

  • Stimulus adalah situasi objektif yang wujudnya bermacam-macam. Misalnya rumah terbakar, kereta sesak dan sebagainya.
  • Respon adalah rekasi obyektif daripada individu terhadap situasi sebagai perangksang yang wujudnya bermacam-macam misalnya; refleks pattela, memukul bola, mengambil makanan, menutup pintu dan sebagainya.

Jadi tujuan dari psikologi menurut Watson adalah;

Menetapkan data-data dan hukum-hukum sedemikian rupa, sehingga kalau kita tahu perangsang dapat meramalkan respon-respon dans ebaliknya kalau tahu responnya dapat mencapai perangsang yang mengakibatkannya.

  1. b.      Pengamatan dan kesan (sensation and perception)

Menurut Wtason dalam menghadapi manusia harus membuat stimulus dan respons)

  1. c.       Perasaan tingkah laku efektif

Di sini Watson berusaha untuk melihat perilaku emosional manusia (dalam arti yang dapat dialami) yaitu reaksi emosional:

–          takut

–          marah

–          cinta

Dan dapat disimpulkan menurut Watson bahw areaksi emosional dapat ditimbulkan dengan persyaratan (conditioning) dan rekasi emosional bersyarat itu dapat dihilngkan dengan persyaratan kembali (reconditioning). Prosesnya sama dengan Palpov.

  1. Dalam proses perkembangan ada pengaruh lingkungan (pendiidkan, belajar, pengalaman) menurut Watson rekasi-rekasi kodrati yang dibawa sejak lahir itu sedikit sekali. Perekmbangan terbentuk karena latihan dan belajar.

 

  1. V.     Teori Gestalt menurut Koffka

Belajar pada pokoknya yang penting adalah penyesuaian pertama, yaitu mendapat respons yang tepat. Karena penemuan respons yang tepat tergantung pada structure dari pada bahan yang tersedia di depan si pelajar. Maka mudah atau sukarnya problem terutama adalah masalah pengamatan. Karena jika seseorang bisa melihat situasi dengan tepat maka akan memperoleh ”pencerahan” dan dapat memecahkan problem yang dihadapi.

Teori kognitif Jean Piaget

Proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dibagi menjadi tahap sensorimotor, prapoperaional, operasional kongkret dan operasional formal.

Proses belajar bagi anak yang berada pada tahap sensorimotor berbeda dengan operasional kongkrit dan selanjutnya berbeda juga dengan operasional formal.

Jadi guru dalam proses belajar pembelajaran penyajian materi harus disesuaikan dengan tahapan tadi.

Jika materi yang disajikan tidak sesuai dengan tahapan tadi akan emnyulitkan anak untuk memahaminya.

Contoh mislanya anak yang berada pada tahap operasional kongkrit. Guru mengajar dengan menggunakan konsep-konsep abstrak tanpa ada usaha untuk ”mengongkretkan” konsp-konsep tersebut akan membingungkan siswa.

 

Ausebel

Menurut Ausebel siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut ”pengatur kemajuan (belajar)” (Advance Organizers) didefinisikan dengan baik dan tepat bagi mahasiswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.

Menurut ausebel ”advance organizers” dapat memberikan tiga macam manfaat yakni:

  1. Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi pelajaran yang dapat dipelajari oleh siswa.
  2. Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sementara dipelajari siswa ”saat ini” dengan apa yang ”akan” dieplajari sedemikian rupasehingga membantu siswa memahami bahan belajar dengan lebih mudah.

 

Burner

Teorinya disebut free discovery learning.

Menurut teori ini proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu teori, konsep definisi dan sebagainya.

Dengan kata lain siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum.

Contoh: untuk siswa memahami konsep tentang ”kejujuran” siswa tidak semata-mata ”menghafal”, definisi kata ”kejujuran” tersebut, melainkan dengan memplajari contoh-contoh kongrit tentang kejujuran.

Lawan dari pendekatan ini disebut ”belajar ekspositiory” (belajar dengan cara menjelaskan). Dalma hal ini siswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi tersebut melalui contoh-contoh khusus yang kongkrit.

Contoh: untuk masalah di atas mahasiswa pertama-tama diberi definisi tentang ”kejujuran” dan dai definisi itulah mahasiswa diminta untuk mencari contoh.

 

Teori Humanime Menurut Bloom Dan Kartwohl

Menurut Bloom dan Kartwohl pelajaran harus dapat disesuaikan dengan apa yang mencakup tiga kawasan yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.

  1. Kognitif yang terdiri dari 6 tingkatan

–          Pengetahuan (mengingat, menghafal)

–          Pemahaman (menginterpretasikan)

–          Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)

–          Analisis (menjabarkan konsep)

–          Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi satu konsep utuh)

–          Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dan sebagainya)

  1. Afektif terdiri dari 5 tingkatan

–          Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)

–          Mersepon (aktif berpartisipasi)

–          Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tersebut)

–          Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai yang dipercayai

–          Pengamatan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup.

  1. Psikomotor yang terdiri dari 5 tingkatan

–          Peniruan (menirukan gerak)

–          Penggunaan (menggunakan kosnep untuk melakukan gerak)

–          Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)

–          Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)

–          Naturalisasi (melakukan gerak secara wajara.

Taksonomi Bloom, seperti yang kit aketahui berhasil memberi inspirasi kepda banyak pakar lain untuk mengembangkan belajar dan pembelajaran.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hurlock B. Elizabeth. Psikologi Perkembangan, Erlangga, Jakarta, 1992

Suryabrata Sumadi. Psikologi Pendidikan.  Raja Grafindo Persada. Jakarta Tahun 2004.

Wingkellll W.S. Psikologi Pelajaran. Gramedia Jakarta 1987.

Anak Berbakat (Gifted)

anak berbakat

anak berbakat

PENDAHULUAN

          Anak berbakat (Gifted) memiliki kemampuan luar biasa, yang berbeda jauh dengan anak-anak lainnya.  Perbedaan ini pada umumnya membuat anak berbakat dilihat sebagai individu yang unik, istimewa, atau bahkan bisa dianggap sebagai anak yang aneh. Sebagai anak yang berbeda seringkali anak sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya terutama teman sebaya. Kesulitan ini sedikit banyak mempengaruhi perkembangan mereka sebagai pribadi. Tidak jarang hal ini berakibat munculnya masalah psikologis yang sulit diatasi sendiri tanpa dukungan dari lingkungan sosial, terutama keluarga dan sekolah. Dengan melihat kondisi ini, kami tertarik untuk menelaah lebih dalam tentang perkembangan seorang anak berbakat dalam kaitannya dengan relasinya di sekolah, di rumah, juga perkembangan potensi kecerdasan maupun kepribadian. Telaah yang kami lakukan adalah telaah pustaka, dan resensi film. Dengan telaah pustaka diharapkan kami memperoleh cara pandang atau paradigma yang benar tentang anak berbakat, dengan resensi film diharapkan kami memperoleh gambaran yang konkrit dan detil tentang kehidupan sehari-hari dan perkembangan anak berbakat. Adapun film yang kami angkat adalah ”Little Man Tate”. Hasil telaah itu kemudian kami tuangkan dalam bentuk dinamika psikologis, yang menggambarkan bagaimana interaksi dan interdependensi dari berbagai aspek psikologis yang dimiliki oleh tokoh film, ”Fred”.

TINJAUAN TEORITIS

I. GIFTED CHILDREN

DEFINISI

Keberbakatan seperti juga inteligensi tidak mudah untuk diukur. Terjadi perbedaan pendapat tentang siapa yang dapat disebut berbakat dan dengan dasar apa orang disebut berbakat. Hal lain yang membingungkan adalah kreatifitas dan bakat seni seringkali dipandang sebagai spek atau tipe keberbakatan tetapi kadangkadang dianggap independent.

Menurut gifted and talented children’s education act of 1978, anak gifted didefinisikan sebagai : anak yang teridentifikasi saat prasekolah, sekolah dasar atau menengah sebagai orang yang memiliki kemampuan potensial dan menunjukkan kapabilitas performansi pada area yang spesifik (yang misalnya intelektua, kreativitas, akademis tertentu, seni, kepemimpinan) dan kemudian membutuhkan pelayanan atau kegiatan yang tidak seperti biasanya dari sekolah

IDENTIFIKASI KEBERBAKATAN

Secara tradisional diidentifikasi berbakat bila kecerdasan umum tinggi dengan skor IQ di atas 130.  Kemudian dewasa ini digunakan multiple kriteria untuk mengidentifikasi keberbakatan. Kecerdassan umum tetap menjadi penentu, kemudian dilihat bakat/kemampuan spesifik (matematik atau sains) kreativitas atau produktivitas berpikir, kepemimpinan, bakat dalam seni dan kemampuan psikomotorik.

MENDIDIK ANAK BERBAKAT

Program untuk anak berbakat

  1. Enrichment

Memperluas dan memperdalam pengetahuan dan keterampilan melalui kegiatan di luar kelas, projek penelitian, field trips, coaching by experts.

Renzulli menyatakan model enrichmen untuk anak gifted yang disebut triad model, yaitu memberikan kesempatan untuk eksplorasi, skill building, dan research into real problem. Eksplorasi memberi anak kesempatan menemukan topik yang diminati tetapi tidak diberikan dalam kurikulum. Skill building memfokuskan anak pada penelitiann, data dan kemampuan berkomunikasi menyediakan pengenalan terhadap strategi pemecahan masalah dan berpikir kreatif. Research into real problem memberikan kesempatan untuk menemukan situasi aktual dan menawarkan solusi yang baru.

  1. Acceleration

Memasukkan anak ke sekolah dengan lebih dini, melompat kelas, menempatkan pada program kelas percepatan, atau melalui pemberian advance course pada subjek materi tertentu.

II. TEORI KECERDASAN

  1. 1.   MULTIPLE INTELLIGENCE (GARDNER)

Menurut Gardner (1996),  kapasitas kecerdasan individu tidak hanya terdiri dari faktor g, dan komponen kecerdasan tidak hanya faktor bahasa, logika, dan spasial seperti yang diidentifikasi oleh pendekatan lain. Ia menyimpulkan bahwa bukti secara komulatif menunjukkan adanya 7 bahkan mungkin 8 inteligensi yang berbeda dan masing-masing berdiri sendiri. Perkembangan inteligensi ini berbeda-beda pada tiap orang berkaitan dengan faktor hereditas dan pelatihan. Ia meyakini bahwa semua macam inteligensi ini perlu diukur untuk menggambarkan kapasitas kecerdasan yang sesungguhnya. Jenis-jenis inteligensi  menurut Gardner :

  1. Inteligensi spasial (Spatial Intelligence), merupakan kecerdasan seseorang yang berdasar pada kemampuan  menangkap informasi visual atau spasial, mentransformasi dan memodifikasinya,  membentuk kembali gambaran visual tanpa stimulus fisik yang asli. Kecerdasan ini tidak tergantung sensasi visual. Kemampuan pokoknya adalah kemampuan untuk membayangkan bentuk tiga dimensi dan mampu menggerakkan atau memutar bentuk tersebut dalam pikirannya. Individu yang memiliki kecerdasan tersebut cenderung berpikir dalam pola-pola yang berbentuk gambar. Mereka sangat menyukai bentuk-bentuk peta, bagan, gambar, video ataupun film sebagai media yang efektif dalam berbagai kegiatan hidup sehari-hari.
  2. Inteligensi bahasa (Linguistic Intelligence), merupakan kecerdasan individu dengan dasar penggunaan kata-kata dan atau bahasa. Meliputi mekanisme yang berkaitan dengan fonologi, sintaksis, semantik dan

pragmatik, terlibat dalam proses berbicara, mendengarkan, membaca dan menulis.  Mereka yang memiliki kecerdasan tersebut, mempunyai kecakapan tinggi dalam merespon dan belajar dengan suara dan makna dari bahasa yang digunakan. Mereka lebih bisa berpikir dalam bentuk kata-kata daripada gambar. Kecerdasan ini merupakan aset berharga bagi jurnalis, pengacara, pencipta iklan.

  1. Inteligensi logis-matematis (Logical-Mathematical Intelligence). Merupakan kecerdasan yang didasarkan pada penggunaan penalaran, logika dan angka-angka matematis. Pola pikir yang berkembang melalui kecerdasan ini adalah kemampuan konseptual dalam kerangka logika dan angka yang digunakan untuk membuat hubungan antara berbagai informasi, secara bermakna. Kecerdasan ini diperlukan oleh ahli matematika, pemprogram komputer, analis keuangan, akuntan, insinyur dan ilmuwan.
  2. Inteligensi gerakan tubuh (Bodily-Kinesthetic Intelligence). Kemampuan untuk mengendalikan gerakan tubuh dan memainkan benda-benda dengan cara luar biasa. Individu akan cenderung mengekspresikan diri melalui gerakan tubuh, memiliki keseimbangan yang baik dan mampu melakukan berbagai manufer fisik dengan cerdik. Melalui gerakan tubuh pula individu dapat berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya, mengingat dan memproses setiap informasi yang diterimanya. Kecerdasan ini dapat terlihat pada koreografer, penari, pemanjat tebing.
  3. E.   Inteligensi Musik (Musical Intelligence), memungkinkan individu menciptakan, mengkomunikasikan dan memahami makna yang dihasilkan oleh suara. Komponen inti dalam pemprosesan informasi meliputi pitch, ritme dan timbre. Terlihat pada komposer, konduktor, teknisi audio, mereka yang kompeten pada musik instrumentalia dan akustik.
  4. F.    Inteligensi antar personal (Interpersonal Intelligence), merupakan kecerdasan dalam berhubungan dan memahami orang lain di luar dirinya. Kecerdasan tersebut menuntun individu untuk melihat berbagai fenomena dari sudut pandang orang lain, agar dapat memahami bagaimana mereka melihat dan merasakan. Sehingga terbentuk kemampuan yang baik dalam mengorganisasikan, dan menjalin kerjasama dengan orang lain ataupun menjaga kesatuan suatu kelompok. Kemampuan tersebut ditunjang dengan bahasa verbal dan non-verbal untuk membuka saluran komunikasi dengan orang lain.
  5. G.   Inteligensi dalam diri (Intrapersonal Intelligence), mendasarkan pada proses dasar yang memungkinkan individu untuk mengklasifikasikan dengan tepat perasaan-perasaan mereka, misalnya membedakan sakit dan senang dan bertingkah laku tepat sesuai perasaannya. Kecerdasan ini memungkinkan individu untuk membangun model mental mereka yang akurat, dan menggambarkan beberapa model untuk membuat keputusan yang baik dalam hidup mereka.
  6. H.   Inteligensi Natural (Naturalistic Intelligence), merupakan kecerdasan yang melibatkan kemampuan untuk memahami dan bekerja secara efektif dengan alam sekitar. Kecerdasan ini dimiliki oleh para ahli biologi dan zoology.

Dengan potensi kecerdasan ganda di atas, maka setiap orang memiliki gaya belajar yang unik yang bergantung pada kecerdasan mana yang menonjol (Amstrong, 2003) :

1. Linguistic Intelligence: anak yang memiliki kecerdasan linguistic tinggi senang belajar kata-kata dan bahasa yang berkaitan dengan membaca, menulis, mendengar, dan berbicara.

2.  Logical-Mathematic Intelligence: berkaitan dengan pemecahan masalah   logika, hitungan dan menemukan pembuktian.

3. Spatial Intelligence: lebih mudah belajar secara visual, berkaitan dengan kemampuan mengenali orientasi dalam suatu ruang (kiri-kanan, atas-bawah, jauh-dekat, bentuk tiga dimensi), dan berpindah dari lokasi satu ke lokasi lain.

4. Musical Intelligence: berkaitan dengan bermain musik, membuat, bernyanyi dan mengarahkan musik. Kecerdasan ini tidak hanya dimiliki oleh seorang musikus, tapi juga oleh seorang ahli jantung dan ahli mekanik mobil yang mampu mendiagnosa dengan dasar mendengarkan pola suara.

5. Bodily-Kinaesthetic Intelligence: berkaitan dengan penggunaan bagian atau seluruh tubuh untuk unjuk kemampuan gerakan seperti penari, atlit dan ahli bedah.

  1. 6.   Intrapersonal Intelligence: berkaitan dengan pemahaman terhadap diri sendiri, tentang pemikirannya, tindakannya dan emosinya.

7. Interpersonal Intelligence: berkaitan dengan kemampuan memahami dan menjalin relasi dengan orang lain. Memiliki keterampilan sosial yang tinggi seperti yang seharusnya dimiliki oleh psikolog, guru, politikus. 

  1. 8.   Natural Intelligence: berkaitan dengan kamampuan untuk hal-hal yang terjadi di alam sekitar.

III. TEORI KEPRIBADIAN (CARL ROGERS)

PANDANGAN ROGERS TENTANG PERSON

Berdasarkan pengalaman Roger melakukan psikoterapi selama 30 tahun, ia menyimpulkan bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki tujuan, bergerak ke depan, konstruktif, realistik dan dapat dipercaya. Ia menghargai manusia sebagai energi/kekuatan yang diarahkan pada pencapaian tujuan masa depan dan tujuan dirinya, dan bukan sebagai makhluk yang ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya. Bila potensi kebaikan manusia ini dapat berkembang, maka perkembangan yang optimal dan efektif akan tercapai. Disadari juga bahwa manusia terkadang memunculkan perasaan dan perilaku tidak baik, anti sosial dan abnormalitas, namun itu tidak sesuai dengan hati nuraninya. Dengan demikian bila manusia dapat berfungsi penuh, bebas memiliki pengalaman yang sesuai hati nuraninya, dan merasa puas dengan diri sendiri, maka manusia akan menjadi positif dan dapat dipercaya untuk hidup harmonis dengan dirinya dan orang lain.

STRUKTUR KEPRIBADIAN MENURUT ROGERS

The Organism

merupakan tempat (locus) dari segala pengalaman, yang meliputi kesadaran tentang apa yang dialaminya pada suatu waktu tertentu.

The Self

Self merupakan representasi berbagai macam persepsi yang terorganisir, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Bila persepsi-persepsi yang terorganisir ini telah membentuk pola yang tetap, maka terbentuklah self-concept. Self-concept yang ingin dimiliki oleh individu dan memiliki makna yang tinggi bagi individu itu di sebut ideal self.

The Organism and Self: Congruence and Incongruence

Organism dan self berinteraksi satu sama lain, hasil interaksinya bisa congruence bisa juga incongruence. Congruence terjadi bila pengalaman yang benar-benar dialami oleh organisme sesuai dengan apa yang dipersepsi oleh self, kemudian akan membuat individu mampu menyesuaikan diri, matang dan berfungsi dengan optimal tanpa merasa terancam dan cemas. Individu itu akan dapat berpikir realistis. Incongruence terjadi bila pengalaman yang benar-benar dialamai oleh organisme tidak sesuai dengan apa yang dipersepsi oleh self, kemudian akan membuat individu merasa terancam dan cemas, serta berperilaku difensif dan berpikir sempit dan kaku.

PROCESS PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN

Menurut Roger, organisme memiliki satu tendensi dan perjuangan dasar yaitu untuk mengaktualisasikan diri, memelihara, dan meningkatkan pengalaman hidupnya. Aktualisasi diri membuat organisme tumbuh dan berkembang dari hal yang sederhana kearah kompleks, dari tergantung kearah mandiri, dari kaku dan tetap kearah perubahan dan kebebasan berekspresi.  Dalam proses mencapai aktualisasi diri, individu membutuhkan positive regard yang berupa kehangatan, penerimaan, penghargaan, simpati, kasih sayang dan cinta dari orang lain. Bila orang tua mampu memberikan unconditional positive regard, anak akan mengembangkan self regard dan terbentuklah kongruensi antara penilaian dirinya dengan pangalaman yang dialaminya. Contohnya bila orang tua memberi penghargaan dan rasa kasih sayang tanpa syarat tertentu, maka anak juga akan menghargai dirinya tanpa syarat. Hal ini membuat anak lebih mampu menyesuaikan diri dan berfungsi optimal, serta memiliki self-concept yang positif. Penilaian anak tentang dirinya, self concept dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu reflected appraisal (penghargaan orang lain tentang dirinya), degree of acceptance (seberapa besar penerimaan orang lain), permisiveness and punishment (memberi anak kebebasan yang terkontrol, atau hukuman).

RESENSI FILM

GARIS BESAR ISI FILM ‘LITTLE MAN TATE’

–          SILSILAH KELUARGA DAN KONDISI KELUARGA

Seorang anak terlahir sebagai anak dari seorang ibu dengan proses kehamilan melalui insemnia, sehingga ayah biologisnya tidak diketahui dan tidak dikenal anak selama kehidupannya. Ibunya (Dede) memberi nama anaknya Freddy Tate, dengan panggilan Fred. Ibu Fred adalah seorang pramusaji di sebuah kafe menyadari anaknya memiliki kelebihan secara intelektual dan seni dan memberikan dukungan untuk mengembangkan potensi keberbakatannya, tetapi ia juga merasa khawatir dengan keberbakatnnya itu, takut anaknya kehilangan masa kanak-kanaknya. Maka sisi lain,  Dede tetap memperlakukannya sebagai seorang anak kecil yang sama dengan anak-anak seusianya. Dengan demikian ibunya tidak menuntut anaknya mencapai prestasi intelektual tertentu, meskipun anak mampu melakukannya. Perlakuan ibunya lebih bersifat afektif, selalu siap memberikan dukungan emosional terhadap anaknya apalagi pada saat-saat sulit seperti mengalami tekanan karena kurang penerimaan dari teman sebayanya atau mengalami mimpi buruk. Sebagai ibu, Dede bukanlah seorang yang tahu banyak tentang keberbakatan, tetapi dia selalu berusaha memahami apa yang menjadi kebutuhan anaknya sebagai seorang anak yang berbakat, walaupun dengan kekhawatiran. Ia juga berusaha selalu memberikan  perawatan yang dibutuhkan Fred untuk mengatasi penyakit pencernaan yang dideritanya.

–          PERKEMBANGAN KOGNITIF

Sejak usia sekitar 2 tahun Fred sudah mampu membaca tanpa diajari langsung (mampu membaca tulisan Koffer yang ada di balik sebuah piring), saat kelas 1 SD ia mampu menggambar orang dengan  memperhatikan konsep ruang dan terkesan hidup. Gurunya sempat menganggap terbelakang karena jarang menunjukkan perhatian pada pelajaran yang diberikan, tetapi ia mampu menangkap dan menjawab bila ditanya. Sampai akhirnya gurunya mulai menyadari akan keberbakatannya dan menyarankannya untuk lompat kelas. Bahkan ia masih bisa mengingat isi puisi yang dibaca temannya meski setelah beberapa bulan, padahal ia tidak folus kepada pelajaran. Dalam membuat puisi isi puisinya penuh makna dan sangat mendalam,  untuk anak seusianya. Ia juga selalu berpikir masalah-masalah yang sangat berat misal tentang ”keadaan bumi/dunia”.

Keberbakatan Fred tampak juga saat tes awal masuk sekolah Grierson, ia mampu menangkap makna lukisan Van Gogh, memainkan piano dengan terampil. Saat mengikuti Tour of The Mind (Odessey of Mind) ia dapat menghasilkan kreasi bentuk geometris 3 dimensi dengan cepat dari bahan pensil dan klip yang baru ditemukannya. Selain itu mampu melakukan perhitungan matematis yang rumit dengan sangat cepat dan akurat. Pada musim panas, ia mengikuti kuliah Fisika Quantum yang merupakan mata kuliah yang sangat sulit meskipun untuk ukuran mahasiswa.

–          PERKEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL

Dengan keberbakatannya, Fred menjadi berbeda dengan anak-anak lain di kelasnya dan di sekitar rumahnya. Ia kurang mendapat penerimaan dari teman sebayanya, dan sering menyendiri. Menjelang hari ulang tahunnya, ia mengundang teman-temannya untuk datang ke pesta ulangtahunnya, namun teman-temannya tidak menghargai undangannya dan tak satupun yang datang, hal ini membuat Fred kecewa.  Kondisi ini sering memunculkan kondisi emosi yang tidak nyaman, tidak bahagia karena kesepian tidak punya teman.

–          BERGABUNG BERSAMA YAYASAN PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT

Fred perama kali diketahui berbakat oleh tim yayasan pendidikan anak berbakat yang mencari anak berbakat untuk direkrut. Namun ibunya tidak menyetujui anaknya untuk dilakukan tes/pemeriksaan keberbakatan. Tetapi kemudian Fred bersikeras menginginkan untuk bergabung dengan yayasan tersebut, dan kemudian ibunya terpaksa melepas Fred dengan berat hati untuk mengikuti darmawisata (odessey of mind).  Fred tampak sangat menikmati sekali kegiatan ini karena berada dalam lingkungan yang sesuai dengan keberbakatannya.  Kegiatan ini sangat berkesan mendalam sehingga Fred menginginkan untuk mengikuti tawaran kuliah musim panas bersama Jane, salah satu pengurus (pemilik) yayasan anak berbakat yang sekaligus juga adalah seorang berbakat juga dan bekerja sebagai dosen. Pada saat perkuliahan Fred mampu mengikuti pelajaran Fisika Quantum yang sangat sulit bagi kebanyakan mahasiswa. Ia juga mengikuti stimulasi kognitif yang diberikan oleh Jane dengan baik. Semua stimulus kognitif yang ia terima mampu Fred olah dengan sangat baik. Namun dalam relasi sosial dengan lingkungan mahasiswa ia kembali menghadapi kesulitan untuk bisa diterima, membuatnya kesepian dan sangat membutuhkan teman. Pada suatu saat seorang mahasiswa mengajaknya bermain hampir setengah hari, ia menganggapnya teman baik yang bisa menerimanya dan bisa selalu diajaknya bermain. Tetapi kenyataannya temannya tidaklah menghendaki Fred sebagai teman mainnya selalu, karena Fred bukanlah teman sebaya. Kenyataan ini membuat Fred sangat  terpukul, sehingga tak dapat berkonsentrasi untuk mengerjakan ujian Fisika Quantum. Masalah lain adalah saat bermimpi buruk, ia membutuhkan seseorang untuk menenangkan seperti yang biasa dilakukan ibunya. Namun Jane bersikap tidak seperti ibunya, ia hanya meminta Fred untuk minum air putih dan kembali tidur. Hal ini tidak menenangkan Fred, ia merasa kecewa dan tambah kecewa pada saat berusaha menghubungi ibunya lewat telepon tetapi gagal. Perasaan kecewa, kurang ada senyuhan secara afeksi selama tinggal dengan Jane keadaan ini membuatnya terganggu secara emosional, dan membuatnya tidak dapat menampilkan potensi keberbakatannya pada saat acara penting di TV. Justru ia tampak senang ketika melihat anak seusianya main-main dengan kursi dan Fred mengikuti perilaku anak seusianya tersebut dengan gembira. Tetapi pada saat tampil di TV Fred nampak ia tidak merasa senang, ia tidak bangga dengan keberbakatannya , sehingga Fred tidak menampilkan potensi keberbakatannya dengan baik ia hanya menampilkan kemampuannya dalam puisi, dengan membacakan sebuah puisi, puisi yang pernah dibacakan oleh teman sekelasnya, teman teman yang dikagumi Fred karena temannya sangat diterima di lingkungan sekolah, bisa menjadi kapten basket. Keadaan emosi Fred  yang galau sampai pada situasi yang membuat Fred sedih, kecewa, marah, merasa tidak bahagia yang pada akhirnya pada saat ia tampil di TV sebagai anak berbakat Fred melarikan diri dari acara TV untuk pulang sendiri ke rumahnya. Sampai di rumah ia meluapkan amarahnya dengan merusak benda-benda, tetapi pertemuan dengan ibunya mampu membuat Fred merasa tenang dan nyaman.

DINAMIKA PSIKOLOGIS FRED

Fred adalah seorang anak yang dibesarkan oleh seorang ibu yang menunjukkan unconditional positive regard (UPR) berupa penerimaan, kehangatan, penghargaan dan kasih sayang yang dibutuhkan oleh Fred. Meskipun tanpa figure ayah, Fred tetap merasakan kehidupan yang cukup harmonis dengan ibunya. Sehingga ia dapat menangkap dan merespon stimulus afeksi dari lingkungan, meskipun ia kurang mampu meresponnya dengan ekspresif. Dalam hal relasi sosial ia lebih banyak bersikap pasif, menunggu orang lain memulai lebih dulu. Di sisi lain, sebagai seorang anak ia tetap membutuhkan teman untuk bergaul dan bermain sesuai usianya.  Fred pada dasarnya menyadari bahwa ia memiliki potensi kecerdasan yang luar biasa, dan ia berusaha untuk mengaktualisasikan potensinya ini. Hal ini juga didukung oleh ibunya, yang berusaha menemani dan memberikan fasilitas yang dibutuhkan anaknya. Hanya saja ibunya tidak merasa perlu untuk menyalurkan potensi keberbakatan yang dimiliki Fred, karena khawatir Fred akan kehilangan masa kanak-kanaknya.

Padahal Fred  seorang anak yang terlahir dengan potensi kecerdasan yang sangat tinggi. Dengan kemampuan kecerdasan yang berkembang menonjol pada bidang:

  • Inteligensi spasial (Spatial Intelligence), Fred mampu membuat bentuk geometris dengan cepat tanpa ada contoh atau arahan, serta membuat lukisan orang dengan perspektif 3 dimensi yang tampak ”hidup”. Ia juga dengan tajam dapat menangkap makna dan esensi dari lukisan Van Gogh.
  • Inteligensi bahasa (Linguistic Intelligence), ia mampu memahami isi bacaan dengan cepat meskipun berisi konsep-konsep yang abstrak dan rumit, serta menyimak berita yang dia dengar, membuat puisi.
  • Inteligensi logis-matematis (Logical-Mathematical Intelligence), ia mampu menyelesaikan persoalan hitungan yang sangat rumit sekalipun dalam waktu yang sangat cepat
  • Intelegensi kinestetis (Bodily-Kinesthetic Intelligence), ia mampu memainkan jemarinya dengan lincah untuk membuat alunan musik yang harmonis secara otodidak. Selain itu ia dapat mengikuti irama musik untuk menari.
  • Inteligensi Musik (Musical Intelligence), ia mampu memahami irama musik dan mengkomunikasikannya kembali melalui permainan piano.

Sedangkan kecerdasan yang kurang menonjol ádalah Inteligensi antar personal (Interpersonal Intelligence). Ia mengalami kesulitan untuk  berhubungan dan memahami orang lain di luar dirinya, sehingga ia tidak dapat menjalin relasi sosial yang baik dengan teman sebayanya. Hal ini terjadi karena kecerdasan yang dimilikinya jauh di atas teman sebayanya, membuat pola pikirnya sangat berbeda jauh dengan teman-teman sebayanya. Teman sebayanya menganggap Fred sebagai anak yang aneh dan sehingga cenderung menolaknya dalam sosialisasi. Kondisi ini memunculkan incongruence, yang mana Fred mempersepsi tentang dirinya sebagai orang yang cerdas pada beberapa bidang tetapi tidak mendapat penilaian dan pengakuan yang sama dari lingkungannya, terutama dalam kelompok teman sebayanya. Hal ini menjadikan Fred merasa tidak nyaman, cemas, dan tidak puas serta kurang optimal dalam memfungsikan potensinya (prestasi belajar di sekolah rendah, sering mimpi buruk). Terbentuklah self-concept negative bahwa ia kurang mampu bergaul dengan temannya. Padahal ia memiliki ideal self yang tidak hanya menonjol secara intelektual tapi juga secara sosial. Di sekolah ia juga tidak mendapat enrichment yang dibutuhkannya, sehingga ia mengalami kebosanan dan tidak serius mengikuti pelajaran. Kebutuhan Fred untuk mendapatkan lingkungan yang kondusif untuk menyalurkan keberbakatannya menjadi sangat besar.

Fred menemukan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan kecerdasannya saat bergabung dengan kelompok anak berbakat di Institut Greison. Ia merasa dapat menyesuaikan diri dan berinteraksi secara aktif. Bahkan ia merasa menemukan dunia yang pas untuk aktualisasi keberbakatannya pada saat Jane memberikan stimulasi keberbakatannya.

Namun Fred juga mengalami masalah-masalah secara emosional (seperti kecewa karena temannya tidak lagi mengajaknya bermain, ketakutan dan kekhawatiran karena mimpi buruk), keadaan tersebut menjadikan ia, tertekan, marah  juga tidak optimal secara intelektual. Ia membutuhkan dukungan emosional dan sentuhan afeksi yang menentramkannya.  Sayangnya ia tidak mendapatkan sentuhan afeksi yang dibutuhkannya dari Jane, karena Jane hanya memberikan stimulasi kognitif, , sehingga ia kembali ke pangkuan ibunya dimana ia selalu diperlakukan sesuai dengan perkembangan usianya, dengan sentuhan afeksi yang mendalam. Sebagai seorang anak berbakat, Fred tetap membutuhkan stimulasi yang seimbang antara kognitif/intelektual, emosi dan sosial. Stimulasi yang hanya menekankan aspek intelektual, atau hanya menekankan aspek emosional membuatnya tidak merasakan ideal selfnya terakualisasikan. Ia membutuhkan penanganan yang memberikan stimulasi seimbang antara intelektual, emosi dan sosial sehingga ia dapat berkembang secara menyeluruh dan mencapai rasa aman dan nyaman untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA

Hal ini terjadi karena perkembangan kognisi Fred yang sangat cepat meninggalkan kemampuan kognisi teman sebayanya, yang menghambat Fred untuk dapat berbagi pemikiran dan berkomunikasi tentang dunia anak umumnya. Di sisi lain perkembangan emosi dan sosial yang dialami Fred tidak berbeda dengan teman sebayanya, ia memiliki kebutuhan untuk diterima dan bersosialisasi dengan teman sebaya. Tetapi kebutuhan ini tidak terpenuhi, membuatnya merasa kesepian dan cenderung menarik diri. Ia kurang merasa percaya (mistrust) pada lingkungan sosialnya karena seringkali ditolak oleh teman sebayanya. Kemampuan sosialisasi yang dimilikinya kurang berkembang, dan membuatnya sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

 

            Ia seakan mendapat kesempatan emas untuk memenuhi kebutuhannya mengaktualisasikan diri pada saat Jean mengajaknya untuk bergabung dengan anak berbakat lainnya, serta mengikuti summer course. Untuk sementara ia tampak lebih puas berada di tengah anak berbakat dan bergaul dengan mereka.  dengan sesama

 

Keterbatasan ibunya ini membuat Fred haus akan stimulasi dan sangat ingin mengikuti tour dan sekolah seperti yang ditawarkan oleh Jean.   

 

Namun kecerdasan yang tinggi, membuatnya memiliki kebutuhan yang besar untuk mendapat stimulasi intelektual yang tidak dapat diberikan oleh ibunya. Selain itu kecerdasan yang tinggi juga, membuat pola pikirnya berbeda dengan teman-teman sebayanya dan menghambatnya untuk dapat masuk dan diterima oleh mereka. Kondisi ini memunculkan incongruence, yang mana Fred mempersepsi tentang dirinya sebagai orang yang cerdas pada beberapa bidang tetapi tidak mendapat penilaian dan pengakuan yang sama dari lingkungannya. Terutama dalam kelompok teman sebayanya. Hal ini menjadikan Fred merasa tidak nyaman, cemas. Fred menyadari bahwa dirinya memiliki Kemampuan intelektual yang berbeda dengan kelompok usianya, ia berusaha untuk menampilkan kemampuannya tersebut dan ia memperoleh dukungan dari orang lain (Jane) akan tetapi dalam proses mengaktualisasikan dirinya ia mendapatkan   

Ia mampu membaca tanpa diajari, mampu menyelesaikan hitungan dengan cepat dan akurat serta mampu mengapresiasi seni dengan tajam.

 

Remaja dan Perilaku Merokok

perilaku merokok pada remaja

perilaku merokok pada remaja

A. PENDAHULUAN

Rokok merupakan sesuatu yang membahayakan bagi orang yang merokok, namun perilaku merokok tidak pernah surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih dapat di tolerir oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari kita baik itu di jalan, mobil, kantor, bahkan di sekolah. Hal yang sangat memprihatinkan adalah usia mulai merokok yang semakin hari semakin muda. Dan kebanyakan dimulai dari masa kanak-kanak dan remaja.

Remaja adalah suatu masa di mana ”pemiliknya” adalah orang-orang yang sangat besar keinginannya untuk trial and error. Segala sesuatu ingin dijajal sekaligus sebagai media untuk ”memperkenalkan” diri kepada lingkungan sekitar bahwa ia sudah bukan anak kecil lagi. Menurut Freud (dalam Hall dan Lindzey, 1993) prinsip trial and error merupakan hal yang di kembangkan oleh seseorang atau individu dalam proses mengidentifikasikan dirinya dengan model yang diinginkan. Telah dipahami bersama bahwa perilaku remaja seringkali tidak lepas dari peran model atau figur yang dianggap representatif untuk ditiru. Itu sebabnya juga mengapa remaja seringkali dianggap sebagai golongan yang masih labil dalam pengelolaan emosinya, karena mereka cenderung belum memiliki pegangan yang kuat untuk mengantisipasi setiap pengaruh yang ditimbulkan oleh lingkungan pergaulannya, sehingga mereka cenderung lebih sering meniru perilaku orang lain dalam menghadapi suatu situasi.

Pada awal-awal tahun 1960-an industri periklanan telah mencitrakan perilaku merokok sebagai simbol keberanian, ketampanan, maskulinitas, jiwa muda, dan intelektual (Grinder, 1978). Perilaku merokok telah merasuki sendi-sendi kehidupan remaja melalui perantara model-model orang dewasa. Remaja melihat orang tua mereka merokok. Remaja melihat guru-gurunya mempertontonkan cara mereka merokok, begitupun remaja menyaksikan tokoh-tokoh hero yang mereka idolakan dalam suatu film merokok dengan cara yang impresif, terutama pada saat sang hero sedang menghadapi kondisi-kondisi yang menegangkan. Pada kesempatan yang lain, remaja menyaksikan orang dewasa yang menjadikan perilaku merokok sebagai suatu media untuk mereduksi ketegangan yang dirasakannya. Dari situ remaja mulai mencoba mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh yang di idolakannya dalam menghadapi situasi yang menegangkan dengan mencontoh perilakunya, yaitu merokok. Remaja benar-benar tergoda untuk meniru perilaku sang model, tanpa mempedulikan ekses negatif yang ditimbulkan oleh kebiasaan merokok. Figur orang tua sebagai model bagi anak-anaknya akan membawa pengaruh besar bagi perilaku merokok remaja (Grinder, 1978). Hingga suatu bukti penelitian yang meyakinkan mengindikasikan bahwa secara definitif perokok berat sering diasosiasikan dengan kanker paru-paru (lung cancer), radang tenggorokan yang kronis (chronic bronchitis), pembengkakan pada paru-paru (emphysema), dan ganguan jantung koroner (coronary heart disease).

Perilaku merokok biasanya sudah dimulai sejak masa kanak-kanak dan masa remaja. Remaja yang merokok mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 1970-an, tapi kemudian mengalami penurunan di era tahun 1980-an. Meski demikian, jumlah remaja yang merokok hanya menurun sebanyak 1,6 persen sejak tahun 1981. Hasil penelitian lain membuktikan bahwa jumlah remaja yang mulai merokok meningkat tajam setelah usia 10 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 13 dan 14 tahun (Escobedo, 1993, dalam Santrock, 2003). Siswa yang mulai merokok pada usia 12 tahun atau lebih muda memiliki kecenderungan untuk menjadi perokok berat dan teratur, dibandingkan dengan mereka yang mulai merokok pada usia yang lebih tua.

Beberapa hasil penelitian kiranya cukup menjadi bukti bahwa perilaku merokok tidak lagi menjadi hanya kebiasaan orang dewasa, tapi sejak kanak-kanak sampai remaja kebiasaan merokok tampaknya telah menjadi hal yang biasa.

–          Mengapa Remaja Merokok?

Merokok memang merupakan suatu perilaku yang unik jika dicermati lebih jauh. Mengapa? Karena manusialah satu-satunya hewan berakal di  dunia–yang ironisnya–memilih untuk menghirup asap dari alang-alang yang terbakar masuk ke dalam tubuhnya untuk kemudian dihembuskan kembali keluar (Armstrong, 1995). Di samping itu karena secara konseptual Freud (dalam Osborne, 2000) mengutarakan bahwa individu (dalam salah satu fase perkembangannya, yaitu oral) mendapatkan kesenangan oral yang merupakan bagian dari kesenangan pencecap rasa, di antaranya dengan merokok dan minum.

Untuk memahami mengapa seorang remaja merokok, maka dapat ditinjau melalui beberapa aspek, yaitu; (1) merokok sebagai “penopang” dalam bermasyarakat (Armstrong, 1995), (2) merokok sebagai tanda kejantanan (dalam Bye…Bye…Smoke, 2002), (3) merokok sebagai lambang kematangan (Hurlock, 1980), (4) merokok sebagai bentuk konformitas kelompok (MÖnks, dkk, 2001), (5) memuaskan rasa ingin tahu (dalam Grinder, 1978)), dan (6) beberapa penelitian yang mengungkap penyebab remaja merokok (dalam Fuhrmann, 1990).

 

B. PEMBAHASAN

  B.1. Tinjauan terhadap perilaku merokok pada remaja

 B.1.1.  Merokok Sebagai “Penopang” dalam Bermasyarakat

Menurut Armstrong (1995), perokok remaja model ini adalah remaja yang memiliki mental pemalu. Orang yang pemalu cenderung untuk melakukan tindakan-tindakan atau perilaku yang bersifat kompensatoris untuk menutupi perasaan malunya. Salah satu bentuk perilaku kompensatoris tersebut adalah perilaku merokok. Mereka menjadikan perilaku merokok sebagai kompensasi dari perasaan malunya dihadapan masyarakat. Kendatipun hal ini secara umum, bukanlah alasan utama mengapa mereka merokok.

B.1.2.   Merokok Sebagai Tanda Kejantanan

Bagi sebagian remaja, rokok atau perilaku merokok sinonim dengan terminologi gentleman. Pada awal abad ke-20, sebagai konsekuensi dari berkembang pesatnya teknologi informasi maupun media, rokok ditampilkan makin sering dan luas ke masyarakat sebagai simbolisasi kejantanan (dalam Bye…Bye…Smoke, 2002). Cobalah perhatikan bagaimana derasnya produsen rokok membombardir masyarakat dengan iklan-iklan yang mengilustrasikan kenikmatan dan keuntungan psikologis apa–meski mungkin keuntungan semu–yang didapatkan jika menghisap rokok tertentu. Para produsen rokok tersebut seolah berlomba menjejali sekaligus menancapkan kuku mereka ke ranah kognitif penonton–yang pada umumnya adalah kaum  remaja–agar terpengaruh untuk kemudian bersedia menjadi konsumen produk mereka yang mengusung simbol-simbol kejantanan. Salah satu contoh produsen rokok yang sangat mengedepankan tema kejantanan adalah produsen rokok Marlboro. Simbol kejantanan yang melekat pada rokok Marlboro terepresentasi oleh sosok seorang cowboy yang menunggang kuda sambil berlarian di tengah-tengah gurun menggiring ternaknya pulang ke kandang.

Secara sosial, lingkungan pergaulan remaja dianggap turut memberi andil dalam munculnya perilaku merokok remaja. Adanya sebutan “banci” bagi anak muda yang tidak merokok seringkali menjadi pemicu bagi anak muda yang tadinya tidak merokok menjadi perokok, hanya karena tidak mau disebut sebagai banci. Dalam suatu kesempatan, da’i kondang Aa. Gym pernah berkisah kalau dirinya juga pernah disebut banci oleh teman-teman sepergaulannya di masa muda dulu gara-gara tidak merokok.

 

B.1.3.    Merokok Sebagai Lambang Kematangan/Kedewasaan

Berkembang atau hampir menjadi dewasa, bagi remaja Amerika merupakan sesuatu yang sangat bermakna. Oleh karena itu mereka berusaha untuk sedapat mungkin dapat terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang merupakan tipikal orang dewasa. Kegiatan-kegiatan tersebut diistilahkan sebagai kenikmatan-kenikmatan tabu, yaitu bentuk-bentuk rekreasi yang dianggap sebagai simbolik orang dewasa. Orang tua, maupun guru-guru sangat gencar memberikan larangan bagi mereka untuk ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut karena dianggap masih “terlalu muda” – dalam kultur Indonesia sering disebut masih “bau kencur” – untuk melakukannya.

Kenikmatan tabu yang paling umum dilakukan oleh remaja Amerika – dewasa ini bahkan telah menjadi fenomena yang umum dikalangan remaja hampir di seluruh dunia – untuk melambangkan status sebagai orang yang hampir matang secara sosial atau dewasa adalah hubungan seks pra-nikah, merokok, minum minuman keras, dan penyalahgunaan berbagai macam obat-obatan, seperti heroin, kokain, morfin, ekstasi, mariyuana, dan obat-obatan sejenisnya. Jika mereka ditanyai mengapa mereka melakukan kegiatan-kegiatan seperti itu, maka secara spontan mereka akan menjawab, “Everybody does it” (Jersild dkk., dalam Mappiare, tahun).

Perilaku merokok seringkali dimulai di sekolah menengah pertama (Hurlock, 1980), bahkan sebelumnya. Pada saat seorang anak duduk di bangku sekolah menengah atas, merokok seringkali menjadi bagian dari kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh si anak, di antara mereka tak jarang ada yang melakukannya di area-area terlarang, seperti di halaman sekolah, di kantin, di toilet, bahkan ada yang berani melakukannya di dalam kelas ketika jam istirahat. Remaja merasa harus banyak-banyak melakukan penyesuaian diri jika tidak ingin lagi dianggap sebagai anak kecil.

 

B.1.4.    Merokok Sebagai Bentuk Konformitas Kelompok

Dalam berbagai paparan tentang perkembangan remaja, maka hampir pasti akan ditemui konsep mengenai identitas diri. Salah satu aspek yang tercakup dalam proses perkembangan remaja adalah pencarian remaja akan identitas dirinya. Pertanyaan yang kemudian sering muncul adalah “Who am I ?“. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terkadang remaja akhirnya meleburkan diri ke dalam kelompok-kelompok tertentu.

Dalam kelompok dengan kohesivitas yang kuat akan mengembangkan suatu iklim kelompok dan norma-norma kelompok. Ewert (dalam Monks dkk., 2001) menyebutnya sebagai pemberian norma tingkah laku oleh kelompok teman (peers). Pada kenyataannya terkadang kelompok memberlakukan semacam perilaku-perilaku yang bersifat “kolektif”, artinya bahwa perilaku tersebut dianut oleh semua anggota kelompok, sehingga tidak jarang jika ada anggota kelompok yang tidak mau mengikuti “ritual” tersebut maka konsekuensinya mereka harus keluar dari kelompok tersebut. Tuntutan untuk bertindak kolektif secara jelas memang memberangus hak individualitas seorang remaja dan mengesampingkan emansipasi. Pada dataran kolektivitas sedemikianlah yang akhirnya oleh sebagian kelompok remaja diklaim sebagai bentuk konformitas terhadap kelompok. Padahal sementara orang menganggap bahwa konformisme terhadap kelompok bersifat positif yang dapat membantu si remaja untuk menemukan identitas dirinya (Riesman, 1950; De Hass, 1978; Fialam Monks, 2001).

Konformitas kelompok ada hubungannya dengan kontrol eksternal yang dimiliki oleh seorang remaja. Bagi remaja yang memiliki kontrol eksternal yang intens akan lebih peka terhadap pengaruh kelompok. Jika dikaitkan dengan perilaku merokok remaja, maka dapat dipahami bahwa jika seorang remaja memiliki kontrol eksternal yang tinggi maka kecenderungannya untuk ikut-ikutan menjadi perokok seperti anggota kelompok lainnya akan semakin besar (jika kelompok yang dimasukinya memang beriklim perokok).

 

B.1.5.    Memuaskan Rasa Ingin Tahu (Cur iosity)

Ketika seorang remaja ditanya mengapa mereka merokok, maka salah satu jawaban yang paling sering muncul adalah, saya ingin tahu. Pertanyaan yang akan muncul dari pihak remaja adalah, bagaimana sih rasanya ?. Karena melihat orang tua, kakak laki-laki, teman, atau publik figur merokok, mereka jadi tertantang ingin tahu seberapa nikmatnya merokok itu. Mereka merasa ingin berbagi kesenangan dengan figur-figur di atas melalui media rokok, untuk kemudian memutuskan apakah akan diteruskan atau tidak. Para remaja terkadang mengambil keputusan untuk merokok secara berkelanjutan dengan mengatakan bahwa mereka senang dengan aroma maupun rasa yang ditimbulkan oleh rokok itu. Bagi mereka, hal itu merupakan pengalaman yang menyenangkan, santai, bahkan mereka bisa saja merasa lebih senang merokok daripada makan.

 

B.1.6.    Beberapa Penelitian Tentang Penyebab Remaja Merokok

Urberg (dalam Fuhrmann, 1990) mengungkapkan temuannya dalam suatu studi yang dilakukannya terhadap 155 orang remaja kelas menengah bahwa alasan remaja laki-laki yang merokok adalah sebagai bentuk koping sosial (social copyng) di saat rermaja perempuan merokok sebagai suatu bentuk pemberontakan dan otonomi mereka. Chassin (dalam Fuhrmann, 1990) dalam studinya yang melibatkan 175 orang subyek remaja juga menjumpai bahwa perilaku merokok berkaitan dengan konsep diri (self concept) si remaja. Dalam studinya tersebut subyek disuruh untuk menilai diri mereka sendiri, kencan ideal mereka, dan persepsi mereka terhadap para perokok. Hasilnya didapati bahwa remaja yang konsep dirinya dan konsep mereka tentang kencan yang ideal sesuai dengan persepsi mereka terhadap perokok akan menjadi penentu apakah ia akan mulai merokok atau tidak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut Chassin menyimpulkan bahwa perilaku merokok merupakan perilaku yang diadopsi karena ia sesuai dengan persepsi diri untuk menjadi kuat, orientasi kelompok, dan lambang ketidakpatuhan.

Menurut Castro (dalam Fuhrmann, 1990), perilaku merokok merupakan hasil dari kuatnya pengaruh kelompok (peers), konformitas sosial, sikap keluarga, stres, dan kemampuan koping yang tidak mumpuni dalam berinteraksi dengan kemungkinan meningkatnya keinginan untuk menjadi perokok. Nuryoto (2004) juga mengungkapkan bahwa peers memberi pengaruh pada seorang remaja dalam pembentukan perilakunya.

Apakah ada penyebab tertentu yang menyebabkan seorang renaja akhirnyu menjadi perokok? Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok remaja itu lebih banyak disumbang oleh faktor lingkungan dalam arti tumbuh atau berawal dari proses pembelajaran. Oleh karena penulis belum pernah menemukan (dalam referensi) yang menjelaskan apakah ada penyebab khusus atau tertentu yang secara direktif menjadi penyebab remaja merokok, maka penulis mencoba memberi respon pada pertanyaan tersebut dengan menggunakan pendekatan behaviorisme Bandura.

Bandura (dalam Boeree, 2004) memandang kepribadian sebagai hasil interaksi dari tiga hal, yaitu: lingkungan, perilaku, dan proses psikologi seseorang. Berdasarkan interaksi dari ketiga hal tersebut memungkinkan Bandura untuk merilis teori yang lebih efektif tentang dua hal yang menurut berbagai kalangan selama ini banyak mempengaruhi perilaku manusia, yaitu: pembelajaran observasional (modelling) dan regulasi diri.

Dalam konsep pembelajaran observasional (modelling) atau yang biasa dikenal juga dengan istilah teori pembelajaran sosial, Bandura menetapkan beberapa tahapan terjadinya proses modeling, yaitu:

  1. Atensi (perhatian). Jika seseorang ingin mempelajari sekaligus memahami suatu fenomena, maka ia harus memperhatikannya secara seksama. Pada tahapan ini, seorang remaja akan memperhatikan model yang sedang merokok secara seksama, bagaimana si model melakukan perilaku merokok, apa yang menarik dari perilaku merokok, bahkan rokok apa yang sedang dihisap oleh si model.
  2. Retensi (ingatan). Individu harus mampu mempertahankan–mengingat – apa yang telah diperhatikannya. Pada tahapan ini, seorang remaja yang telah memperhatikan perilaku merokok seorang model, akan berusaha untuk mengingat setiap detil dari perilaku merokok sang model. Bagaimana cara si model menghisap rokoknya, bagaimana asap itu disemburkan keluar, atau bahkan mungkin melalui apa saja asap rokok itu bisa keluar.
  3. Reproduksi. Pada tahapan ini, seorang remaja hanya perlu duduk sambil berkhayal. Si remaja harus menerjemahkan citra atau deskripsi tadi ke dalam perilaku aktual. Tentu saja seorang remaja harus mampu untuk mereproduksi perilaku serupa dengan model yang ditirunya. Artinya, si remaja harus bisa merokok dulu, paling tidak ia harus mencoba dulu. Karena kedua proses sebelumnya (atensi dan retensi) tidak akan berdampak apa-apa jika si remaja bahkan enggan untuk menyentuh rokok. Aspek lain yang harus diperhatikan juga dalam proses reproduksi perilaku ini adalah kemampuan si remaja untuk meniru improvisasi-improvisasi ketika suatu perilaku dipraktikkan oleh model. Misalnya bagaimana cara sang model menghisap setiap inci rokoknya, bagaimana sang model menghembuskan kembali asap rokoknya melalui celah di antara dua bibirnya, bahkan mungkin bagaimana lekukan bibir sang model ketika menghembuskan asap rokoknya. Tapi yang paling penting sebenarnya dalam tahapan ini adalah bagaimana si remaja mampu berimprovisasi sendiri sembari membayangkan bahwa dirinya adalah pelaku sebenarnya.
  4. Motivasi. Seorang remaja tidak akan menjadi perokok (meski telah banyak model yang dilihatnya) jika tidak ada dorongan atau motivasi dari dalam untuk menjadi perokok. Bandura (dalam Boeree, 2004) menyebutkan beberapa jenis motivasi, yaitu:
  • Dorongan masa lalu, yaitu dorongan-dorongan sebagaimana yang dimaksud kaum behavioris tradisional.
  • Dorongan yang dijanjikan (insentif), yang bisa dibayangkan. Keuntungan apa yang bisa didapatkan dari perilaku merokok.
  • Dorongan-dorongan yang kentara, seperti melihat atau teringat akan model-model yang patut ditiru.

Dalam konsep regulasi diri (kemampuan untuk mengontrol perilaku sendiri), Bandura menawarkan tiga tahapan yang terjadi dalam proses regulasi diri, yaitu:

  1. Pengamatan diri. Remaja melihat diri dan perilakunya sendiri, serta terus mengawasinya.
  2. Penilaian. Pada tahapan ini si remaja membandingkan apa yang dilihatnya pada diri dan perilakunya dengan standar atau ukuran yang ada. Contohnya, si remaja membandingkan perilaku merokoknya dengan standar atau ukuran tentang (misalnya) berapa banyak rokok yang dihabiskan oleh perokok perhari dalam skala umum. Atau si remaja bisa saja menetapkan standar sendiri tentang perilaku merokoknya.
  3. Respon-diri. Ketika si remaja telah membandingkan diri dan perilakunya (dalam hal ini perilaku merokok) dengan standar tertentu, maka si remaja dapat memberi imbalan respon-diri bagi dirinya sendiri. Sebaliknya, jika si remaja menganggap bahwa perilakunya tidak sesuai dengan standar tertentu, maka si remaja akan mengganjar diriaya sendiri juga dengan respon-diri. Bentuk respon-diri ini bisa bermacam-macam, mulai dari yang sangat jelas (misalnya dengan berusaha keras agar ia mampu menjadi perokok sejati, dan bukan amatiran) sampai kepada bentuk yang lepih implisit (seperti perasaan bangga atau malu).

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa perilaku merokok sesungguhnyalah lebih banyak dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang didapatkan si remaja dari lingkunpnnya (setidaknya menurut pandangan teori Bandura ini). Secara empirik juga banyak ditemukan remaja yang menjadi perokok karena di lingkungan keluarganya banyak yang merokok.

 

B.2.  Emansipasi Dalam Perilaku Merokok

Dalam berbagai ranah kehidupan, laki-laki sering tampil sebagai pihak yang dominan. Baik dalam pekerjaan, olah raga, maupun dalam aktivitas-aktivitas sosial lainnya. Berbagai macam potensi memang dimiliki oleh kaum laki-laki untuk mengungguli kaum perempuan. Tapi diskusi ini tidak akan membedah terlalu jauh kesenjangan ataupun bias-bias yang terjadi di antara keduanya. Sesuai dengan temanya sub ini hanya akan meneropong sejauh mana keterlibatan kaum perempuan terutama remaja dalam perilaku merokok. Sebab jika merujuk pada realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, perilaku merokok bukan lagi monopoli kaum laki-laki. Perempuan ternyata telah mengambil bagian di dalamnya. Meski untuk itu berbagai konsekuensi dan implikasi pun bermunculan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah dalam perilaku merokok kaum perempuan juga menuntut atau setidak-tidaknya menginginkan adanya kesetaraan atau, emansipasi sebagaimana yang mereka dengung-dengungkan pada wilayah-wilayah publik yang lain? Mengapa dalam wilayah tertentu, perempuan yang merokok acapkali mendapat stigma negatif dari masyarakat, sementara wilayah yang lain tidak?

Hasil penelitian Urberg (dalam Fuhrrnann, 1990) menyimpulkan bahwa remaja wanita yang merokok lebih diartikan sebagai isyarat atau simbol pemberontakan dan ekspresi otonomi mereka atas diri mereka sendiri. Newman (dalam Grinder, 1978) juga menjelaskan adanya perbedaan standar kelompok antara kedua jenis kelamin ini dalam hal status dan perilaku merokok. Hasil investigasi Newman pada remaja laki-laki dan perempuan pada sebuah sekolah menengah atas di kota menunjukkan bahwa remaja perempuan yang merokok – secara terbuka ataupun sembunyi-sembunyi – adalah remaja yang tidak menonjol secara akademik di mata kelompoknya, sementara remaja laki-laki yang merokok secara terang-terangan hanya memiliki status yang tidak terlalu kuat di tengah-tengah kelompoknya dan ia seringkali dikarakterisasi sebagai anak nakal. Horn dkk (dalam Grinder, 1978) memberi alasan bahwa remaja laki-laki yang merokok merupakan hasil tiruan (imitasi) dari kebiasaan yang dilakukan oleh bapaknya, di mana remaja perempuan juga mengikuti kebiasaan ibunya untuk merokok. Pendek kata, keluarga berperan besar dalam perilaku merokok si remaja.

Secara global, laki-laki memang lebih mendominasi dibandingkan perempuan dalam hal prosentase perokok. Tetapi jangan heran jika ada daerah atau wilayah tertentu di mana prosentase perokok perempuannya lebih banyak dibandingkan laki-laki. Inggris, adalah salah satu contoh negara di mana hampir seperempat perempuannya merokok, sementara jumlah lelaki yang merokok hanya di bawah sepertiga. Sekitar 25 persen perempuan yang merokok di negara lnggris merupakan remaja berusia 15 tahun, sementara remaja pria hanya 19 persen. Meskipun secara kuantitas laki-laki masih lebih unggul daripada perempuan dalam konsumsi rokok per harinya. Laki-laki mengkonsumsi 19 batang rokok per hari, sedangkan perempuan 14 batang (dalam Bye…Bye…Smoke, 2002). Prosentase perokok sebagai perpandingan antara perokok pria dan perokok wanita di dunia yang berusia 15 tahun ke atas pada tahun 1990-an dapat diperhatikan pada bagan di bawah ini:

Negara

Pria (%)

Wanita (%)

Maju

42

24

Berkembang

48

7

Total Dunia

47

12

Sumber: Bye .. Bye… Smoke. 2002

Begitu banyak alasan yang menjelaskan tentang mengapa perempuan merokok. Secara filosofis perilaku merokok pada perempuan seringkali dihubungkan dengan emansipasi. Merokok bagi kaum perempuan pada gilirannya kemudian menjadi semacam pencapaian kebebasan. Hal ini terutama jika menilik tingginya prosentase perempuan perokok di Barat. Dalam konteks Indonesia, penelitian tentang prevalensi (penyebaran) rokok di kalangan kaum perempuan didasarkan pada hasil survei nasional pada tahun 1995 yang menunjukkan bahwa 2,6 persen perempuan usia 20 tahun ke atas adalah perokok. Survei yang dilakukan pada dataran lokal menunjukkan prosentase yang lebih variatif, yaitu 4 persen anak sekolah dan 2,9 persen mahasiswi merokok. Di Jakarta sebagai ibukota negara, sekitar 6,4 persen, diperkirakan merokok. Secara kultural, kebiasaan merokok yang dilakukan oleh perempuan Indonesia sering dianggap sebagai perilaku yang buruk. Namun seiring dengan pergeseran nilai dan derasnya budaya global yang mengintervensi struktur kemasyarakatan di Indonesia, maka stigma negatif tersebut pun perlahan-lahan pudar.

Alasan lain yang mendasari timbulnya perilaku merokok pada kaum perempuan, adalah stres. Bagi kaum urban, istilah stres mungkin telah lama mereka akrabi, dan berbagai macam cara telah mereka lakukan untuk sekedar meredakan stres yang mereka rasakan, termasuk dengan merokok. Alasan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kaum pria. Sebuah laporan hasil survei yang dilakukan oleh lembaga ASH (Action on Smoking and Health) dari Inggris mengungkapkan bahwa secara emosional wanita merasa lebih tergantung terhadap rokok dibandingkan dengan pria. Lebih dari 60 persen mengatakan tidak dapat hidup seharian tanpa merokok. Survei yang sama juga menyebutkan bahwa 48 persen merasa harus merokok jika menghadapi stres.

Ada satu alasan lain lagi yang nampaknya cukup signifikan yang melatarbelakangi perilaku merokok pada perempuan, yaitu untuk menurunkan berat badan. Hal ini berkaitan dengan citra diri terutama pada kaum perempuan urban. Citra diri (Self Image) bagi kalangan ini benar-benar menjadi isu sentral sekaligus menjadi faktor determinan apakah mereka dapat diterima secara layak di lingkungan mereka atau tidak. Anggapan ini lebih sering muncul di kalangan wanita-wanita high class yang memiliki akses ke ruang publik sangat luas, sehingga penampilan menarik bagi mereka adalah sebuah harga mati. Penampilan dalam hal ini secara eksplisit dikaitkan dengan stabil tidaknya berat badan. Sebuah survei telah membuktikan bahwa para wanita menjadi sulit untuk meninggalkan kebiasaan merokok karena khawatir akan mengalami peningkatan berat badan.

Kekhawatirar-kekhawatiran seperti inilah yang dijadikan peluang bagi produsen rokok bekerja sama dengan “tukang bikin” iklan untuk mengkampanyekan produk rokok mereka kepada segmen pasar wanita. Dokumen-dokumen dari pihak industri menunjukkan bahwa aksentuasi pada citra diri dan gaya hidup merupakan senjata paling ampuh untuk meraih pembeli dari kalangan ini. Reader’s Digest (dalam Bye…Bye… Smoke, 2002) membuat laporan dalam sebuah artikel berjudul “The Merchants of Death” edisi Februari 2002 bahwa jumlah perokok di antara gadis-gadis muda di wilayah Asia mengalami peningkatan dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir. Apapun dan bagaimanapun alasannya, kaum perempuan juga tidak ingin ketinggalan dari kaum laki-laki dalam hal merokok.

Lalu apakah dengan merokok, berat badan seorang wanita dapat stabil? Menurut penulis, hal ini juga lebih bersifat jugestif. Lagi-lagi karena penulis belum pernah menemukan sebuah hasil penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh positif (dalam arti menjaga stabilitas) terhadap berat badan wanita. Selama ini kebanyakan dokumentasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan rokok biasanya lebih pada bahaya yang ditimbulkan oleh rokok. Sejauh ini kiat yang umum dilakukan oleh wanita dalam kaitannya dengan menjaga stabilitas berat badan mereka adalah dengan melakukan diet atau menjaga pola mahan. Hal ini jauh lebih sehat jika dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai dengan anjuran dokter atau yang berkompeten dalam masalah tersebut.

 

B.3. Konsekuensi Fisik dan Psikologis dari Perilaku Merokok

Lazimnya setiap kebiasaan yang sering dilakukan akan membawa konsekuensi logis bagi setiap individu yang terlibat di dalamnya, maka demikian halnya dengan perilaku atau kebiasaan merokok. Merokok akan berdampak baik secara fisik maupun psikologis bagi siapapun yang mengkonsumsinya. Tidak pandang strata usia atau strata sosial, jenis kelamin, atau strata apapun semuanya akan menuai akibat dari penggunaannya.

Dampak buruk terhadap fisik dari kebiasaan merokok telah didokumentasikan secara baik. Satu dari tiga kematian manusia yang berusia antara 35 sampai 60 tahun merupakan kontribusi dari kebiasaan merokok. Kematian yang diakibatkan oleh kanker paru-paru setara dengan jumlah kematian yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas, jumlahnya mengalami lonjakan dari sekitar 3 kematian per 100.000 jiwa pada tahun 1930 menjadi 30 kematian per 100.000 jiwa pada tahun 1960 (Grinder, 1978). Begitupula dengan kematian yang diakibatkan oleh gangguan jantung koroner angkanya mendekati 70 persen lebih pada orang-orang yang merokok, dan sekitar 200 persen lebih pada orang-orang dengan riwayat tekanan darah tinggi dan kolesterol tinggi.

Kenyataan lain menunjukkan bahwa ada korelasi yang tinggi antara kebiasaan merokok dengan penyakit bisul/borok (gastric ulcers), radang paru-paru (pneumonia), kanker kandung kemih (bladder cancer), gangguan pada fungsi hati, dan kanker pada jaringan-jaringan yang lain seperti mulut, lidah, bibir, pangkal tenggorokan (larynx), hulu tenggorokan (pharynx), dan kerongkongan (esophagus). Dalam kaitannya dengan gangguan pernafasan, kebiasaan merokok juga telah ditunjukkan hubungannya dengan batuk (coughing), nafas pendek, kehilangan nafsu makan (loss of appetite), dan menurunnya berat badan (Grinder, 1978).

Meskipun gangguan-gangguan di atas secara tipikal lebih banyak diidap oleh orang-orang dewasa, namun Peter dan Ferris (dalam Grinder, 1978) menemukan bukti di tengah-tengah mahasiswa tingkat pertama. Penelitiannya membuktikan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara gangguan pernafasan dengan berapa lama si mahasiswa merokok dan berapa bungkus yang dihabiskan dalam sehari. Mahasiswa yang merokok lebih banyak menderita penyakit batuk, berdahak (phlegm), susah bernafas, suara serak (wheezing), dan gangguan pada bagian dada.

Pada tahun 1989, kepala jawatan kesehatan dan dewan penasihatnya (dalam Santrock, 2003) mengeluarkan laporan yang mengemukakan bahwa pada tahun 1985, merokok menjadi penyebab seperlima kematian di seluruh Amerika Serikat, atau sekitar 20 persen lebih banyak dari yang diperkirakan sebelumnya. Tiga puluh persen kematian akibat kanker disebabkan karena kebiasaan merokok, demikian pula halnya 21 persen kematian akibat penyakit jantung, dan 82 persen akibat sakit paru-paru kronis.

Beberapa konsekuensi psikologis yang ditimbulkan oleh perilaku merokok sesungguhnya tidak begitu jelas dan agak sulit untuk diidentifikasi dibandingkan dengan dampak-dampak fisik, karena ia tak kasat mata. Namun secara sederhana dan tampaknya menjadi gejala umum dikalangan perokok dapat disebutkan disini bahwa salah satu konsekuensi negatif dari kebiasaan merokok adalah terbiasa (habituation). Terbiasa yang dimaksud adalah suatu kondisi yang dihasilkan dari penggunaan obat-obatan (dalam hal ini rokok) secara berulang-ulang yang akhirnya ditunggangi oleh hasrat atau keinginan untuk secara rutin menggunakannya (dalam Grinder, 1978). Lalu mengapa tidak menggunakan istilah kecanduan?

Bernstein (dalam Grinder, 1978) memandang bahwa perilaku merokok lebih tampak sebagai kebiasaan (habituating) daripada kecanduan (addicting). Alasannya bahwa seorang perokok berat sekalipun tidak akan menggunakan zat nikotin yang terkandung di dalam rokok secara berlebihan, sementara orang yang menggunakan obat-obatan atau narkoba cenderung untuk meningkatkan jumlah pemakaiannya dari waktu ke waktu tergantung seberapa jauh dia sudah tergantung. Walau bagaimanapun, menurut Bernstein kebiasaan merokok merupakan hasil dari sistem fisiologis yang sangat kompleks, sosial, dan stimulus lingkungan yang lain, dan pada individu tertentu kombinasi dari beberapa faktor di atas mungkin saja terjadi.

Sepanjang masa penggunaannya, merokok ternyata – bagi beberapa orang – memiliki dampak positif di samping dampak negatifnya (meski mungkin lebih bersifat sugestif). Dampak positif tersebut secara umum lebih berorientasi psikologis, misalnya dengan merokok seseorang dapat membuat situasi yang sedang dihadapinya menjadi lebih santai atau menyenangkan. Merokok juga dapat membantu mengurangi perasaan negatif, seperti mengatasi rasa takut, rasa malu, atau pada saat sedang muak akan sesuatu. Tapi yang perlu diingat bahwa ketika seseorang telah terbiasa menjadi perokok, maka dia akan merokok tanpa perlu dipengaruhi oleh apapun sebelumnya. Seorang perokok “sejati” tidak memerlukan efek apapun untuk mempengaruhi kualitas dan kuantitas merokoknya.

Apakah sebatang rokok dapat membawa dampak secara psikologis bagi seorang perokok? Pada paragraf scbelumnya telah dijelaskan bahwa bagi sementara orang yang perokok ada yang beranggapan bahwa mereka merasa lebih rileks dalam menghadapi suatu situasi jika merokok, lebih nyaman, dan lebih bisa menguasai keadaan. Namun sejauh ini penulis belum pernah menjumpai bukti-bukti ilmiah yang mengungkapkan bahwa rokok dapat membawa dampak psikologis bagi perokok. Penulis juga beberapa kali pernah menjumpai remaja yang perokok, mereka mengaku bahwa mereka lebih bisa konsentrasi justru ketika mereka menghisap sebatang rokok. Mereka merasa lebih santai dan tetap bisa enjoy meski sedang berada dalam situasi yang kurang menguntungkan.

Remaja yang dalam pergaulannya terutama dalam kelompoknya, banyak melibatkan sisi emosional mereka serta sangat menjunjung tinggi kesetiakawanan (konformitas) biasanya akan sangat peka terhadap perubahan yang terjadi pada diri anggota kelompoknya. Terutama jika secara radikal seorang anggota kelompok memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam “ritual” yang selama ini menjadi kebiasaan di dalam kelompok mereka. Ada dua kemungkinan terbesar (sebagai reaksi dari kelompok) yang akan ditanggung oleh si remaja yang “membelot” tadi sebagai konsekuensi dari aksinya, yaitu tetap diterima sebagai anggota kelompok (meski mungkin dengan syarat-syarat tertentu yang ditetapkan bersama anggota yang lain) atau “dipecat” (dikucilkan) dari keanggotaannya sebagai bagian dari kelompok tersebut. Penjelasan yang diberikan oleh si remaja kepada anggota kelompok yang lain-tentang mengapa dirinya memutuskan untuk berhenti merokok – barangkali akan menentukan seperti apa keputusan kelompok yang akan diterimanya. Tapi bagi remaja yang memang telah memiliki sikap asertif serta prinsip hidup yang kuat biasanya tidak akan terpengaruh oleh keputusan apapun yang akan diberikan oleh kelompoknya sebagai sanksi moral (setidaknya menurut ukuran kelompok mereka) atas keputusan pribadi yang diambilnya. Orang yang konsisten terhadap prinsip atau nilai yang dianutnya, biasanya lebih memilih untuk hengkang dari komunitas di mana selama ini dia tergabung jika dianggapnya nilai-nilai yang dianut oleh kelompoknya telah berseberangan dengan nilai yang dipegangnya, apalagi jika tidak ada kompromi antar masing-masing anggota yang lain.

Untuk mengatasi atau bahkan menghilangkan perilaku merokok apakah mungkin dilakukan, dengan jalan menutup pabrik rokok? Nyaris tidak mungkin, kalau tidak boleh mengatakan mustahil. Sebab secara realistis, rokok merupakan salah satu dari sedikit komoditi yang memberi pemasukan yang sangat besar bagi kas negara. Pembangunan infra-struktur negara telah banyak disokong oleh cukai rokok. Salah satu kiat yang telah dan sedang dilakukain oleh pihak pemerintah saat ini dalam kaitannya dengan masalah rokok adalah melakukan kampanye baik melalui jargon-jargon yang menegaskan tentang bahaya rokok (misal dengan iklan ataupun slogan yang dilekatkan pada bungkus rokok) sampai kepada melokalisir para perokok dengan cara memberikan ruang tersendiri bagi “komunitas” mereka. Berbagai daerah di Indonesia telah mulai membangun tempat-tempat khusus bagi para perokok aktif, terutama di tempat-tempat yang banyak di akses oleh khalayak ramai. Seperti di bandara, stasiun, perkantoran, hotel, dan sebagainya. Secara psikologis hal ini diharapkan dapat memberi efek jera bagi para perokok, minimal akan munculnya perasaan terisolir dari lingkungan mereka jika mereka merokok di tempat umum.

Keberadaan rokok ini sebenarnya hampir serupa dengan keberadaan praktik prostitusi. Semakin mereka (para pe!aku di dunia prostitusi) dikejar-kejar bukannya semakin berkurang malah semakin menjadi. Rokok nyaris tidak mungkin untuk dihilangkan. Barangkali yang mungkin dapat dihilangkan adalah kebiasaan merokok itu sendiri. Bagaimana caranya? Tak ada resep yang paling jitu kecuali dengan menumbuhkan kesadaran dalam diri sendiri akan pentingnya menjaga kesehatan sekaligus menancapkan ke dalam sum-sum otak akan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh rokok.

 

B.4. Pendekatan-pendekatan Untuk Merubah Perilaku (Kebiasaan Merokok)

Terdapat beberapa pendekatan atau metode yang dapat dijadikan titik tolak untuk merubah perilaku merokok pada remaja maupun perokok pada umumnya, yaitu; (1) Cold Turkey Method, (2) Cognitive Behavioral Therapy, (3) Aversive Conditioning, (4) Positive Reinforcement, dan (5) Cognitive Therapy Techniques (dalam Bye… Bye … Smoke, 2002):

 

 

B.4.1.  Cold Turkey Afethod

Metode ini adalah metode yang paling sederhana, paling gampang dimengerti, paling banyak dicoba, sekaligus paling banyak mengalami kegagalan. Bagaimana sebenarnya prinsip kerja metode ini? Memang sangat sederhana dan gampang untuk dipraktekkan, ya sudah berhenti saja. Titik. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa ba bi bu, pokoknya berhenti.

Memang metode ini paling banyak dipraktekkan oleh para perokok, namun juga paling tinggi tingkat kegagalannya. Hal ini disebabkan lebih karena orang yang menggunakan metode ini cenderung tidak terencana dengan matang tentang keinginannya untuk berhenti merokok, dan kiat-kiat apa yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi munculnya keinginan lagi untuk merokok.

 

B.4.2.  Cognitive Behavioral Therapy (Terapi Perilaku Kognitif)

Pendekatan ini lebih menekankan pada kesadaran akan perilaku untuk dijadikan sebagai dasar untuk merubah perilaku ke arah yang di inginkan. Jadi, individu harus mengetahui terlebih dahulu apa yang harus diubah dari perilakunya dan kenapa perilaku itu harus diubah. Individu hanya akan merubah perilaku bila dia tahu bahwa merokok adalah kebiasaan yang buruk. Melalui pengetahuan atau kesadaran itulah individu mulai untuk merubah perilakunya.

Banyak cara atau kiat-kiat yang bisa dilakukan dalam pendekatan ini, sebagai contoh menyingkirkan setiap benda yang bisa menjadi pemicu untuk merokok lagi (asbak, korek api, poster orang merokok, dll), catat dan hilangkan situasi dan perasaan yang memperkuat “kenikmatan” yang didapat dari merokok, atau dengan merubah perilaku merokok. Jadi ketika muncul keinginan untuk merokok, jangan langsung dinyalakan, tapi menahan dulu sampai sekian lama (semakin lama semakin baik).

 

B.4. 3.   Aversive Conditioning (Pengkondisian Berbalik)

Pendekatan ini cukup unik, yaitu memasangkan (pairing) sebuah stimulus yang negatif (bisa perilaku, bisa pikiran) dengan perilaku yang ingin diubah. Sebagai contoh, cobalah untuk merokok terus menerus (chain smoking) tanpa henti, hingga terasa ingin muntah. Cara ini diulang-ulang supaya efektif. Tujuannya adalah agar timbul kesan bahwa merokok itu bikin mual atau muntah. Contoh lain, yaitu saat sedang merokok cobalah untuk membayangkan bahaya atau akibat yang dapat ditimbulkan oleh sebatang rokok. Ini memang sulit tapi tetap saja layak untuk dicoba.

 

B.4.4.    Positive Reinforcement (Penegasan Positif)

Pendekatan ini merupakan lawan dari pengkondisian berbalik, yaitu dengan memasangkan pikiran dan perilaku positif dengan perilaku yang diinginkan. Misalnya, fokus pada tujuan. Catatlah semua keuntungan-keuntungan yang diperoleh jika berhenti merokok, baik keuntungan fisik maupun psikis, baik keuntungan pribadi maupun keuntungan sosial. Aktif mengembangkan konsep diri serta harga diri yang positif. Bergaul dan belajar untuk bilang “tidak” pada rokok.

 

B.4.5.     Cognitif Therapy Techniques (Teknik Terapi Kognitif)

Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada konsep tanggung jawab pribadi terhadap pikiran seseorang. Harapannya adalah agar terjadi perubahan dalam cara berpikir yang kemudian merubah keyakinan terhadap masalah-masalah yang negatif dan tidak rasional. Kognisi atau konstruksi pola pikir seseorang tentang suatu hal bisa didekonstruksi atau diubah menjadi pola pikir yang lebih mampu menganalisa keyakinan yang saat ini dianut, apakah positif atau negatif. Sebagai contoh, cobalah untuk memberi kritik terhadap beberapa premis negatif berikut: “saya pasti akan gagal, rokok sudah merasuk dalam tubuh saya” (kritik: pikiran seperti itu tidak benar, buktinya sudah banyak sekali perokok berat yang akhirnya berhasil menghentikan kebiasaannnya), “merokok tidak merokok mati juga, mendingan merokok” (kritik: pandangan seperti itu jelas salah, bukti ilmiah telah banyak membuktikan bahwa rokok menjadi salah satu kontributor terbesar bagi tingkat kematian pada manusia. Paling tidak kalaupun mati, mati dengan tenang dan lega, bukan mati karena kanker paru-paru, dan sebagainya), ”merokok hanya merugikan diri sendiri, orang lain tidak masalah (kritik: perokok pasif jelas ikut menanggung risiko yang ditimbulkan oleh rokok. Bahkan menurut beberapa penelitian, perokok pasif bahkan menanggung akibat lebih besar dari perokok aktif).

Lalu, metode apa yang paling jitu untuk menanggulangi kebiasaan merokok seseorang? Secara khusus (setidaknya sejauh yang penulis baca dan pahami dari referensi yang ada) belum ada penelitian yang membuktikan bahwa salah satu dari lima metode yang telah dipaparkan di atas merupakan metode yang paling ampuh untuk dipergunakan oleh seseorang untuk berhenti merokak. Menurut hemat penulis, setiap perokok yang memiliki niat dan kesadaran untuk berhenti merokok tidak akan selalu sama metode yang digunakan. Mungkin ada yang cocok dengan Colg Turkey Method tapi perokok yang lain mungkin lebih cocok dengan Cognitive Behavioural Therapy, begitu seterusnya. Ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi efektivitas dari metode-metode yang telah dijelaskan di atas. Beberapa di antaranya adalah waktu (sudah berapa lama si individu merokok), intensitas (seberapa sering si inidividu merokok), kuantitas (berapa banyak jumlah rokok yang dihisap oleh si individu perharinya), kualitas (bagaimana cara atau gaya si individu merokok), lingkungan seperti apa yang mengelilingi si individu (mayoritas perokok atau tidak), dan sebagainya. Jadi, ke-lima metode di atas masing-masing layak untuk dicoba.

Beberapa pendekatan di atas hanya beberapa pendekatan ilmiah yang dapat membantu berhasil tidaknya proses untuk berhenti merokok. Setiap pendekatan memiliki keunggulan masing-masing, tinggal bagaimana mengejawantahkannya ke dalam proses perubahan perilaku. Tapi yang paling penting di atas segalanya adalah niat serta keinginan yang kuat untuk segera berhenti dan memulai kehidupan yang baru tanpa kepulan asap yang mengitari kepala dan menyengat indera pembauan.

 

 

  1. C.     Kesimpulan

Beberapa temuan penelitian mengisyaratkan bahwa rendahnya tingkat emotional intelligence (EI) seseorang terkait dengan keterlibatannya dalam perilaku atau aksi merusak diri (self-destructive), seperti perilaku menyimpang dan perilaku merokok (Brackett & Mayer; 2003; Rubin, 1999; Trinidad & Johnson, 2001, dalam Brackett, dkk, 2004).

Perilaku merokok di pandang sebagai perilaku yang dapat merusak diri sendiri,  sebab berbagai penelitian telah membuktikan bahwa rokok hanya akan memberi kontribusi buruk bagi manusia, fisik maupun mental, langsung atau tidak langsung. Rokok telah terbukti menjadi penyebab timbulnya berbagai macam penyakit seperti radang paru-paru, kanker paru-paru, bronkitis, radang pada pangkal dan hulu tenggorokan, batuk, gangguan pernafasan, gangguan kehamilan dan janin, penyumbang bagi impotensi pada laki-laki, menghabiskan biaya yang tidak sedikit, dan masih banyak lagi efek negatif yang ditimbulkannya.

Meski oleh sebagian orang, rokok dianggap dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri seseorang, namun tetap saja hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menganggap bahwa perilaku merokok adalah perilaku yang baik. Self Confidence seseorang tetap bisa ditingkatkan dengan cara-cara yang lebih sehat, seperti mencoba menggali potensi-potensi yang dimiliki, bakat, atau minat apa saja yang orientasinya positif. Hanya satu kata bagi sebatang rokok, kamu jahat deh!!!.

 

Daftar Pustaka

 

 

Armstrong, S., 1995. Pengaruh Rokok Terhadap Kesehatan. Jakarta. Penerbit Arcan

Boeree, C. G., 2004. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. (Terj. Inyiak Ridwan Muzir: Ed. Abdul Qodir Shaleh). Jogjakarta. Prismasophie

Brackett, M. A., Mayer, J. D., & Warner, R. M., 2004. Emotional Intelligence and Its Relation to Everyday Behaviour. Personality and Individual Differences Journal 36. University of New Hampshire, Durham, USA. p.1387-1402

                        , 2002. Bye.. Bye.. Smoke: Buku Panduan Ampuh Untuk Berhenti Merokok. Jakarta Barat. A Nexxmedia Book

Fuhrmann, B. S., 1990. Adolescence, Adolescenis (2nd Edition). Illinois. Glenview Grinder, R. E., 1978. Adolescence (2nd Edition). New York. John Wiley & Sons Inc.

Hall, C. S., & Lindzpy, G., 1993. Psikologi Kepribadian 1: Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta. Kanisius

Hurlock, E. B., 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi Kelima). (Terj. Istiwidayanti & Soedjarwo; Ed. Sijabat, R. M.). Jakarta. Penerbit Erlangga

Mappiare, A., 1982. Psikologi Remaja. Surabaya. Usaha Nasional

Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditono, S. R., 2001. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press

Nuryoto, S. 2004. Peer Relation. Materi Kuliah PsikoIogi Perkembangan Sosial. Yogyakarta. Program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada Osborne, R., 2000. Freud Untuk Pemula. (Terj. Widyamartaya). Yogyakarta. Kanisius

Santrock, J. W., 2003. Adolescence: Perkembungun Remaja (Edisi Keenam). Jakarta. Penerbit Erlangga

PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK

classical conditioning

classical conditioning

  1. A.    Pengertian

Behaviorisme / behavioristik adalah teori belajar dan percaya bahwa semua perilaku yang diperoleh sebagai hasil dari pengkondisian. Aliran psikologi ini yang menekankan pada tingkah laku / perilaku manusia ( individu ) sebagai makhluk reaktif yang memberikan respon terhadap lingkungan di sekitarnya. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku orang tersebut.

  1. B.     Pandangan tentang belajar

Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984). Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.

1. Prinsip belajar berdasarkan aliran behaviouristik.

Teori behavioristik menerapkan prinsip penguatan stimulus-respon. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus-respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Penguatan tersebut terbagi atas penguatan positif dan penguatan negatif.
Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang.

2. Permasalahan / kelemahannya:

Teori belajar behavioristik, sebenarnya muncul banyak permasalahan, antara lain:

  • Teori ini hanya mengandalkan sisi fenomena jasmaniah saja, dan mengabaikan aspek-aspek mental.
  • Teori ini tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
  • Teori ini menyimpulkan Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
  • Si belajar dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas yang ditetapkan lebih dulu secara ketat.
  • Pembiasaan (disiplin) sangat esensial.
  • Kegagalan atau ketidakmampuan dalam merubah pengetahuan dikategorikan sebagai “kesalahan dan harus dihukum”.
  • Keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas dipuji atau diberi.
  • Kekuatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan.
  • Kontrol belajar dipegang oleh sistem diluar diri si belajar.

 

  1. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik

Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat.

2. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement;(3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik.

B. Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997)
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Kelemahannya:

  • Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
  • Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh yang mempengaruhi proses belajar.
  • Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi.

D. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behvioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind (pikiran) adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual (Degeng, 2006).

a.1 Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
a.2 Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
a.3 Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

a.4 Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
a.5 Tori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

Psikologi kognitif

  1. A.    Pengertian:

Psikologi kognitif adalah kajian studi ilmiah mengenai proses-proses mental atau pikiran. Bagaimana informasi diperoleh, dipresentasikan dan ditransfermasikan sebagai pengetahuan. Psikologi kognitif juga disebut psikologi pemrosesan informasi.

Aliran ini lahir pada awal tahun 70-an ketika psikologi sosial berkembang ke arah paradigma baru manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk pasif yang digerakkan oleh lingkungannya tetapi makhluk yang paham dan berpikir tentang lingkungannya (homo sapiens).

 

Prinsip dasar psikologi kognitif

  • Belajar aktif
  • Belajar lewat interaksi sosial
  • Belajar lewat pengalaman sendiri

 

Teori psikologi kognitif berkembang dengan ditandai lahirnya teori Gestalt (Mex Weitheimer) yang menyatakan bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan.
Ada 2 hukum wajib dalam teori Gestalt:

  • pragnaz (kejelasan)
  • closure (totalitas)

Konsep yang penting dalam teori ini INSIGHT, yaitu: pengmatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan antara bagian-bagian di dalam suatu situasi masalah.

 

B. Peran Psikologi Kognitif

Di dalam dunia psikologi, mempelajari psikologi kognitif sangat diperlukan, karena :

  1. Kognisi adalah proses mental atau pikiran yang berperan penting dan mendasar bagi studi-studi psikologi manusia.
  2. Pandangan psikologi kognitif banyak mempengarui bidang-bidang psikologi yang lain. Misalnya pendekatan kofnitif banyak digunakan di dalam psikologi konseling, psikologi konsumen dan lain-lain.
  3. Melalui prinsiprinsip kognisi, seseorang dapat mengelola informasi secara efisien dan terorganisasikan dengan baik.

 

  1. C.    Pandangan tentang belajar

Teori Belajar menurut Psikologi Kognitif

Menurut aliran kognitifis, tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Jadi, tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi.

 

Belajar Psikodrama di Yogyakarta : Kenali Diri Optimalkan Potensi

Featured

pelatihan psikodrama di kota jogja

pelatihan psikodrama di kota jogja

 

Adalah Angkatan 91 Psikologi Gadjah Mada, berniat untuk berbagi, atas nama Kenangan yang Mesra. Diawali dengan adanya Rumah yang dapat digunakan untuk ngobrol, bercanda, dan tempat tujuan siapa saja Angkatan 91 Psikologi UGM, yang “pulang” ke jogya.

Agar rumah tersebut berfungsi maka perlu aktivitas yang berkelanjutan.

Maka diputuskan mengadakan pelatihan berdasar Psikodrama di rumah jl Sulawesi, Sinduadi, Sleman, Yogyakarta, milik bapak Endro Pranowo. Dengan melibatkan karyawan Gendhis Bag, mulailah belajar Psikodrama mengangkat tema “Kenali Diri Optimalkan Potensi”

 

Pelaksanaan pada tanggal 15 Agustus 2013, dengan peserta 10 orang.

Bagaimanapun ide yang baik, secepatnya diwujudkan dalam tindakan.

Tujuan sudah dicanangkan, langkah sudah diayunkan. Tujuan yang baik, semoga berjalan dengan baik dan memberikan hasil yang baik. Amien

Anda ingin mendapatkan pelatihan psikodrama atau  butuh informasi lebih lanjut mengenai pelatihan psikodrama seperti ini? silakan hubungi Mas Retmono Adi

 

Menurut kamus besar bahsa indonesia psi·ko·dra·ma n Psi metode dl penyembuhan penyakit jiwa dng meminta sekelompok pasien memainkan drama dng mereka sendiri sbg peran utamanya

Menurut Bennet (Romlah 2001:99), Psikodrama merupakan bagian dari permainan peranan (role playing). Bennet membagi permainan peranan menjadi dua macam yaitu sosiodrama dan psikodrama. Sosiodrama adalah permainan peranan yang ditujukan untuk memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia.

Psikodrama merupakan dramatisasi dari persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gangguan serius dalam kesehatan mental para partisipan, sehingga tujuannya ialah perombakan dalam struktur kepribadian seseorang. Psikodrama bersifat kegiatan terapi dan ditangani oleh seorang ahli psikoterapi (WS. Winkel, :571).

Psikodrama biasanya dipentaskan secara spontan tanpa skenario yang telah ditetapkan.(KBS World, 2009)

TEKNIK-TEKNIK DALAM PSIKODRAMA
Sebenarnya banyak teknik psikodrama, tetapi berikut ini hanya beberapa teknik utama yang dikemukakan sebagai berikut :
CREATIVE IMAGERY, teknik pemanasan untuk mengundang peserta psikodrama membayangkan babak dan objek yang menyenangkan dan netral, ide teknik ini membantu peserta menjadi lebih spontan.
THE MAGIC SHOP, teknik pemanasan yang berguna bagi protagonist yang ragu tentang nilai mereka dan tujuan.
SCULPTING, konseli kelompok menggunakan metode nonverbal untuk menyusun orang lain dalam kelompok konfigurasi seperti kelompok orang yang signifikan yang sesuai dengan orang-orang dalam keluarganya dan sebagainya. Penyusunan ini melibatkan postur tubuh dan membantu konseli melihat, mengetahui persepsi mereka tentang orang lain yang signifikan dengan cara yang lebih dinamis.
TEKNIK BERBICARA, teknik ini melibatkan protagonist memberi suatu monolog tentang situasinya.
MONODRAMA (AUTODRAMA), bentuk inti terapi gestalt. Dalam teknik ini, protagonist memainkan semua bagian tindakan yang jelas; tidak terdapat ego pembantu yang digunakan.
THE DOUBLE AND MULTIPLE DOUBLE TECHNIQUES, suatu teknik yang terdiri atas pengambilan peran aktor dari ego protagonist dan membantu protagonist mengekspresikan perasaan sesungguhnya secara lebih jelas. Jika protagonist memiliki perasaan ragu, maka teknik multiple double dapat digunakan.
THE ROLE REVERSALS, teknik dimana protagonist memindahkan peran dengan orang lain pada tahap dan memainkan bagian orang itu; konseli kelompok berbuat bertentangan dengan apa yang mereka rasakan.
TEKNIK CERMIN, protagonist memperhatikan dari luar tahap sementara seorang ego pembantu mencerminkan kata-kata, mimik, dan postur protagonist. Teknik ini dipakai pada fase tindakan untuk membantu protagonist melihat dirinya secara lebih akurat

 

Metode Penelitian Psikologi : metode ilmiah

Featured

metodologi riset

metodologi riset

Metode ilmiah adalah suatu pendekatan yang digunakan ahli psikologi untuk memahami sesuatu  yang belum diketahui. Metode ini terdiri dari tiga langkah :

  1. Mengidentifikasi permasalahan yang akan diteliti
  2. Membuat rumusan penjelasan
  3. Melalukan riset yang dirancang untuk mendukung penjelasan

Penelitian dalam psikologi dipandu oleh teori dan hipotesis.

Teori adalah penjelasan yang luas dan prediksi tentang fenomena yang akan diteliti

Hipotesis adalah derivasi / turunan teori yang merupakan prediksi yang dinyatakan sedemikian rupa  yang memungkinkan untuk diuji.

Hipotesis agar dapat diuji harus dioperasionalkan, yaitu proses menterjemahkan hipotesis ke dalam prosedur yang spesifik dan dapat diuji sehingga dapat diukur dan diamati.

 Metode – Metode Yang Dipakai :

  1. Riset Arsip : menggunakan rekaman yang ada, misal koran lama, dokumen-dokumen lain untuk menguji hipotesis
  2. Observasi naturalistik : peneliti hanya bertindak sebagai pengamat  tanpa melakukan  perubahan dalam situasi yang  terjadi secara alamiah.
  3. Riset survey : subjek  diberi serangkaian pertanyaan tentang tingkah laku, sikap dan pikiran mereka.
  4. Studi kasus : interview yang mendalam dan penelitian terhadap satu/sekelp  orang.

Metode – metode di atas bersandar pada teknik korelasi yang menggambarkan hubungan antar berbagai faktor tetapi tidak dapat menentukan hubungan sebab – akibat.

  1. Metode Eksperimen : meneliti hubungan antar faktor dengan menghasilkan suatu perubahan – yang  disebut dengan manipulasi – pada    satu faktor dan mengamati perubahan pada faktor lain.

Faktor yang berubah disebut variabel – tingkah laku, peristiwa atau orang yang dapat berubah atau bervariasi, sedemikian rupa.

Hipotesis yang akan diuji harus dioperasionalkan yaitu suatu proses menterjemahkan konsep-konsep yang abstrak ke dalam prosedur aktual yang digunakan dalam penelitian.

Dalam eksperimen , sekurang-kurangnya ada dua kelompok  yang harus dibandingkan untuk meneliti hubungan S – A :

1)      kelompok eksperimen yaitu kelompok yang  menerima treatment (prosedur khusus yang dirancang oleh eksperimenter)

2)      kelompok kontrol yaitu kelompok yang tidak menerima treatment.

Ada juga kelompok eksperimen ganda yaitu beberapa kelompok diberi treatment yang berbeda-beda lalu masing-masing kelompok dibandingkan.

Variabel yang dimanipulasi oleh eksperimenter disebut variabel independen / bebas, sedang variabel yang  akan diukur dan diharapkan berubah sebagai akibat dari manipulasi variabel independen disebut dengan variabel dependen / terikat / tergantung.

Ahli psikologi menggunakan prosedur statistik untuk menentukan hasil eksperimen signifikan ( bermakna ) atau tidak. Nmn demikian signifikansi statistik tidak menjamin hasil tersebut memiliki arti penting dalam dunia nyata.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGI

logo psikologi

logo psikologi

  1. PENGERTIAN PSIKOLOGI

Psikologi (dari bahasa Yunani Kuno: psyche = jiwa dan logos = kata) dalam arti bebas psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya, sehingga Psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental

 

  1. SEJARAH

Psikologi adalah ilmu yang tergolong muda (sekitar akhir 1800an.) Tetapi, orang di sepanjang sejarah telah memperhatikan masalah psikologi. Seperti filsuf yunani terutama Plato dan Aristoteles. Setelah itu St. Augustine (354-430) dianggap tokoh besar dalam psikologi modern karena perhatiannya pada intropeksi dan keingintahuannya tentang fenomena psikologi. Descartes (1596-1650) mengajukan teori bahwa hewan adalah mesin yang dapat dipelajari sebagaimana mesin lainnya. Ia juga memperkenalkan konsep kerja refleks. Banyak ahli filsafat terkenal lain dalam abad tujuh belas dan delapan belas—Leibnits, Hobbes, Locke, Kant, dan Hume—memberikan sumbangan dalam bidang psikologi. Pada waktu itu psikologi masih berbentuk wacana belum menjadi ilmu pengetahuan

Psikologi secara resmi lahir pada tahun 1879, ketika Wilhelm Wundt (1832-1920) membuka laboratorium pertama yang mempelajari tingkah laku manusia di Leipzig, Jerman. Wundt adalah orang pertama yang menggunakan istilah “psikologi eksperimental”. Metode yang digunakan adalah introspeksi.

 

  1. ISU-ISU KUNCI / KONTROVERSI DALAM PSIKOLOGI
  1. Nature (hereditas)  vs nurture (lingkungan) : seberapa jauh tingkah laku kita dipengaruhi faktor keturunan dan seberapa banyak karena faktor lingkungan dan bagaimana interaksi antar kedua faktor tersebut ?
  2. Conscious vs  unconscious determinants of behavior : seberapa banyak perilaku dipengaruhi oleh dorongan yang disadari dan seberapa jauh yang tidak disadari?
  3. Observable behavior vs internal mental processes : haruskah psikologi hanya berfokus pada perilaku yang dapat diamati oleh pengamat dari luar, atau berfokus pada proses berpikir yang tidak dapat dilihat ?
  4. 4.      Freedom vs determinism : seberapa jauh perilaku merupakan hasil keputusan yang dibuat secara bebas oleh individu dan seberapa jauh perilaku dikendalikan faktor-faktor di luar keinginan individu  ?
  5. 5.      Individual differences vs universal principles : seberapa jauh perilaku merupakan konsekuensi dari kualitas khusus dan unik yang dimiliki masing-masing individu ?. Seberapa  jauh, karena kita semua makhluk manusia,  perilaku terkait dengan susunan biologis dan sejauh mana kita memiliki pengalaman yang mirip ?

 

  1. ALIRAN – ALIRAN / PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI

Perspektif awal yang membimbing kerja para ahli psikologi adalah Strukturalisme, Fungsionalisme dan Teori Gestalt.

–       Strukturalisme berfokus pada identifikasi elemen-elemen dasar dari jiwa (mind), yang sebagian besar dengan menggunakan metode introspeksi.

–       Fungsionalisme menaruh perhatian pada fungsi-fungsi yang dilakukan oleh aktivitas mental.

–       Psikologi Gestalt berfokus pada studi tentang bagaimana persepsi diorganisir ke dalam unit-unit yang bermakna.

 

Pendekatan Yang Digunakan Pada Masa Sekarang

  1. Perspektif Biologis, yaitu memandang tingkah laku dari fungsi-fungsi biologis manusia.
  2. Perspektif Psikodinamika, meyakini tingkah laku didorong oleh kekuatan dari dalam yang tidak disadari dan hanya sedikit dapat dikendalikan
  3. Perspektif Kognitif meneliti bagaimana orang berpikir dan memahami dunia sekitar.
  4. Perspektif Behavioral : berfokus pada perilaku-perilaku yang dapat diamati
  5. Perspektif Humanistik, memandang bahwa manusia dapat mengendalikan tingkah lakunya dan secara alamiah selalu berusaha untuk mencapai potensinya secara penuh.

 

  1. CABANG PSIKOLOGI

Psikologi secara garis besar dibagi menjadi 2: yaitu Psikologi Umum dan Khusus.

Psikologi Umum mempelajari tingkah laku manusia dan proses mental secara umum yang terjadi pada orang dewasa dan beradab.

Psikologi khusus lebih memfokuskan pada kajian tertentu, misalnya:

  1. Biopsikologi: mempelajari dasar-dasar biologis tingkah laku
  2. Psi. Eksperimen : mempelajari proses-proses penginderaan, persepsi, belajar dan berpikir
  3. Psi. Kognitif         : merupakan perkembangan lebih lanjut dari psi. eksperimen yang mempelajari proses-proses mental tingkat tinggi  yang meliputi berpikir, bahasa, memori, problem solving, pengetahuan, penalaran, dan pengambilan keputusan.
  4. Psikologi Perkembangan dan Kepribadian : mempelajari perubahan dan perbedaan individu.
  5. Psi. Klinis, Psi. Konseling dan Psi. Kesehatan terutama berhubungan dengan peningkatan kesehatan fisik dan mental.
  6. Psi. Pendidikan meneliti bagaimana proses-proses pendidikan mempengaruhi siswa.
  7. Psi. Sekolah memfokuskan diri pada penelitian dan pemberian treatment pada anak-anak SD dan SMP yang memiliki masalah-masalah akademik dan atau emosional.
  8. Psi. Sosial adalah studi tentang bagaimana pikiran, perasaan dan tindakan individu dipengaruhi oleh orang lain.
  9. Psi. Wanita menaruh perhatian terhadap faktor-faktor psikologis yang berhubungan dengan tingkah laku dan perkembangan perempuan.
  10. Psi. Industri dan Organisasi berfokus pada penerapan psikologi di tempat kerja.
  11. Psi. Konsumen mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan orang dalam tingkah laku membeli.
  12. Psi. Lintas Budaya meneliti persamaan dan perbedaan dalam hal berfungsinya aspek psikologis individu pada budaya yang beraneka ragam.
  13. Cabang-cabang khusus lain yang terbaru meliputi psikologi evolusi, neuropsikologi klinis, psi. lingkungan, psi. forensik, psi. olah raga dan hal-hal yang menekankan pada evaluasi program
  1. Psi. Perkembangan mempelajari bagaimana orang berkembang dan berubah sepanjang rentang kehidupan (life span).
  2. Psi. Kepribadian mempelajari konsistensi dan perubahan tingkah laku individu ketika berada dalam situasi yang berbeda-beda dan mempelajari perbedaan individu satu dengan  yang lain ketika berada dalam situasi yang sama.
  1. Psi. Kesehatan mempelajari faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi timbulnya penyakit fisik.
  2. Psi. Klinis  melakukan studi dan diagnosis serta treatment terhadap tingkah laku abnormal.
  3. Psi. Konseling berfokus pada masalah-masalah penyesuaian dalam pekerjaan, sosial dan pendidikan.